bab 10
ketik "semangat author cantikkk" cepatttt, maksa inii.
makasiii syg <3
.
Plak!
Rey sudah tahu ini akan terjadi. Dia diam saja menerima tamparan pertama dari Rangga. Ibu dan adiknya tidak bisa berbuat banyak, memilih untuk tetap duduk di meja makan demi tidak memperburuk keadaan jika ikut campur.
Pria paruh baya berkacamata itu mengusap wajah yang memerah karena marah. Ia merasa kecewa satu-satunya putra keluarga Anggara gagal untuk mempertahankan peringkat pertama dalam tes masuk Kelas Bintang.
"7,5... "
Tawa sumbang mengisi seluruh ruangan. Tangan Rey terkepal kuat di samping tubuhnya, menunduk dan hanya bisa diam menerima kemarahan Rangga. Rasa pusing yang bersarang sejak pagi semakin menjadi, menusuk kepalanya sangat kuat.
"Selisihmu dengan peringkat tiga lebih sedikit daripada selisih dengan Jo. Sudah bosan menjadi peringkat pertama kamu?" sinis Rangga. Nada bicaranya sangat lantang. Rea yang masih duduk di meja makan hanya mampu menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca.
Dia tidak bisa membantu apapun.
"Sebenarnya kamu ngapain aja selama ini sampai bisa kecolongan begitu, Rey? Ini Jo, dia nggak pernah keliatan belajar dan nggak ada usaha sama sekali tapi bisa loh ngalahin kamu. Mana usaha kamu, Ayah tanya?!"
"Berapa kali Ayah udah kasih peringatan buat jangan lengah sama dia? Liat kan sekarang? Nyatanya kamu nggak akan pernah bisa ngalahin Jo."
"Maaf, Yah."
"Maaf kamu itu nggak bisa bikin kamu jadi peringkat satu." Rangga menarik tangan Rey menuju lantai atas, ke ruang kerjanya. Rea yang ingin menyusul ditahan oleh ibunya.
"Bun... "
Katya menggeleng. "Jangan, Rea."
Pintu ruang kerja Rangga dikunci dari dalam. Rey pasrah, diseret ayahnya dan berdiri di depan foto keluarga besar Anggara.
"Kamu lihat baik-baik!"
Rangga mengambil tongkat panjang, menunjuk seluruh wajah yang ada pada foto tersebut.
"Nggak ada sejarahnya keluarga kita gagal menjadi dokter. Masing-masing keluarga memiliki karir yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Kamu mau mempermalukan Ayah?"
Rey menatap ke depan, melihat wajah-wajah yang sangat ia kenal.
Kakeknya dokter terhormat yang sudah pensiun. Paman dan bibinya, termasuk ayahnya, berhasil mengikuti jejak sang kakek dan dikenal berbakat dalam bidang kedokteran di Indonesia. Para sepupunya sudah ada yang mewarisi profesi tersebut, tidak satu pun gagal. Sisanya hanya beberapa yang masih bersekolah, bahkan secara keseluruhan semuanya mengambil jurusan kedokteran.
Inilah keluarga Anggara yang sering diidamkan banyak orang.
Rey berteriak dalam hatinya. Dia hanya pion keluarga yang sudah diatur sedemikian rupa untuk melengkapi piramida impian mereka.
Sekali lagi, Rey muak.
•
bab 10
[ the pyramid ]
•
"Gue masih nggak habis pikir sama peraturan itu." Mela menyedot habis strawberry milkshake miliknya, masih belum lelah membahas tentang tata tertib Kelas Bintang.
Jiya geleng-geleng kepala saja dan melanjutkan aktivitas menyapu kafe. "Ya terima nasib aja, Mel. Lagian lo nggak ambil rugi, kan?"
"Iya, sih. Tapi gue di sini takutnya tuh sama lo, Ji. Abang lo katanya nggak restuin masuk Kelas Bintang. Terus gimana, dong? Masa baru masuk EIS langsung keluar lagi, sih. Dikira lagi ngantri toilet kali."
Tawa renyah keluar dari bibir Jiya. "Gampang itu urusan gue nanti," tukasnya, walaupun ia sendiri tidak yakin bisa meyakinkan Gibran.
"Emang seketat itu Kelas Bintang?" Keno datang dan langsung duduk di samping Mela, memberikan smoothie cake pada pacarnya itu.
Oke.
Mereka memang berpacaran sejak satu bulan lalu. Awalnya dimulai saat Jiya mengajak Mela ke tempat kerjanya, kira-kira setahun silam. Lalu Keno dan Mela pdkt sampai berbulan-bulan baru bisa taken setelah Mela yang mencak-mencak karena proses pdkt mereka terlalu lama.
Intinya begitu.
Back to topic.
"Banget, Yang." Mela menyendok smoothie cake dan menyuapi Keno. Jiya sudah terbiasa, jadi dia kebal. "Sebenernya nggak ketat di aturan, sih. Lebih ke arah Kelas Bintang ini ternyata sepenting itu."
Keno hanya mengangguk-angguk saja. "Nggak mau ikut-ikut, deh. Bahasannya berat banget."
"Tapi ini nih yang bikin gue nggak expect banget, skor anak-anak IPA. Gila, kalian makan rumus berapa ton?" tanya Mela hiperbola.
"Emang skor lo berapa?" Jiya balik bertanya, pasalnya dia tak tahu apapun tentang pengumuman dari jurusan IPS maupun Bahasa.
"Skor gue bahkan lebih dikit dari lo, 475 pas. Soal yang keluar semuanya udah another level, gue nggak sanggup waktu ngerjainnya. Dan liat kan, itu jomplang banget sama skor anak IPA."
"Berapa skor?" Keno ikut penasaran.
"Jiya dapet 475,5."
"Selisih 0,5 elah."
"Dengerin dulu, Ayang!" Keno langsung diam menurut.
"Jiya skor segitu dapet rank 5, gue yang skor lebih dikit malah dapet rank 2. Yang lebih gila lagi, selisih gue sama rank 1 cuman 2 poin doang," lanjut gadis itu menggebu-gebu.
"Kan beda jurusan, Mela."
"Tapi ini tuh gap jauh banget, Ji. Rank 1 jurusan gue cuman dapet poin 477,0 sedangkan jurusan lo berapa coba?"
Jelas.
Angka itu tidak bisa Jiya lupakan, sebab Mela memang benar.
Skor Jo nyaris sempurna.
"498,5."
"He's over crazy, Jiya." Mela berdecak tak sanggup mengutarakan kegilaan Jo. "Pacar lo tuh, wah... Kok bisa sih?"
"Wih, Jiya punya pacar? Kok nggak bilang-bilang sih, Cil... "
"Diem lo, Mel." Jiya melotot, memberikan peringatan kepada sahabat embernya itu.
"Dia kenapa tiba-tiba balik lagi kayak semester 1 gitu coba? Barangkali ada kedok tertentu. Coba tanyain pacar lo deh, Ji. Penasaran gue."
"Mela... "
"Gue bingung aja, nih. Apa iya rumor dia keturunan ilmuwan bener?"
Benar. Jiya baru ingat.
Selama ini dia tidak pernah mendengar tentang orang tua Jo. Hanya fakta bahwa pria penyandang peringkat pertama Kelas Bintang itu cucu kesayangan Willard Anderson.
"Emang orang tuanya kemana?"
Mela menoleh. "Lo belum tau?"
Gelengan kepala Jiya membuatnya menghela napas dan lanjut berujar, "Nyokap bokapnya bercerai waktu dia masih kecil banget, terus bokapnya meninggal pas dia umur 6 tahun."
Jiya terkejut.
Dia tak tahu.
"Lo tau dari mana?"
Mela mengibaskan tangan. "Semua murid EIS juga tau kali, Ji. Kasian banget. Walaupun ya emang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala, tapi semua orang pasti punya masa lalu yang nyakitin."
Masa lalu yang nyakitin.
Jiya mengeratkan genggaman pada gagang sapunya. "Lo bilang waktu dia umur 6 tahun?"
"Iya, sekiranya 11 tahun lalu."
"Alasan bokapnya meninggal?"
Mela mengedikkan bahu tidak tahu. "Nggak pernah ada yang tahu, katanya juga keluarga Anderson nutupin kasus kematian itu."
Aneh.
"Kalo penasaran, tanya aja ke pacar lo sendiri, Ji." Mela justru menunjukkan jari untuk menggodanya. "Penasaran kan lo sama masa lalu Jo? Hayo, loh... "
"Nggak gitu maksud gue! Orang cuman tanya."
"Orang cuman tanya... " Mela menirukan gaya bicara Jiya, meledeknya. "Aaaa ampun!" Ia langsung beranjak lari saat Jiya akan melemparinya sapu.
"Heh, pacar gue mau lo apain?" Keno pasang badan.
"Aaaa Jiya mau bunuh gue, Yang... "
"Kemarin lo ngajak gue ke mall buat cuci mata, kan? Sekalian cari pacar di sana."
Jiya tersenyum miring.
"Bener itu?" Keno menatap pacarnya tak percaya.
Mela gelapapan. "Enggak, kok!"
"Gue masih inget lo mau nyari sepatu baru di mall, barangkali dapet pacar baru juga." Jiya semakin mengompori.
"Huhu boong itu!" Mela menarik tangan Keno, membawanya keluar dari kafe. "Udah malem, mending kamu anterin aku pulang aja, yuk!"
Jiya tertawa sembari memegangi perutnya. Menggoda Mela bukanlah perkara susah. Ia bisa melihat Mela mengangkat tangan dan mengarahkannya ke leher, memberikan kode bahwa ia akan membalas Jiya nanti. Dan Jiya menjulurkan lidahnya.
Ia geleng-geleng kepala setelah sosok Mela dan Keno sudah menghilang. Gadis itu menghela napas panjang, melihat ke arah jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 9 malam.
Sebentar lagi shift-nya selesai.
Dia hanya perlu menunggu Keno balik agar kafe ada yang menjaga. Hari ini ia menggantikan shift malam Bisma karena tadi sore izin pertemuan perdana Kelas Bintang. Akhirnya dia harus bergantian dengan Bisma yang kebetulan malam ada acara. Sedangkan Rara sendiri punya shift pagi sampai siang.
Seharusnya ia jaga bareng Keno sampai nanti jam 12, tapi berhubung besok masih sekolah, Jiya dibebaskan untuk pulang awal. Sebagai informasi, Amor Kafe buka sampai jam 12 malam.
Tangannya bergerak melepaskan apron untuk bersiap pulang, tapi urung saat ia melihat seorang pemuda masuk. Jiya menolehkan kepala, tatapan mata mereka bertemu.
Jo di sini.
.
Jiya meletakkan ice americano pesanan Jo di atas meja, lalu mendudukkan diri di depan cowok itu.
"Gue nggak tau kalo lo tau tempat ini." Ia menyipitkan mata. "Nggak ngikutin gue, kan?"
Jo menaikkan sebelah alisnya. Tak mengindahkan tuduhan Jiya, ia menurunkan lipatan tangan di dada dan mulai menyesap minumannya.
Terakhir kali mereka berinteraksi adalah di depan UKS, saat Jiya mengobati luka Jo yang terbuka kembali setelah berkelahi dengan Rey. Setelah itu, ia melihatnya datang terlambat pada pertemuan perdana Kelas Bintang.
Just it.
Jiya kembali teringat apa yang dikatakan Rey terkait alasan mereka berkelahi. Rasanya tidak masuk akal jika Jo memulainya hanya karena tahu Rey mempunyai video saat Jiya masih di SMA lamanya.
Video itu, Jiya sudah memastikan Rey tidak akan menyebarkannya.
Setidaknya untuk saat ini.
Ia bertanya-tanya, dari mana Jo bisa tahu tentang video itu?
"Lo mau tanya apa?"
"Hah?" Mata Jiya mengerjap beberapa kali. "Ah, nggak jadi."
Ia diam.
Rey pasti berbohong. Dia tidak mau ada orang lain lagi yang tahu tentang masa lalunya.
"Ngomong-ngomong lo tau kafe ini sejak kapan?" Pertanyaan itu muncul di pikirannya. "Gue rasa nggak pernah liat lo sebelumnya."
Jo menatap Jiya lama, menghela napas. "Ingatan lo buruk banget."
"Apa?"
"Budeg juga."
Jiya mengerutkan kening. "Apa lo bilang?!"
"Kan."
"Plis, ya. Budeg sama mempertanyakan ulang itu beda," sinis Jiya kesal.
Gadis itu berdiri saat melihat Keno datang sendiri. "Selamat kan sohib gue sampe rumah?"
"Aman, Ji. Bapaknya nyeremin, ya."
Jiya terkekeh. "Dari dulu itu." Ia berbalik mengarah pada Jo. "Gue mau balik duluan."
Dan bergegas menuju ruang staf untuk mengambil tasnya.
Jo memeriksa pergelangan tangan. Sekarang jam setengah 10 malam. Ia beranjak berdiri, Keno di sampingnya bertanya, "Temen Jiya?"
"Pacar."
Jiya keluar membawa tasnya, bingung melihat Jo yang sudah berdiri.
"Lo mau balik juga?"
Pertanyaan itu tidak dijawab. Sosok Jo langsung pergi meninggalkannya. Jiya berdecak, menoleh pada Keno. "Duluan ya, Bang!"
"Oh, iyaa. Tiati!" Keno geleng-geleng kepala, memutuskan untuk mengenakan apron dan menjalankan tugas. Beberapa menit berselang, dia memiringkan kepala. "Mereka kayak bukan orang pacaran."
Di lain tempat, Jiya melirik Jo yang berdiri sambil memainkan ponsel. Ia kembali menghadap ke depan, menunggu bis terakhir yang mengarah ke perumahan tempatnya tinggal.
"Gue kira lo punya motor atau mobil gitu," celetuk gadis itu, tak tahan dengan keheningan di sekitarnya.
"Di bengkel."
"Terus lo naik bis?"
"Nggak liat?"
"Iya-iya, liat!" Jiya sedikit sewot, padahal dia cuman basa basi. "Moody-an banget."
Bis yang Jiya tunggu datang. Ia naik, Jo juga ikut. Mereka hanya berdua, tiga bareng sopir. Jiya langsung duduk di kursi belakang, sedangkan Jo memilih untuk berdiri. Jiya bisa lihat kepala Jo nyaris terantuk langit-langit bis.
Bis melaju.
"Banyak tempat duduk nganggur."
Jo tidak membalas.
"Diem aja deh lo, Ji. Dianggurin juga, kan." Gadis itu menggumam sendiri.
Jiya memutuskan untuk tidur, matanya mulai terpejam. Tapi tak bisa, ia penasaran.
"Kenapa lo bisa dapet ranking 1?"
"Pertanyaan pinter."
"Gue cuman nggak nyangka aja. Denger dari orang-orang dan liat kebiasaan lo di sekolah, rasanya mustahil."
"Emang ngaruh?"
"Ngaruh." Jiya mengangguk. Ia harus mendongak untuk bisa melihat Jo. "Kalo menurut gue."
"Omongan orang sama attitude, nggak ada sejarahnya ngaruh ke nilai."
"Tapi nilai lo selalu minus. Rey yang cerita," sahut Jiya.
"Itu karena gue nggak peduli."
"Terus sekarang peduli?"
Jo menoleh, menatap Jiya karena teringat dengan foto-foto yang diberikan oleh Willard beberapa hari lalu.
"Iya."
"Gitu ya... " Jiya memiringkan kepala. "Tapi kok gue ragu. Ada yang bilang lo manipulasi."
"Tolol."
Kepala Jiya menggeleng. "Bukan gue yang bilang, loh."
"Percaya enggak itu pilihan lo."
"Lo kayaknya beneran pinter." Jiya menunjuknya. "Pinter bales omongan orang."
"Makasih banyak."
"Gue masih nggak percaya aja sebenernya. Kirain bakal Rey yang dapet ranking 1. Padahal dia udah bertahan tiga semester."
"So, lo bisa tau dia nggak sepinter itu."
"Gue sekelas sama dia, jadi gue ada bayangan seberapa jauh kemampuannya."
"Terus?"
"Dia punya potensi dan kesempatan." Jiya berhenti sebentar dan melanjutkan, "Buat ngalahin lo."
Jo tersenyum miring. "Lucu."
"Kenapa?"
"Gue lebih tau Rey daripada lo."
Wajah Jo mendekat, tangannya terjulur dan bertumpu pada sandaran kursi bis yang Jiya duduki. Jiya refleks menutup mata begitu Jo meniup wajahnya.
"Mesensefalon, bagian otak manusia yang mengatur gerakan tidak sadar untuk merespon secara refleks pada mata."
"Hah?"
Sopir bis tiba-tiba mengerem hingga tubuh Jiya terdorong ke depan. Jo bergerak spontan, menunduk dan menahan tubuh Jiya agar tidak jatuh.
"Hukum Newton I."
"Inersia." Jiya menyahutnya. "Bentuk pertahanan keadaan suatu gaya."
Jo tersenyum. "Ini simpel."
Jiya mendongak, terkejut saat menyadari posisi wajah mereka terlalu dekat.
"Detak jantung lo... Apa lo nggak terlalu banyak lepas hormon adrenalin?"
Jiya bergegas melepaskan diri dari Jo. "Sok tau."
"Hormon itu masuk ke darah dan akhirnya sirkulasi meningkat. Jantung lo harus kerja lebih ekstra."
"Iya terus?"
"Norepinefrin, salah satu zat yang diproduksi karena hormon itu keluar. Suhu tubuh lo lebih tinggi dari sebelumnya."
Jiya mengerutkan kening, lalu menyentuh pipinya yang terasa panas.
Sial!
"Aliran darah ke pipi jadi lebih banyak karena pembuluhnya melebar. Wajah dipenuhi pembuluh darah kecil, makanya peningkatan aliran darah itu lebih keliatan di pipi."
"Pipi lo merah, Ji," sambung Jo.
Double shit!
.
"Kalo emang beneran otak lo mampu, kenapa nggak dari dulu ditunjukin."
Jiya berdehem, sudah duduk lagi ke tempatnya.
"Males jadi pusat perhatian."
"Karena nilai sempurna?"
Jo mengangguk saja.
"Kan bisa diminimalisir. Seenggaknya lo nggak jadi peringkat terakhir," lanjut Jiya.
"Lagian nggak ada alasan."
"Harus banget punya alasan?"
Jo menatapnya.
"Buat apa ngelakuin tanpa punya alasan?"
"Kalo gitu, kenapa alasannya nggak dibuat aja?"
"Kebanyakan tanya."
"Nggak bisa jawab kan lo?"
Jo memutar bola mata. "Nyerah."
Jiya tersenyum lebar. "Terus kenapa bisa temenan sama Rey Aga?" Ia semakin bersemangat mengulik dunia Jo.
"Karena udah sering bareng aja."
Dan sepertinya makin ke sini mood Jo makin membaik.
"Sejak kapan?"
"Masuk SD."
"Emang kehidupan mereka di luar juga begitu? Rey yang keliatan teladan dan Aga suka bikin masalah."
Jo menatap bangunan yang berseliweran di sepanjang jalan.
"Sama. Sejak dulu mereka selalu berkebalikan."
"Berkebalikan?"
Pria itu mengangguk. "Aga mungkin emang kasar di luar."
Ingatan Jiya berputar pada kejadian di halaman belakang EIS. Bagaimana cara Aga mengintimidasi musuhnya dan membuat mereka tunduk. Dia menyetujui pernyataan Jo barusan.
Kasar banget.
"Tapi dari sisi gue, dia cuman cewek biasa yang nggak bisa dibiarin sendirian."
Sisi Jo.
Jiya perlu menggarisbawahi hal itu.
"Kalo Rey?"
"Seperti yang lo tau, dia teladan." Jo berhenti sejenak, menatap Jiya lama. "Tapi lo harus jauhin dia."
"Kenapa?"
"Dia bahaya." Tangan Jo terkepal, masih ingat saat dia tahu Rey mengancam Jiya. "Dia bisa lakuin semua hal supaya tujuannya tercapai. Semua."
Jiya tertegun.
Telat, Jo.
Rey sudah tahu tentang masa lalunya.
"Terus lo sendiri?" Jo beralih menatap Jiya. "Lo sendiri gimana?" tanya Jiya sekali lagi.
Bis berhenti di halte dekat perumahan tempat Jiya tinggal. Namun, mereka masih saling bertukar tatapan. Mata tajam itu, Jiya bisa melihatnya dengan jelas. Dia mengingatnya, pun kalimat yang Jo lontarkan.
"Lo juga harus jauhin gue. Ini peringatan."
.
"Ke depannya kehidupan kamu bakal berubah, Agatha. Kamu nggak bisa lagi santai, semua temanmu bisa curiga kalau nilaimu masih rendah."
Aga menghela napasnya jengah. "Udah, kan? Aku mau tidur."
"Papi batasin jam kamu sampai kamu pindah ke asrama. Kamu nggak bisa bantah."
"Terserah, Aga capek."
"Kamu bisa ke atas."
"Gitu kek dari tadi."
Juanda mengerutkan keningnya tak suka. Ia mengusap wajah lelah, putrinya selalu membuat dia sakit kepala.
Di lantai atas, Aga masuk ke dalam kamar. Ia terkejut begitu membalikkan badan.
"Lo?!"
Rey menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan tanpa rasa bersalah. Bahkan tubuhnya kini terbaring nyaman di ranjang Aga.
"Lo gila hah?!" Tentu saja Aga panik melihat keberadaan cowok itu, ia langsung mengunci pintu kamar. Bisa-bisa dia dikurung jika Juanda tahu. "Anjing, turun nggak lo!"
"Eh, santai dong, Ga."
"Santai-santai pala lo! Cepet turun!"
"Iya-iya... "
Rey menurut, turun dari ranjang. Wajahnya yang lebam membuat Aga berpikir Rey baru kena amuk ayahnya. Dia memutar bola mata, kesal karena untuk sekian kalinya Rey tidak mau melawan.
"Baru balik dari neraka lo?" sindir Aga.
Kekehan Rey keluar halus. "Iya, sakit Ga."
"Bego." Aga mengumpatinya. "Terus kenapa ke sini?"
"Bokap dinas luar, pulang lusa."
"Tapi?"
"Bukan tapi."
"Terus?" Aga menatap Rey curiga. "Jangan-jangan lo... "
"Cuman malam ini, Ga."
"Nggak!" Mentah-mentah Aga menolaknya. "Jangan lagi, Rey. Bulan ini lo udah jarang, loh."
"Gue butuh, Aga."
Aga menggeleng tegas. "Liat dulu muka lo, anjir. Jangan aneh-aneh!"
"Lo khawatirin gue, ya?"
"Sialan, nggak ada!" Keputusan gadis itu tidak berubah. "Pokoknya nggak boleh."
"Gue bakal balik lagi."
"Balik mana?" tanya Aga. "Gue nggak pernah percaya sama lo, Rey."
"Janji, gue pasti balik." Rey mendekat. "Cuman malam ini, gue butuh pelampiasan doang."
"Dulu lo hampir mati, Rey. Nggak kapok?"
"It's gonna be okay. I'll try."
"Just try?"
"I promise."
Melihat bagaimana Rey meyakinkannya membuat Aga tak bisa berkutik. Gadis itu berpikir lagi, mengusap rambut pendeknya.
"Oke, fine. Tapi ada syaratnya." Ia menatap Rey. "Lo harus selalu ngabarin gue."
"Deal."
"Dikira lagi nawar hah? Bentar, bokap gue masih di rumah," kesal Aga. Rey terkekeh melihatnya.
Jeda.
"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi siang."
"Yang mana?"
"Kenapa berantem sama Jo?" Aga bertanya kembali. "Apa karena cewek baru itu?"
"Ceritanya panjang."
"Disingkat."
"Ya nggak bisa lah, sayangku."
Aga mencibir.
"Dia bikin gue takut." Rey buka suara. "Jiya murid pindahan."
"Takut dia rebut tempat lo?"
Rey mengiyakan, kemudian tertawa pendek. "Meskipun sekarang justru Jo yang ngerebut."
"Dari awal emang itu bukan tempat lo kali."
"Pedes amat mulut lo. Gue lagi berduka bukannya dibaikin."
"Dih, penginnya lo."
"Iya, emang pengin. Lo nggak pernah baik ke gue loh, Ga."
"Lo mau gue berubah pikiran?" Aga menunjukkan kunci motornya.
Rey langsung menggeleng. "Nggak elah, baperan amat."
"Terus waktu gue bilang dapet bocoran soal, lo ngerasa terancam juga?"
"Dikit," bohongnya. "Kan ingatan lo pendek banget."
"Anjing."
Rey tertawa pelan. "Bokap lo kayaknya udah pergi," ujarnya saat mendengar suara mobil di bawah.
"Lo beneran mau ke sana?"
Rey mengangguk, masih teguh pendiriannya.
"Ya udah, bentar."
Aga membuka lemari, mengeluarkan jaket kulit warna hitam dan sebuah helm full face berwarna serupa. Semua itu milik Rey. Tak lupa sarung tangan kulitnya.
Sang pemilik mendekat, melepaskan sweater abu-abu yang ia kenakan dan menyisakan kaos pendek putih. Aga bisa melihat tato merpati di pundak sebelah kirinya. Tato yang hanya diketahui oleh Aga, bahkan orang tua Rey tidak tahu.
Dan hari ini Rey tidak menutupinya.
Rey memakai jaket kulitnya, melepas kaca mata, lalu meraih kunci motor milik Aga yang disodorkan oleh cewek itu.
"Lo udah janji bakal balik."
Rey tersenyum, mengacak rambut Aga lembut sebelum akhirnya melompat dari jendela kamar. Meninggalkan Aga yang kini sedang menyentuh dadanya, merasakan bagaimana jantung itu selalu bedebar kencang saat bersama Rey.
Di bawah, Rey mengendarai motor hitam milik Aga dengan kecepatan penuh. Tengah malam ini jalanan lumayan sepi, hingga lima belas menit berlalu dan dia tiba di keramaian.
Rey membuka helm, menyugar rambutnya ke belakang. Ia tersenyum, turun dari motor dan mendekati sebuah meja. Seorang pria bertubuh besar mendongak.
"Akhirnya lo dateng juga, Bro. Malam ini jadi?"
Rey mengangguk, mengeluarkan uangnya. "Dapet urutan berapa?"
Pria tadi menghitung lembaran uang warna merah dari Rey. "Urutan lima, lawan si Marco."
"Oke, buat lo." Rey pergi, meninggalkan dua lembar uangnya di saku pria itu.
"Thanks, Bro!"
"Rey!"
Tiga orang gadis berpakaian terbuka datang dan mendekati Rey. "Lo sekarang jarang kumpul sama kita-kita."
"Bener." Satu gadis berbaju merah menyala menyahut. "Udah jarang ke club lo."
"Sorry, guys."
Gadis berbaju hitam maju, menyalakan sebuah rokok dan memberikannya pada Rey. "Stres banget sampe dateng ke sini, huh?"
Rey tersenyum miring, menerima rokok tersebut, lalu menghisapnya. "Lo juga sama, kan?"
"Shit, gue masih nggak nyangka setiap ketemu lo di tempat kayak gini." Dina kini menyalakan rokoknya sendiri.
"Ngaca."
"Gimana reaksi anak-anak EIS kalo gue kasih tau murid yang paling mereka kagumi ada di sini? Ngerokok, clubbing, racing, dan mungkin hal-hal mengejutkan lain yang belum gue tau."
Rey tertawa kecil. "Lo nggak berani."
Dan inilah Rey, murid teladan yang diberi label 'sempurna'.
Selamat datang di dunia (rahasia) milik Reynaldi Anggara.
.
it's Dina!
tbc
lebih kaget sama rahasia Rey atau Dina nih? wkwkk
update kapan syg?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro