bab 4
halooooo!!!
mbak Aga mau lewat, ya. misii~~
•
bab 4
[ rival ]
•
Berita kembalinya Medusa EIS-sebutan untuk Aga-sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kehadiran Aga di kelasnya dengan rambut tak biasa menjadi topik obrolan populer siswa-siswi angkatan kelas 12.
Terbiasa melihat Aga dengan warna rambut mencolok, kini gosip mengatakan gadis berandal itu berangkat dengan rambut hitam pendeknya. Meski masih mengenakan pakaian ketat dan tak melengkapi atribut, tetap saja perubahan tersebut adalah satu hal yang tidak disangka-sangka.
Jiya memiringkan kepalanya dengan tangan menyentuh telinga. Dari pagi sampai siang, entah sudah berapa ratus kali ia mendengar nama Aga disebut oleh murid lain. Rupanya gadis yang semalam dia lihat di depan rumah Rey itu lebih terkenal dari yang Jiya kira.
Ngomong-ngomong perihal kejadian semalam, Jiya tak salah lihat. Aga memarkirkan motor besarnya di depan rumah Rey, lalu masuk ke bangunan dua lantai tersebut dengan santai. Seakan memang sudah terbiasa mengunjungi.
Jiya tahu persis, Rey dan Aga-tambah Jo-memang berteman. Dia hanya tidak menyangka sepertinya mereka lebih dekat dari dugaannya.
Rambut Aga yang Jiya lihat semalam warna pink. Cukup cepat Aga mengubah rambutnya menjadi hitam lagi.
"Dia dihukum apa?" tanya Jiya pada Mela yang sedang mengambil sebuah sate, lantas segera dimakan sekali lahap.
"Bully?" jawab sahabatnya kurang yakin. Kedua bahu Mela terangkat. "Nggak tau, deh. Antara ngelawan guru sama ngebully anak-anak."
Jiya meringis, sedikit memajukan wajahnya dan menurunkan tone suara. "Emang separah itu, ya?"
Mela ikut maju, melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada yang menguping. Kepalanya mengangguk dua kali.
"Parah, Beb. Dia pernah bikin anak orang sampai rawat inap di rumah sakit. Ya gitu, lah. Sebelas dua belas sama Jo. Makanya dia abis kena skorsing dua hari."
Berbicara tentang Jo, nasib baik Jiya belum pernah melihat batang hidungnya. Dia terus memanjatkan doa supaya tahun ini tak pernah bertemu dengan sosok yang disebut pria paling berbahaya di EIS itu.
"Dia nggak pernah kapok?"
Mela tersedak, terburu-buru mengambil minum dan meneguknya hingga tandas. "Kapok? Aga? Never, Ji. Dalam kamusnya nggak pernah ada kata kapok," ujar Mela sok tahu.
"Ya tapi, kan, bisa-bisanya dia bully orang dua tahun gitu. Apa nggak kasihan?" gumam Jiya berpikir sendiri jika dia ada di posisi Aga. Sayangnya ia tak bisa memahami perbuatan Aga melakukan pembullyan.
"Gue, sih, nggak tau, ya. Nggak mau berurusan juga sama Aga. Emang kasihan orang yang dia bully, tapi kita juga nggak bisa bantu."
"Emang nggak pernah ada yang lapor?"
"Lapor?" ulang Mela. "Ada. Ada yang lapor dan Aga dihukum. Tapi dia nggak pernah kapok buat lakuin lagi. Jadi, rasanya nggak berguna buat lapor. Bahkan kalo kita ikut campur, kita yang bakal jadi korbannya."
"Sekolah nggak pernah biarin Aga dikeluarkan. Seburuk apapun kelakuannya, Aga nggak pernah dapet hukuman lebih berat dari skorsing," tambah Mela.
"Sama kayak Jo?" Jiya meringis, teringat Jo bahkan hampir membunuh temannya tapi tak dikeluarkan.
Sahabatnya mengangguk. "Sama kayak Jo."
"Gila," gumam Jiya spontan.
Awalnya ia mengira, sekolah di EIS akan terasa menyenangkan. EIS terkenal sebagai sekolah swasta populer. Murid-muridnya pintar, memiliki sistem pembelajaran pribadi yang lebih mengedepankan kemampuan dan bakat siswa.
Jiya sudah banyak mendengar berita tentang hebatnya murid-murid EIS meraih prestasi di setiap ajang perlombaan tingkat nasional, tak jarang juga sampai kancah internasional.
Namun, sekarang rasanya berbeda. Padahal dia baru menjadi murid dua hari lamanya, tapi sudah merasa banyak hal janggal di EIS. Banyak hal di luar nalar yang tak pernah Jiya duga akan terjadi.
Kini, EIS tidak sekeren yang Jiya pikir. Dibanding itu, justru Jiya merasa tak habis pikir dengan EIS. Ada bermacam-macam rahasia sekolah yang ingin ia kupas. Dia penasaran, juga takut. Takut tak bisa menahan rasa penasarannya sampai lulus nanti.
"Oh iya, gue baru ingat. Di kelas tadi guru ada kasih lo surat undangan buat wali murid?"
Jiya tak tahu, masih ada hal di luar nalar yang menunggunya.
"Ada. Undangan rapat bareng komite juga, kan?"
Satu per satu rahasia EIS datang dan membawanya masuk. Memaksa dia untuk bisa bertahan dan menjeratnya supaya tidak lari.
"Gue ada feeling undangan itu tentang Kelas Bintang."
Sebelah alis Jiya tertarik, tak tahu tentang kelas yang disebut oleh sahabatnya barusan. "Kelas Bintang?"
"Orang luar EIS emang nggak banyak yang tau tentang kelas ini." Mela mendekatkan wajahnya, lanjut berbisik, "Kelas Bintang khusus buat anak-anak jenius di EIS, Ji."
Jiya mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Gue nggak tau persis Kelas Bintang ada sejak kapan, tapi udah bertahun-tahun. Kelas ini cuman buat anak kelas 12 yang terpilih, tujuannya untuk persiapan ujian-ujian akhir."
"Kenapa nggak buat semua anak kelas 12?" tanya Jiya tak mengerti.
"EIS biasa nyewa satu tutor profesional buat Kelas Bintang. Biayanya nggak main-main pasti, lah. Kalo semua murid ikut, nggak efisien karena yang ngajar cuma satu. Probabilitas keberhasilan ujian juga susah diprediksi," jelas Mela seakan tahu banyak tentang kelas tersebut.
"Tahun kemarin cuma ada sepuluh kursi. Seleksinya nggak menentu, bisa dari ujian kenaikan kelas atau try out terbaru. Sepuluh orang peringkat teratas bakal dimasukkan ke Kelas Bintang," lanjut Mela bersemangat.
"Jadi, kelas itu semacam jam tambahan?"
Kepala Mela mengangguk. "Iya. Minggu-minggu awal masih biasa. Anak-anak Kelas Bintang dapet jadwal jam tambahan setelah KBM kelar. Tapi menjelang ujian akhir, mereka lebih sering izin kelas buat ikut jam tambahan alias Kelas Bintang."
"Benefit-nya?"
"Masuk universitas luar negeri? Jadi peringkat pertama? Diterima studi kedokteran?" Mela menggelengkan kepala tak yakin. "Gue nggak tau persis benefit apa yang ditawarin Kelas Bintang ini."
"Emang tahun ini bakal ada lagi?" tanya Jiya.
"Feeling aja gue. Kelas Bintang pasti ada. Entah itu sepuluh orang atau justru lebih. Yang jelas, gue yakin lo bakal masuk sini."
Jiya mengerutkan kening. "Kok gue?"
"Gue tau lo itu pinter, nggak usah ditutupin juga." Mela mengibaskan tangannya.
"Nggak, ah." Jiya menggelengkan kepala. "Ada banyak anak-anak jenius di sini. Gue peringkat pertama di sekolah dulu bahkan nggak menjamin masuk sepuluh besar di EIS."
"Ya elah, Ji. Dipuji-puji malah lo merendah diri. Gimana, sih?" kesal Mela. "Gas kita taruhan lo nanti bisa masuk Kelas Bintang atau nggak."
Jiya meneguk minumnya tak peduli dengan tawaran Mela. "Males, ah."
"Ih, buru! Kalo tebakan gue bener, lo harus beliin gue album TXT."
Mata Jiya melotot mendengarnya. Spontan dia langsung menepuk lengan Mela keras. "Duit dari mana, heh? Ngada-ngada lo."
"Hayo, loh! Tadi katanya lo nggak yakin bisa masuk," goda Mela cekikikan. Hingga akhirnya Jiya menyerah dan mengangguk mengiyakan.
.
Wah.
Sejak dua jam pelajaran terakhir, Jiya tak berhenti mengucap kata-kata kagum dalam hatinya. Ia menganggukkan kepala dalam diam menyetujui perkataan Mela terkait tampang guru Kimia kelas 12.
Mela pernah bilang alasan kenapa anak-anak EIS jurusan IPA bisa bertahan di tengah-tengah stress karena rumus hanya satu. Pak Gilang, guru Kimia yang masih muda. Di balik usianya, Pak Gilang juga memiliki wajah tegas yang dalam sekali lihat dipastikan membuat anak gadis ketar-ketir.
Dan Jiya mengakuinya sekarang.
"Jangan lupa minggu depan kita ada praktikum, ya."
"Siap, Pak Gilang!" Rasanya hanya ada suara perempuan di kelas itu, menjawab dengan suara lantang.
Pak Gilang terkekeh. Sekali lagi Jiya membuka mulutnya karena terpana. Sudah lama dia tidak melihat manusia tampan. Ya, meskipun sekarang pun Jiya tengah duduk satu bangku dengan spesies langka itu.
Tangan Pak Gilang terangkat karena empunya memeriksa waktu yang tersisa. "Masih ada tiga puluh menit sebelum jam pelajaran saya berakhir. Kalian bisa gunakan untuk persiapan mata pelajaran selanjutnya, ya."
"Waktunya bisa diganti sama Pak Gilang aja nggak, Pak?"
Sorakan terdengar begitu seorang gadis melempar pertanyaan mewakili siswi-siswi lain. Para pria di kelas itu bersorak tak terima, kecuali Rey yang hanya terkekeh melihat kelakuan teman-temannya.
"Mau saya kasih materi bab selanjutnya dulu, nih?"
"Nggak, Pak! Terima kasih!"
Pak Gilang tertawa renyah begitu jawaban kompak keluar. Hingga tak menghabiskan waktu lama ia keluar setelah para siswi menyerah karena tak mau terlibat lagi dengan Kimia. Mereka cuma mau gurunya saja.
Jiya geleng-geleng kepala. Rey di sampingnya menoleh. "Biasa gitu kalo Pak Gilang ngajar, Ji. Maklumin, ya."
"Eh? Iya, gue maklum kok." Gadis itu terkekeh lucu. "Mapel selanjutnya apa, ya?"
"Bahasa Inggris. Pak John kemungkinan nggak bisa hadir, sih. Beliau masih dinas," jelas Rey.
Kepala Jiya mengangguk saja. "Berarti belajar sendiri, nih?"
"Ada tugas di grup." Rey menunjukkan ponselnya yang menampilkan file tugas dari Pak John. Rupanya tugas itu baru muncul.
Jiya mengambil ponselnya, memeriksa tugas dan langsung mengerjakan. Kemampuan berbahasa Jiya tidak bagus-bagus banget, tapi tidak buruk juga. Dia masih bisa menulis berdasarkan tata bahasa yang dijadikan pedoman. Bahasa Inggris Jiya juga termasuk di atas rata-rata.
Hanya saja, terkadang otaknya harus berpikir lama bila sudah berhadapan dengan tenses.
Persis seperti sekarang.
Entah sudah berapa kali Jiya mencoret-coret bukunya karena ragu menjawab. Dia bukan tipe murid yang langsung tanya Google bila belum menemukan jawaban pasti.
Jika begini caranya, Jiya tidak yakin dia bisa masuk ke Kelas Bintang. Bahasa Inggris saja dia belum fasih mengerjakan, ditambah Fisika yang sejak dulu menyandang status sebagai mata pelajaran paling sulit untuknya.
Berbicara tentang Kelas Bintang dan Fisika, Jiya jadi menolehkan kepala ke arah Rey. Tangannya menjadi penyangga dagu, menatap si Ketua OSIS yang sedang sibuk mengerjakan angka-angka rumit karena tugas Bahasa Inggrisnya sudah selesai sejak tadi.
Jiya jadi penasaran dengan pertemanan Rey, Aga, dan Jo. Maksudnya, bagaimana bisa Rey berteman dekat dengan Aga dan Jo yang memiliki status buruk di EIS?
Dia tahu. Jiya tahu Rey sebagai Ketua OSIS di sini. Namun tetap saja, rasa penasaran itu muncul. Tanpa dia sadari, secara tak sengaja ingin mengerti lebih banyak tentang Rey.
"Jangan liatin gue gitu, Ji. Nggak aman buat jantung."
Mampus. Jiya langsung mengerjapkan mata dan mengalihkan tatapan ke arah dinding. Rey terkekeh melihat responnya. "Ada yang mau lo tanyain ke gue?" tambah pria itu.
"Enggak," jawab Jiya terlalu cepat. Keningnya terlipat dalam setelah berpikir beberapa saat. "Eh, ada!"
Rey meletakkan pulpennya, memberikan atensi kepada Jiya. "Apa?"
"Lo tau tentang Kelas Bintang?"
Selepas melempar pertanyaan, baru Jiya sadar betapa tidak berbobotnya pertanyaan itu. Jawabannya sudah pasti, ia tak perlu repot-repot bertanya.
"Iya, gue tau."
Ini Rey.
Manusia tampan yang Jiya anggap jenius dan penuh ambisi. Kata ayah Rey, dulu Rey mendapatkan posisi pertama ujian masuk EIS. Di mana ujian tersebut memiliki tingkat penalaran tinggi dan selalu diagung-agungkan sebagai ujian tersulit masuk SMA swasta.
"Sebenarnya kelas itu buat apa?"
Rey mengangkat kedua bahunya. "Seperti namanya aja, mengumpulkan murid-murid paling cerdas di EIS."
"Dengan tujuan?"
"Mempertahankan akreditasi dan prestasi EIS yang udah terukir selama bertahun-tahun," jawab Rey tanpa ragu.
"Jadi, selama ini... "
Kepala Rey mengangguk.
Kini, Jiya akhirnya tahu. Murid-murid EIS memang terkenal karena prestasinya. Namun di balik itu, ada Kelas Bintang yang menjadi motif seluruh anak-anak cerdas masuk EIS.
"Kelas Bintang ibaratkan jantung EIS. Alasan nomor satu kenapa para orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sini," lanjut pria itu.
Dengan kata lain, EIS bisa terkenal dan menjadi SMA swasta terbaik dikarenakan Kelas Bintang. Akreditasi dan prestasi yang dimaksud Rey barusan ada karena Kelas Bintang.
"Tahun ini Kelas Bintang bakal ada lagi?"
Sudut bibir Rey tertarik ke atas, seolah menertawakan pertanyaan bodoh yang dilontarkan Jiya.
"Itu pasti."
"Emang apa yang mereka kasih ke anak-anak Kelas Bintang?"
"Tiap tahun nggak menentu benefit-nya apa." Rey diam sejenak untuk mengingat waktu beberapa tahun lalu. "Dulu Kak Raya juga masuk Kelas Bintang. Tutornya menjanjikan seluruh siswa Kelas Bintang akan lolos masuk perguruan tinggi yang diinginkan."
"Dan akhirnya Kakak lo berhasil?"
Rey merespon dengan anggukan dua kali. "Dia jadi lulusan terbaik dan masuk kampus impiannya di Berlin."
Jiya termenung sejenak. "Wah."
"Kenapa mendadak kepo sama Kelas Bintang?" tanya Rey begitu melihat ekspresi Jiya. Kentara sekali gadis itu terkejut setiap mendengar fakta tentang kelas anak-anak jenius di EIS.
"Gue baru tau tentang Kelas Bintang," jawab Jiya jujur.
"Maklum, sih. Walaupun Kelas Bintang populer, tapi orang biasa nggak begitu tau karena beberapa juga anggap ini cuma kelas biasa." Rey mengeluarkan kekehan tipis. "Beda banget sama orang-orang yang mengharuskan anaknya lanjut di kampus ternama."
Jiya tersenyum kecut. "Gue nggak berharap banyak, sih."
Satu alis Rey tertarik ke atas. "Kenapa?"
"Gue dengar tahun kemarin cuma sepuluh anak terpilih. Anak-anak EIS ambisnya nggak tanggung-tanggung, Rey. Gue bahkan nggak yakin bisa jadi lawan yang seimbang."
Rey terkekeh. "Menurut gue, lo justru lawan paling kuat."
"Eh?" Jiya mengerjap mendengar itu. Ia tertawa kaku. "Ngaco, ah."
"Tapi gue nggak bohong, Ji." Rey mempertahankan senyumnya, memberi tatapan dalam pada Jiya yang sudah menghentikan tawa. "Gue serius."
Bibir Jiya jadi terkatup rapat. Bohong jika dia mengelak pemikiran ada yang aneh dengan Rey. Ingatannya memutar rekaman kejadian semalam di meja makan keluarga Anggara. Rasa penasaran dalam benak Jiya semakin besar, membuatnya lupa akan kata-kata Mela bahwa dia harus menjauh dari Rey.
Sebab tidak diragukan lagi, perlahan-lahan dirinya mulai terjebak. Hingga Jiya tak mampu lagi melihat batas yang pernah dia buat sendiri.
"Gue boleh tanya lagi?"
Dia hanya ingin memastikan saja.
Rey menganggukkan kepala, mempersilakan Jiya kembali bertanya kepadanya. "Tanya aja."
"Semalam waktu mau balik, gue liat ada cewek dateng ke rumah lo." Jiya bisa melihat garis di sudut bibir Rey menurun. "Boleh gue tau siapa dia?"
Rey hanya diam menatap jari telunjuknya yang dibalut plester. Kejadian semalam masih membekas kuat di ingatannya. Saat Aga datang dan lagi-lagi menyaksikan bagaimana Rey menjadi orang paling menyedihkan.
Karena sekali lagi, Aga akan semakin membencinya.
Prang!
Rey memejamkan mata begitu Rangga melempar piring ke lantai hingga pecahannya berserakan.
"Kalian berdua ke atas."
Nada dingin yang keluar dari bibir Rangga membuat Katya bergegas menarik tangan Rea untuk naik ke lantai dua.
Sedangkan kepala Rey sejak tadi hanya menatap ke arah bawah, tak berani melihat wajah ayahnya yang penuh amarah.
Rangga masih berusaha mengontrol emosinya. Ia bangkit berdiri dan menghampiri putra keluarga Anggara. Karena Rey satu-satunya anak laki-laki di keluarga itu, Rangga merasa Rey harus bisa melindungi semua impiannya.
Impian untuk membuat seluruh anak keluarga Anggara diakui oleh dunia.
Langkah kaki Rangga berhenti di depan Rey. Tanpa aba-aba, tangannya mengayun kuat dan mendarat mulus di pipi cowok itu.
Bibir Rey meringis perih. Matanya mengerjap untuk beberapa saat, sebelum kembali memasang posisi dengan kepala menunduk. Seperti biasa.
"Ayah mau kamu sadar," ujar Rangga dingin. "Kamu harus sadar waktumu tidak lagi banyak, Reynaldi."
Rey masih diam dengan tangan yang terkepal di samping tubuhnya.
"Sebentar lagi akan ada pemilihan untuk Kelas Bintang. Kamu pasti paham yang Ayah maksud."
Telunjuk Rangga terangkat di depan wajah putranya. "Kamu harus menjadi salah satu yang terpilih, seperti kakakmu dulu."
"Waktumu tidak lagi banyak dan sekarang kamu punya musuh baru?" imbuh Rangga seraya terkekeh sinis.
"Anak itu bahkan mendapatkan undangan EIS. Dia setara dengan Jo."
Rasanya seperti ada yang mendepak harga diri Rey, menginjak-injak hingga tak lagi memiliki sisa. Dan orang yang melakukannya adalah ayah kandung Rey sendiri, sejak dulu.
Mendengar kalimat Rangga barusan menyadarkan Rey bahwa dia tidak pernah setara dengan Jo. Selama ini, dia belum bisa mencapai standar anak terbaik yang ditetapkan oleh Rangga.
"Kamu bisa apa, Reynaldi? Jika begini terus, bisa-bisa impian mahasiswa kedokteran milikmu itu langsung sirna. Tidak usah berharap banyak sekalian karena kamu tidak akan bisa menang melawan keduanya."
Sakit.
Ucapan ini lebih sakit daripada tamparan keras yang dilayangkan beberapa menit lalu.
Rangga berlalu pergi keluar tanpa menghiraukan Rey yang masih diam membisu di posisinya. Di tangga, Rea datang menghampiri. Rey bisa melihat mata adiknya memerah, entah karena marah atau sejak tadi menahan tangis melihatnya kembali bertengkar dengan ayah mereka.
Tangan Rea meninju lengan Rey kesal. "Abang kenapa diam aja dari tadi? Kenapa nggak balas omongan Ayah kalo selama ini Abang juga berusaha keras biar bisa banggain Ayah?"
Rey tersenyum kecil, mengacak pucuk rambut adik perempuannya. "Kenapa nggak tidur? Buruan ke atas."
Rea langsung menepis tangan kakaknya. "Jangan ngalihin pembicaraan. Abang selalu aja begini. Kenapa, sih, Bang? Padahal Abang bisa lawan Ayah."
Helaan napas lolos dari bibir Rey. "Abang capek, Re. Kita omongin nanti aja."
"No. Rea mau Abang susul Ayah dan bilang kalo Abang udah belajar mati-matian buat bisa jadi yang terbaik."
"Buat apa, sih, Re?"
"Biar Ayah sadar, Bang!" Rea terpaksa menaikkan intonasi bicaranya. "Bahkan Bunda nggak turun tangan bantuin Abang karena takut sama Ayah. Mau sampai kapan Abang begini?"
Rey memijat pelipisnya yang pening. "Abang nggak papa, Rea. Kamu nggak perlu khawatir."
"Nggak khawatir gimana? Ayah udah main tangan sama Abang," lirih Rea. Wajahnya sudah dipenuhi air mata. Bibirnya gemetar. Rea berharap Raya ada bersama mereka dan bisa membuat Rey sadar bahwa semuanya tidak sedang baik-baik saja.
"Rea nggak mau Abang luka," imbuh gadis cilik itu.
"Abang cuma nggak mau kamu kena juga, Re. Jadi tolong, jangan libatin diri, ya?"
Rea menggeleng tegas. "Abang masih nggak paham juga? Rea nggak tahan, Bang. Rea benci sama Ayah yang suka main kasar. Rea juga benci sama Bunda yang nggak pernah nolongin Abang. Sekarang Rea benci sama Abang yang lemah!"
"Rea!" Rey menarik panjang napasnya. "Jaga bicara kamu, Re. Ini keluarga kita."
Bibir Rea tertarik ke atas untuk terkekeh. "Abang bercanda? Is it 'family'? Abang paling tau, sejak awal keluarga kita nggak baik-baik aja."
Rea langsung pergi menuju kamar dan meninggalkan kakaknya. Rey hanya bisa mengusap rambut frustasi.
Akhirnya selalu seperti ini.
Rangga yang mengamuk dan memarahinya hingga berakhir main tangan dengan Rey.
Kedua, Rea yang datang untuk memaksa Rey melawan Rangga.
Omong kosong.
Rey tidak akan pernah bisa melawan ayahnya sendiri. Keluarga Anggara yang dilihat orang lain adalah keluarga harmonis dan sempurna. Tapi menurut Rey, keluarga Anggara hanyalah cermin retak yang siap untuk pecah menjadi berkeping-keping kapanpun waktunya.
Ia menunduk dan mengumpulkan pecahan piring yang dilempar oleh Rangga. Bibirnya meringis perih saat terkena sudut lancip hingga membuat darah keluar dari telunjuknya. Rey terkekeh miris, lantas menggeleng-gelengkan kepala karena menganggap hidupnya memang penuh drama.
"Stupid."
Gerakan tangan Rey terhenti. Kepalanya mendongak dan mendapati sosok gadis berambut pink berdiri di depannya dengan melipat tangan di depan dada.
Ketiga, kehadiran Aga yang selalu tepat waktu menyaksikan bagaimana Rey menjadi orang paling menyedihkan.
"Rey?"
Panggilan Jiya membuat Rey menolehkan kepala. "Dia Aga, teman gue."
Jiya mengangguk-angguk, meski sebenarnya sudah tahu. Seperti yang sudah dikatakan, dia hanya ingin memastikan.
"Lo deket banget sama dia, ya?"
Meski samar, ia masih bisa melihat senyum tipis terbit di bibir itu. "Dia yang bikin gue bertahan."
Jawaban itu membuat Jiya membulatkan mulutnya, tambah yakin hubungan Rey dan Aga lebih dekat dari yang ia kira sebelumnya.
"Gitu rupanya."
Rey melirik, sedikit memiringkan kepala untuk menatap Jiya. "Giliran gue yang tanya."
"Apa?"
Senyum di bibir Rey kembali muncul. "Lo les di mana?"
Tanpa banyak pikir, Jiya langsung menggeleng. "Gue nggak ikut les, Rey."
Sekarang Rey tahu.
Apa yang dikatakan oleh Rangga semalam benar. Semuanya adalah fakta. Rey mengaku, Jiya setara dengan Jo. Orang yang wajib Rey kalahkan.
Jo mungkin bisa bertingkah seenaknya dengan sistem peringkat karena tak pernah peduli bahkan jika menempati posisi terakhir. Namun, tidak dengan Jiya.
Sekarang Rey harus berperang lagi untuk mempertahankan singgasananya.
.
Aga membuka pintu markas dengan kasar. Bibirnya tak berhenti komat-kamit karena kesal.
"Sialan, si Gendis! Rambut udah gue bela-belain warna item malah ditegur. Maunya apa, sih?" sungut gadis itu dilanjut melempar tubuhnya ke atas sofa.
"Emang dibilangin apa?" tanya seorang cowok berambut pirang yang memejamkan mata sambil tiduran di atas ayunan. Tangan kirinya dia letakkan di depan wajah.
"Ke sekolah harusnya pake rok selutut, bukan rok mini buat clubbing. Sekalian aja pake bikini," terang Aga. "Gitu katanya."
Jo membuka matanya untuk mengumpat. "Goblok."
"Iya, kan? Emang Gendis goblok banget." Aga menganggukkan kepala tanpa merasa bersalah.
Sedangkan Jo hanya memutar bola mata, malas menanggapi. Biarkan saja Aga dengan asumsinya sendiri.
"Lo kapan balik kelas? Hobi banget bolos," tanya Aga. Dia sudah mengeluarkan ponsel dan berkutat dengan aplikasi instagram.
"Ngaca tolong."
"Ya tapi gue beda sama lo, anjir. Gue masih mending bolos tapi nitip presensi. Lah, lo? Berangkat sekolah malah melipir ke markas."
"Males aja," singkat Jo tak mau memperpanjang. Lagian dia sudah biasa. Meski tidak mengisi presensi kehadiran kelas, tapi dipastikan tak ada keterangan alpa di rapor nanti.
"Eh, lo tau EIS kemarin ada murid baru?" tanya Aga lagi. Matanya sedikit melirik ke arah Jo yang hanya diam tak menjawab. Sampai akhirnya dia harus melempar tasnya. "Jawab, anjing."
Jo berdecak. "Nggak tau, lah."
"Dia murid baru, loh, Jo." Aga menekan kata-katanya. "EIS kasih undangan. Dia jenius."
Kedua bahu Jo terangkat tak peduli. "Gue lebih jenius dari dia."
Aga menatapnya horor. "Wah, padahal gue lagi ngomong sama peringkat paling bawah seangkatan."
"Lo tau gue sengaja, Ga."
"Iya-iya. Kalo lo mau, lo bahkan bisa bikin media ricuh karena dapet nilai sempurna se-Indonesia, kan?" Aga mengibaskan tangannya. Dia tahu otak Jo mampu mengalahkan semua murid di EIS, bahkan Rey bukan tandingannya.
"Gue cuma mikir," imbuh Aga.
"Jangan kebanyakan mikir, nggak cocok buat lo."
Aga melayangkan tatapan sinis. "Tai lo!"
Jo terkekeh saja. "Masalah Rey?"
Kepala Aga mengangguk. Gadis paling dijauhi murid-murid EIS itu kembali mengingat kejadian semalam di rumah Rey. Dia dengar semuanya. Dia menyaksikan semua yang terjadi di sana. Bagaimana Rangga melempar piring hingga berakhir pada Rey yang hanya pasrah seperti biasa.
Bodoh.
Aga tak akan pernah lelah mengatakan bahwa Rey adalah orang paling bodoh yang dia kenal.
"Semalam dia kena amuk bokapnya karena punya saingan baru, bahkan sampai bawa-bawa Kelas Bintang," jelasnya.
"Lo sama Rey masih sering dibandingin, padahal Rey peringkat pertama dan lo terakhir. Sekarang ditambah anak baru yang dapet undangan EIS. Gue nggak yakin Rey bisa hadapin bokapnya tiap hari," tambah Aga.
Jo terdiam lama. Dia juga tahu sejak dulu Rangga selalu mengistimewakan dirinya daripada anak sendiri. Jo seperti dijadikan patokan sempurna oleh Rangga yang harus dicapai Rey.
Rangga adalah dokter pribadi Willard, kakek Jo. Jadi, keluarga Jo mengenal baik keluarga Rey sejak dulu. Bayangkan saja, Rey sudah dibandingkan dengan Jo bahkan saat mereka masih kecil dan belum mengerti apa-apa.
"Rey udah biasa. Dia bakal nyerah kalo udah waktunya."
Aga menaikkan alis tak mengerti. "Nyerah maksud lo?"
"Pura-pura lemah." Jo bangkit. Dia menggendong tas hitamnya di bahu kiri, lalu menghampiri Aga untuk menepuk pundak gadis itu dua kali. "Rey nggak lemah, Ga. Dia lebih kuat dari yang kita kira."
Jo melangkah pergi. Aga berteriak memanggilnya. "Mau ke mana lo?"
Sebelah tangan Jo terangkat ke atas untuk melambai singkat. "Kafe."
Bel pulang terdengar tak lama setelah badan Jo menghilang di balik pintu. Aga berdecak menatapnya. "Kebiasaan."
Kaki Jo terus melangkah menyusuri koridor belakang yang sepi. Jika orang-orang melihatnya berkeliaran di sekolah seperti ini, dipastikan berita kembalinya Jo menjadi trending topic EIS.
Jo sudah tidak pernah memperlihatkan batang hidungnya sejak seminggu lalu, seakan ditelan bumi begitu saja setelah membuat salah satu anak IPS babak belur di halaman sekolah.
Bukan rahasia lagi bahwa Jo sering memukul orang. Tak jarang juga Jo melanggar aturan sekolah hingga mendapat poin. Tapi dia masih tetap naik kelas dengan kehadiran yang terisi penuh.
Tentu saja begitu, sebab Jo adalah cucu pemilik sekolah.
Jo hanya akan hadir di kelas saat dia ingin. Kakeknya sendiri sudah lelah memberikan wejangan supaya tidak membuat masalah lagi, tapi Jo adalah Jo. Dia bukan tipe orang penurut. Semakin diatur, semakin kuat tekadnya untuk melanggar.
Ia melambatkan langkah kakinya begitu sampai di parkiran yang sepi. Beberapa anak mungkin belum keluar kelas atau memutuskan untuk main di sekolah dulu. Tak sedikit juga yang melipir ke ruang ekskul masing-masing untuk menjalankan program kerja demi mengisi kolom pengalaman berorganisasi di rapor.
Tangan Jo meraih helm full face hitamnya. Dia memakai helm itu sembari naik ke motor merah besar. Diam-diam Jo mengejek mereka yang tak menyadari kehadirannya di sekolah padahal jelas-jelas motor Jo terparkir nyaman di parkiran EIS.
Jo sudah bersiap untuk pergi ke kafe, tapi tindakannya urung saat melihat seorang gadis berjalan terburu-buru. Bukan untuk menyetop bus yang sudah berlalu, tapi untuk menghampiri seekor kucing putih di bawah pohon.
Mata Jo tak bisa mengalihkan atensinya. Dia terus memperhatikan bagaimana gadis itu mengeluarkan sekotak susu stroberi dan menumpahkannya ke plastik sehingga kucing di sana bisa minum.
Dia juga melihat bagaimana wajah gadis itu dipenuhi senyuman lebar dan tatapan berbinar dengan tangan mengelus pucuk kepala kucing. Rambut pendeknya diikat cepol sehingga Jo bisa melihat leher jenjangnya.
Jo mengerjapkan mata, lekas sadar dengan apa yang terjadi. Dia mengeluarkan ponsel, menghubungi Aga.
"Apa? Mau minta ongkos?"
"Murid baru yang lo bilang tadi." Jo menjeda ucapannya. Ia kembali menatap gadis tadi. "Siapa namanya?"
"Kenapa emang?"
"Jawab aja."
"Jiya." Jo memejamkan mata sembari mengepalkan tangannya kuat mendengar jawaban dari Aga. "Namanya Jihanna Adenium."
.
Tbc
.
bonus
.
Rey memeriksa jam di ponselnya. Sudah hampir pukul lima sore. Dia bergegas menutup buku tebal di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam tas. Beberapa buku yang masih tersisa dijadikan satu olehnya. Pandangan Rey tersita pada salah satu buku yang menjelaskan secara detail tentang materi algoritma.
Bibir Rey tersenyum miring. Dia jadi teringat Jiya.
Gue nggak ikut les, Rey.
Pertanyaan yang sejak kemarin mengganjal di hati Rey sudah memiliki jawaban pasti. Kedatangan Jiya di EIS bukan untuk menjadi teman bagi Rey, tetapi musuh. Salah satu saingan selain Jo yang harus Rey kalahkan.
Anak itu bahkan mendapatkan undangan EIS. Dia setara dengan Jo.
Rey memejamkan matanya.
Shit!
Kata-kata menyakitkan yang diucapkan oleh Rangga terus membayangi Rey, bahkan tak segan untuk masuk menjadi mimpi buruk setiap malam. Rey benar-benar dihantui oleh tuntutan Rangga. Tuntutan untuk tetap menjadi peringkat pertama. Tuntutan untuk bisa setara dengan Jo dan Jiya. Karena jika dia belum bisa mencapainya, maka Rey belum bisa menganggap bahwa ia adalah anggota keluarga Anggara.
Tidak usah berharap banyak sekalian karena kamu tidak akan bisa menang melawan keduanya.
Rey mengepalkan tangan, berusaha untuk tidak menonjok meja perpustakaan yang ada di depannya. Dia terus meyakinkan diri bahwa Jiya tidak bisa menang melawannya, bahkan Jo sekalipun sama. Jo akan tetap di posisi terakhir dan Jiya tak memiliki kesempatan berada pada peringkat pertama.
Peringkat pertama adalah singgasana Rey. Tak akan Rey biarkan siapapun merenggut tempatnya.
Untuk sekarang, rencana Rey hanya satu. Dia harus bisa masuk Kelas Bintang. Dengan begitu, masa depannya akan terjamin. Impiannya bisa dia pegang kembali.
Rey akan memastikan dirinya masuk dalam daftar murid terpilih. Mereka salah besar. Rey sanggup melakukan apapun untuk bisa mempertahankan singgasananya.
Ya, apapun.
.
welcome, bang Jooooo!!!!
haiiiii!!!
ngantuk bgt ngetik malem-malem.....
btw, aku emang ngaret kalo mau update cerita ini. bukannya nggak suka. justru karena aku paling suka sama ours, jd tiap nulis ini mesti hati-hati.
jujur, cerita mereka tuh seru banget. aku yg nulis aja suka greget sendiri wkwkwk.
kalo ada salah pemahaman atau aku yg nggak fokus nulis, bisa bilang di komentar, ya.
aku butuh semangat nulis, nih. huhuhu..... kalian suka sama ours nggak, sih? kasih alasan knp aku harus cepet update ours.
sampai jumpa di part berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro