Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 14

haloooooo!

cek ombak dulu, yaa. say "makasih update nya cantikkk!" wkwkwkwk.

yg ngeship 2J siapa nih?

kita satu kapal, yeay!

.

"Dulu, lo korban bullying."

Fuck! Fuck! Fuck!

Jiya menajamkan mata. Genggaman tangannya semakin mengerat.

"Terus?"

"Puncaknya, lo nyoba ngelawan dan hampir jadi pembunuh. Alasan lo dikeluarin dari sekolah itu."

Jiya tertegun, bertanya lagi melalui tatapannya hingga Jo melanjutkan, "Cuma itu."

"Lo nggak tau alasan gue dibully?"

"Apa?"

Kepala Jiya langsung menggeleng. "Lupakan." Dia memundurkan langkahnya, sedikit rileks. Sebab hal penting di sini adalah Jo tidak tahu akar dari masalah bullying itu. Atau setidaknya, belum. "Lo nggak ada niat selicik Rey buat nyebarin ke anak-anak EIS, kan?"

Mata Jo tampak menyipit tak terima. "Gue nggak."

"Bagus, lah."

Diam-diam Jiya menghela napas lega. Di sekolah ini, hanya ada tiga orang yang tahu persis bagaimana kejadian beberapa tahun lalu. Alasan mengapa Jiya hampir membunuh teman sekolahnya sendiri. Alasan dia membenci para perundung. Hanya tiga orang.

Dia.

Mela.

Dan tentunya satu orang yang harus selalu ia waspadai.

Kepala Sekolah EIS, Bu Laras. Alias bibinya.

"Gue pergi."

Jo hendak meninggalkan tempat, sebelum tangan Jiya secara singkat bertengger di lengannya. Meski sebentar, karena Jiya langsung menyadari apa yang dia lakukan. Dialihkan tangannya itu untuk mengelus belakang lehernya. Sebuah refleks yang terjadi saat tak sengaja melakukan hal tanpa pikir panjang.

"Makasih," ujar Jiya menekan bibirnya hingga suara yang ia keluarkan nyaris seperti bisikan. "Dan maaf lagi, soal kemarin. Sama barusan, gue udah ngira lo bakal kayak Rey."

Jo membalasnya hanya dengan anggukan kecil, lalu beralih pergi sambil membawa totebag sepatu miliknya. Meninggalkan Jiya yang kini sudah berani mengangkat pandangan untuk melihat bagaimana punggung berseragam putih itu menjauh dan hilang di balik tembok.

Ia pun masuk ke dalam kamarnya. Termenung. Memikirkan dari mana Jo bisa tahu tentang video itu. Meski sebenarnya bukan urusan penting bagi Jiya, sebab dia harus lebih berhati-hati lagi dengan Rey.

Jo mungkin akan tetap diam, bahkan jika tahu alasan perundungan Jiya di masa lalu. Karena pria itu memang tidak pernah peduli dengan segala hal di luar kepentingannya.

Tapi tidak dengan Rey.

Sebab Jiya sudah masuk ke dalam satu hal dari semua kepentingan Rey. Sebagai orang yang harus Rey waspadai. Sebagai orang yang Rey jadikan jembatan untuk bisa kembali ke posisi pertama.

Rey.

Jiya harus segera menemuinya.

.







bab 14
[ trauma ]

Besok Sabtu. Artinya bagi murid Kelas Bintang, pulang sekolah hari ini bisa langsung ke rumah untuk dua hari ke depan.

Aga sebenarnya malas, tapi dia diancam oleh ayahnya jika tidak pulang tiap minggu. Yah, ancaman apalagi selain diusir dari rumah dan bla bla bla. Sudah Aga hapal di luar kepala sangking seringnya.

Gadis yang kini memiliki rambut berwarna hitam campur pink itu memarkirkan motor besarnya di depan rumah. Tangannya terangkat untuk merapikan rambut, sedikit berantakan setelah ia melepas helm full face.

Langkah kaki Aga dengan pasti masuk ke dalam rumah. Ia terhenti di rak sepatu, melihat milik ayahnya juga ada di sana. Tidak biasanya Juanda pulang secepat ini. Tapi sekarang dia tahu alasannya, begitu ada sepatu wanita tersusun rapi di samping sepatu Juanda.

Sialan!

Juanda tidak mengindahkan kebencian Aga pada wanita murahan itu. Ia terdiam beberapa waktu hanya untuk melampiaskan amarah, melalui kepalan tangan yang tak dapat disalurkan kemanapun. Baik, untuk hari ini Aga tidak akan lagi peduli. Selagi wanita satu itu juga tidak mencari masalah dengannya.

Dengan langkah cepat, Aga memasuki rumah megah keluarga Tamara. Kamarnya berada di lantai dua sehingga harus melewati ruang tamu dan makan. Aga sudah bersiap menghadapi wajah memuakkan wanita simpanan ayahnya, tapi dia tak menemukan mereka.

Setidaknya itu lebih baik.

Sampai akhirnya Aga berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka. Pun barang-barang asing penuh warna berserakan di sana, membuat Aga mengernyitkan kening. Suara anak kecil memenuhi indera pendengarannya. Diikuti perubahan mimik wajah Aga.

Dia menatap tak suka. Benci. Sangat.

"Keluar," ujarnya dingin. Menghentikan aktivitas seorang gadis cilik berpakaian serba pink dengan bando di rambut pendeknya.

"Kak Aga?" Anak kecil itu mendekat dengan wajah senang. Antusias.

"Keluar gue bilang." Sekali lagi Aga berujar, masih dalam nada tak bersahabat. Seolah sedang berusaha untuk tidak berkata keras pada anak kecil di depannya.

"Kak, ayo main sama Aya. Aya udah bawa banyak banget—"

"KELUAR GUE BILANG, SIALAN!"

Gadis cilik itu, Ara, terpaku. Terkejut, hingga detik berikutnya menangis keras. Ia berlari menghampiri ibunya yang datang tergesa-gesa bersama ayahnya.

"Bunda! Kak Aga nggak mau main sama Aya!" Tangisannya benar-benar memuakkan. Telinga Aga seakan ingin pecah.

"Aga—" Ia menjauh dari Juanda yang berusaha mendekatinya. Menatap tanpa rasa hormat pada satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang itu. Tatapan kecewa. Juga marah.

"Sayang, kamu ke kamar dulu, ya." Aga sempat melihat Nara, wanita yang dibawa ayahnya, berujar penuh kelembutan pada anak kecil tadi.

"Baik, Bunda." Kaki kecilnya berlari menghilang dari hadapan Aga, mengundang kekehan miris di bibir Aga. Ketiga orang di depannya tampak seperti keluarga bahagia.

"Agatha, sini—"

"Gue udah bilang buat jangan sekalipun liatin muka lo di depan gue, paham?" Kali ini, ia memotong ucapan Nara. "Dan sekarang lo justru bawa anak sialan lo ke rumah ini?"

"Agatha, jaga bicara kamu!"

Aga menatap ayahnya. "Kenapa? Papi mau nampar Aga lagi? Tampar! Tampar sampai Papi puas! Papi baru bisa bawa mereka berdua kalo berhasil bunuh Aga!"

Juanda mengusap wajahnya frustrasi. "Mereka keluarga kamu, Ga. Ara adik kamu sendiri."

"GUE NGGAK PUNYA ADIK!"

Prang!

Aga berteriak keras, melempar semua barang yang ada di meja kamarnya. Nara memekik terkejut, menutup mulutnya tak percaya. Calon suaminya memang sudah mengatakan bahwa akan sulit untuk membuat Aga menerimanya dan Ara, sebab Aga akan selalu melawan dan berakhir menyakiti diri sendiri. Tapi dia tidak tahu akan separah ini.

Tangan Aga gemetar. Pandangannya sudah tidak fokus, matanya mulai berair menatap sang Ayah. Kedua bahunya naik turun mengatur napas.

"Nara, telepon kontak Reynaldi di hape aku," pinta Juanda sebelum dia kembali menatap putrinya. "Tenang dulu, Ga, oke? Papi minta maaf. Kamu jangan kayak gini lagi."

Aga tertawa hambar. "Kenapa, Pi? Bukannya Papi mau Aga mati kayak Mamah?"

"Agatha! Nurut Papi bilang!"

"Mas," tegur Nara. "Biar aku yang coba bujuk Aga."

"Lo mau bujuk gue?" Aga terkekeh meremehkan.

"Ini memang salah Tante, Ga. Tante minta maaf sama kamu, tapi gimanapun Ara adalah adik kamu."

"Shit! Kalian tau? Kalian bertiga yang udah bikin Mamah mati. Kalian pembunuh."

"Aga, kamu tau sendiri Mamah kamu yang memilih."

"Memilih?" Aga menatap ayahnya tak percaya. "Pilihan itu nggak akan pernah ada kalo Papi nggak nyakitin Mamah!"

"Tante minta maaf. Semua salah Tante." Nara menatapnya kasihan, matanya berkaca-kaca. Tampak merasa sangat bersalah, tapi tidak di mata Aga. Bagi Aga, Nara hanyalah seorang wanita yang telah merebut ayahnya. Pembunuh ibunya.

"Kalo lo mau gue maafin, mati."

Keduanya menatap Aga terkejut. "Ga—"

"Mati. Minta maaf sama nyokap gue langsung di sana. Bisa?"

Diam.

Aga bergerak cepat meraih sebuah vas di sana.

Prang!

.

Me
Temui gue di depan perpustakaan abis kelas.

Pesan itu telah terkirim setidaknya kurang dari satu jam lalu. Jiya tak mendapatkan balasan, hanya tanda bahwa pesan tersebut telah tersampaikan, pun telah terbaca oleh penerima. Namun Jiya yakin, Rey akan menemuinya.

"Ada urusan apa?"

Ia berbalik, menatap sosok jangkung yang kini berdiri di depannya dengan tas hitam di sisi bahu kanan.

Jiya berdehem. "Jo udah bilang ke gue. Lo hapus videonya, bener?"

Rey menghela napasnya panjang. "Lo nggak percaya sama dia?"

"Cuma mastiin."

"Udah gue hapus." Rey memperhatikan Jiya yang terlihat lega mendengarnya. Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Ada hubungan apa lo sama Jo?"

"Maksudnya?"

"Jo bukan orang yang suka ikut campur."

Mungkin hanya satu yang bisa menjadi jawaban masuk akal. "Gue sama Jo pacaran."

Rey tersenyum miring. "Jiya," panggilnya sembari mendekat. Ia memosisikan diri di samping gadis itu, meliriknya sejenak, lalu berbisik, "Gue sama Jo udah kenal sepuluh tahun. Kalian gagal pura-pura depan gue."

Buru-buru Jiya mendorong Rey untuk menjauh darinya. "Terserah lo mau mikir kayak gimana."

Kedua tangan Rey dimasukkan dalam saku celana seragamnya. Lantas ia mengangguk-anggukkan kepala. "Lo bego banget, Jo. Dia nggak inget apapun," lirihnya.

"Intinya, gue sama lo udah nggak punya urusan lagi. Oke? Anggap aja kita nggak saling kenal!"

"Kita sebangku."

"Itu urusan lain! Gue nggak bakal ungkit-ungkit lagi soal kelicikan lo, tapi lo juga jangan pernah singgung masa lalu gue."

"Gue nggak mau." Rey membalasnya tanpa ragu dengan tatapan biasa. "Gue masih penasaran alasan kenapa lo hampir bunuh temen lo sendiri."

Jiya segera mendekat dengan mata melotot, menaruh telunjuknya di depan mulut Rey. Memaksa cowok itu agar diam sebab mereka masih di dalam sekolah.

"Kenapa lo kepo banget? Itu nggak ada hubungannya sama lo." Jiya kesal.

"Tapi ada hubungannya sama Jo. Di situlah akarnya. Jo dan lo. Alasan Jo ngelindungin cewek kayak lo. Gue penasaran. Dia tahu, tapi dia milih buat lindungin lo."

Jiya terdiam. Teringat dengan apa yang pernah Mela katakan padanya saat mereka membahas tentang konflik antara Jo dan Rey.

Kedua pria itu.

Keduanya adalah sahabat. Lengket dan tidak terpisahkan sejak lama. Bersama dengan Aga.

Tapi tidak dalam hal akademis. Sebab faktanya, meskipun Jo tidak pernah menganggap Rey sebagai rival, namun Rey berbeda.

Bagi Rey, ranking satu adalah prioritas. Siapapun tak bisa menghalanginya, bahkan sahabatnya sendiri.

"So, ngerti arah pembicaraan gue?"

Ia menatap Rey tak percaya. "Sekarang lo jadiin gue umpan?"

Rey tersenyum. "Karena?"

Alasan Jo ngelindungin cewek kayak lo.

"Jo udah ngelindungin gue. Dan saat ini, Jo adalah musuh lo buat ngerebutin ranking satu."

Rey mengangguk. "Mayoritas bilang, jangan hancurkan musuh untuk mengalahkannya. Tapi hancurkan apa yang paling dijaga musuh."

Kepala Jiya menggeleng. Tangannya mengepal. "Orang gila."

"Gue udah tau. Gue emang nggak akan terganggu sama kehadiran lo di Kelas Bintang. Tapi dengan lo ada di tangan gue, itu bisa bikin Jo kalah."

Rey dan pikirannya.

Adalah hal paling gila yang pernah Jiya temui.

"Lo terlalu jauh, Rey. Gue nggak sepenting itu untuk bisa lo jadikan umpan."

"Enggak." Rey menggeleng. "Lo cuman belum tau aja. Jadi, jangan berpuas diri dulu. Akan ada saatnya gue tau apa rahasia lo."

Bangsat!

Jiya tersenyum kecut. "Fine!" Ia mendekat, menatap tajam Rey. "Di saat lo tau semua rahasia gue, lo juga bakal tau segila apa gue, Rey. Lo udah liat sendiri gimana gue hampir ngiris leher orang. Nggak menutup kemungkinan di masa depan nanti lo bakal jadi orang selanjutnya."

"Gue tunggu waktu itu."

Drttt! Drttt!

Om Juanda is calling....

Rey segera mengangkat panggilannya. Hanya beberapa detik sampai Jiya melihat perubahan ekspresi di wajah Rey yang begitu kentara. Tanpa mengucapkan apapun, pria itu mematikan telepon dan menghubungi orang lain.

"Ke rumah Aga. Dia kambuh."

Kemudian berbalik pergi meninggalkan Jiya dengan tergesa-gesa.

Rumah Aga?

Apa yang terjadi dengan Aga hingga Rey pergi seperti itu adalah hal yang saat ini membuat Jiya penasaran. Tapi saat ini dia harus mengenyahkan rasa penasaran tersebut, sebab masalahnya juga sudah di ambang mata. Bagaimana jika Rey mengetahui semua rahasianya dan mengatakan ke publik untuk membuat Jo menyerah dengan posisi ranking satu? Dan kemudian Jo sama sekali tidak peduli sehingga rahasia Jiya benar-benar akan terkuak sia-sia.

God, rasanya Jiya sudah melihat masa depan sekarang.

Suram. Gelap. Tidak ada jalan.

Dia harus bagaimana?

.

Prang!

Aga memecahkan vas bunga di kamar itu. Tanpa ragu mengarahkannya pada Nara yang langsung dijauhkan oleh Juanda. "Agatha, kamu sudah gila?!"

"IYA!" Aga memekik menjawabnya. "Aga memang gila, Pi! Karena ulah Papi sendiri!"

Genggaman Aga pada pecahan vas di tangannya semakin erat. Menyalurkan segala rasa sakit dan amarah yang muncul sebab luka lamanya kembali terbuka.

Masa kecilnya.

Mamahnya.

Keluarga lengkapnya.

Darah menetes. Nara hendak mendekat dan berujar, "Aga, tangan kamu!"

"Nara, jangan mendekat!" Juanda segera menahannya.

Aga terdiam.

Suara itu.

Situasi yang serupa.

Disebut deja vu, dan kini Aga tengah merasakannya.








Polisi berdatangan. Aga baru pulang dari sekolahnya, segera berlari ke kamar kedua orang tua. Ia terkejut, berteriak melihat sang ibu tergeletak dengan tangan penuh darah.

"Mamah! Mamah!"

"Aga, jangan mendekat!" Ayahnya menginterupsi, menahan Aga untuk tetap berada dalam jangkauannya, menjauh dari tubuh tanpa nyawa milik istrinya.









"Arghhh!!!!" Aga berteriak.

"Agatha!"

"Sialan!" Tangan Aga memegang kepalanya yang terasa sangat sakit. Ingatan beberapa tahun lalu singgah, membuatnya meringis berusaha untuk tidak melihat kejadian traumatis itu lagi. Setidaknya dia ingin semuanya menjadi gelap, agar dia tak melihat apapun sekarang.

"Arghhh!" Teriakannya kembali. Aga terjatuh di antara pecahan vas dan barang lain. Nara memekik, sedangkan Juanda sudah berusaha mendekati sang putri.

"Jangan mendekat! Gue bilang pergi!" Aga mengacungkan pecahan vas di tangannya.

"Aga, tenang dulu, sayang. Ini Papi!"

Aga menggeleng keras, kedua tangannya menutupi telinga. "Enggak, Mamah nggak mungkin mati. Mamah nggak bunuh diri. Mamah masih sayang Aga."

"Aga, liat Papi baik-baik! Kamu bisa lukain diri kamu lagi."

Aga menangis, wajahnya berantakan. Tangannya sudah dipenuhi darah yang sedari tadi tak berhenti keluar. "Aga mau kalian semua keluar! Jangan ganggu Aga! Jangan ambil lagi apa yang Aga punya!"

"Enggak, Sayang. Papi minta maaf sama kamu. Sekarang kamu taruh itu dulu, ya?"

Aga menggeleng. "Papi ambil semuanya dari Aga! Mamah, teman-teman Aga, bahkan kebebasan Aga. Semua Papi ambil! Kenapa nggak sekalian Papi ambil kehidupan Aga?"

"Agatha!" Tatapan mata lemah Aga bertemu dengan manik mata Rey yang penuh kekhawatiran. Juga Jo di sampingnya.

"Tante lebih baik jangan di ruangan ini," ujar Jo pada Nara. Dingin.

Nara mengerti. Memutuskan untuk menjauh dari pandangan Aga.

Rey mendekat. Menurunkan posisi tubuhnya agar bisa sejajar dengan Aga. Ia menoleh pada Juanda yang tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan putrinya. "Om mundur dulu. Biar Rey sama Jo aja."

Namun, Juanda paham. Dia mengikuti apa yang Rey katakan. Tangannya mengusap rambut frustrasi, lebih menyalahkan diri sendiri yang tak becus dalam menjaga putrinya. Sejak dulu selalu begitu. Dan Juanda juga mengerti semua perkataan Aga. Sekarang, dia menyerahkan Aga pada Rey dan Jo. Dua orang yang mampu mengendalikan Aga. Satu-satunya hal berharga yang masih Aga anggap sebagai miliknya. Bahkan lebih dari hidup Aga sendiri.

"Ga? Hei, liat gue." Rey berujar lembut, menatap Aga yang masih menangis sambil menutup telinganya. "Mana yang sakit, hm?"

"Pergi, Rey. Gue nggak mau liat mereka semua." Aga menggeleng.

"Gue udah janji sama lo. Nggak akan ninggalin lo."

"Bohong. Semuanya sama aja. Lo, bahkan Jo. Kalian berdua pasti suatu saat nanti bakal ninggalin gue juga."

"Enggak, Aga."

"Mamah ninggalin gue. Orang yang paling gue percaya itu Mamah, Rey. Dia aja ninggalin gue, apalagi kalian berdua nanti." Aga menatapnya berkaca-kaca. "Gue lebih baik mati. Gue nggak punya apapun di sini."

"Hei, stop ngomong gitu."

"Pergi!" Aga semakin menangis. Ia berteriak. "Pergi, kalian!"

"Rey!"

Pecahan vas yang masih berada di tangan Aga berhasil melukai lengan Rey tanpa sadar. Jo menahan pria itu, kini ia yang mendekati Aga. Menggenggam lengannya erat. Hangat. Namun, tidak menyakitinya.

"Aga."

Gadis itu mendongak. Menatap Jo. Tatapan di mana Jo bisa mengatakan bahwa Aga adalah gadis paling rapuh di dunia ini. Gadis biasa yang tak bisa ia biarkan sendirian. Persis dengan apa yang ia katakan pada Jiya beberapa hari lalu.

"Gue capek, Jo." Aga berujar lirih. "Gue capek sama hidup sialan ini."

Genggaman Jo menurun, membuat pecahan vas di tangan Aga terlepas. "Gue tau. Semua bakal baik-baik aja."

Aga menggeleng. "Kalian juga bakal ninggalin gue."

"Gue sama Rey nggak akan. Kita berdua milik lo."

"Kalian nggak pernah mikirin gue."

Tangan Jo berpindah ke rambut Aga bagian belakang. Ia memeluknya. "Lo prioritas kita berdua."

Aga memejamkan matanya.

Lo prioritas kita berdua.

Prioritas Jo dan Rey.

Ia tahu. Sangat.

Yang Jo maksud bukanlah prioritas pertama.

.

tbc

agak menguras tenaga ya, ges. aku nulis ini sejak sore dan baru selese tengah malem. berhadapan sama berbagai cobaan dari pegel-pegel abis bantuin ngurus kurban, liat hasil studi matkul paling serem, sampe kena gempa walaupun cuma seuprit.

kasus aga emang lumayan kompleks. dia punya trauma yg susah buat disembuhin, tapi dia udah berusaha.

scene terakhir, aga tau kalo maksud jo bukanlah prioritas pertama. tapi honestly, dia udah bahagia. seenggaknya, dia masih punya dua cowok itu.

prioritas pertama rey udah jelas ranking satu. jo?

jiya lah siapa lagi yak? jiakkkhh!

next update?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro