Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Crazy

Nafas Hanif seperti dicabut pergi melihat Faya menerjang peluru untuknya, tanpa ragu. Gadis itu tidak pernah ragu. Dia tidak mengira Aryo menembak secepat itu. Dan posisi Faya yang dekat membuatnya dengan cepat melompat dan menghalangi peluru. Kemudian refleks tubuhnya adalah menangkap tubuh Faya yang sedikit terlontar karena momentum tembakan Aryo.

Seluruh perhatian pindah pada kejadian itu. Niko bahkan langsung dengan cepat menembakkan senjata membunuh anak buah Aryo. Padahal sebisa mungkin sedari tadi mereka tidak banyak menggunakan senjata. Tapi kesabaran Niko dan Arsyad habis. Mereka berdua mengamuk membabi buta tidak meninggalkan satu pun yang tersisa. Semua dihabisi, kecuali Aryo dan Doni yang sudah berhasil lolos lagi dengan heli.

Tangannya langsung memeriksa baju anti peluru Faya. Sedikit lagi tembus. Aryo benar-benar ingin membunuhnya hingga Aryo bergerak sedemikian rupa untuk memastikan momentum peluru itu bisa menembus baju anti peluru. Bagusnya, hal itu gagal.

"Aku nggak apa-apa, Nif. Serius." Faya menatapnya sambil meringis nyeri memegang dada yang tadi tertembak.

Mereka masih duduk beralaskan beton bangunan. Dia memeluk Faya erat. "Jangan pernah begitu lagi, Ya Tuhan, Fa. Jangan pernah lagi." Matanya masih membelalak ngeri membayangkan bisa jadi tadi Faya melompat kurang tinggi hingga mengenai area kepala atau lehernya. Faya bisa saja mati.

"Nif, serius banyak orang-orang ini." BIsik Faya padanya sementara dia tidak perduli. Terus memeluk Faya erat.

"Lo nggak apa-apa kan?" Niko sudah menepuk pundak Faya sambil berjongkok.

"Nggak apa-apa. Nik, bilang Hanif gue nggak apa-apa. Biar lepas ini," jawab Faya.

Niko tertawa sambil menghela nafas lega. "Bikin iri semua tuh."

"Kita harus balik ke markas. Sebelum semua petugas datang." Arsyad menepuk pundaknya dan dia melepaskan pelukan.

Tubuhnya sudah berdiri sambil membantu Faya berdiri. Matanya menatap Mahendra di ujung area.

"Mahendra benar-benar marah, Bang. Mangkanya reaksinya begitu. Jangan terlalu keras sama dia. Dia lagi frustasi karena Sabiya masih nggak sadar," ujarnya.

Arsyad diam sebelum berujar. "Biar dia belajar, kalau bergerak terpisah dan sendiri-sendiri, hasilnya nggak pernah bagus. Selalu gagal."

Heli sudah datang membawa mereka pergi.

***

Markas besar ADS

Mereka berjalan cepat ke arah ruang meeting besar yang kedap suara kemudian Arsyad membalik tubuhnya dan langsung mendorong tubuh Mahendra.

"Bilang, apa yang tadi lo lakukan? Bilang!!" Suara Arsyad menggelegar ke seluruh ruangan.

Ekspresi wajah Mahendra datar dan dingin. "Gue melakukan sesuatu yang benar."

"Dengan membahayakan semua orang? Begitu?" Tubuh Arsyad makin mendekat pada Mahendra, sekalipun Hanif dan Mareno sudah menahan pundaknya. "Lo tahu banyak penduduk sipil dan orang-orang penting tadi. Ada Bayu Tielman, Audra, dan tamu lainnya. Dimana otak lo?"

"Masih di tempat yang sama terakhir gue cek. Kesabaran gue habis, habis Bang!!" Mahendra balas berteriak. "Kalau lo bisa terus bersabar menghadapi Aryo, itu urusan lo. Tapi gue nggak bisa. Dia tembak Sabiya."

Arsyad yang murka mulai merangsek maju. Hanif dan Mareno menahan tubuhnya sementara Niko menahan Mahendra.

"Bukan cuma lo yang khawatir sama Sabiya, brengsek! Lo pikir kita semua ngapain?"

"Gue hampir berhasil, Bang. Kalau bukan karena cewek sialan itu membakar apartemen tunangannya sendiri. Gue bisa berhasil." Suara Mahendra sama kerasnya.

"Bang, tenang dulu." Hanif masih berusaha keras menahan tubuh Arsyad.

"Brengsek, minggir." Nafas Arsyad tersengal karena emosi saat dia sudah berdiri tegak lagi. "Lo mau bunuh Aryo? Oke, mulai saat ini misi gue ganti. Aryo nggak perlu ditangkap hidup-hidup, bunuh dia. Lalu kita perang habis-habisan dengan Herman, yang akan menyeret Ayah dan Mama." Nada Arsyad tinggi sekali sambil menatap seluruh adiknya.

"Bang, bukan begitu rencananya." Hanif menengahi.

"Itu mau lo kan, Hen?" teriak Arsyad pada Mahendra.

"Ya. Itu yang gue mau. Ayah dan Mama sudah pasti akan terseret. Kita bunuh Aryo atau nggak, Ayah dan Mama sudah dalam resiko bahaya."

Tubuh Arsyad berjalan mondar-mandir gelisah. Paham dia tidak bisa membagi apa yang dia tahu pada adik-adiknya. Belum saatnya. Tapi Mahendra benar-benar kacau saat ini.

"Lo tunggu apa, Bang? Dia tembak Sabiya, dia mau bunuh Bang Hanif. Kalau tadi peluru itu nggak ditahan Faya, kita kehilangan Bang Hanif malam ini, atau Faya. Lo bahkan bunuh semua anak buahnya tanpa sisa. Apa yang lo tunggu?" tanya Mahendra.

Arsyad berhenti bergerak, dahinya mengernyit dalam, sambil satu tangan bertolak pinggang. Matanya menerawang jauh, seolah sedang menghitung ulang dengan seksama resiko dihadapan mereka. Resiko itu datang dari kaitan kejadian yang masih dia simpan dan belum dia bagi pada siapapun.

"Mahen kali ini ada benarnya, Bang." Mareno menatap Arsyad. "Aryo makin nekat. Malam ini dia benar-benar nggak timbang-timbang untuk bunuh Bang Hanif. Ini nggak bisa ditoleransi, Bang."

Hanif melanjutkan. "Atau...lo punya pertimbangan lain yang lo nggak kasih tahu kita. Apa begitu, Bang?"

Kepala Arsyad menggeleng kuat seperti ingin mengusir sesuatu. "Lacak Aryo." Kemudian dia keluar dari ruangan.

Mahendra menatap punggung Arsyad yang pergi. Kemudian Hanif menyusul di belakangnya. Dia tahu, ketika dua abangnya bersikap aneh seperti itu, ada sesuatu yang dia dan Mareno belum tahu. Tapi saat ini dia memilih untuk tidak perduli dengan hal itu. Fokusnya hanya pada membangunkan Sabiya, dan memburu Aryo. Dia bersumpah akan memburu dan membunuh Aryo dengan tangannya sendiri.

"Biar Abang tenang dulu, Hen. Cuma Hanif yang bisa menenangkan Abang." Niko menepuk pundaknya.

"Tania dan Om Bayu nggak apa-apa?" tanyanya pada Mareno.

"Bini gue malah gemes mau nonjok Aryo tadi di pesta," jawab Mareno.

Niko terkekeh kecil. "Bilangin, antri. Nanti disisain, kalau masih ada sisanya." Wajah Niko mendekat ke arahnya. "Gue setuju sama lo, Hen. Bunuh Aryo, bukan tangkap dia. Atau dia mulai menyerang yang lainnya."

"Jangan terburu-buru, Nik. Arsyad pasti punya sesuatu yang dia nanti akan bagi dengan kita." Mareno berujar.

"Wow, tumben." Niko pamit ke luar ruangan untuk mengecek timnya yang terluka karena insiden tadi.

Tekadnya sudah bulat, jadi apapun yang Arsyad katakan, tidak akan berpengaruh banyak. Seluruh rencana untuk berburu sudah ada di kepala. Dia harus segera kembali ke lab-nya. Untuk memulai lagi rencana baru.

***

Arsyad dan Hanif berada di salah satu area terbuka tempat Arsyad biasa merokok bersama tim ADS atau Niko. Tempat itu sepi karena memang sudah larut malam menjelang pagi. Hanif melihat keresahan yang jelas terpancar di wajah Arsyad. Resah, dan diam Arsyad yang penuh dengan misteri.

Abangnya itu mulai menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya memandang ke perbukitan di area markas besar yang temaram dengan lampu-lampu lapangan. Arsyad selalu tahu lebih banyak dari mereka. Semua alasan kenapa ayahnya mendidik mereka seperti ini, semua rahasia kelam keluarga Daud dulu. Ya, dia tahu. Karena dulu dia melihat ayah berbicara empat mata dengan Arsyad dengan suara ditahan. Dia mendekati pintu yang sedikit terbuka tidak sengaja untuk mendengarkan. Tapi kemudian Arsyad mendengar langkahnya dan memintanya pergi dengan halus sambil mengunci pintu itu. Ada sesuatu yang disembunyikan sejak lama, dan hanya Arsyad yang tahu.

"Bagaimana Faya? Apa dia baik-baik?" tanya Arsyad masih sambil merokok dan berdiri menatap hampa.

"Faya baik, sedang istirahat." Dia menghela nafas berat. "Apa lo baik-baik, Bang?"

Wajah Arsyad menoleh padanya, kelam mata hitam itu sejenak mencair. Cara ini selalu berhasil. Arsyad selalu merasa kesepian, sendirian. Dia selalu lupa bahwa dia memiliki adik-adik dan banyak orang yang memperhatikannya, bahkan rela mati untuknya. Jadi, salah satu cara menenangkan Arsyad, adalah dengan menemaninya saat dia hilang seperti ini.

"Gue baik. Lo masih shock soal tadi?"

Maksud Arsyad adalah dia yang melihat Faya tertembak tadi. Dia tersenyum kecil. "Gue nggak apa-apa. Kayaknya lo yang lebih shock, Bang. Lo ngamuk sampai habisin semua orang begitu."

Matanya bisa menatap tangan Arsyad yang sedikit bergetar sambil memegang rokoknya. Mungkin sisa emosi, mungkin sesal, atau mungkin cemas yang berlebihan. Kemudian dia berjalan menuju lapangan rumput di dekat mereka. Posisi area ini adalah berada di samping bangunan besar markas ADS.

"Pernah ada yang bilang, kalau lo sedang emosi saat berdiri, maka duduklah. Sini, Bang. Duduk dulu sebentar." Dia duduk di pinggir lapangan beralaskan rumput.

Arsyad terkekeh sambil menggeleng. "Lo nggak berubah dari kecil. Selalu jadi yang paling tenang dan bisa berpikir benar. Kecuali pas kasus Faya kemarin."

Dia tersenyum melihat Arsyad yang menyusul duduk di sebelahnya. Rokok belum dimatikan Arsyad.

"Apa yang lo rasa sekarang, Bang?" Dia bertanya sambil sedikit menoleh memperhatikan wajah abangnya.

"Ya Tuhan, Nif. Serius lo mau main psikolog-pasien sekarang?"

Tawa kecilnya sudah terdengar. "Semua orang mengkhawatirkan Sabiya. Gue juga. Lo tahu gue paling sayang sama dia. Tapi gue yakin Sabiya akan baik-baik aja. Firasat gue bilang begitu."

Arsyad diam saja, rahang wajahnya mengeras.

"Gue lebih khawatir sama elo, Bang." Dia diam sejenak. "Lo seperti, menyimpan semua sendiri. Dari dulu lo begitu, tapi sekarang lo kayak mau meledak tapi lo tahan-tahan."

"Sok tahu." Senyum Arsyad sinis.

"Gue tahu, bukan sok tahu."

Arsyad diam saja sambil masih sibuk dengan rokoknya.

"Kapan?" tanyanya lagi.

"Apa?"

"Kapan lo siap berbagi rahasia lo dan Ayah?"

Kepala Arsyad menoleh padanya heran.

"Bang, ayolah. Ini gue."

Arsyad kembali diam dan menatap ke depan.

"Dua kepala yang berpikir, selalu lebih baik dari satu. Kepala yang ini..." Hanif menunjuk kepalanya sendiri. "...kepala yang dingin, dan bisa menjaga informasi."

"Banyak orang yang harus gue jaga, Nif. Kemarin gue gagal jaga Faya, sampai dia tertangkap. Sekarang, gue gagal jaga Sabiya. Gue nggak bisa menerima kegagalan ketiga. Lebih baik gue mati daripada gue gagal lagi."

"Karena itu lo benar-benar hati-hati." Kepalanya mengangguk mengerti atas sikap Arsyad.

"Kita jaga keluarga bareng-bareng, Bang. Beban itu nggak semua ada di pundak lo. Lo nggak dengerin omongan gue dulu apa." Mareno tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Hanif. "Lo selalu lupa, kalau lo punya kita, Bang. Sumpah lo nggak asik banget." Sungut Mareno kesal.

Arsyad terkekeh kecil. "Kalian termasuk orang-orang yang gue harus jaga."

"Oke, jadi kita yang jagain lo." Mareno menatap Arsyad lagi.

Mereka diam sejenak.

"Situasi makin nggak menentu. Gue udah putusin sesuatu." Arsyad bangkit dari duduknya lalu mematikan rokok dengan tangannya langsung. "Kalian semua, harus mulai latihan lagi. Intensif."

"Maksudnya?" tanya Mareno.

Dia dan Mareno juga sudah menyusul berdiri.

"Latihan ulang semuanya. Fisik, combat, shooting, everything. Jadwal gue kirim besok. Kita latihan bareng dan cari tempat buat kita berburu lagi. Faya dan Niko ikut program yang sama. Gue bakalan panggil Bang Ronald."

"Shit, Bang. Gue aja belum bulan madu sama Tania. Sekarang, lo suruh kita latihan. Lagian Bang Ronald udah pensiun."

"Dia masih fit, kemarin gue habis telponan," sahut Arsyad ringan.

"Kita berburu, bergantian, dan setelah Sabiya bangun. Gue nggak mau nggak ada yang jaga Sabiya dan Damar di sini," ujar Hanif.

"Deal," jawab Arsyad cepat.

"Gue nggak deal, serius gue nggak deal." Wajah masam Mareno tidak diperdulikan Arsyad dan Hanif. Mereka pergi dari sana sambil Mareno mengekor dan terus membujuk untuk menggagalkan rencana itu.

***

Sementara itu di tempat yang lain.

Tubuhnya berjalan mondar-mandir gelisah. Sangat gelisah hingga bahkan dia tidak perduli bahwa dia kehilangan beberapa timnya hari ini. Ya, Arsyad menghabisi semua. Situasi makin panas dan berbahaya.

"Hubungi orang kita di ADS," ujarnya pada Doni.

"Tapi Bang, itu sangat berbahaya. Dia bisa ketahuan dan rencana Bos besar gagal semua."

"Hubungi dia!!" Teriaknya pada Doni tidak perduli. Lagi-lagi dia berjalan mondar-mandir gelisah. "Cari tahu apa Fayadisa selamat..." satu tangannya memijit dahi cemas. "...pastikan perempuan itu selamat."

"Bang, tapi Bos besar..."

Senjata itu dia todongkan pada Doni. "Gue hanya minta kabar. Hanya kabar lengkap tentang kondisi Fayadisa, itu saja. Kalau lo mulai berpikir jadi pengadu, lo paham akibatnya."

Rahang Doni mengeras. Dia benci mengetahui bahwa bosnya yang dia hormati jadi sedikit gila karena wanita. Memang bukan sembarang wanita, tapi tetap saja ini mengacaukan segalanya.

"Gue lakukan apa yang gue lakukan, karena gue setia sama lo. Bukan karena gue takut Bos besar," ujar Doni sambil menatapnya tajam.

Nafasnya dia hela lalu senjata dia turunkan. "Gue tahu, Don. Tolong gue, pastikan dia selamat. Atau gue bisa gila."

"Lo udah gila, semenjak perempuan itu ada, lo jadi gila. Apa lo sadar?" Doni segera keluar ruangan untuk menghubungi satu orang mereka yang berada di ADS.

Setelah Doni keluar ruangan, dia berteriak keras. Meluapkan segala yang dia rasa. Bagaimana dia menembakkan peluru yang melukai Faya. Peluru itu bukan untuk Faya, tapi wanitanya malah melompat dan melindungi laki-laki sialan itu. Faya benar-benar cinta pada si keparat Hanif Daud hingga rela mati.

Brengsek! Sialan!! Tapi Faya juga tidak membunuh lo waktu dia punya kesempatan itu Yo. Ingat. Masih ada ruang di hati gadis itu. Ruang yang saat ini hampir terisi penuh. Hampir, masih ada sedikit sisa.

Jadi, tugasnya adalah mengosongkan ruang itu dari siapapun yang ada di sana, kemudian dia akan masuk dan tinggal. Dia bahkan bisa menukarkan dunianya saat ini, agar bisa tinggal di ruang hati Faya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro