bab 13
seneng nggak? seneng nggak? seneng dong!
sama sama, syg.
mau update cepet lagi?
do'ain IPK aku dpt 4, yak! huhuhuhuhu mustahil tapi doa dulu siapa tau ada malaikat lewat.
AAMIIN yg kenceng!!!
Jiya baru bangun tidur.
.
Bola mata itu belum sempat terbuka sempurna, hanya kerutan pada kening yang semakin dalam untuk mengusir rasa pusing di kepala. Jiya mengangkat tangan dan memijat pelipisnya, sakit itu tidak kunjung hilang sampai dia pun sadar penyebabnya apa.
Sialan si Dina!
Ia merutuk dalam hati. Setelah mencoba sekuat tenaga duduk di pinggiran tempat tidur, menunduk untuk mengembalikan ingatan yang sayangnya tidak muncul-muncul.
Ingatan Jiya, hanya berakhir pada saat dia masuk ke dalam rumah besar Rey untuk mencari toilet.
Sorry.
Semuanya salah gue.
"Argh!" teriaknya memukul kepala. "Siapa, anjir? Nggak inget apa-apa gue!"
"Masih mabuk lo?"
Jiya tersentak kaget. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Mela sedang berdiri sambil menguap lebar. Wajahnya khas bangun tidur, agak basah dengan handuk kecil melilit leher.
"Lo ngapain di sini?"
Terlihat putaran bola mata Mela menanggapi pertanyaan sahabatnya. Dia memegang kedua sisi handuk yang masih mengikat lehernya. "Lo pikir siapa yang bawa cewek mabuk padahal baru aja sampe party? Gue, lah!"
Jiya meringis. "Salah lo sendiri telat kebangetan."
"Perut gue mules banget, sumpah! Ah, nggak tau! Kemarin gue baru nyampe dan liat lo muntah-muntah di deket gerbang rumah Rey."
"Gue?" Telunjuk Jiya mengarah pada dirinya. "Sendirian?"
Mela mengangguk tanpa ragu dan Jiya tahu tidak ada kebohongan dalam tindakan itu. "Sendirian, kayak anak ilang. Untung nggak ada cowok mata buaya yang liat. Ya gue langsung puter balik dan kita pulang. Sumpah, Ji! Lo berat banget, makan apa aja sih? Perasaan kurus kerempeng gitu."
Jiya tak mengindahkan kalimat Mela. Dia menyentuh kepalanya lagi, namun tak mampu mengingat kejadian apapun.
Tapi, sungguh. Jiya yakin.
Sangat.
Dia tidak sendirian.
•
bab 13
[ there's anyone else ]
•
Hari ini adalah jadwal pindahan ke asrama Kelas Bintang. Jiya sempat khawatir harus membayar biaya sendiri, tapi ternyata semua sudah ditanggung oleh sekolah. Dan dia tak sanggup berhenti mengeluarkan decak kagum sejak menginjakkan kaki di EIS Dorm, nama asrama itu.
Kamarnya berada di lantai dua. Ada dua gedung yang saling berhadapan, menjadi pemisah bagi murid laki-laki dan perempuan. Jiya berharap teman sekamarnya mampu diajak bekerja sama. Tapi sialnya, kelas IPA dan IPS dipisah. Sehingga mau tidak mau, dia harus satu kamar dengan Aga-si Medusa EIS-dan Dina.
Jiya masih kesal setengah mati dengannya.
"Gue ambil yang ini." Tanpa menunggu persetujuan dari dua siswi di hadapannya, Aga langsung melempar tas hitam di atas single bed dekat jendela. Lokasi yang diidamkan ketiganya. "Dan gue sensitif waktu tidur. Jadi, jangan sampai ada yang berani gangguin."
Lalu, gadis itu melenggang pergi.
Dina hanya mengangkat bahu acuh, lantas menghadap ke arah Jiya. Dengan senyum creepy-nya, dengan wajah tanpa dosa, seolah mereka adalah sahabat sejati yang tak pernah bertengkar. Dan Jiya ingin merobek bibir itu.
"Lo mau di mana? Gue terserah lo aja, sih." Dia berujar. Seakan, dengan kebaikan hatinya, mempersilakan Jiya untuk memilih terlebih dulu.
Jiya tak peduli dan memutuskan mengambil tempat tidur tidak jauh jaraknya dari single bed Aga. Sedangkan Dina menuju bed dengan tangga yang menempel dinding.
Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu, lalu mereka bisa melihat sebuah kepala menyembul disertai cengiran khas Mela. Jiya langsung menghampirinya.
"Kantin, yuk!"
"Lo nggak ada kelas?"
"Masih ada setengah jam lagi, ah. Gampang." Mela segera menggandeng lengan Jiya dan mengajaknya pergi. "Gue traktir, nih! Buruan!"
"Tumben banget?" tanya Jiya menatap wajah berseri-seri itu. Bahkan langkah kaki Mela terlihat sangat ringan, sedikit melompat seperti anak kecil yang dibelikan balon.
"Bokap gue kasih pujian setelah gue berhasil masuk Kelas Bintang, ya walaupun nggak dapet peringat satu, sih. Tapi, gue seneng banget! Biasanya dia nuntut gue, kan." Bisa Jiya lihat bagaimana wajah ceria Mela saat menceritakan alasannya. Dia turut senang. Tahu, bahwa ayah Mela memang setegas itu dalam mendidik putrinya.
"Gue dibeliin hape baru, dong! Sama album TXT, hihihi," lanjut fangirl satu itu.
"Iya, deh. Yang paling pinter."
Mela tertawa, mengeratkan gandengan mereka. "Hari ini, biarkan Ratumu memberikan sedikit hadiah untukmu, Rakyatku. Mari, kita berantas makanan-makanan berkalori itu!"
"As your wish, Ratuku!"
Detik berikutnya, tawa mereka meledak.
Kantin masih cukup sepi, sebagian murid sudah masuk ke dalam kelas. Sedangkan murid Kelas Bintang diberi waktu luang untuk mengurus proses pindah asrama sampai jam pelajaran kedua.
Tapi mereka melihat beberapa sosok murid sedang bergerombol, dari tampangnya familiar berasal dari Kelas Bintang. Mungkin, memiliki tujuan sama seperti keduanya.
"Eh, kemarin rival gue ngomong sesuatu nggak ke lo?"
"Hah?"
"Itu, si Rakan."
Mengikuti telunjuk Mela, barulah Jiya mengangguk ingat. Cowok yang mengatakan kalimat aneh padanya tempo lalu itu tengah tertawa lepas bersama dua cowok lain yang tidak dia kenal.
"Omongan nggak penting." Akhirnya Jiya memutuskan jawaban tersebut meski masih teringat jelas apa yang dikatakan Rakan.
Bilangin sama temen lo, jangan terlalu kejauhan.
Dia sendiri yang bakal jatuh kalo nggak pernah puas.
"Yakin?" Mela tampak tidak percaya. "Nggak papa, kali. Gue udah biasa adu bacot sama tuh cowok."
"Errr... Katanya dia nggak bakal ngalah."
Mela terdiam.
Lalu kekehan renyah terdengar keluar dari bibirnya, berubah menjadi tawa singkat. Dan Jiya tahu apa maksudnya.
"Sialan, tuh cowok!"
"Kalian emang sebenci itu satu sama lain? Dia kayaknya nggak suka banget sama lo."
Mela menghela napas, menarik bahu Jiya untuk menatapnya lekat. "Ji, liat gue baik-baik! Ada muka-muka gue menunjukkan kalo gue punya hubungan baik sama cowok itu? Ada nggak? Ada nggak?"
Jiya sedikit menjauhkan wajahnya, lalu menggeleng.
"Nah!" Mela berseru. "Gue sama dia udah jadi rival sejak semester satu. Dan dia nggak pernah bosan di tempatnya. Sumpah, cowok itu gue taruh di daftar teratas kuman yang harus gue basmi."
Bibir Jiya meringis mendengarnya. Mereka memang terlihat tidak memiliki hubungan baik, tapi ia tak menyangka. Hanya karena perbedaan satu peringkat? Hanya karena perebutan posisi peringkat pertama?
Ia menggelengkan kepala dua kali. "Kalian emang udah gila."
.
Jadwal pertama Kelas Bintang.
Penuh ketegangan. Penuh suara dan angkatan tangan yang antusias. Penuh ambisi-ambisi yang membuat Jiya meneguk ludah susah payah.
Kelas Kimia. Hanya 4 murid dengan 1 pembimbing yang masih terlihat muda.
"Soal nomor tujuh. Dina, berapa ikatan hidrogen yang dimiliki asam karboksilat dan alkohol?"
Dengan tenang, tentu saja, gadis bernama Dina menjawab, "Asam karboksilat punya dua ikatan hidrogen, sedangkan alkohol hanya satu, Sir."
"Right! Sebagai peringkat lima, Jihanna, bisa simpulkan mana yang memiliki titik didih lebih tinggi?"
Jiya meneguk ludah sesaat. Sampai dua detik akhirnya dia berani menjawab dengan yakin. "Asam karboksilat."
"Oke, kamu harusnya jawab lebih cepat karena pertanyaan itu sangat mudah. Lagi, dalam kondisi apa titik didih alkohol dapat meningkat, Jihanna?"
"Jika jumlah atom C dan gugus -OH juga ada peningkatan."
"Right. Lalu, jawaban dari pertanyaan nomor tujuh?"
Jiya menggigit bibirnya. Menyambungkan jawaban dari beberapa pertanyaan yang diajukan Sir Agus sebagai pembimbing mata pelajaran Kimia Kelas Bintang.
"Tidak bisa menjawab?"
Setengah menit hilang.
"Reynaldi?"
"Urutan dari zat yang memiliki jumlah molekul gas/uap paling banyak yaitu pentanol, 2-heksanol, dan terakhir asam heksanoat. Jadi, jawabannya A."
Jiya menatapnya lama.
Meski kebencian itu masih ada, tapi dia tetap mengakui satu hal.
Tentang kerennya Rey menjawab pertanyaan barusan.
Sir Agus mengangguk. "Jelaskan cara kerja alat di gambar itu."
"Itu alat distilasi, digunakan untuk memisahkan zat yang memiliki perbedaan titik didih. Karena pemanasan, zat dengan titik didih rendah akan menguap dan bergerak ke bagian atas kolom fraksionasi menuju labu penampung distilat. Bagian atas akan mengandung lebih banyak molekul uap zat cair yang paling mudah menguap. Sedangkan dari urutan titik didih ketiga senyawa adalah pentanol < 2-heksanol < asam heksanoat."
Diam.
Sebelum akhirnya terdengar tepukan bahu Sir Agus di pundak Rey, dua kali. Tatapan pembimbing itu pun beralih pada Jiya. "Sudah paham, Jihanna?"
Sial!
Jiya merasa salah masuk kelas.
"Lanjut soal berikutnya."
Tok! Tok!
Pintu terbuka dan hadirlah sosok siswa jangkung yang sejak tadi kehadirannya dipertanyakan. Sir Agus menunduk untuk menatap jam tangan, sedikit tindakan basa basi untuk menyindir keterlambatan Jo.
"Kamu telat empat puluh lima menit, Jonathan."
Jo tahu. Jadi, dia tak memberikan tanggapan.
"Jawab soal ini jika kamu ingin bergabung bersama yang lain."
Hanya sekilas. Jiya yakin. Jo hanya sekilas melihat soal membingungkan di layar depan kelas. Namun, pria itu mampu bersuara hanya dalam lima detik. Sebuah jawaban.
"Easy. C."
Jiya melihat reaksi Sir Agus. Kedua alisnya terangkat dengan jawaban Jo. Dan Jiya tahu, jawaban itu memang benar, terbukti dia juga menemukan jawabannya. Namun, dengan waktu setengah menit.
"Oke, memang pertanyaan itu terlalu gampang untuk kamu. Penggolongan unsur dengan nomor atom tentunya bukan soal susah untuk anak Kelas Bintang." Sir Agus tersenyum.
Jo sudah bersiap untuk duduk, tapi langkahnya kembali dihentikan.
"Pertanyaan selanjutnya. Jawab dari situ."
Soal berganti.
Bola mata Jiya membulat. WHAT THE F-
Jo terkekeh, menatap Sir Agus. "Are you sure?"
Sir Agus balas tersenyum. "Kamu tidak bisa?"
God!
Bahkan jika harus berdiri dua jam di sana, Jiya tak merasa mampu menyelesaikan soal panjang perhitungan kadar besi pada suatu persamaan reaksi belum setara.
Gila.
Sir Agus tahu dia berhadapan dengan siapa.
Bahkan, Rey di depan Jiya sudah menunduk sambil sibuk menghitung. Ya, benar! Mustahil menyelesaikannya tanpa harus coret-coret kertas. Mustahil menjawabnya hanya menggunakan otak.
Tapi, ini Jonathan.
Jo lebih gila.
"Jawabannya 67,02% dan yang paling mendekati adalah E." Adalah fakta bahwa Jo menjawabnya dalam waktu dua menit.
Sir Agus terdiam. Mengangguk sekali dan mempersilakan Jo untuk duduk.
"Lo oke, Ji?" Kepala Jiya terpaksa menoleh ke samping kanan, menghadap Dina yang tersenyum lalu menatap Jo. "Nanti juga terbiasa, kok. Jo dan otak gilanya."
Dan Jiya mengartikan 'gila' versi Dina sebagai 'jenius'.
Jo.
Tuk!
Sebuah pulpen terjatuh menggelinding, tepat mengenai ujung sepatu Jiya. Seolah memang sudah dihitung seakurat mungkin hingga mencapai tujuannya. Jiya menolehkan wajah ke belakang, tepat di mana Jo duduk di sudut kelas. Seorang diri.
Ia menunduk, mengambil pulpen hitam itu. Ada kerutan dalam tercipta di keningnya saat mendapati secarik kertas kecil terselip dalam tutup pulpen.
Sepatu gue.
"Hah?"
"Ada apa, Jihanna?"
"Ya, Sir?" Jiya kelabakan menatap ke depan. Dan langsung membuang muka saat menubruk mata tajam Sir Agus. "Tidak ada, Sir! Tidak ada apa-apa!"
"Tolong, fokus! Tingkahmu bisa menjadi pengganggu bagi yang lain."
"Baik, Sir. Saya minta maaf."
Jiya menggigit bibir bawahnya, sedikit menoleh ke belakang untuk mencari maksud dari tulisan di kertas tadi. Namun, Jo bahkan tidak menatapnya sekalipun. Padahal dia yakin. Sangat. Bahwa pengirimnya adalah jenius satu itu.
Sepatu gue....
Sepatu...
Sepatu...
Sepatu...?!
"Ji, ini sepatu siapa gede banget?"
"Hah?" Jiya mendekat ke arah Mela, mengerutkan kening bingung melihat sepatu asing di rak sepatu rumahnya. "Nggak tau. Bukan punya Bang Gibran, kayaknya. Kenapa di situ?"
"Ya gue juga nggak tau, Maemunah! Kemarin gue nemu lo di gerbang tuh pake sepatu ini, padahal lepas terus lo pake lagi. Gitu aja sampe gue kesel, makanya gue tenteng sepatunya nyampe rumah. Lo nyeker, deh. Lagian, lo dateng ke pesta emang pake sepatu begituan?" Mela bertanya menyelidiki.
"Nggak, lah. Gue inget pake heels item kok." Dia mencari sepasang heels yang dipakainya kemarin. "Lah? Nggak ada."
"Goblok!"
"Heels gue mana?!"
"Dimaling orang kali! Ditukerin sama nih sepatu kegedean!"
"Yah, jahat banget sih?!"
"Salah siapa mabuk?"
Jiya melotot. "Gue mabuk bukan mau sendiri! Ih, terus ini sepatunya siapa harus dikemanain?"
"Ya buat lo aja, jual lagi kalo perlu. Kayaknya merek bagus, deh. Mungkin."
Jiya membuka mulutnya lebar. Sudah tidak peduli lagi dengan penjelasan Sir Agus tentang titrasi asam basa. Karena saat ini, ingatan malam itu kembali. Tiba-tiba. Dan Jiya menyesal karena mengingatnya.
"Awkh! Sakit banget, huhu!" Sempoyongan, tubuh Jiya akhirnya terduduk tidak estetik di depan rumah Rey. Dia mengusap tumitnya yang terasa perih. "Dasar pesta sialan! Harusnya tadi gue ke sini nyeker aja, ya? Tapi takut disambal terus dimakan Mela. Dia kan pecinta ceker."
Oke, Jiya ngelantur.
"Wih, ada sepatu cakep banget!" Matanya berbinar melihat sepatu putih di sebelah tangannya. Ia mendongak ke atas, sedikit menyipitkan mata karena cahaya temaram di sana membuat wajah itu lebih tampan. "Pangeran? Pangeran berkuda putih atau hitam? Cinderella pinjam sepatunya, ya? Hehehehe."
Jo bergerak mundur, tapi Jiya keukeuh menarik sepatu dari kakinya. "Lepas, Jiya."
"Nggak mau! Lo pasti nyuri sepatu ini dari istana, kan? Hayo, ngaku! Soalnya gue nggak pake sepatu, nih!" Jiya melepas heels hitamnya dan dilempar ke asal tempat.
"Pokoknya mau sepatu ini! Ceker gue nggak boleh telanjang! Siniin! Pangeran kan bisa nyari sepatu lain!"
Dan Jo menyerah.
Shit!
Demi planet apapun yang belum ditemukan oleh ilmuwan-ilmuwan dunia, Jiya ingin pindah planet sekarang juga!
.
"Sorry."
Satu kata terucap tulus dari lubuk hati terdalam Jiya. Kepalanya terus menunduk dengan tangan terulur menyerahkan sebuah totebag hitam berisi sepasang sepatu. Yang tentunya akan pas di kaki sang pemilik, tak lain dan tak bukan ialah Jo.
Jo menerimanya, membuka sedikit, mungkin untuk memastikan apakah ada lecet atau kerusakan lain. Diam-diam Jiya menghela napas lega dan memuji diri sendiri yang belum menjual benda bukan miliknya itu.
Sekarang dia hanya perlu merelakan heels hitam malangnya. Jiya tersenyum masam, apa dia perlu datang ke rumah Rey untuk mencari sepasang heels di rerumputan hijau atau bahkan mungkin terlempar ke kolam ikan kecil?
"Punya lo."
Kepala Jiya mendongak, melihat sedikit harapan.
"Kotor. Gue buang."
Oke.
Setidaknya amarah Jiya yang sudah di ujung tanduk berhasil tertahan saat Jo menyodorkan totebag lain dengan merek yang sangat familiar. Tentunya tangan Jiya tak berani memegang totebag itu.
"Gue ganti."
"Hah?"
"Sepatu yang lo pakai kemarin. Gue ganti."
"Tapi kan... Bukan salah lo?"
"Gue buang aja?"
"EH EH EH! JANGAN!" Dengan sigap, Jiya menarik totebag di tangan Jo. "Mubadzir."
Sebuah senyum geli muncul. Hanya sedikit. Sangat sedikit. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Jo sendiri.
"Kenapa lo tiba-tiba baik gini?" tanya Jiya setelah mengamankan sepatu baru pemberian Jo. "Terakhir kali di bis lo bilang gue nggak boleh deket-deket."
"Dan lo langgar."
Ah.
Malam saat Jiya mabuk.
"Ya itu gue nggak sengaja. Lo nggak perlu bantuin gue waktu itu."
"Ngebiarin lo sendirian?"
Jiya memiringkan kepala. "Apa... salahnya?"
"Gue nggak bisa."
Jeda.
"Kenapa?"
"Gue nggak nemu jawabannya."
Jiya tahu. Pertanyaannya bahkan tidak sesulit soal persamaan reaksi yang diberikan Sir Agus siang tadi. Namun, barusan Jo mengatakannya. Dia kesulitan menjawab.
Dan Jiya tidak tahu harus memberikan tanggapan apa.
"Soal video." Jo kembali bersuara. "Rey udah hapus. Lo bisa tenang."
"Seriusan?!" Jiya berseru, tak sengaja. "Lo nggak ngibulin gue lagi?"
"Terserah."
Jo tidak memiliki alasan untuk membohonginya. Jadi, Jiya tahu itu bisa dipercaya. Dia tertegun. Mengapa Rey menghapusnya? Padahal Rey masih bisa menggunakan video itu sebagai kunci untuk mengendalikan Jiya.
Apa karena... Jo?
Jiya menatap Jo lama.
Pertengkaran Jo dan Rey beberapa hari lalu karena video Jiya. Jiya salah besar. Tidak penting Jo tahu tentang video itu dari mana. Kesimpulannya hanya satu. Bahwa Jo sudah tahu.
Jo tahu tentang video itu.
Jo tahu tentang masa lalunya.
"Sejauh apa?" Jiya bertanya. "Artinya lo udah tau kalo gue dulu hampir bunuh orang, kan? Karena video itu udah jelas."
Jo mengangguk. Dan Jiya semakin mengeratkan kepalan tangannya.
"Kenapa lo nggak menghakimi kayak Rey? Tindakan gue salah. Dan lo justru ada di pihak gue."
"Karena gue tahu, lo nggak."
Gue tahu.
Jo tahu, bukan percaya. Dia mengetahui faktanya.
"Lo nggak salah. Mereka pantas."
Pandangan Jiya memaksa untuk beralih pada masa lalunya dulu. Teriakan, tangisan, tawa-tawa yang sangat memuakkan, rasa sakit, rasa marah, rasa ingin membunuh semua orang.
Jiya mendekat satu langkah. Menatap lekat Jo di hadapannya, tanpa rasa takut. Hanya ada, tatapan tajam. Penuh kebencian.
Jiya membenci orang yang tahu masa lalunya dengan sangat. Sebab mereka bisa tahu seberapa menyedihkan dirinya dulu, seberapa putus asa, seberapa hancur kehidupan Jiya.
"Sejauh apa lo tau tentang gue?" Suara rendah Jiya mengalun di dekat Jo. "Seberapa jauh, Jo?"
"Dulu, lo korban bullying."
Fuck! Fuck! Fuck!
Jo berhasil membuka pintu masa lalunya.
.
tbc.
here's Mela-Jiya.
yuk bikin skenario.
menurut kalian, apa alasan Jiya dibully?
see u lusa!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro