Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 8

halooooo!!!

yg kangen OURS siapaaa????

maapin aku, gaes. kuliah ternyata sibuk banget :(

bulan kemarin aku full ospek dan sekarang udah mulai merasakan tugas-tugas numpuk ditambah mau join organisasi. gimana, ya......

jadwal update-ku jadi berantakan ini huhuhuhuhu........

penasaran nggak sama video yg dikirim ke Jiya itu apa sampe bikin dia manipulasi jawaban ujian??

gas nggak, nih?

cusss!

.

Pasca ujian di Ruang Pengawasan dan Pengumuman.

Bu Laras dan Ms. Grace berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, mengawasi jalannya ujian melalui monitor penampil CCTV 20 ruang yang digunakan. Di belakang mereka, Zico berdiri tegap mengamati para staf yang sibuk di depan komputer. Mereka memantau jawaban seluruh murid dan mencatat setiap kecurangan yang terjadi.

Ms. Grace menaikkan sebelah alisnya saat melihat sosok pria di ruang 04 yang tertidur setelah menyelesaikan ujian hanya dalam waktu 45 menit.

"Mana nomor peserta 028?" tanya wanita berumur 40 tahun itu. Ia mendekat ke arah komputer bagian tengah, melihat setiap soal terjawab berwarna hijau.

Bu Laras meliriknya. "Apa ada yang salah?"

"Dia menyelesaikan ujiannya dalam waktu kurang dari satu jam." Kepala Ms. Grace mengangguk satu kali. "Mengesankan."

"Jonathan?"

Senyum miring terbit di bibir Bu Laras, kembali dirinya mengingat semester pertama sekitar dua tahun lalu. "Dia memang jenius, Miss. Bahkan saat kelas sepuluh pernah mendapat nilai sempurna."

"Pelajaran apa?"

"Wajib, semuanya."

Bola mata Ms. Grace bergerak tertarik. "Semuanya?" Ia tersenyum. "Apa hanya saat kelas sepuluh?"

Bu Laras berdecak. Mengingat prestasi Jo yang berubah drastis hanya dalam waktu singkat membuat kepalanya pening. "Mendadak peringkatnya turun paling bawah. Dia menjawab salah semua soal ujian. Saya tidak tau pastinya, tapi yakin kalau dia sengaja."

"Kenapa sekarang dia kembali?" tanya Ms. Grace entah kepada siapa.

Bu Laras melihat komputer yang menampilkan jawaban tersimpan milik Jo. Ia terkesan dengan semua warna hijau itu. Wajahnya berubah senang. EIS mendapatkan kembali murid jeniusnya.

"Jonathan?" Bu Laras tersentak kaget saat menemukan sosok Jo berdiri di depan pintu rumahnya. Dia menatap Jo bingung. "Ada apa ke rumah ibu pagi-pagi begini?"

"Saya ingin membuat kesepakatan," ujar Jo langsung pada intinya. "Saya harus ikut Ujian Kelas Bintang nanti."

Bu Laras mengerutkan keningnya, tak menyangka Willard berhasil membuat Jo menyerah. Dia terkejut Jo langsung datang untuk mengikuti ujian, penasaran umpan apa yang Willard berikan pada cucu keras kepalanya ini.

"Kamu yakin? Ibu nggak akan tanggung-tanggung dengan kamu, loh."

Jo mengangguk. "Apapun saya lakukan."

Bibir Bu Laras mengulas senyum. "Baiklah. Mari buat kesepakatan, Jo."

"Apa yang Ibu mau?"

"Hanya satu." Bu Laras mengarahkan telunjuknya pada Jo. "Jangan buat masalah lagi di EIS. Kamu sanggup?"

Tidak. Tentu saja Jo diam karena tak bisa menyanggupi kesepakatan yang diajukan oleh kepala sekolahnya itu. Jo mungkin boleh langsung setuju, tapi dia tak bisa menjamin bagaimana perilakunya di masa depan nanti.

"Nggak sanggup?" tanya Bu Laras mengulang. "Ibu nggak masalah kalau kamu nggak ikut ujian. Masih ada Rey yang bisa diandalkan untuk membanggakan EIS."

Jo terkekeh sinis. Dia tahu Bu Laras hanya mementingkan prestasi sekolah.

"Bagaimana dengan nilai sempurna setiap mata pelajaran minat?" Jo menawarkan hal lain. "Saya tidak akan membuat masalah dua minggu ke depan dan mendapatkan nilai sempurna ujian ini."

"Nilai sempurna?" Tidak mampu mengelak, Bu Laras tergiur dengan penawaran itu. Sudah lama EIS tidak masuk berita nasional yang menyatakan muridnya mendapatkan nilai sempurna. "Hanya dua minggu, ya?"

"Saya mungkin bisa tahan dua minggu, tapi tidak lebih."

Kepala Bu Laras mengangguk singkat. "Oke, deal."

Bu Laras menundukkan kepala, diam-diam tersenyum. Sepertinya dia harus segera menghubungi reporter. Ah, tidak. Sebaiknya hubungi Willard lebih dulu. Jo benar-benar melakukan tugasnya dengan baik.

Ms. Grace memeriksa jam di pergelangan tangannya. Waktu ujian hampir berakhir. Murid yang dinyatakan melakukan kecurangan juga sudah didiskualifikasi. Saatnya untuk memberikan satu soal tambahan sebagai penentu akhir skor total.

"Miss, kita sudah mendapatkan dua puluh peringkat teratas." Zico menghampiri Ms. Grace dan berujar tenang.

"Saya akan membacakan soal tambahan. Rekap dua puluh murid teratas itu untuk pemberian skor akhir dari soal tambahan ini."

"Baik, Miss."

bab 8
[ lima murid teratas ]

Sejak kemarin, Mela meneror Jiya. Mulutnya memang layak mendapatkan apresiasi karena keceplosan. Kabar baiknya, Mela tidak tahu siapa pacar rahasia Jiya sampai mereka pulang sekolah dan mimpi indah.

Kabar buruknya, berita Jo berpacaran dengan murid baru keluar pagi ini dari instagram lambe turah EIS. Tentu saja Mela kembali mengirim banyak chat ke Jiya untuk mengonfirmasi kebenaran dari fakta mengejutkan itu.

Tolong, salahkan saja Jo. Tiba-tiba Jo membuka akun instagramnya, tidak ada lagi kata privasi. Jo langsung mendapatkan banyak pengikut, nyaris menyamai Rey. Yang menjadi masalah hingga menimbulkan rumor kencan adalah kenyataan bahwa Jo hanya mengikuti satu akun, yaitu milik Jiya.

Jiya menyentuh kepalanya frustasi. Ia terpaksa berangkat sangat pagi dan langsung pergi dari kelas, mencoba bersembunyi dari ratusan pertanyaan anak-anak sekolah, terutama Mela.

Jiya belum sanggup menghadapi respon sahabatnya. Sejak awal dia sudah diberi mandat untuk menjauhi murid pembuat onar seperti Jo, tapi Jiya justru mengencaninya.

"Mau sembunyi di mana coba?" Gadis itu mengerang frustasi. Dia tak tahu arah, justru berakhir nyasar entah ke mana. Sebenarnya ada jalan naik tangga atas, tapi mengarah langsung pada atap sekolah. Jika di sana bertemu dengan Jo, yang ada rumor semakin panas.

Jiya mendesah panjang, berjalan dengan menghentak kaki kasar. Sepertinya dia sampai di halaman belakang sekolah.

Tunggu!

Matanya mendelik.

Halaman belakang?

"Tolol! Berani lo sama gue?" Terdengar suara seorang gadis tengah berdebat. "Bilang apa tadi? Ngomong langsung depan gue, bitch!"

Jiya meneguk ludahnya kasar. Ia melangkah penasaran, meski sudah tahu milik siapa suara itu. Dapat dia lihat, Aga mencekal dagu siswi berambut lurus sepinggang. Membuat siswi tersebut merintih sakit, minta dilepaskan.

"Sakit, Ga. Tolong lepasin." Suaranya tercekat. Kuku panjang Aga menancap pada dagunya, menyisakan luka cakar di sana.

"Sakit?" Aga mengeluarkan kekehan sinis. "Muka murahan lo itu pantes disakiti."

"Gue salah apa, sih, Ga?"

Aga menatapnya jijik, muak dengan semua drama yang dibuat oleh Fanya. Padahal dia tidak akan melabraknya jika Fanya sendiri tak mencari masalah lebih dulu.

"Salah lo berani judge di belakang gue. Lo kira gue nggak tau, hah?"

Fanya menatapnya ketakutan. "Tapi gue nggak salah, kan?"

Tangan Aga terkepal di samping tubuhnya. "Jangan ngomong sembarangan."

"Gue tau lo gimana, Aga. Lo pake joki waktu ujian, kan?" Fanya menaikkan sudut bibir, memberikan kesan remeh.

"Diem lo!"

Fanya menatap telapak tangan Aga yang diperban. Ada jejak merah di sana. "Kayaknya gue nggak ngomong sembarangan, deh. Bener kan, Ga?"

Aga merapatkan gigi-giginya. Ia mengangkat tangan, menampar pipi Fanya keras dalam satu ayunan.

Plak!

"Gue bilang diem!"

Di belakang mereka, Jiya menutup mulut kaget. Keterkejutannya bertambah saat Aga menyambar rambut Fanya, menjambaknya.

Meski kesakitan, Fanya justru tak ragu melempar senyum ejekan. Ia menatap Aga tajam, meski kini wajahnya berantakan. Fanya bahkan tidak membalas jambakan rambut dari Aga. Ia membiarkan.

"Kenapa nggak lawan?" Aga mendekat. "Takut?"

Bibir Fanya tersungging miring. "Pikir lo gue beneran takut?" bisiknya.

Aga membuang muka untuk melepas tawa kosong. Sosok Fanya yang sebenarnya sudah muncul. Dia tahu, gadis bermuka dua di depannya ini memang sering mencari masalah dengan Aga.

"Bokap lo turun tangan buat bantu, kan?" lanjut Fanya berani. "Dia nggak mungkin biarin anak satu-satunya gagal masuk Kelas Bintang."

"Bacot!" Tangan Aga semakin menarik kuat rambut Fanya, membuat empunya mengaduh hingga nyaris jatuh. "Jangan cari masalah sama gue, anjing!"

"Ah, karena lo nggak akan biarin gue hidup tenang? Karena lo nggak akan dikeluarin dari EIS?" Fanya menaikkan alisnya. "Stop banggain diri cuma karena bokap lo doang, Ga. Nggak tau malu?"

Aga menatapnya tajam. "Are you sure, Fanya? Gue nggak tau malu?"

"Kenapa? Salah?" Kepala Fanya menggeleng. "Itu fakta. Sejak dulu lo cuma boneka bagi bokap lo sendiri."

"Bangsat!"

Bugh!

Wajah Fanya terlempar ke samping begitu Aga memukulnya. Ia sampai terjatuh, meringis sakit karena sudut bibirnya robek. Tak puas memberikan satu pukulan, Aga mendekat dan berdiri di atas tubuh Fanya.

Mencekiknya.

"Boneka?" Ia tertawa. "Gue boneka bokap?"

Fanya mengerjapkan mata. Tangannya sibuk meraih lengan Aga, mencoba melepaskan cekikan gadis itu. Ia mulai kehabisan napas sampai wajahnya merah.

"Lo nggak punya kaca di rumah? Lo yang nggak tau malu, Fanya. Bukan gue."

Di belakang sana, Jiya melotot. Kepalanya bergerak ke samping kanan kiri untuk mencari bantuan, tapi tak menemukan ada orang lain. Melihat bagaimana gadis yang dicekik Aga berusaha melepaskan diri membuatnya merasa kasihan, sekaligus teringat pada dirinya sendiri.

Pada akhirnya Jiya memutuskan untuk maju, bergegas lari menghampiri Aga dan Fanya. Begitu sampai, dia mendorong Aga kuat hingga berhasil membebaskan Fanya dari cekikan Aga.

Fanya menundukkan kepala dalam, terbatuk-batuk sambil menepuk dadanya untuk memasok oksigen. Sementara Aga menyugar rambut pendeknya ke belakang, menatap Jiya marah. Ia mendekat.

"Lo ngapain?"

Jiya tak menjawab, justru membantu Fanya untuk berdiri. Sejenak ia meringis melihat luka berdarah di bibir gadis malang itu. Ditambah pipi merah berbekas cap lima jari. Pasti sakit, pikirnya.

"Ke UKS, ya."

Jiya menuntun Fanya untuk pergi mengobati lukanya. Tahu bahwa diabaikan, Aga tertawa sinis. Kakinya melangkah dan ia menarik lengan Jiya.

"Woi, gue ngomong sama lo."

Kesal, netra Jiya terangkat menatap Aga. "Apa?"

Aga mengerutkan kening, terkekeh tak percaya. "Gue ada urusan sama dia," tunjuknya pada Fanya.

"Lo nggak liat dia luka?"

Kaki Aga melangkah lebih dekat. Tangannya dilipat di depan dada. "Terus masalahnya?"

"Dia harus ke UKS."

"Siapa lo berhak mutusin itu?" Aga tersenyum sinis. "Dia mangsa gue."

"Gue berhak karena gue temennya."

Sebelah alis Aga terangkat naik. "Temen?"

"Minggir, gue mau lewat."

"Lo Jiya, kan? Murid baru yang dapet undangan EIS. Kemarin satu ruangan sama gue." Aga menebaknya dengan tepat.

"Tambahan, pacar Jo," imbuhnya.

Jiya melotot. Bukan hanya dia saja yang kaget, Fanya juga melebarkan mata sambil melirik bingung gadis yang membantunya.

"Pacar Jo?"

Jiya tak menjawab kebingungan Fanya. Dia hanya diam sampai Aga kembali berbicara.

"Fine. Hari ini dia bebas." Telunjuknya mengarah pada Fanya. Aga menatap Jiya dan berbisik, "Tapi sebagai gantinya, lo jadi mangsa gue."

Aga menjauhkan wajahnya, tersenyum lebar. Oke, Jiya hanya bisa meneguk ludahnya takut.

Dering ponsel yang ada di saku seragam Aga terdengar. Ia melihat username ayahnya muncul di layar. Bibir Aga mengeluarkan decakan malas, lalu menggulir pada ikon merah. Matanya kembali menatap Jiya.

"See you again, Ji." Dengan tersenyum miring, Aga menepuk bahu Jiya dua kali dan berlalu pergi dari halaman belakang EIS.

Jiya mengusap dadanya tegang. "Gila, auranya nggak main-main."

Di samping itu, Fanya menjauhkan dirinya. Ia berdehem canggung, menatap Jiya dari ujung kaki sampai kepala. "Lo... pacar Jo?"

"Eh?" Atensi Jiya teralihkan. Tangannya bergerak untuk menggaruk belakang kepala karena bingung harus menjawab bagaimana. Tapi sekarang sudah tidak ada celah untuk menyangkal, seantero EIS sudah tahu kabarnya. "Iya, hehe."

"Kok bisa?" Kepala Fanya menggeleng. "Maksud gue, nggak pernah ada cewek yang deket sama Jo selain Aga. Dan tiba-tiba lo murid baru jadian sama dia?"

Jiya tersenyum masam.

Mau tau banget urusan pribadi orang ya, Kak?

"Ya anggap aja keajaiban dunia, deh." Ia memperhatikan wajah memar di depannya. "Kayaknya gue nggak perlu anter ke UKS aja, ya? Kaki lo masih bisa jalan juga. Tadi gue nolongin karena kasihan. Bullying itu bukan sepenuhnya salah pelaku, tapi korban juga. Ada banyak cara buat melawan, tapi lo diam aja."

"Bullying?" ulang Fanya. Sebelah alisnya terangkat tak mengerti, agaknya Jiya sudah salah paham dan menyangka dirinya kena bully. Ia pikir ini hal yang menguntungkan baginya sebab banyak orang akan semakin membenci Aga. "Korban diam itu karena mereka nggak punya pilihan."

"Ada." Tanpa sadar, tangan Jiya terkepal. Ia merasa berhadapan dengan dirinya sendiri di masa lalu. "Selalu ada pilihan untuk melawan."

"Apa?" Fanya berjalan mendekat, melihat bagaimana tangan Jiya menggenggam kuat. "Pindah sekolah?"

Kepala Jiya terangkat untuk menatap gadis itu. "Itu menghindar namanya," lanjut Fanya.

Jiya mengulum bibirnya ke dalam. Diam-diam dia menyesal telah membantu Fanya. Harusnya Jiya pergi saja tadi. Harusnya dia tak ikut campur. Orang di depannya tidak tahu rasa terimakasih sama sekali.

"Gue nggak tau kenapa lo bisa jadi pacar Jo. Tapi gue tau pasti, Jo itu nggak punya yang namanya hati. Jadi kalo emang kalian pacaran, lo cuma mainannya." Fanya tersenyum miring. "Sorry juga, lo incaran Aga selanjutnya karena gue. Gila, sih. Dua-duanya punya urusan sama lo."

Jiya termenung, membiarkan Fanya berlalu pergi meninggalkan dia sendiri. Ia menengadahkan kepala, mengusap wajah frustasi. Apa yang sudah dia lakukan?

Rey, Jo, Aga.

Kenapa dia harus berurusan dengan ketiga orang paling dihindari murid-murid EIS itu?

Kelopak matanya memejam.

Mampus!

"Kepada seluruh siswa-siswi Earth International School dimohon memeriksa pengumuman kelolosan Kelas Bintang dan nilai Try Out 1 yang sudah ditempel di depan kelas masing-masing."

Pengumuman yang keluar dari pengeras suara sekolah membuat ia kembali membuka matanya. Jiya mengerang lirih, lupa jika ini adalah hari pengumuman Kelas Bintang. Dia belum siap melihat hasilnya.

Double shit!

.

Koridor sudah penuh dengan siswa-siswi yang berlomba-lomba menuju depan kelas mereka. Jiya harus memperhatikan langkahnya supaya tidak jatuh. Dia terus meyakinkan diri untuk tidak kecewa dengan hasilnya, tapi pasti sia-sia. Jika nama Jiya tidak ada dalam daftar lima murid teratas, dia tak tahu bagaimana harus menghadapi hari.

Jiya benar-benar harus masuk Kelas Bintang. Dia tidak boleh dikeluarkan dari EIS. Setidaknya jika menjadi murid kelas paling favorit tersebut, Bu Laras tidak akan macam-macam dengannya. Jiya akan menjadi salah satu aset yang patut dijaga.

"Minggir!" Suara dingin seorang gadis membuat tubuh Jiya menyingkir ke samping. Ia sedikit meringis mendapati wajah Aga di samping, teringat akan kejadian di halaman belakang sekolah.

"Rey peringkat pertama?" Murid di belakang Jiya bertanya dengan nada keras.

"Bukan!"

"Hah, maksudnya?" Sahutan suara mulai terdengar. Situasi bertambah ricuh. Jiya meneguk ludahnya susah payah.

Rey bukan peringkat pertama?

Wajahnya memucat. Pikiran Jiya berkelana pada video yang dikirim Rey beberapa hari lalu. Dia menggelengkan kepala. Rey tidak akan sejahat itu padanya. Dia yakin.

"Permisi," ujarnya pelan menerobos barisan murid yang semakin banyak. Begitu sampai di depan, mata Jiya tak bisa menatap ke arah selain dua nama teratas di kertas HVS yang tertempel pada majalah dinding.

"Jonathan Anderson." Untuk sekian detik hanya ada keheningan di sekitar Jiya. Ia menolehkan kepala ke belakang, hampir menabrak dada bidang seseorang. Kepalanya mendongak, melihat wajah Rey tampak dingin menatap lurus.

"Jo dapet peringkat pertama, njir!"

"Rey yang kedua, hah? Serius ini?"

"Gila, nilainya hampir sempurna."

"Jihanna Adenium siapa, woi?"

Telinga Jiya berkedut begitu mendengar namanya disebut. Ia membalikkan badan lagi, melihat deretan nama di lembar tersebut.

"Murid baru itu bukan, sih?"

Bisikan keras mulai terdengar ricuh. Mereka tidak kembali membicarakan Rey dan Jo, justru sibuk menghakimi Jiya yang bisa melesat naik dan masuk lima besar. Jiya menunduk, mengangkat telapak tangannya untuk menutupi wajah. Sedangkan Rey sudah pergi entah ke mana. Yang ada di pikiran Jiya sekarang hanya satu.

Rahasianya dan Rey.

Meski Jiya tidak mengambil singgasana Rey, tapi cowok itu juga tidak ada di posisi pertama. Jiya takut. Ia takut Rey tetap menyebarkan video itu.

"Jihanna itu pacar Jo, anjir!"

"Yang di-follow itu, ya?"

"Gue penasaran, tolong! Kayak apa sih orangnya?"

"Jiya?" Kepala Jiya mendongak, sedikit melotot melihat ada Aura di depannya saat dia ingin pergi.

"Eh, Ra." Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum canggung.

"Lo masuk Kelas Bintang, ya? Congrats, Ji. Guys, ini temen gue masuk Kelas Bintang. Keren nggak, tuh?"

Jiya memejamkan mata, memberikan umpatan lirih untuk Aura. "Gue pergi dulu, ya. Bye!!"

"Itu woi ceweknya Jo!"

"Nggak keliatan mukanya, tai!"

"Anjir, yang mana?"

"Rambut pendek, tuh! Yang lari ke samping."

Langkah kaki Jiya berlari ke sembarang arah. Dia menumpu tangan pada kedua lututnya, mengatur napas sembari celingukan. Sedikit mengais rambutnya yang berantakan, pandangan Jiya beredar. Dia sampai di depan perpustakaan, menyipitkan mata karena melihat kerumunan lain.

Bedanya, kerumunan ini tidak mengelilingi majalah dinding untuk tahu perihal peringkat Try Out kemarin. Jiya hanya menatapnya lama, tidak mendekat. Ia menutup mulut nyaris berteriak saat ada celah yang membuatnya bisa melihat perkelahian Jo dan Rey.

"Eh dilerai itu! Kasian Rey, anjir!"

"Panggil Pak Aji cepet!!"

Beberapa siswi yang melihat kejadian tersebut berteriak saat kepalan tangan Jo berhasil mendarat sempurna di pelipis Rey sampai mengeluarkan darah. Rey terdorong mundur beberapa langkah.

Wajahnya sudah pucat pasi dan Jiya sadar sejak bertemu Rey di depan majalah dinding. Tak menunggu lama, Ketua OSIS yang belum lengser dari jabatannya itu merasakan bau anyir hingga akhirnya mengusap darah yang keluar dari hidung.

"Tolongin, dong! Itu Rey berdarah!"

"PMR! PMR!"

Baru saja kaki Jiya tergerak reflek ke depan, sosok Aga datang membelah kerumunan. Tamparan keras melayang di pipi Jo. Kepala dengan rambut pirang itu berpaling ke samping selama beberapa saat.

"Bubar semua!" Bentakan dari Aga langsung disambut kepergian murid-murid EIS yang bersorak tak senang.

Aga bergerak maju, mendekat ke arah Jo yang masih belum tenang. Kedua bahu pria itu naik turun karena amarah, tatapan matanya tak bisa beralih dari Rey. Tangan Aga diarahkan pada bahunya.

"Sadar, Jo! Lo gila?" Ia beralih menatap Rey yang sedang memalingkan wajah sambil memegangi lukanya. "Kalian kenapa, sih?"

Rey melengos. "Tanya sendiri sama dia," balasnya diiringi ringisan kecil saat betisnya ditendang oleh Aga.

"Jawab yang bener."

Rey hanya diam saja. Aga berdecak dan kini menatap Jo untuk meminta kejelasan perkelahian mereka. Dua orang ini baru pertama kalinya bertengkar. Tapi Jo juga tak mau buka mulut, justru mendekati Rey lagi hingga terpaksa Aga harus mencekalnya lebih kuat.

"Jonathan!"

"Lo ganggu dia, gue ancurin lo, Rey!" desis Jo menekan kata-katanya. Ia mendorong tubuh Aga untuk menjauh darinya. Tangan Jo kini sudah kembali bertengger pada kerah seragam Rey.

"Hapus video itu!" lanjut Jo penuh peringatan.

Rey tak mampu melawan. Jujur saja, kepalanya sudah pening sejak berangkat sekolah. Melihat pengumuman hasil Try Out dan namanya berada di posisi kedua menambah beban pikiran. Ia merasa tatapannya berubah. Kepala Rey menggeleng beberapa kali, mencoba melihat lebih jelas karena sekarang pandangannya kabur.

"Rey?" panggil Aga. Ia menyentuh bahu itu, menepis lebih dulu lengan Jo. "Lo sakit?"

Tak mampu menopang tubuhnya sendiri, badan Rey ambruk ke tanah. Terduduk sambil memegang kepalanya, Aga ikut terbawa dan bersimpuh di depan Rey. Ia mulai membantu Rey untuk berdiri, memapahnya perlahan.

Sejenak Aga berhenti di depan Jo, memberikan tatapan tajam. "Selesain masalah kalian nanti." Ia beralih melirik ke arah belakang Jo. "Obatin luka lo juga. Bego banget sih, kalian. Sok jagoan main tangan."

Sambil terus menggerutu, Aga beranjak pergi bersama Rey. Jo memejamkan matanya, berusaha mengontrol emosi. Tangan yang sedari tadi mengepal di samping tubuh, kini mulai merenggang. Tarikan napasnya terasa panjang, kepala Jo menunduk dibarengi tubuhnya yang berbalik.

Jiya masih belum kembali.

Dia tetap stay di tempatnya sejak tadi, menyaksikan bagaimana Aga dengan berani melerai pertikaian dua sahabatnya. Dan sekarang, Jiya tertegun sejenak.

Bola mata Jo perlahan membalas tatapannya. Ia bisa melihat mata memerah tajam yang berubah sedikit demi sedikit, mulai meneduh. Jo mendekat, melangkah ke arahnya. Pikiran Jiya sudah buntu, bahkan kakinya terasa mati. Dia tidak bisa pergi, menunggu kedatangan pria di depannya.

Wajah penuh luka dengan warna rambut nyentrik milik Jo sepenuhnya menguasai indera penglihatan gadis itu. Jiya ingin menghindar karena takut, tapi genggaman yang mulai melingkupi kedua sisi tangannya membuat ia terhenyak.

Rasanya aneh.

Ia melebarkan mata saat Jo semakin mendekat dan menjatuhkan kepala pada pundaknya.

"Sebentar, Ji. Gue capek."

Jiya mengerjap beberapa kali. Ia mengurungkan niatnya untuk menjauh, bertahan pada posisi ini selama sekian menit.

Dan bertanya-tanya di hati.

Ada apa dengan jantungnya?

.

Tbc

Rey abis kena tonjok Jo be like:


meanwhile pawangnya:


ada yg mau gampar Jo? dia udah janji mau absen berantem 2 minggu padahal, baru 1 hari udah dilanggar🙏


Jiya karakternya emang kek masih polos-polos gitu, gaes. aku nggak bisa bikin tokoh dg good character semua, ada lah sisi negatifnya dia🤗

mau tanya, dong. kalian masih SMP, SMA, atau udah kuliah?????

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro