1. The Jungle
Bertahun-tahun yang lalu
Ibrahim menatap anak-anaknya tajam. Mereka sudah siap, harusnya sudah siap. Hanif adalah si pemburu ulung. Mareno adalah perenang handal. Mahendra adalah si cerdik yang bisa berpikir cepat dan Arsyad, anak sulungnya itu adalah sebaik-baiknya penjaga dan pemimpin untuk adik-adiknya. Dia tidak salah karena sudah memilih jalan yang sulit. Paham benar, bahwa seluruh harta dan kekuasaan keluarganya tidak akan selalu bisa menolong mereka kelak.
Sejak Trisa hamil, dia sudah mulai mencari. Metode pendidikan dasar yang tepat. Mulai dari sekolah terbaik, pendidikan agama terbaik, juga sampai pendidikan pertahanan diri. Dia tidak pernah berencana akan punya empat anak laki-laki. Tuhan yang memberikan anugerah itu. Jadi dia berkewajiban memberikan segala yang terbaik yang dia bisa untuk anak-anaknya.
Di sinilah mereka. Camp pelatihan yang berkonsep militer. Gagasan adalah dari salah satu sahabatnya yang seorang mantan jenderal bintang empat. Pendanaan utama adalah dari keluarganya sendiri, juga dia kumpulkan dari sahabat-sahabatnya yang lain, yang dengan senang hati membantu.
"Apa kalian siap?" tanyanya.
Arsyad dan Hanif hanya mengangguk pendek, sementara Mareno tersenyum konyol sambil menggaruk kepala.
"Siap, Komandan?" Mareno tertawa.
Anaknya yang satu ini memang selalu bermain-main saja. Sementara dahi Mahendra mengernyit sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Berdoa yang banyak. Karena, saya nggak akan ada untuk membantu di sana," ujarnya sambil menghirup nafas panjang.
"Apa Ayah takut?" Hanif bertanya penasaran. Anaknya yang ini selalu pintar sekali membaca gesture tubuh orang dan tebakan Hanif tepat. Dia takut.
"Tidak relevan," jawabnya singkat.
Ya, dia takut karena dia benar-benar bisa kehilangan salah satu anaknya. Ini benar-benar pendidikan yang paling dasar. Bertahan hidup tanpa apapun.
"Kenapa?" kali ini Mareno.
"Kalian harus merasakan, apa itu arti perjuangan yang kalian tidak akan bisa rasakan di rumah."
"Kita berjuang lho, Yah. Cuci piring sendiri, cuci baju sendiri, sekolah naik kendaraan umum. Kurang berjuang apa?" jawab Mareno.
"Apa kamu takut? Saat segala kenikmatan dicabut, kamu bahkan harus mencari makanan dan minumanmu sendiri di sana nanti. Salah makan, kamu bisa mati. Tidak ada minum, paling lama kalian bisa bertahan 3 hari. Yang kalian miliki, adalah saudara kalian. Tidak ada yang lain. Sifat dasar kalian akan keluar. Karena kalian akan lapar dan haus, terluka karena medan yang berbahaya, jenuh dan bosan, atau tergoda untuk meninggalkan saudara kalian sendiri di belakang." Dia memberi jeda. "Jadi, apa kamu takut dengan permainan yang baru ini, Mareno?"
Mareno selalu bermain-main, dan memperumpamakan segalanya yang terjadi adalah permainan saja. Jadi dia membahasakannya seperti itu.
"Apa Ayah akan biarkan kami mati?" Mahendra kali ini.
"Saya akan berdoa, meminta Tuhan yang Maha Esa menjaga anak-anak saya. Tanpa henti sampai kalian kembali. Jadi, tidak boleh ada kesalahan. Sedikitpun. Taruhannya adalah keselamatan kalian sendiri."
Cukup, sudah cukup. Atau dia sendiri akan goyah dan membatalkan ini semua. Tubuhnya berbalik dan menepuk punggung Ronald. Kemudian Ronald mengangguk mengerti. Setelah ini dia akan langsung menghamparkan sajadahnya. Karena sungguh, yang bisa menjaga anak-anaknya adalah sebaik-baiknya penjaga, yang Maha Kuasa.
***
Ini hari pertama mereka diberi tugas yang sangat mendasar. Apa? Bertahan hidup. Tugas dasar yang jika kita disediakan seluruh fasilitas atau paling tidak berada di kota besar, akan sangat mudah dilakukan. Tapi, tanpa seluruh fasilitas dan berada di hutan hujan basah ini, hal tersebut sungguh sangat menantang.
Arsyad sudah lebih dulu mengalami hal ini. Ya, dia selalu menjadi yang pertama dan sangat hebat mengenai ilmu pertahanan diri. Abang pertamanya itu menguasai dengan sangat baik. Sedangkan dia, dia ikut serta karena ini akan menjadi tradisi dan sialnya mereka angkatan pertama. Matanya menatap botol-botol minum mereka. Empat botol jumlahnya. Dengan masing-masing 2 liter setiap botolnya.
"Hen, jangan bengong," Arsyad menepuk pundaknya.
Mereka sudah diturunkan di titik nol dan harus bergerak menuju pos penjemputan mereka sendiri yang berjarak 3 hari perjalanan. Ronald sendiri yang membungkus peralatan untuk mereka bawa dan mereka tidak diberi tahu apa isinya.
"Sini dulu, kita re-group. Buat rencana," Arsyad sudah berjongkok dan mereka mengikuti.
"Bang, ini Ayah kenapa sih? Gue nggak ngerti sama pikirannya. Punya anak bukannya disayang-sayang tapi malah disuruh latihan perang. Yang mau masuk militer itu cuma elo, Bang. Kenapa kita jadi ikut kebagian?" itu kalimat pertama Mareno.
"Lo pilih mau debat terus dan bertanya-tanya apa alasan Ayah, atau mau jalan terus dan selamat dari ini semua?" sahut Arsyad tegas.
"Ayah nggak serius kan? Soal kita nggak dikasih radio darurat?" Mareno lagi.
"Buka kantong kalian. Taruh di tanah, jadi kita tahu semua bekal yang ada," ujar Arsyad lagi.
Mareno masih bersungut kesal sambil melakukan apa yang Arsyad pinta. Hanif dan dirinya sendiri juga mengeluarkan apa-apa yang ada di kantong milik mereka.
Satu botol minum 2 liter, satu makanan kaleng, tiga butir kurma, kapas dan satu golok tajam serta peta hanya pada kantung milik Arsyad saja. Semua kantong isinya sama kecuali golok dan peta tadi.
"Gue bawa pisau lipat. Ronald juga kasih Abang peta." Hanif kali ini bicara sambil mengeluarkan benda itu dari saku celana. "Ini cukup, tapi sulit. Ayah benar-benar serius."
"Serius mau bunuh kita?" Mareno berteriak kesal. "Jarak perjalanan tiga hari, ini makanan buat gue cuma cukup setengah hari. Kita nggak dikasih tenda, senter, korek api paling nggak. Gila!!"
"Itu gunanya kapas Ren, kan kemarin udah diajarin cara buat api. Jangan sampai kapasnya basah." Arsyad kali ini.
"Ya tapi tetep aja, Bang. Kapas, kayu dan daun? Kita hidup di jaman apa sih? Korek paling nggak, korek." Mareno menyahut singit.
"Hey, nenek-nenek cerewet. Bisa diem nggak? Pusing gue," ujarnya kesal menatap Mareno yang sedari tadi mengeluh saja.
Arsyad menghirup nafas segera memotong keluhan Mareno. "Apa yang terpenting, yang sudah diajarkan Ronald? Reno?"
"Air dan makanan," jawab Mareno masih dengan wajah kesal.
"Hen?" tanya Arsyad padanya.
"Arah, jangan tersesat. Patahkan ranting dan tinggalkan jejak. Jadi kita tidak berputar di tempat yang sama."
Kepala Arsyad berpindah ke Hanif. "Nif."
"Api, dan berhenti sebelum gelap," jawab Hanif.
"Satu lagi. Waspada. Jangan bunuh sembarang binatang kecuali untuk makan. Juga, jika ada yang tertinggal di belakang terlalu jauh, ingat siulan yang diajarkan Ronald. Diam di tempat dan terus buat bunyi yang sama. Jadi mudah untuk dicari. Paham?" Arsyad melanjutkan.
Mareno sudah memijit dahi terlihat kesal sekali tapi tidak mau memaki lagi. "Punya orangtua kok gila begini."
"Sudah, Ren. Gue pernah ke sini dan berada di sini. Jadi, harusnya bisa. Asal, kita semua bekerja sama." Arsyad berujar lagi.
"Hen, hitung perencanaan air."
"Oke, menurut rumus Watson untuk menghitung kebutuhan air berdasarkan berat tubuh. Ini minimal ya. Harusnya...hmmm." Otaknya berputar mulai menghitung.
2,447 – (0,09145 x usia) + (0,1074 x tinggi dalam cm) + 0,3362 x berat dalam kg) = berat total tubuh dalam liter, gumamnya dalam hati sambil menatap botol-botol minum itu.
"Oke, sore hari besok kalau kita bisa menghemat, kita sudah harus mengisi botol-botol ini dengan air yang baru."
"Mahendra akan bilang dan perintahkan jadwal minum sesuai hitungan," perintah Arsyad sambil menarik nafasnya.
"Kenapa, Bang?" tanya Hanif.
"Nggak ada sungai, kita di tengah-tengah hutan."
"Semalam hujan, Bang. Old fashion way aja." Hanif menatap Arsyad kemudian abangnya itu mengangguk sementara dia sungguh tidak mengerti. Hanya benar-benar berharap dua abangnya itu tahu apa yang mereka lakukan untuk menolong hidup mereka sendiri di sini.
"Makanan nggak dihitung juga?" tanya Reno lagi.
"Kita bisa nggak makan satu minggu asal minum, Ren. Lagian jangan khawatir, Tuhan sudah kasih kita kulkas besar," ujar Hanif sambil berdiri dan menjinjing kantungnya.
"Dimana kulkas besarnya?" tanya Mareno heran.
"Lihat ke sekeliling. Ini kulkas besarnya. Semua kebutuhan hidup disediakan di sini. Gue dan Arsyad akan kasih tahu caranya."
"Bang, serius gue nggak mau makan makanan aneh. Sumpah nggak mau." Mareno masih ribut saja.
Kemudian dia tertawa melihat ekspresi panik Mareno yang lucu sekali. Itu membuat kedua abangnya juga tertawa.
"Gue nggak yakin Mareno bertahan sih, Bang. Kita tinggalin aja apa?" ujarnya usil.
"Ide bagus." Arsyad mengangguk-angguk sambil berjalan di depan.
"Hen...awas lo ya."
"Hey hey, berdoa dulu," ujar Hanif masih berdiri diam.
Kemudian Mareno adalah yang paling cepat memejamkan mata dan berdoa. Mereka tambah tertawa.
"Kalau ada maunya aja lo, berdoa serius. Marenooo Marenooo." Hanif mendengkus kesal tapi kemudian menundukkan kepala juga.
***
Sementara di tempat lain yang indah, di waktu yang sama.
"Ayolah Lexa, gaun ini sama cantiknya." Penjahit pribadinya mencoba membujuk dan itu membuatnya tambah kesal.
"Aku minta warna magenta, bukan baby pink. Itu terlalu pucat untuk kulit aku dan aku akan datang ke pesta dansa. PESTA. Ya Tuhan, ini benar-benar bencana. Kamu merusak segalanya, dasar tidak becus."
Jeritannya membuat mama mengetik pintu.
"Halo Sayang, ada apa?" Mamanya sudah masuk ke dalam kamar.
"Hah, akhirnya Mama pulang. Pecat penjahit Mama ini. Dia tidak becus. Aku minta magenta, dia berikan baby pink."
Sang penjahit sudah berdiri dengan wajah pucat.
"Edwina, ini kesalahan fatal. Harusnya magenta." Mamanya menatap penjahit keluarga mereka itu.
"Maafkan saya, tapi sebelumnya Nona meminta baby pink dan baru saja mengganti pesanannya sore kemarin. Saya tidak punya waktu untuk membuat yang baru."
"Lexa, apa benar begitu?" Mama menatapnya.
"Aku baru saja menemukan sepatu heels cantik berwarna magenta siang kemarin, Mama. Aku ingin warna gaunku sama."
Mamanya menatap Edwina lagi. "Dia ingin gaun yang sama. Apa solusimu sekarang?"
Edwina hanya menunduk diam saja.
"Mama, aku harus pergi dalam waktu beberapa jam lagi. Oh, ini bencana. Aku akan dipermalukan nanti."
Mamanya memijit dahi sambil mengeluarkan ponsel. Dia menghubungi salah satu kolega. Mama bicara dengan bahasa perancis dengan aksen yang sempurna. Kemudian dia mengangguk dan tersenyum lalu berterimakasih.
"Sayang..."
"Aku tidak mau jika bukan Dior," ujarnya keras.
"Ya, Mama tahu. Gaun itu akan tiba satu jam lagi." Mamanya berjalan mendekat lalu menilai tubuhnya. "Berapa banyak karbo yang kamu makan?"
"Maa..."
Mamanya menggeleng kuat. "Mama akan periksa pola makanmu selama kami pergi kemarin dan merubahnya. Atau selamanya kamu tidak akan bisa memakai Dior lagi."
Lalu mamanya berbalik disusul dengan Edwina. Meninggalkan dia sendiri menatap cermin di walk in closet kamarnya yang besar.
Apa dia terlalu gemuk? Dua hari lalu dia pergi ke dokter kecantikan langganan dan dokter itu mengatakan bahwa berat tubuhnya sudah sesuai. Oh, atau ini gara-gara burger sialan itu. Ya, dia memutuskan mencoba satu gigitan saja dan malahan berakhir menghabiskan semua. Ini salah Claudia, sahabatnya.
Anyway, harusnya masih bisa ditutupi. Edwina memang bodoh perihal tadi, tapi dia bagus untuk menutupi hal-hal seperti ini. Awas saja jika Edwina buat kesalahan lagi, dia akan meminta mama memecat Edwina.
Kemudian senyumnya terkembang. Membayangkan pesta para senior yang akan digelar malam nanti. Brad, kakak senior yang tertampan itu mengundangnya. Oh, ini akan sempurna.
***
Kembali ke hutan satu hari kemudian.
Lagi-lagi Mahendra menatap botol minumnya. Ternyata medan yang ada tidak seperti yang dia bayangkan. Hutan yang lembab, becek, dengan segala jenis binatang berkeliaran. Ini sudah hari kedua dan mereka mulai kehabisan perbekalan, juga tenaga.
"Bang, tunggu Bang." Mareno yang berada paling belakang sudah berujar kepayahan.
Arsyad, Hanif dan dia berhenti. Sesungguhnya dia juga sedikit pusing. Gejala awal kekurangan cairan adalah disorientasi. Apalagi ditambah saat ini baju mereka basah. Ya, semalam mereka gagal membuat api karena terlambat berhenti. Ternyata gelap karena hujan menghampiri lebih cepat.
Mereka duduk pada batang pohon yang tumbang. Arsyad mengeluarkan persediaan minumnya.
"Minum, Ren." Arsyad memberikan botol minumnya yang tanpa basa-basi sudah Mareno tenggak.
Kepalanya menggeleng keras, dan dia berdiri menatap Mareno yang sedikit pucat. Hanif juga sedang memeriksa kondisi Mareno.
"Sepatu lo basah, Ren. Lepas." Hanif duduk di sebelah Mareno yang sedang melepas sepatu bootnya.
"Lo ngapain, Bang?" tanyanya pada Hanif.
"Jangan, biar gue aja." Arsyad melarang Hanif membuka sepatunya lalu dia membuka sepatu miliknya.
"Pakai, Ren," ujar Arsyad memberi sepatunya pada Reno.
"Lo pakai apa?" tanya Mareno.
"Sebenarnya di hutan hujan begini, lebih baik nggak pakai alas kaki. Karena medan yang cenderung becek buat kaki lo dingin, dan kemungkinan bisa kena kutu air atau jamur. Kalau digaruk lo bisa luka dan berpotensi demam. Tapi sekarang lo pakai dulu. Besok lo coba apa lebih enak pakai sepatu? Atau tanpa alas kaki sama sekali." Arsyad menerangkan.
Dia melihat Hanif terus membuka sepatu dan tidak menghiraukan perintah Arsyad. Lalu, dia melakukan hal yang sama. Oke, Hanif memang sudah terbiasa bertelanjang kaki hampir dimanapun. Ini kali pertama untuknya tapi penjelasan Arsyad sangat masuk akal dan dia juga mulai merasakan kaus kakinya yang basah. Dan demam di tempat antah berantah seperti ini bukan pilihan yang baik.
Tangannya membuat simpul yang sama untuk mengikat tali sepatu hingga dia bisa sampirkan di pundak. Mengikuti apa yang Hanif dan Arsyad lakukan. Mereka bertiga bertelanjang kaki.
"Lebih baik kita bermalam di sini, Bang," ujar Hanif.
Dia memejamkan mata dan menghirup nafas dalam. Mencoba merasakan kelembapan udara.
"Harusnya mau turun hujan," ujar Mareno. Bisa merasakan wangi alam yang sedikit berbeda.
"Oke. Buat atap dan alas seperti semalam. Hen, coba buat api sementara gue dan Hanif cari minum dan makan."
Dia mengangguk kemudian kedua abangnya itu pergi.
"Bantuin gue, enak aja lo," sungutnya pada Mareno.
"Hen, Hen sumpah. Ini gue mulai mengigigil. Kalau gue mati di sini, gue bakalan datengin Ayah tiap malem. Ngeledekin dia sampai dia kesal." Mareno malah tertawa tapi berdiri sambil sedikit terhuyung juga.
Dasar bocah gila.
Mereka berdua mulai mencari dahan dan pohon untuk mereka berteduh serta mulai bekerja menyiapkan tempat istirahat malam ini.
Malamnya.
Mareno demam tinggi. Dugaan Arsyad dan Hanif adalah nyamuk, atau gigitan serangga lain yang Mareno tidak sadar. Wajahnya pucat sekali. Sesaat tadi memang hujan, tapi karena mereka benar-benar berada di dalam gelapnya hutan, daun-daun pohon yang tinggi menaungi mereka dengan baik. Hingga hujan berhenti dan mereka tidak terlalu kebasahan.
Arsyad dan Hanif kembali dengan botol-botol minum yang terisi seperempatnya. Lumayan, daripada tidak ada sama sekali. Kata Hanif, mereka mendapatkan air itu dari dalam batang pohon yang berongga. Air terasa jernih dan lebih nikmat. Sedangkan makanan? Arsyad berhasil menangkap sesuatu yang sudah terpotong saat mereka berdua kembali. Dua abangnya itu tidak pernah bicara jenis daging apa itu. Oh, sungguh dia tidak perduli.
Bagusnya dia berhasil membuat api. Saat itu terjadi dia bersorak kegirangan hampir menari. Gila, ini gila. Padahal jika mereka berada di kota, hanya cukup menjetikkan korek api atau menyalakan kompor saja. Sedikitnya dia setuju dengan ayah, sungguh dia merasa jauh lebih bersyukur dengan apa yang mereka miliki di kota. Tangannya terasa perih terbakar karena bergantian memutar kayu dengan Mareno, lecet sana-sini. Hasilnya sepadan. Arsyad dan Hanif sedang membakar daging yang tadi mereka tangkap serta sudah mereka kuliti dan potong. Mereka makan dalam diam.
Lalu bagaimana Mareno? Setelah makan, dia meminta Mareno membuka pakaiannya dan memeriksa dengan seksama. Apa benar ada gigitan seranggga? Karena jika iya, maka ini akan sangat berbahaya. Atau, Mareno hanya kelelahan saja. Yang mana? Setelah tiga puluh menit mengecek, tidak ada gigitan apapun. Harusnya Mareno hanya kelelahan. Hanif dan Arsyad sedang berdiskusi untuk menemukan pepohonan yang daunnya bisa dijadikan obat. Tapi hutan sangat gelap dan berbahaya jika malam tiba. Seluruh mahluk malam keluar untuk berburu. Berada diam dan di dekat api adalah pilihan terbaik.
"Buka baju, pakai celana aja." Dia sudah berujar. "Mareno harus turun demamnya." Kausnya sudah dia buka dan letakkan dekat api agar tidak basah.
Hanif diam sesaat menatapnya. Seperti mengerti apa rencananya. "Dulu, kalau kita demam, Mama jarang kasih kita obat. Hari pertama, biasanya Mama akan peluk kita langsung. Biar kita turun demamnya. Skin to skin. Bisa jadi berhasil." Abangnya itu sudah membuka bajunya juga.
"Najis gue nggak mau pelukan sama kalian." Mareno mendesis marah.
"Heh, jangan banyak ngomong kalau nggak punya solusi," ujarnya kesal. "Lo pikir kita doyan meluk lo."
Arsyad tertawa melihat mereka berdua. Akhirnya mereka duduk membelakangi Mareno yang berada di tengah punggung mereka bertiga. Sama-sama bertelanjang dada dan berusaha mendekatkan diri mereka pada api yang dibuat, juga pada tubuh Mareno yang terasa panas.
"Gue kangen sama Mama," ujarnya tanpa sadar sambil memeluk lutut.
"Apalagi gue," timpal Hanif.
"Gue kangen sama Sharon..." sahut Reno dengan suara bergetar menggigil.
"Renooooooo...." Sahut dia dan Hanif. Itu membuat Arsyad tertawa lagi.
***
Mereka tiba di hari ke empat pagi, karena Arsyad, Hanif dan dia sendiri bergantian menggendong Mareno yang kondisinya tidak membaik. Baru kali ini dia melihat ayahnya menangis dalam diam melihat mereka kembali. Atau bagaimana ayahnya langsung berlari menyambut mereka sambil memapah Mareno.
Tapi akhirnya dia mengerti, betapa mereka banyak diberkahi dengan kemudahan selama ini, bahwa bertahan hidup sangatlah sulit, bahwa makanan dan minuman itu harus disyukuri. Juga di atas segalanya, bahwa tali persaudaraan itu yang terkuat dan tidak akan pernah terputus. Hanif dan Arsyad punya kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua, mudah. Tapi dua abangnya itu tidak pernah mengeluh, tidak pernah berpikir satu kali pun untuk meninggalkan mereka. Malahan mereka berdua memberikan semua yang mereka punya agar adik-adiknya bisa melewati segalanya. Padahal tubuh mereka sama lelahnya. Ya, tali persaudaraan adalah yang terkuat. Dia mengerti itu saat ini.
Tubuhnya sendiri ambruk ke tanah, kelelahan menghantam tiba-tiba. Kemudian dia tidak sadarkan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro