Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 6

dapet semangat dari Mbak Jiya, gaes!

.

"Peluang lolos 100%?"

Jiya membuka mulutnya tak percaya setelah mendengar penjelasan dari Gibran terkait hasil rapat pagi tadi di sekolah. Bahkan seluruh peserta rapat dari direktur utama EIS sampai wali murid dan guru sudah menandatangani persetujuan pengadaan Kelas Bintang.

"Katanya ujian mulai Selasa nanti. Lo yakin mau ikut?"

Gadis itu melihat ponsel Gibran, membaca setiap deret kalimat dari poin A bercabang sampai D. E-mail yang dikirimkan EIS sudah sampai dan menyatakan detail tentang seleksi Kelas Bintang yang bersamaan dengan try out pertama untuk persiapan Ujian Nasional.

"Wajib, kan, Bang?"

Gibran mengangguk. "Benefit-nya besar banget, Ji."

Jiya setuju dengan kakaknya. "Berarti gue harus ikut. Kesempatan ini nggak boleh disia-siain."

"Justru karena benefit-nya besar banget, Abang jadi ragu." Gibran menghentikan ucapannya sejenak. "Masuk sepuluh besar se-Indonesia bukan perkara enteng. Mustahil."

"Tapi ini EIS, Bang." Jiya menatap Gibran lama. "Langganan peringkat nasional."

Gibran memijit pelipisnya yang pening. "Abang punya bad feeling soal Kelas Bintang."

"Lagian gue sendiri nggak yakin bakal lolos, Bang." Jiya berdecak karena sadar saingannya di EIS tidak sedikit. Semua memiliki ambisius tinggi, apalagi perkataan Rey terus menggema di pikirannya.

Banyak orang tua yang menyekolahkan anak mereka di EIS supaya bisa masuk Kelas Bintang, terutama mereka yang ingin lolos menjadi mahasiswa di kampus ternama.

"Emang udah dikasih tau ada berapa murid yang bakal diterima?" tanya Jiya.

Kalau tidak salah, Mela pernah mengatakan tahun lalu tiap jurusan memiliki sepuluh murid dari Kelas Bintang. Artinya, ada tiga puluh murid gabungan dari tiga jurusan-IPA, IPS, dan Bahasa.

Gibran menggelengkan kepala. "Besok Senin lo bakal tau. Katanya ada pengumuman tentang Kelas Bintang buat siswa-siswi."

"Lo bisa ikut ujiannya karena wajib, tapi gue nggak menyarankan lo ambil kelas itu kalo diterima, Ji," tambah kakaknya final.


bab 6
[ Kelas Bintang ]

Tiga hari sudah berlalu dan Senin datang. Berita tentang Kelas Bintang sejak Jumat kemarin menjadi topik terpanas, bahkan grup angkatan kelas 12 tidak pernah sepi karena terus membahas tentang kelas tersebut.

Terlebih materi try out yang akan diujikan Selasa besok adalah mata pelajaran peminatan dari semester satu sampai empat. Beberapa siswa saling meminta catatan dua tahun lalu.

Sayangnya, berita Kelas Bintang berhasil lenyap dalam tiga hari dan digantikan oleh kabar kedatangan Jo setelah bolos sekolah tanpa keterangan selama satu minggu lebih. Yang lebih mengejutkan, Jo masuk dengan rambut pirangnya.

Padahal ini hari Senin.

Memang sudah biasa bagi Jo untuk melanggar aturan sekolah. Tapi tetap saja, rambut pirang tampak mencolok di barisan kelas 12 karena Aga sejak kemarin masih mempertahankan rambut hitamnya.

Tumben.

Bu Laras menghela napas menatap Jo di antara murid kelas XII IPA 1. Dia tak tahu harus memberikan hukuman apa supaya Jo bisa jera. Willard selalu mengirimkan permintaan khusus kepada Bu Laras untuk memperhatikan Jo karena murid itu sulit diatur. Jujur saja, awalnya dia senang karena semester pertama dua tahun lalu Jo terlihat seperti murid baik-baik.

Nyatanya, tidak sama sekali.

Upacara berlangsung lebih lama dari minggu kemarin. Jiya menyipitkan mata karena matahari mulai beranjak naik dan orang di depannya tidak berhenti memberikan amanat.

Pak Aji selalu Wakil Kepala EIS terus menyemangati murid-muridnya dari kelas sepuluh sampai dua belas, lalu berlanjut pada penyambutan Kelas Bintang.

Sampai sepuluh menit berlalu, tibalah saat di mana Bu Laras menggantikan posisi Pak Aji di atas podium.

Tatapan Jiya berubah datar.



"Abang nggak tau Bibi kepala sekolah di EIS." Gibran menatap adiknya lama. "Lo juga baru tau, kan?"

Jiya mengangguk, berhenti menyuapkan sarapan ke mulutnya. "Waktu itu undangan ditandatangani sama direktur utama EIS. Gue sama sekali nggak tau dia bakal jadi kepala sekolahnya."

"Harusnya gue cek dulu," imbuhnya menunduk.

"Terus gimana? Lo mau keluar?" tanya Gibran membuat kepala Jiya terangkat.

Jiya terdiam, masih belum yakin harus menjawab apa. Dia tak mau keluar dari EIS begitu saja. Bukan perkara mudah masuk EIS meski Jiya mendapat undangan, bahkan biaya sekolah gratis.

Namun di sisi lain, Jiya benar-benar muak melihat wajah dari adik kandung ibunya. Bu Laras adalah orang pertama yang berada dalam daftar hitam mereka.

"Gue coba bertahan, Bang."

Bibir Gibran tersenyum. "Yakin?"

Jiya mengangguk. "Setidaknya gue punya alasan untuk stay di EIS."






"Saya ucapkan terima kasih karena respon baik kalian terhadap adanya Kelas Bintang tahun ini." Bu Laras tersenyum ramah.

"Sekarang akan saya umumkan beberapa hal terkait dengan Kelas Bintang. Kalian tentu sudah mendengar dari tahun ke tahun tentang popularitas kelas ini, kan?"

"Sudah, Bu!" Seluruh murid menjawab serempak.

"Bagus, saya senang dan bangga dengan anak-anak EIS yang berhasil menjadi lulusan terbaik. Bahkan, tahun ini saya memiliki harapan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Harapan yang akan membawa kalian semua, bukan hanya murid Kelas Bintang, untuk sukses di masa depan."

"Pasti kalian penasaran dengan berapa orang yang akan dipilih sebagai murid Kelas Bintang. Betul, tidak?"

"Betul, Bu!"

Bu Laras tersenyum lebar. "Saya akan umumkan berapa jumlah siswa yang berkesempatan menjadi bagian dari Kelas Bintang dan dibimbing langsung oleh Ms. Grace."

Seluruh murid hening memperhatikan Bu Laras.

"Tahun lalu, sepuluh murid beruntung tiap jurusan berhasil lulus sebagai anggota Kelas Bintang."

"Tahun ini, dengan peluang lolos 100% dan janji untuk menempati peringkat sepuluh besar se-Indonesia, kami sepakat untuk memberikan kesempatan kepada lima murid EIS dari masing-masing jurusan untuk bisa masuk menjadi murid Kelas Bintang."

Jiya tercengang.

Lima murid?

"Shit!" Ia terkejut mendengar umpatan dari Rey yang berdiri di belakangnya.

"Tahun ini bakal lebih gila," celetuk Aura di samping Jiya. Aura ini peringkat kedua di kelas mereka.

Kekehan remeh terdengar dari barisan kelas sebelah. "Sinting."

Jiya merinding mendengarnya. Barusan adalah Aga. Sedangkan Jiya tak berani mengumpat langsung. Dia cukup mengatakannya dengan lantang di dalam hati.

Mampus.

Padahal alasannya ingin bertahan di sekolah ini adalah Kelas Bintang. Jiya berniat melanggar maklumat Gibran untuk mengambil kesempatan bila berhasil lolos try out nanti.

Namun, sepertinya takdir lagi-lagi tak berpihak. Alasan awal Jiya sudah pupus.

Lima murid terdengar mengerikan baginya. Jiya masih baru di EIS. Dia belum tahu sejauh mana kemampuan 180 murid ini.

"Semuanya harap tenang!" Bu Laras menegur kebisingan di antara para manusia berseragam putih abu-abu. Ia menarik napasnya panjang dan kembali tersenyum.

"Ibu tahu kalian semua pasti kaget. Seperti yang Ibu bilang tadi. Kalian memiliki peluang lolos 100% jika menjadi murid Kelas Bintang. Bukankah ini sudah wajar?"

Kebanyakan siswa protes, tetapi Bu Laras mengabaikan dan kembali berkata bahwa para orang tua atau wali murid juga sudah menandatangani surat pernyataan Kelas Bintang, di mana mereka setuju dengan semua kebijakan yang akan ditetapkan oleh sekolah.

"Kalian mau lanjut atau tidak?" tanya Bu Laras lantang karena murid-murid masih banyak yang heboh.

"Lanjut, Bu!"

"Ibu akan lanjut jika kalian bisa diam."

Semuanya langsung hening. Bu Laras kembali membuka suara.

"Ujian Kelas Bintang akan disamakan dengan try out pertama kalian. Jadi, persiapkan diri sebaik mungkin karena penilaiannya berbeda dengan tahun kemarin."

Rey mengepalkan tangannya.

Sekarang apa lagi?

"Tahun kemarin kita pakai sistem manual dengan kertas buram yang disediakan oleh sekolah. Besok, ujian akan dilaksanakan dengan sistem Computer Based Test (CBT). Nomor ujian dan ruangannya akan dibagikan oleh wali kelas masing-masing. Kalian tidak perlu cemas karena pernah menggunakan sistem ini setiap UTS dan UAS."

"Saat UTS dan UAS, poin yang didapatkan setiap soal sama. Ini yang membedakan dengan try out besok. Kita akan menggunakan sistem penilaian Item Response Theory (IRT) di mana semakin sulit suatu soal, maka bobot skor yang diperoleh akan semakin tinggi. Kalian wajib mengerjakan mata pelajaran peminatan masing-masing 15 soal dalam waktu 120 menit secara keseluruhan."

Jiya mengumpat dalam hatinya. Bagaimana bisa dia tahu skor setiap soal?

Rey menundukkan kepala dalam. Lima belas soal untuk empat materi peminatan. Artinya ada enam puluh soal secara keseluruhan. Waktunya 120 menit.

Dua menit per soal?

"Segala kecurangan tidak akan ditolerir sama sekali oleh pihak sekolah. Saya yakin kalian anak-anak cerdas yang jujur dan tahu malu."

Semua paham dengan yang satu ini. Diam-diam Aga mengerang kesal.

"Selanjutnya, tata tertib dan peraturan di Kelas Bintang akan diumumkan setelah pengumuman hasil ujian. Karena kita menggunakan sistem CBT, pengumuman akan disampaikan satu hari setelah ujian selesai."

Jiya membuka mulutnya tak percaya. "Satu hari setelah ujian besok? Lusa."

"Saya cukupkan pengumuman tentang Kelas Bintang. Semangat untuk kalian anak kelas 12! Selamat berkompetisi!"

Bu Laras menyelesaikan amanatnya. Dia turun dari podium setelah memberikan waktu kepada petugas upacara untuk melanjutkan sesi akhir.

"Jiya."

Kepala Jiya menoleh ke belakang mendengar bisikan memanggil namanya. Ia melirik Rey yang sedikit menunduk sampai jarak wajah mereka membuatnya mundur.

Nyaris saja hidung Jiya nabrak.

"Kenapa?"

"Pulang sekolah nanti di indoor. Gue tunggu lo di sana."

Jiya mengangkat sebelah alisnya. "Ngapain?"

"Ada yang mau gue bicarain."

Meski penasaran, tapi akhirnya Jiya mengangguk saja karena upacara hampir berakhir. Ditambah ekspresi wajah datar Rey membuatnya sedikit canggung untuk bertanya.

"Setelah beberapa pengumuman berikut, kalian bisa meninggalkan lapangan."

Jiya kembali mengistirahatkan tangannya di belakang punggung. Beberapa siswa dari kelas sebelas maju untuk mendapatkan sertifikat prestasi dan piagam penghargaan. Jiya sempat mendengar ada yang mengatakan kejuaraan olimpiade sains dan segala macam lomba lainnya.

Dia berdecak kagum melihat banyak siswa maju. Memang tak heran EIS biasa membawa pulang kejuaraan dari setiap lomba yang mereka ikuti. Sayang sekali Jiya belum pernah mengukir ataupun menyumbangkan prestasinya di sini.

"Woi, ada yang berantem!"

"Kevin berulah lagi itu!"

"Itu siapa jatuh?"

Suasana berubah menjadi ricuh. Rey sudah menghilang pergi untuk melerai pertikaian. Cukup gesit sebab dia masih menjabat sebagai Ketua OSIS di EIS. Jiya yang penasaran ikut menggerombol. Jaraknya lumayan dekat sebab perkelahian itu terjadi di kelas XII IPA 1, sebelah kelasnya sendiri.

Pria rambut pirang yang menyita perhatian Jiya tampak meninju lawannya dengan bengis. Dia melotot sampai menutup mulut karena kelepasan teriak melihat tendangan Jo berhasil membuat Kevin tersungkur ke tanah.

"Itu nggak dilerai?" gumamnya ngeri.

"Dilerai sama Rey, tuh. Eh, Rey ikutan jatuh." Ia menoleh ke samping mendengar sahutan dari Aura.

Jiya kembali menatap tontonan di depannya. Memang benar Rey berusaha melerai, tapi berakhir dengan sia-sia sebab tenaga Jo jauh lebih besar. Lawannya yang bernama Kevin justru tidak mau menyerah, terus bangkit berdiri sampai berhasil melayangkan tonjokan pada wajah Jo.

Bibir Jiya meringis melihatnya. Bukan dia yang dipukul, tapi rasanya pasti perih.

Beberapa guru laki-laki langsung datang. Jiya juga sempat melihat Pak Aji dan Pak Gilang di sana, mencekal kedua tangan Jo yang masih sulit ditenangkan. Jo mengamuk hingga kedua guru itu kewalahan. Kevin di depannya malah tersenyum dan memprovokasi Jo.

"Dasar sampah!"

Jo melampiaskan amarahnya setelah berhasil keluar dari cekalan, melepaskan satu tonjokan di rahang Kevin sampai lawannya itu tumbang. "Bangsat, lo!"

"Jonathan, tenang kamu!"

Pak Gilang yang lebih muda dari Pak Aji mendorong bahu Jo kuat, menjauhkannya dari Kevin. Mereka membawa Jo pergi dari lapangan. Tontonan akhirnya berakhir.

Jiya menyentuh dadanya yang bergemuruh hebat, baru pertama kali menyaksikan kejadian seperti itu di depan matanya sendiri. Dia masih kaget.

"Gila banget."

"Jo sama Kevin udah jadi musuh bebuyutan, Ji. Dulu mereka juga sering berantem, tapi pasti ada alasannya, sih." Aura kembali menyahut. Sepertinya gumaman Jiya terlalu jelas.

"Setiap hari kayak gitu?" tanya Jiya.

"Nggak tiap hari juga, tapi sering. Bukan cuma Kevin, banyak yang pernah kena amuk Jo. Bahkan kadang, Jo nyerang seseorang karena alasan sepele."

"Apa?"

Aura tersenyum masam. "Marah."

Telinga Jiya sepertinya salah mendengar. "Hah?"

"Jo kalo marah gitu. Semuanya dia abisin."

"Alasannya marah?"

Aura mengangkat kedua bahunya tak tahu. Jiya menghela napas panjang, kembali merutuki ajakannya kepada Jo beberapa hari lalu di atap sekolah. Ia mengusap wajah frustasi, kesal sebab harus berurusan dengan manusia mengerikan itu.




"Gue mau lo jadi pacar gue," ujarnya memberi penegasan. "Kita berdua... pacaran."

Jo melepas puntung rokok di bibirnya, tersenyum miring. Ia mendekat dan menatap Jiya. "Lo serius?"

Jiya terdiam lama, baru menyadari hal gila yang dia katakan kepada Jo. Buru-buru kepalanya menggeleng. "Nggak!"

Tak sampai satu detik, Jiya mengubah gelengannya menjadi anggukan. "Iya!"

Jo hanya menatapnya heran, lalu pergi tanpa jawaban yang jelas. Sementara Jiya misuh-misuh sendiri di tempatnya sambil menarik rambut.

"Jiya, lo udah gila!"





"Gue tau gue gila, tapi dia belum kasih jawaban," gumam Jiya pada dirinya sendiri di tengah lapangan. Semua teman sekelasnya sudah melipir pergi.

"Cuma ini satu-satunya alasan yang tersisa untuk bertahan di EIS." Jiya menganggukkan kepala. Dia sudah membulatkan tekad.

Bila tidak ingin ditendang keluar, Jiya harus bisa mengurung dirinya sendiri di dalam.

.

Bu Laras menatap dua siswa paling badung di hadapannya. Kevin menundukkan kepala. Wajahnya sudah babak belur. Sedangkan Jo berdiri tenang seperti biasa, agak dijauhkan dari posisi Kevin sebab mereka bisa menjadikan Ruang Kepala Sekolah sebagai arena tinju.

"Kevin, bisa jawab pertanyaan Ibu tadi?"

Kevin mengumpat pelan. Dia sedikit mendongak untuk melempar lirikan kesal pada Jo yang hanya membalasnya dengan senyum miring.

"Bukan saya yang memulainya, Bu."

Bu Laras menghela napas lelah. "Jelas-jelas kamu yang mulai. Anak-anak juga tau apa yang terjadi. Kamu nggak perlu mengelak lagi, Kevin. Perlu Ibu tambah hukuman kamu minggu kemarin?"

"Dia nggak dihukum, Bu?" tunjuk Kevin pada Jo. Dia merasa diperlakukan tidak adil.

"Jo sudah pernah skorsing. Kamu mau coba?"

Kevin menggelengkan kepala. "Kenapa dia nggak dikeluarkan?"

Jo mendecih. Kevin terlalu banyak bicara.

"Jonathan masih belum bisa dikeluarkan. Poin yang dia dapat belum cukup."

Kevin mengalihkan tatapannya pada Bu Laras. "Bukannya dia punya poin unlimited? Nggak akan pernah cukup, kan, Bu?"

"Kevin!"

"Saya nggak salah, Bu. Kenapa harus saya yang dihukum sedangkan dia bebas?"

Bu Laras memijat pelipisnya yang terasa pening. "Jonathan akan saya hukum juga. Sekarang kamu bisa keluar. Hukumanmu kemarin membersihkan kelas 12 IPA setelah pulang sekolah selama satu bulan, Ibu tambah dengan membersihkan kolam renang."

Kevin membelalak tak terima. "Nggak bisa, Bu! Kenapa hukumannya seperti ini?"

"Kamu yang memulai harusnya tau akibatnya."

"Tapi, Bu-"

"Terima atau Ibu kirim surat peringatan kepada orang tua?"

Shit!

Kevin terpaksa mengangguk. Dia akhirnya keluar setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Bu Laras. Matanya menyempatkan diri untuk menatap tajam Jo, seakan memberi penegasan bahwa urusan mereka belum selesai.

"Jonathan, kamu juga dihukum." Kini Bu Laras menghampiri cucu pemilik EIS itu. "Seminggu lebih kamu bolos tanpa keterangan. Ditambah masalah hari ini, kamu tau apa hukumannya?"

"Skorsing?"

Bu Laras tersenyum. "Hukuman itu tidak akan membuatmu jera. Ibu baru sadar, sepertinya kamu harus diberi hukuman lain."

Atensi Jo tertarik mendengarnya.

"Ujian Kelas Bintang."

Jeda beberapa saat.

"Kamu didiskualifikasi dari ujian besok."

Bibir Jo tertarik ke atas. "Bukankah ujian itu wajib?"

"Saya memiliki wewenang penuh atas kelas itu. Segala bentuk kecurangan tidak akan ditolerir. Saya juga tidak bisa menolerir masalah yang kamu buat hari ini."

Jo mengangkat kedua bahunya acuh. "Saya tidak keberatan sama sekali."

Bu Laras tersenyum. "Tapi tidak dengan kakekmu, Jonathan."

"Bukan pertama kali bagi saya untuk mengabaikannya."

Jo suka tantangan dan Bu Laras sangat tahu akan hal itu. Anak ini suka persaingan.

"Fine, kamu didiskualifikasi." Bu Laras mempertahankan gurat bibirnya. "Tapi jika kamu ingin ikut, hubungi Ibu. Tentunya ada sedikit kesepakatan yang harus kita buat."

Dan ini Bu Laras, Kepala EIS yang memiliki pemikiran luas. Dia sudah berpengalaman selama sepuluh tahun. Jo memang bukan murid biasa yang bisa dia hadapi, tapi Bu Laras sanggup membuatnya tetap berada pada jangkauan.

Jo menanggapinya dengan senyum miring.

"Deal."

Perhatian mereka teralihkan saat Pak Aji masuk dan membisikkan sesuatu kepada Bu Laras. Jo bisa melihat seuntai gelang merah di tangan Pak Aji.

"Itu gelang saya, Pak."

Pak Aji menoleh kaget. "Iya?"

Jo mengangguk singkat, mengambilnya dari Pak Aji. "Bapak nemu di atap, kan? Saya sering ke sana."

Ia bergantian melirik Pak Aji dan Bu Laras. Tatapannya terlihat tenang. "Saya bisa pergi, kan?"

Bu Laras mengangguk membiarkan tubuh Jo menghilang di balik pintu. Ia menoleh ke arah Pak Aji. "Di atap?"

"Iya. Saya sudah cek atap dan nemu gelang itu, Bu. Saya pikir itu milik pelakunya." Pak Aji menggelengkan kepala ragu. "Tapi Jonathan juga biasa ke sana. Apa dia pelakunya?"

Kepala Bu Laras menggeleng. "Bukan. Dia tadi berbohong."

"Berbohong?"

"Masalah ini dikubur saja, Pak. Saya sudah tidak mempermasalahkannya."

"Tapi, Bu, bisa saja masalah sama terulang lagi. Pelaku juga harus bertanggungjawab dan memberikan kompensasi karena merusak mobil Bu Laras."

"Tidak perlu, Pak." Bu Laras beranjak duduk di kursinya. "Saya sudah tau pelakunya dan tidak ada niat untuk menghukum. Dia mungkin tidak sengaja."

"Harusnya dia jujur jika tak sengaja, Bu Laras."

Senyum samar terbit di bibir wanita itu. "Tenang saja, Pak. Jika memang harus dihukum, saya yang akan menghukumnya sendiri."

.

"Sial! Jatuh di mana, sih?"

Jiya berteriak kesal. Dia terus mengobrak-abrik pot di atap sekolah sambil membungkukkan badan, berharap menemukan gelang merahnya.

Badan Jiya berdiri tegap untuk memutar memori. "Nggak mungkin ada yang cek tempat ini, kan?"

Dia meringis. Jika gelangnya ditemukan sebagai barang bukti, Jiya akan tertangkap. Kalimat Rey masih menggema di telinganya. Perbuatan nekat Jiya terhadap Kepala Sekolah bisa membuatnya ditendang keluar.

Ya Tuhan, Jiya tidak mau!

"Di mana, sih? Apa gue lupa naruh?" Jiya menggelengkan kepala. "Gue nggak pernah lepas gelang itu."

Ia meninju lengannya ke atas. "Kenapa lo copot di saat yang nggak tepat, hah?!"

Jiya nyaris menangis keras karena tak menemukan gelangnya. Waktu sudah berjalan lebih dari tiga puluh menit. Ia bahkan melewatkan sepertiga dari jam pembelajaran pertama. Kedoknya izin ke toilet.

"Apa jangan-jangan diambil dia?" Jiya mematung sesaat. Detik berikutnya langsung menarik rambut kesal. "Kalau manusia setengah iblis itu yang ambil gimana, dong?"

"Gue?"

Jiya tersentak kaget. Nyaris saja dia menerjunkan diri ke bawah. Tangannya mengusap dada dan menatap sosok jangkung berambut pirang. Bibir Jiya langsung meringis ngilu melihat wajah di depannya babak belur.

"Lo ngapain di sini?"

Jo menaikkan alis. "Cari lo."

Kini Jiya memberikan tatapan cengo. "Hah?"

Dia mengalihkan atensi begitu Jo menunjukkan gelang merah di tangannya. Dengan mudah, pria itu memberikan gelang milik Jiya. Kakinya berbalik arah untuk pergi.

Jiya mengerjapkan mata beberapa kali. "Tunggu!"

Rasanya seperti dejavu.

"Lo nemu di mana?"

"Pak Aji."

Otak Jiya bekerja lambat. "Pak... Aji?"

"Gue bilang punya gue."

Refleks, Jiya melangkahkan kakinya lebih dekat. "Kenapa?"

"Lo mau kena drop out?"

Buru-buru Jiya menggelengkan kepala kuat. "Nggak mau."

Jo mengangguk. "Urusan gue sama lo selesai."

Jiya mengerutkan kening.

Urusan?

"Lo belum kasih jawaban." Ia menggigit bibir setelah memberanikan diri untuk bertanya. "Soal kemarin."

Jo membalikkan badan, menatap Jiya langsung. "Lo nggak serius."

"Gue serius," jawab Jiya terlalu cepat. "Gue serius minta kita pacaran."

Kaki Jo mendekat. Sedikit senyum tak percaya bisa Jiya lihat di bibirnya. "Alasannya?"

"Alasan gue?" Kepala Jiya menunduk. Rasanya gugup diberi pertanyaan seperti itu, apalagi tatapan tajam Jo terus menghunus wajahnya. "Gue harus bertahan di sini."

Kening Jo terlipat tak mengerti, meminta penjelasan lebih detail. Jiya menghembuskan napas panjang, terpaksa harus membuka satu rahasianya kepada orang asing.

"Kepala Sekolah EIS, Bu Laras, dia bibi gue," ungkapnya. "Hubungan gue sama dia buruk banget. Gue nggak bisa kasih tau banyak karena privasi, tapi dia bisa lakuin sesuatu ke gue di sekolah ini."

Jeda.

"Gue butuh pegangan. Gue butuh perisai supaya dia nggak punya kesempatan. Dan lo adalah jawabannya."

Jo sudah bisa menebak.

"Karena gue cucu pemilik sekolah?"

Jiya mengangguk membenarkan. "Gue yakin posisi lo ada di atas Bu Laras."

Kepala Jo mengangguk-angguk paham. "Oke."

"Oke?" Tentu saja Jiya terkejut bukan main. Jo menerima tawaran gilanya begitu saja. "Lo setuju?"

Pria itu mengangguk lagi.

Jiya sendiri bingung harus merespon apa. "Ya, oke."

"Lo udah tau nama gue, kan. Gue Jonathan, panggil Jo. Lo?" Jo mengulurkan tangannya.

Beberapa detik mengambang di udara karena Jiya hanya menatap tangan Jo dalam diam. Pikirannya masih belum jernih. Otaknya masih lambat untuk mencerna.

"Gue... Jiya. Nama gue Jihanna."

Jiya mulai bingung. Kemana manusia setengah iblis yang dia lihat di lapangan tadi?

.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Jiya menghentikan kakinya di indoor. Sambil menengok kanan kiri mencari Rey, ia menghubungi seseorang.

Netra Jiya berhasil menangkap sosok Rey tengah memantulkan bola basket di tangannya.

"Iya, Mel. Nanti gue nyusul."

"Jangan telat, loh, Ji! Kita itu harus persiapan matang buat perang besok."

Jiya memutar bola matanya. "Gaya lo, ah! Nggak kepilih nanti nangis."

"Jahat banget jadi temen sih, Ji? Padahal gue totalitas sahabatan sama lo bertahun-tahun, loh."

"Dramatis banget hidup lo, Mel. Gue ada urusan bentar, nih. Setengah jam gue sampe di sana, deh."

"Nggak ngibul lo, ya? Kalo ngibul, lo harus beliin gue album TXT!"

"TXT mulu, anjir! Nggak ada yang lain?"

"Kehidupan drama gue emang begini, Ji. Gue tutup dulu. Abang gojek udah sampe."

"Oke."

Panggilan terputus bersamaan dengan Rey yang menyadari kehadiran Jiya. Ia beranjak ke pinggiran, duduk di tribun. Sedangkan Jiya mengikuti saja.

Kepalanya menunduk beberapa saat sampai membuat Jiya mengerutkan kening. Sejak pagi ini, Rey lebih banyak diam. Sifatnya semakin aneh.

"Rey?" Ketua OSIS itu mendongak. "Ada urusan apa manggil gue ke sini?"

Rey kembali menunduk, menautkan kedua tangannya seakan tengah menimbang sesuatu. Perasaan Jiya mendadak tidak enak.

"Lo udah belajar buat besok?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Rey membuatnya langsung mengangguk.

"Tinggal Fisika. Gue belum belajar sama sekali," ringisnya. Dia tidak suka Fisika, jadi Jiya akan mempelajari mata pelajaran itu nanti.

"Menurut lo, soal besok gimana?"

Kening Jiya terlipat karena berpikir lama. "Entahlah. Gue masih baru di sini, Rey."

"Lo yakin bisa lolos?"

"Lima besar?" Jiya terkekeh. "Kalo disuruh jujur, gue nggak yakin."

Rey menatapnya. "Kenapa?"

"Lima besar kedengaran mustahil. Gue nggak tau kemampuan lo dan yang lainnya sejauh mana. Gue nggak punya patokan apapun."

Kepala Rey mengangguk paham. "Lo nggak ada gambaran."

"Ya, begitulah." Jiya meliriknya penasaran. "Emang kenapa tanya itu?"

"Ji, lo beruntung."

Bibir Jiya bertanya tak mengerti. "Maksudnya?"

"Justru karena nggak ada gambaran dan nggak kenal musuh, lo bisa berusaha tanpa batas." Suara Rey terdengar memberat.

"Gue rasa kalimat lo terlalu jauh, Rey. Usaha tanpa tau musuh itu sia-sia."

"Tapi ini lo," tukas Rey. Ia bangkit berdiri dengan kedua tangan di dalam saku. Kakinya mendekati Jiya dan menatap gadis itu lama. "Ini lo, Ji, penerima undangan EIS."

Jiya terdiam. Napasnya tercekat karena Rey terlihat seperti bukan orang yang ia kenal. Rey tampak asing di matanya.

"Rey?"

"Lo... bisa ngalah?"

Jeda.

"Supaya gue tetep peringkat satu."

Mata Jiya mengerjap pelan, berusaha memahami perkataan Rey. "Maksudnya?"

"Gue bayar." Dengan tenang, Rey terus membicarakan hal gila yang tak pernah Jiya duga. "Asal lo mau gagal."

"Tunggu," potong Jiya cepat. Dia benar-benar kebingungan. "Maksud lo... gue harus gagal?"

Rey mengangguk. "Besok lo harus gagal Ujian Kelas Bintang."

"Apa?"

"Lo butuh uang, kan? Gue bisa bayar, berapapun yang lo mau."

Jiya memundurkan langkahnya, terlalu kaget dengan penawaran Rey.

.

Tbc





Mas Reyyyy hayooo....

cieee update cepett..

mau next nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro