Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 5

siapa yg nunggu update??

dpt salam dari Rey niii...

.

Tiga hari yang lalu.

"Dari mana saja kamu?"

Langkah kaki Aga berhenti saat suara ayahnya terdengar. Lampu dinyalakan sampai mata Aga menyipit menyesuaikan cahaya di ruang tamu yang besar itu. Sosok Juanda bisa Aga lihat tengah menghampiri dengan tangan terlipat di depan dada sembari menatapnya tajam.

Aga menegakkan tubuh, menatap ayahnya tanpa rasa takut. Ia sudah siap mental-

Plak!

-dan fisik.

Lidah Aga menyentuh dinding mulutnya yang terasa perih. Dia yakin ada jejak lima jari di pipi sebelah kanan. Sudut bibirnya berdarah karena ada sobekan kecil. Sudah terbiasa dengan tindakan Juanda membuat rasa perih Aga seakan sirna dalam hitungan detik.

"Clubbing lagi kamu?" Juanda mengusap wajah dengan frustasi. Anaknya hanya satu, tapi setiap hari dia harus menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh Aga. "Berapa kali Papi harus bilang? Jangan buat masalah lagi, Agatha!"

Bola mata Aga bergerak ke samping, menatap secarik kertas putih di atas meja. Ajaibnya dia bisa menebak apa isi dari kertas itu.

"Sekarang berapa hari?" tanya Aga kepada ayahnya.

"Dua hari."

Aga menganggukkan kepala. "Lebih dikit dari sebelumnya."

Juanda menatap putri semata wayangnya tak percaya. Dia baru saja mendapat surat dari EIS yang memberikan peringatan untuk Aga akibat tindakannya di sekolah. Aga bersikap tidak sopan kepada salah satu guru selama berhari-hari hingga puncaknya membuat guru itu mengundurkan diri karena tidak tahan dengan kenakalan Aga.

Parahnya, Aga tidak merasa bersalah sama sekali. Karena itu, dia dihukum skorsing selama dua hari. Memang tidak sekali dua kali Aga membuat masalah di sekolah.

Aga tersenyum miring. Padahal dia hanya bermain-main karena suasana belajarnya membosankan. Guru yang dibully Aga terlalu lamban dan pengecut. Tidak bisa melawan muridnya sama sekali. Bahkan sampai memutuskan untuk undur diri dari EIS.

Dasar mental tempe.

"Mau kamu apa, Aga? Papi capek beresin semua masalahmu di sekolah," tanya Juanda mencoba meredakan amarah. Aga masih berdiri tenang meski tamparan sudah dilayangkan oleh ayahnya.

"Nggak ada yang suruh Papi beresin." Aga mengangkat kedua bahunya acuh.

"Kamu nggak bisa mikir? Nggak punya otak? Papi malu, Agatha! Bisa-bisanya Papi punya anak perempuan kayak kamu." Juanda mengarahkan telunjuknya di depan wajah Aga. "Tau kalo kamu anak nggak tau diuntung? Lupa kalo kamu cuma numpang di rumah Papi?"

Kepala Aga mengangguk-angguk. "Tau. Aku tau dan masih inget, Pi. Mau usir aku? Silakan aja."

Juanda terkekeh sinis. "Pikirmu bisa hidup sendirian di luar? Kamu nggak punya siapa-siapa, Agatha. Cuma Papi yang kamu punya."

Aga mengepalkan tangannya kuat. Dia juga sadar apa yang dikatakan Juanda sebuah fakta. Sial sekali hidupnya.

"Sekarang Papi punya satu hal yang harus kamu lakuin. Papi nggak mau tau karena ini satu-satunya cara supaya kamu bisa bertahan di EIS."

Aga memutar bola matanya. "Apa? Perjodohan gila dengan cucu pemilik EIS? Aku udah bilang nggak akan pernah sudi, Pi!"

"Bukan. Papi mau kamu masuk Kelas Bintang."

Wajah Aga tertarik menatap ayahnya dengan kerutan di dahi. "Kelas Bintang?" Ayahnya mengangguk, tanda pendengarannya tak ada masalah.

Tapi ini Aga, bukan Rey yang menjadi peringkat pertama selama tiga semester berturut-turut. Bukan Jo yang menurunkan peringkat sampai dasar meski otaknya mampu.

Ia menggeleng tak percaya. "Papi suruh aku masuk Kelas Bintang?"

Juanda kembali mengangguk. Tatapannya penuh tantangan. "Nggak berani kamu? Mau nolak? Papi sih nggak keberatan kalo kamu milih dijodohin sama Jo."

"No!" Aga mengerang keras.

Pikirannya berputar kembali. Masuk Kelas Bintang bukan kemampuannya, tapi dia tak akan pernah sudi menikah dengan Jo meski hanya lelaki itu yang tersisa di dunia ini.

Never.

"Kalo aku nolak keduanya?"

Sebelah alis Juanda terangkat. "Kamu jadi gelandangan di luar."

Aga mendecih sinis.

Juanda dan segala peraturan yang harus dipatuhi benar-benar membuat kebencian Aga semakin besar.

"Fine!"

"For what?"

"Kelas Bintang. Aku bakal masuk kelas itu."

Senyum miring Juanda terbit. "Nice choice."





bab 5
[ rapat ]

"Udah dibilangin nggak perlu, loh."

Jiya menatap kakaknya kesal. Dia sudah mengatakan pada Gibran untuk tidak menghadiri pertemuan wali murid, tapi Gibran langsung menolak. Padahal Gibran masih sibuk di kantor kejaksaan. Jiya bahkan tahu semalam kakaknya begadang dengan berkas-berkas kasus yang harus diselesaikan.

"Abang udah izin kantor, Ji. Lagian kan wali murid lo ya gue."

Decakan lolos dari bibir Jiya. "Padahal nggak perlu izin. Abang kan sibuk."

"Perhatian nih ceritanya?"

"Idih! Kalo Abang nggak kerja, gue mau dikasih makan apa? Batu?" Mata Jiya mendelik.

Gibran hanya terkekeh. Dia mengarahkan mobilnya memasuki parkiran EIS. "Sekalian gue mau liat-liat sekolah yang katanya SMA swasta terbaik se-Indonesia."

Bola mata Jiya membentuk gerakan memutar. "Padahal sebenernya biasa aja."

"Harusnya bersyukur lo. Abang dulu nggak bisa lolos ujian masuk EIS," curhat Gibran sedikit. Ia kembali mengingat momen beberapa tahun lalu.

"Beneran? Masa, sih?" Jiya menatap ragu. Aneh jika Gibran tak diterima di EIS, padahal dia tahu otak kakaknya ini termasuk cerdas.

"Nggak percaya lo? Ya harusnya orang pinter kayak Abang bisa lolos, kan? Sayang banget dulu sistem penerimaan murid baru di EIS lebih ketat dari sekarang." Gibran menghentikan mobil, melepas sabuk pengamannya.

"Jadi, lo dulu pernah mau masuk sini, Bang?" tanya Jiya memastikan.

Kepala Gibran mengangguk. "Hampir masuk, tapi kalah pinter."

Mereka turun dari mobil dan saling beriringan memasuki EIS. Jiya menatap kakaknya dan bertanya lagi, "Artinya banyak orang jenius, dong?"

"Nggak juga. Dua puluh persen murid yang berhasil masuk punya koneksi kuat di sini," terang Gibran. Ia menunjuk wajah Jiya yang terlihat kaget. "Nggak nyangka kan, lo? Sekolah yang paling diimpikan pelajar Indonesia nggak beda jauh sama sekolah lain."

"Gue baru tau banyak hal mengejutkan di EIS setelah masuk." Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Emang nggak nyangka, sih. Banyak yang nggak masuk akal meski semuanya nyata."

Gibran terkekeh. "Terus lo seneng nggak pindah sini?"

"Secara objektif, iya. Jujur aja, pembelajaran di EIS emang beda sama sekolah gue dulu, Bang. Di sini lebih mudeng."

"Syukur deh kalo gitu."

Jiya melirik kakaknya. "Lo tau begituan tentang EIS dari mana?"

Pria 24 tahun itu terdiam cukup lama hingga tak sempat menjawab pertanyaan Jiya karena Rey datang.

"Jiya!" Sapaan Rey membuat dua kakak beradik tersebut menoleh. Gibran mengerutkan keningnya dan melihat bagaimana bibir Jiya tersenyum menyambut kehadiran Rey.

"Siapa?" tanya Gibran sedikit menundukkan kepala untuk berbisik.

"Temen gue."

"Abang lo?" Rey bertanya memastikan saat menyadari ada orang lain di samping Jiya. Gadis itu mengangguk. "Gue Rey, Bang. Temen sekelas Jiya."

"Gibran." Dia memperhatikan Rey dengan lipatan di keningnya. Nama Rey pernah ia ingat sebagai teman satu kelompok Jiya. "Ketua OSIS, ya?"

"Eh, kok tau?"

"Keliatan dari mukanya."

Jiya menatap Gibran kagum, tak menyangka kakaknya bisa menebak secara tepat. Rey sendiri terkekeh dan mengangguk untuk membenarkan.

"Kayaknya tipe cowok baik. Pepet aja, Ji. Abang restuin. Udah ada pawang belum anaknya?" bisik Gibran membuat Jiya mendelik. Dia langsung menyikut keras pinggang saudaranya itu.

Bibir Jiya melengkung ke atas dengan canggung, langsung mendorong lengan Gibran dan menarik Rey. "Bang, gue duluan, ya! Ayuk, Rey. Nanti telat masuk."

Rey menarik sebelah alisnya. "Masih tujuh belas menit lagi, Ji."

Gibran di belakang hanya geleng-geleng kepala. Ia baru saja melangkah untuk pergi ke ruang rapat wali murid di aula EIS, tapi urung saat melihat mobil sedan putih melaju masuk. Otomatis keningnya terlipat dalam begitu mengingat plat mobil yang sudah ia hapal di luar kepala.

Ngapain dia di sini?

Mobil tersebut berhenti tepat di pelataran EIS, di samping Rey dan Jiya yang sontak ikut menyetop kaki. Sosok pria paruh baya berpakaian jas formal keluar dari kursi kemudi, lalu membukakan pintu belakang untuk mempersilakan majikannya turun.

Jiya memiringkan kepala penasaran, sebab area ini bukan tempat yang diperbolehkan untuk parkir sembarang orang. Rey mendekat ke arah Jiya untuk berbisik pelan.

"Kepala sekolah, Ji."

Bola mata Jiya sukses membulat, balas menatap Rey kaget. "Bukannya lagi dinas?"

Ia masih mengingat saat beberapa hari lalu masuk sebagai murid baru. Hanya Wakil Kepala EIS yang menyambutnya dan mengatakan bahwa kepala sekolah sedang ada tugas dinas di luar kota.

"Udah balik. Lagian nanti juga ada rapat wali murid," jelas Rey masuk akal.

Jiya kembali mengalihkan pandangannya ke depan, sedikit tersentak saat kakaknya tiba-tiba muncul sambil ngos-ngosan.

"Wah, sepertinya ini hari keberuntungan Ibu bertemu murid paling pintar di kelas 12. Reynaldi, apa kabar?"

Sapaan hangat seorang wanita membuat atensi Jiya berubah. Tatapan mereka sempat bertabrakan beberapa saat sebelum wanita itu membuang wajah ke samping.

Jiya menundukkan kepala. Matanya mulai memanas dan tangan di samping tubuhnya mengepal kuat. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengontrol emosi dan membiasakan ekspresi. Meski rasanya sulit sekali bagi Jiya untuk meneguk ludah, ditambah pasokan udara seakan berkurang drastis.

"Kabar baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana?" tanya Rey sopan setelah menunduk hormat dan salim dengan Bu Laras.

"Sangat baik. Apalagi setelah Ibu tau beberapa hari kemarin EIS menerima murid baru lagi," ungkap Bu Laras sembari tersenyum.

Rey menoleh ke arah Jiya, menyenggol lengannya. "Ada Bu Laras, Ji." Dia berbisik kecil seakan meminta Jiya untuk salim juga dengan Bu Laras.

Namun Jiya masih tetap diam di tempatnya. Gibran yang sadar langsung menerobos dan berdiri di hadapan Bu Laras, membuat Kepala EIS itu terkejut karena masih ada orang lain di sana.

"Saya wali murid Jihanna, Bu." Terpaksa Gibran menunduk untuk memberi sedikit hormat daripada ia menyebabkan masalah bagi adiknya sendiri.

Wajah Jiya akhirnya terangkat, menatap kakaknya. Lantas ia segera membuang muka, berlalu pergi dengan gerakan cepat tanpa menghiraukan panggilan Rey.

Bu Laras yang melihatnya hanya tersenyum, terkejut harus bertemu dengan Jiya di hari pertamanya kembali ke sekolah-meski sudah tahu Jiya adalah murid baru di sini. Ia beralih pada sosok pria jangkung di depannya, mengusap kepala Gibran lembut sembari mempertahankan senyum.

"Selamat datang di EIS. Semoga betah, ya."

Gibran hanya bisa mengepalkan tangan.

.

Brak!

Jiya mendorong pintu atap sekolah dengan keras. Pikirannya berkecamuk dan tidak bisa dikontrol. Gadis berambut sepunggung itu melangkah lebar-lebar dan berhenti di pagar pembatas yang hanya setinggi bahunya.

Ingatan Jiya berputar pada kejadian bertahun-tahun yang lalu, tentang bagaimana orang-orang itu membuangnya dan Gibran. Memandangnya begitu rendah. Tak sudi untuk menganggap keluarga dan mengeluarkan makian hingga hatinya masih berdenyut sakit, bahkan sampai detik ini.

Jiya masih mengingat jelas semuanya. Dia masih ingat semua kenangan konyol yang ingin dia lupakan. Matanya berkaca-kaca.

Bangsat!

Sambil mengumpat kasar di dalam hati, Jiya menarik kursi di sudut atap dan meletakkannya di depan pagar pembatas supaya ia lebih tinggi sehingga mampu melihat mobil mewah yang terparkir di bawah.

Tangan Jiya terkepal kuat, tatapan matanya menajam dan giginya bergemelatuk. Dia turun lalu meraih pot bunga mawar yang dikumpulkan di tengah-tengah atap sekolah sebagai bahan uji coba anak-anak kelas 10. Tanpa berpikir ulang, dia melemparkan pot tersebut sampai-

Prank!

-tepat mengenai kaca depan mobil.

Jiya tahu, apa yang dilakukannya sekarang tidak akan membalikkan keadaan. Apa yang dilakukannya sekarang tidak sepadan dengan semua hal buruk yang menimpanya dan Gibran. Tangan Jiya terangkat untuk mengusap kasar sebulir air mata yang turun.

Bahunya naik turun mengikuti napas yang tak beraturan. Jiya berbalik dan hendak turun, tapi netranya menangkap ada bayangan sepasang kaki gelantungan di atas gudang atap.

Refleks, kepalanya mendongak diikuti mata melebar dan umpatan lirih keluar dari bibir. Melihat seorang pria berambut pirang dengan tatapan angkuhnya.

"Sialan."

Jo tersenyum miring, takjub setelah melihat apa yang Jiya lakukan. "Wah."

Jiya baru sadar, kakinya berhenti setelah melewati batas yang ia buat beberapa hari lalu. Ia melihat ke sekitar, mengusap wajah frustasi karena berakhir di tempat ini.

Atap sekolah, markas pribadi Jonathan Anderson.

Nasi sudah menjadi bubur. Harapan Jiya hidup tenang sampai lulus nanti telah menguap begitu saja. Hancur lebur tanpa sisa.

Jo turun dari atas gudang dalam sekali lompat, seperti sudah biasa meski jaraknya lumayan tinggi. Ia berdiri di depan Jiya, memberi jarak satu meter untuk saling menatap tanpa ada kata yang terucap.

Tampaknya Jiya tak memiliki niat untuk memalingkan wajah. Dia merasa pernah melihat cowok itu di suatu tempat, tapi tak ingat. Sampai entah kenapa, ia merasa aneh. Euforia di antara mereka berhasil melambatkan waktu.

Sejak dulu, Jiya selalu menganggap penderitaan seperti tamu tak diundang yang datang secara tiba-tiba. Bahkan keberuntungan hanya datang tanpa memandang siapa orangnya.

Detik berikutnya, Jo melangkahkan kaki pergi tanpa sepatah kata atau memberi respon pada apa yang barusan Jiya perbuat. Ia hanya memasukkan tangannya untuk mengambil sebungkus rokok. Satu puntung menyelip di antara dua bibir, sedangkan tangan lain memegang korek api.

Jiya masih termenung diam.

Kadang, penderitaan dan keberuntungan datang dengan wajah yang sama, pada waktu yang sama. Dan selalu saja, Jiya masih kesulitan untuk membedakan keduanya. Seperti saat ini. Tanpa bisa dia cegah, seakan ada yang mendobrak mulutnya untuk berkata.

Seolah takut jika waktu membiarkan Jo pergi.

"Lo Jo, kan?"

Perokok itu berhenti melangkahkan kakinya, berbalik menatap dengan ekspresi yang tidak bisa Jiya mengerti. Tapi Jiya tahu pasti, pertanyaannya tadi adalah pernyataan yang dibenarkan oleh Jo.

Jiya penasaran.

Pelipis Jo agak memar. Sebelah pipinya ada bekas luka. Ia sudah menebak dari mana luka itu berasal, pasti tak jauh-jauh dari pertengkaran yang sering Jo lakukan. Sebab kata Mela, 80% kehadiran Jo di EIS untuk menciptakan masalah.

Meski begitu, ekspresi Jo masih menunjukkan jelas seberapa angkuh cucu pemilik EIS tersebut. Seberapa berkuasanya dia di sekolah karena tak menerima hukuman drop out bahkan setelah semua kekacauan yang pernah dia perbuat.

Jiya menatapnya dalam, mendadak merasa kehidupannya akan berubah. Karena dia tak bisa menyangkal perasaan buruk yang perlahan datang.

"Gue mau pacaran."

Jo hanya diam tanpa menjawabnya, tapi Jiya tahu pria itu sedikit terkejut. "Gue mau lo jadi pacar gue," ujarnya sekali lagi, memberi penegasan. "Kita berdua... pacaran."

Jiya semakin penasaran, wajah seperti apa yang akan Jo tunjukkan pada takdirnya nanti. Dia tidak memiliki hipotesis apapun.

Keberuntungan atau penderitaan?

Atau bahkan bukan keduanya?

.

"Kenapa repot tanya?" Jiya menatap kosong papan tulis di depannya, lalu menarik rambut frustasi. "Jelas penderitaan, lah!"

Rey tersentak kaget mendengar teriakan Jiya. Ia menoleh ke sekitar kelas yang masih sepi, sibuk pergi ke luar untuk melihat insiden mobil Bu Laras yang terkena pot hingga kaca depannya pecah.

Tatapan Rey mengarah ke samping, heran dengan sikap aneh Jiya. Sekarang cewek itu berbicara dengan dirinya sendiri sambil sesekali mengeluarkan ekspresi aneh, tak urung juga memukulkan kepala ke meja.

"Mampus gue. Mampus banget hidup lo, Jiya. HAHAHA."

Rey menatapnya ngeri. Ia sedikit menjauhkan kursi dan bukunya. "Lo kenapa, Ji?"

Kepala Jiya menoleh lambat, senyumnya mengembang. Ia menjawab pertanyaan Rey dengan gelengan. "Gue nggak papa kok, Rey. Mungkin ini pertanda kematian. Jaga diri lo, ya. Kayaknya mulai besok lo duduk sendiri. Selamat tinggal, Rey."

"Heh, ngomong apaan?" Rey mendelik, heran dengan kelakuan Jiya. "Lo nggak penasaran sama itu?"

"Apa? Kematian gue?"

Bola mata Rey bergerak memutar. "Bukan. Maksud gue, ada yang lempar pot ke mobil Bu Laras."

Jiya menghela napas.

Buat apa penasaran? Yang lempar kan gue.

"Menurut lo, lempar atau jatuh?"

Rey tersenyum. "Jelas lempar, lah. Pot nggak bisa terbang sendiri naik pembatas atap."

"Siapa pelakunya?" Jiya merasa bodoh sekali bertanya seperti itu, padahal ia paling tahu jawabannya.

Kedua bahu Rey terangkat. "Sebentar lagi mungkin ketahuan, terus dikeluarin dari sekolah."

Jiya langsung melirik Rey. "Dikeluarin?"

"Nggak susah bagi Bu Laras mengeluarkan muridnya. Apalagi mobil beliau rusak."

Nggak, tuh. Cuma kaca depannya aja.

Beruntung Jiya langsung menelan sanggahan. Kalau tidak, Rey bisa curiga sebab Jiya belum keluar kelas untuk melihat keadaan mobil Bu Laras.

"Mungkin dia punya alasan," lirih Jiya sembari mengalihkan tatapannya ke luar.

"Alasan apa sampai dia nggak takut kalo perbuatannya bisa celakai orang lain? Masih untung lemparannya nggak meleset," sindir Rey.

Jiya termenung. Dia... tak berpikir sejauh itu. Dia terlalu kalut dalam kemarahan.

"Rapat wali murid kemungkinan nggak mulai tepat waktu. Beberapa guru nggak bisa ngajar atau terlambat masuk kelas. Dari tindakannya yang ceroboh, efeknya merugikan banyak orang. Anak-anak yang seharusnya belajar buat persiapan Kelas Bintang nggak bisa fokus," imbuh Rey panjang.

Tangan Jiya meremas rok seragamnya kuat. "Lo cuma mikirin belajar buat persiapan Kelas Bintang, Rey?"

"Salah?"

"Nggak salah, tapi ucapan lo terlalu egois."

"Siapa yang egois di sini, Ji? Gue atau pelempar itu?"

Rey hanya menaikkan sudut bibir begitu Jiya tak mampu menjawab. Sekarang, dia sudah yakin dengan tebakannya.

"Gue nggak berpikir egois karena ada anak-anak lain yang butuh tambahan ilmu untuk persiapan Kelas Bintang. Sedangkan pelempar itu, apapun alasannya nggak bisa membenarkan perbuatan dia."

Di lain tempat, para wali murid berbisik-bisik karena insiden tak terduga yang merugikan Bu Laras selaku kepala sekolah di EIS hingga mengakibatkan keterlambatan rapat. Gibran sendiri sudah was was di tempat, bisa menebak siapa yang melempar pot ke mobil Bu Laras.

Bahkan sepertinya, Bu Laras juga tahu.

Sosok wanita berpakaian batik formal muncul dan berdiri di atas podium. Dia mempersilakan seorang pria paruh baya untuk duduk lebih dulu di meja paling depan. Gibran mengenalnya. Willard Anderson, direktur utama EIS sekaligus atasannya.

Willard memiliki koneksi dan posisi sebagai klien VVIP di kantor kejaksaan tempat Gibran bekerja.

Di sebelah Willard, tampak seorang wanita dengan rambut diikat ke atas. Perawakannya sungguh tegas dan modis, mengeluarkan aura seorang pemimpin.

"Selamat pagi, Semuanya. Saya ucapkan selamat datang kepada Mr. Anderson, guru beserta staf dan karyawan, komite sekolah, serta wali murid di Earth International School."

Tepuk tangan terdengar bergemuruh. Bu Laras menyampaikan ucapan syukur dan sambutan di atas podium itu. Gibran setia di tempat tanpa mengalihkan tatapan.

Mengetahui Bu Laras sebagai kepala sekolah di sini cukup membuat Gibran terkejut. Dia tak tahu, sebab kepindahan Jiya diurus sendiri oleh adiknya.

Sejak dulu, memang Jiya sudah terbiasa mandiri soal sekolah, bahkan dia tak merasa terbebani sedikitpun sebab Jiya selalu mendapat beasiswa.

Melihat bagaimana reaksi Jiya pagi tadi membuktikan bahwa bukan hanya dirinya yang terkejut. Jiya sama.

Gibran menghela napas. Dia takut Jiya memutuskan untuk keluar, padahal gadis itu sangat senang saat menerima undangan legendaris EIS. Gibran masih ingat betul bagaimana Jiya berbicara panjang lebar tentang rencananya setelah menjadi siswi SMA swasta terbaik.

"Untuk selengkapnya terkait dengan Kelas Bintang akan saya sampaikan kepada anak didik."

Perhatian Gibran teralihkan.

Kelas Bintang?

"Saya hanya akan menyatakan bahwa Kelas Bintang tahun ini memiliki peraturan baru yang wajib ditaati oleh seluruh murid dari kelas tersebut."

Bu Laras tersenyum mendengar sedikit keributan beberapa orang tua di bagian belakang. "Tentu saja, murid Kelas Bintang memiliki peluang lolos masuk perguruan tinggi lebih besar daripada murid biasa," imbuhnya.

"Tahun kemarin, saya menjanjikan peluang lolos 97% dan terbukti. Salah satu murid Kelas Bintang berhasil membanggakan sekolah dengan masuk Cambridge University jurusan Hukum."

"Beberapa tahun lalu, saya menjanjikan peluang lolos tertinggi mencapai 98% dan salah satu murid kami berhasil menjadi peringkat pertama se-Indonesia. Tak hanya itu, dia juga diterima melalui jalur prestasi sebagai mahasiswa kedokteran di Humboldt University of Berlin. Saya yakin banyak dari kita sudah mengenalnya. Saya cukup menantikan prestasi dari adik laki-lakinya yang saat ini berada di kelas 12."

Di barisan paling depan, Rangga tersenyum begitu Willard menatapnya karena bangga. Semua tahu maksud dari Bu Laras adalah Raya dan adiknya, Rey.

"Sekarang, mulai tahun pelajaran 2022/2023, saya akan menjanjikan peluang lolos sempurna bagi murid Kelas Bintang."

Gibran tertegun.

Kata 'sempurna' yang keluar dari mulut Bu Laras terdengar mengerikan di telinganya.

"Ya, saya menjanjikan peluang lolos 100% untuk diterima di universitas impian para murid."

Seluruh orang tua saling menatap. Beberapa terkejut sampai heboh hingga ada tepuk tangan bersahutan menggemakan aula. Willard di depan terkekeh mendengar penuturan dari Bu Laras, ikut bertepuk tangan bersama yang lain.

Bu Laras melebarkan senyum, mengangkat tangannya sampai aula menjadi hening.

"Saya akan menyampaikan detail terkait Kelas Bintang kepada Bapak Ibu sekalian melalui e-mail. Sekarang, saya perkenalkan guru sekaligus pembimbing Kelas Bintang yang akan membimbing anak-anak kita menjadi juara di antara mereka yang terbaik. Waktu dan tempat saya persilakan kepada beliau, Ms. Grace."

Tepuk tangan kembali terdengar. Wanita yang sebelumnya duduk di sebelah Willard berdiri, kemudian naik ke atas podium setelah menunduk hormat kepada Bu Laras.

Gibran bisa merasakan tatapan dingin di balik wajah tegas itu. Aula kembali hening menunggu Ms. Grace mengucap sepatah katanya. Ada sedikit senyum terbit, diteruskan oleh kalimat sambutan untuk Willard dan orang-orang penting lainnya.

"Saya merasa senang karena bisa berdiri di SMA swasta terbaik se-Indonesia ini sebagai calon pembimbing Kelas Bintang," ungkapnya penuh wibawa.

"Meski sebelumnya beberapa hal harus melalui diskusi yang sulit dan panjang antara saya dengan pihak EIS, tapi akhirnya kita bisa berjumpa."

Ms. Grace mengedarkan pandangannya. "Identitas saya tidak penting, tetapi saya bersedia menjawab semua pertanyaan wali murid bila ada yang penasaran mengapa wanita seperti saya dipercaya sebagai pembimbing Kelas Bintang."

"Seperti yang dinyatakan oleh Bu Laras sebelumnya, bahwa peluang lolos murid Kelas Bintang tahun ini setinggi 100%. Perfect."

Senyum Ms. Grace bertambah. "Saya diberikan wewenang untuk memberikan benefit yang lebih besar, maka saya akan menekankan satu hal lagi di sini."

Jiya benar.

Gibran bisa melihat hal tak masuk akal yang dimaksud oleh adiknya beberapa jam lalu. Kelas Bintang adalah salah satunya.

Ms. Grace tampak percaya diri, menghentikan kehebohan para wali murid dengan sebuah pernyataan.

"Selain peluang lolos sempurna di universitas impian, saya dapat menjanjikan murid Kelas Bintang akan meraih peringkat sepuluh besar se-Indonesia."

EIS sudah gila.

.


Tbc


sungkem dulu yuk sama Ms. Grace🙏🙏

btw, sebenernya ini bukan cerita anak-anak jenius ambis yg harus selalu dpt peringkat pertama, ya. lebih ke cerita ttg rahasia² mereka yg punya hubungan satu sama lain. aku jg udah bilang ada dikit misteri thriller-nya.

so, this is the reason why i call it 'ours'.

karena ini ttg rahasia mereka yg lama kelamaan bakal kita ungkap.

ya kalo sisi jenius ambis nya jg ada sih, nggak banyak bgt tapi.

oh iya, anggap Ujian Nasional masih berlaku, ya. Heheheheh....

next, mau update kapan beb?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro