Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 19 | Kak ...?

Cyrilla merasa lelah dengan semua hal, termasuk karena perasaannya yang tidak dapat ia mengerti, pada Jayden juga pada Heavy. Kepalanya terasa berat, matanya sulit untuk dibuka. Untungnya hari ini Minggu, dia tidak harus memperlihatkan matanya yang bengkak karena menangis semalam.

"Dik, ayo sarapan!" Suara Mama terdengar dari luar.

"Iya, Mah, nanti Cyrilla sarapan, duluan saja," sahutnya masih mengucek mata, dia duduk di pinggir tempat tidur. Mengecek ponsel, Cyrilla menatap layar ponselnya dengan malas saat melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari penelepon yang sama, Yufa. Gadis itu mengembuskan napas.

Ada apa lagi, sih? Aku lelah, gumamnya dalam hati, melihat pesan yang masuk dari nomor yang sama.

Yufa: Cyrilla, Jayden dipukuli orang-orang kakakku.

Kedua manik biji kopi Cyrilla membelalak membaca pesan Yufa, rahangnya terbuka, dia terkejut bukan main. "Dipukuli gimana? Kok, bisa?"

Cyrilla menelepon Yufa.

"Cyrilla, tolong aku." Suara dari seberang telepon terdengar lengkap dengan isak tangis.

"Kamu kenapa nangis? Jayden gimana? Kalian di mana?" Cyrilla panik. Segera dia bangkit dari kamarnya, dengan gontai melangkah ke luar rumah. Dia bahkan mengabaikan ucapan mamanya yang meminta dia untuk sarapan.

Langkahnya berubah, dia berlari ke rumah sebelah, rumah Fajar. Segera dia mengetuk pintu sambil memanggil nama yang punya rumah.

"Kamu kenapa sih, Cy, manggil orang kayak kesetanan gitu?" Fajar muncul dari balik pintu, menggaruk rambutnya yang berantakan.

"Antar aku ke Batununggal sekarang, Jar." Wajah panik Cyrilla tidak dapat ia sembunyikan.

Fajar tidak banyak tanya, dia segera ke dalam rumah mengambil jaket dan kunci motor, dan dua buah helm. Tidak lama dia keluar, memberikan jaketnya untuk dikenakan oleh Cyrilla yang saat itu hanya mengenakan kaus oblong dengan celana pendek di atas lutut.

"Pakai dulu, Cy," ucap Fajar meminta gadis itu memakai jaket beserta helmnya.

Segera Fajar melajukan motornya ke daerah Batununggal. Sepanjang jalan, Cyrilla terus berkirim pesan dengan Yufa. Gadis itu memberitahu kalau Jayden dijebak kakaknya, meminta bertemu, lalu tanpa basa-basi kakaknya Yufa dan teman-temannya malah menghajar Jayden hingga laki-laki itu ambruk.

"Jar, kita ke arah lapangan bola Batununggal." Cyrilla memberitahu tempat tujuan mereka.

Mata Cyrilla menjelajah, mencari keberadaan Jayden. Fajar diminta untuk memutari lapangan sekali lagi, tapi dia tidak menemukan laki-laki yang ia cari.

Padahal motornya ada, tapi di mana sih, Jaydennya ...? Cyrilla frustasi, dia menggigit jarinya, matanya terus menjelajah mencari sosok Jayden.

"Jar, coba tolong berhenti dulu. Aku mau coba jalan ke lapangan," ucapnya seraya menepuk pundak Fajar.

"Ayo angkat dong, Jay," lirihnya, dengan gelisah dirinya menunggu jawaban dari Jayden. Tidak lama, suara parau terdengar dari seberang telepon, panggilan diangkat.

"Hm," sahut suara husky dari seberang telepon.

"Ka--kamu di mana? Aku ada di lapangan bola Batununggal, cari kamu, kamu di mana ...?" Suara Cyrilla bergetar, menahan tangisnya.

"Aku di sini, berbaring," jawabnya lalu terbatuk.

Cyrilla membungkam mulutnya, matanya masih terus mencari keberadaan Jayden. Ia menghentikan langkahnya, saat melihat seorang laki-laki sedang berbaring di antara rumput-rumput lapangan yang cukup panjang, rumput-rumput yang menjulang itu jelas belum dipotong oleh petugas kebersihan. Sebelah lengan laki-laki itu memegang ponsel, sebelahnya lagi melintang menutupi matanya.

"Jayden!" Cyrilla berteriak.

"Jayden, kamu dimana?" Gadis itu kembali berteriak.

Laki-laki berseragam baseball itu tertawa. "Kenapa kamu berisik banget sih, Cyrilla?" tanya Jayden berusaha duduk. Senyumnya merekah saat mendapati sosok cantik buru-buru menghampirinya. Gadis itu masih menggunakan baju yang sama, saat terakhir kali mereka bertemu.

Cyrilla mempercepat laju larinya, saat kedua matanya berhasil menemukan keberadaan orang yang sejak tadi ia cari. Dia menghamburkan diri, tepat saat tubuhnya berada di hadapan Jayden. Dihantam dengan tiba-tiba seperti itu di saat di abelum siap, serta merta membuat tubuhnya kembali ambruk menyentuh tanah lapangan, sementara Cyrilla berada di atas tubuhnya. Laki-laki itu mengaduh.

"Ma—maafkan aku," kata Cyrilla, menarik dirinya menjauh dari tubuh Jayden.

"Sini ku bantu." Cyrilla mengulurkan tangannya membantu Jayden duduk. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, wajah tampan Jayden kini penuh luka lebam.

"Kamu kenapa?" tanya Jayden saat air mata gadis itu berlinang.

Cyrilla menggeleng. "Maafkan aku, gara-gara aku, kamu jadi—" Dia membungkam mulutnya, tidak sanggup berkata lagi.

"Hei ... kenapa kamu nangis? Dasar cengeng, sudah jangan nangis," ucap Jayden berusaha untuk tersenyum. Secara spontan tangannya bergerak dengan sendirinya menghalau air mata di wajah Cyrilla.

"Kamu belum mandi, ya?" tanya Jayden melantur, tidak ingin Cyrilla khawatir.

"Aku bau ya?" Cyrilla balik bertanya, sembari mengendus aroma tubuhnya kiri dan kanan.

Jayden tertawa, dia lalu berkata, "Jadi kamu benar belum mandi? Ya ampun ... joroknya!"

Cyrilla mencubit paha Jayden, dan membuat laki-laki itu memekik sekali lagi.

"Eh, maaf ... aku lupa kalau kamu sedang babak belur," ungkap Cyrilla.

"Aku nggak apa-apa, Cyrilla, aku nggak mati kok, hanya luka." Jayden mengelus lembut kedua pipi gadis itu.

"Apa aku sudah boleh bergabung dengan kalian, sekarang?" Fajar tiba-tiba muncul di antara mereka.

Jayden tersenyum, keberadaan Fajar membuatnya merasa lega. "Aku menyedihkan ya, Jar?" gumamnya. Fajar tidak menjawab pertanyaan konyol yang meluncur dari mulut Jayden. Laki-laki menyebalkan yang dengan mudah merebut hati dan perhatian Cyrilla darinya.

Dengan satu kali pukul tepat di punggung, Jayden mengaduh. "Kalau sakit, diam saja deh!" celetuk Fajar.

"Tolong bantu aku bangun, Jar."

Mereka memapah Jayden ke pinggir lapangan, tepat di dekat motir miliknya dan Fajar terparkir. "Tunggu di sini, aku mau beli obat untuk luka Jayden dulu," ucapnya.

Cyrilla mengiakan dengan anggukan, dia lalu berkata, "Jangan lama-lama, Jar."

Fajar mengangkat ibu jarinya, sebelum melaju bersama motor kesayangannya.

"Jadi, sebenarnya ada apa, kenapa kamu sampai dipukul sampai babak belur begini, Jay?"

Jayden menatap gadis cantik yang sibuk memberinya tiupan-tiupan pada pelipisnya. Malas sebenarnya jika harus mengingat kenapa dia sampai mendapatkan luka-luka itu. Tapi Cyrilla terus saja bertanya, dia tahu betul kalau gadis itu tidak akan berhenti kalau belum mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Kamu memintaku berpacaran dengan dia, aku sudah memenuhi permintaanmu. Bisakah kamu nggak usah bertanya apapun? Aku lelah, Cyrilla."

"Aku ... aku sebenarnya sudah tahu, tadi aku menelepon Yufa saat dia bilang kalau kamu dipukuli kakaknya." Cyrilla tidak sanggup menatap lebih lama wajah Jayden yang masih mengeluarkan darah.

Cyrilla melihat orang yang berjualan buah potong di sampingnya ada juga yang berjualan minuman lengkap dengan box es di sampingnya.

"Tunggu sebentar ya, aku mau beli es buat kompres luka kamu." Cyrilla memegang tangan laki-laki itu, mendaratkan sebuah kecupan di punggung tangannya yang merah. Jayden mengangguk.

Tidak lama Cyrilla datang dengan satu plastik es batu. Dia ingat dia menyimpan sapu tangan pada saku celananya. Sapu tangan yang semalam menjadi lap air mata lengkap dengan ingusnya.

Dia mencuci sapu tangan itu menggunakan air mineral yang ia beli sekalian dengan es batu. Setelah itu dia memasukkan es batu dan mulai mengompres luka di wajah Jayden. Sesekali Jayden meringis menahan perih setiap kali sapu tangan yang digunakan oleh Cyrilla menyentuh lukanya.

"Maaf ya, aku ceroboh memintamu berpacaran dengan Yufa," ucap Cyrilla, dia teringat percakapannya dengan Yufa sebelumnya.

Yufa berkata kalau keluarganya sangat menjunjung tinggi aturan agama yang dianutnya. Berpacaran sebenarnya adalah perbuatan yang dilarang, diharamkan dan perbuatan yang hanya mendatangkan keburukan. Oleh sebab itu kakaknya Yufa marah. Saat dia menjemput adiknya, dia melihat di tempat parkir Yufa menggandeng tangan Jayden. Saat itu Jayden juga langsung dihajar oleh kakaknya Yufa.

Pantas saja ujung bibir Jayden sobek kemarin. Cyrilla kembali teringat luka di ujung bibir Jayden, tanpa sadar ia menyentuhnya. "Kamu boleh menyudahinya, Jay. Aku nggak mau kamu terluka lagi," lirihnya.

"Aku sungguh boleh putus dari gadis itu?"

Cyrilla mengangguk, Jayden menangkap tangan Cyrilla yang sedang mengusap lembut luka di ujung bibirnya, dia lalu berkata, "Kamu nggak akan marah karena gagal sebagai Mak comblangnya?"

Cyrilla menggeleng pelan. "Maafkan aku karena sudah memaksamu, Jayden."

Suara motor Fajar mengalihkan perhatian keduanya. Fajar datang di waktu yang tepat, sebab kalau dia datang lebih lama, Jayden bisa saja kehilangan kendali dirinya. Jayden mengembuskan napasnya lega.

"Kamu pakai baju baseball mau latihan?" tanya Fajar sembari memberikan plastik berisi obat untuk luka Jayden.

"Harusnya latihan, karena hari Senin kita sudah ujian. Jadi hari ini latihan terakhir sebelum libur semesteran."

"Nggak usah latihan, wajahmu babak belur begitu. Ayo main saja ke rumahku, orang tuaku pergi ke luar kota. Kamu menginap saja, Jay." Tawar Fajar.

"Terima kaish, tapi tadi aku sudah meminta kakakku untuk menjemputku. Aku ingin pulang saja."

"Kamu serius nggak akan dimarahi dengan penampilan seperti itu?" tanya Cyrilla khawatir.

Jayden mengulas senyum. "Nggak apa-apa, Cyrilla. Sudah biasa," jawabnya.

Cyrilla seketika ingat kalau Kak Dery pernah menceritakan tentang betapa repot orang tua mereka menghadapi tingkah brutal Jayden yang hampir tidak pernah absen untuk masuk ke ruang BK karena berkelahi. "Dasar preman," celetuknya seraya menggeleng ke kiri dan kanan.

Ponsel Cyrilla bergetar, seseorang meneleponnya. Nama Lifa bertengger di sana. Segera Cyrilla mengangkat telepon. Lagi-lagi suara isak tangis yang terdengar dari seberang telepon.

"Cyrilla ...," panggil Lifa sambil menangis.

"Ada apa, Kak Lifa?"

"Orang tua, Avy, Cy." Tangis Lifa terdengar semakin kencang.

"Orang tua Kak Heavy kenapa, Kak?" tanya Cyrilla panik. Jayden dan Fajar yang ada di sana ikut panik.

"Kenapa, Cy?" tanya Jayden dan Fajar bersamaan.

Cyrilla masih belum dapat mendengar apapun lagi dari seberang telepon selain suara tangis Lifa yang menjadi-jadi.

"Coba nyalakan loudspeakernya," pinta Fajar, segera Cyrilla menyalakan loudspeaker pada ponselnya agar kedua temannya bisa ikut mendengarnya.

"Kak Lifa ... coba Kakak tenangkan diri dulu, aku nggak dengar apa yang Kakak sampaikan," ujar Cyrilla mencoba untuk menenangkan Lifa.

"O—orang tua—" Lifa masih belum dapat berbicara dengan baik karena tersengal-sengal dengan tangisnya.

Cyrilla masih dengan sabar menunggu kelanjutan kalimat Lifa.

"Me—mereka kecelakaan, me—meninggal, Cyrilla ...." Lifa meraung diakhir kalimatnya.

Cyrilla kehilangan kata-kata, tubuhnya lemas, matanya memanas disusul dengan lelehan air mata. "Ka—kak Heavy, dia ...." Kalimatnya mengering di udara, tidak selesai.

Fajar mengambil alih ponsel dari tangan Cyrilla, mencoba berbicara dengan Lifa, meminta alamat Heavy. "Jay, kamu gimana, mau ikut?" tanya Fajar.

Jayden mengangguk mantap. "Tentu saja."

"Kamu bisa bawa motor?"

Jayden menggeleng. "Kita tunggu kakakku saja, kita ke sana bersama, bagaimana?" tanyanya, segera disetujui oleh Cyrilla dan Fajar.

***

Senin, hari ujian semester. Setelah ujian selesai, Cyrilla bersama dengan teman-temannya kembali ke rumah Heavy. Laki-laki itu sebatang kara, untungnya masih ada Tante yang membantunya mengurus semua, termasuk pemakaman kedua orang tua Heavy. Sekolah memberinya waktu untuk ikut ujian susulan pekan depan selama dia berkabung.

Wajah tampan Heavy terlihat tidak bersemangat, bagai langit yang dipenuhi awan gelap sebelum hari hujan. Tidak tega melihat Heavy sedang berduka, Jayden memutuskan untuk mundur. Awalnya, dia berpikir untuk sekali lagi mengutarakan perasaannya kepada Cyrilla, berharap agar cintanya bersambut karena hubungannya dengan Yufa sudah berakhir.

Cyrilla, gadis itu setiap hari datang, hatinya terenyuh melihat kondisi Heavy yang kacau. Siapa sangka kedua tumpuan laki-laki itu akan berpulang bersama-sama, meninggalkannya sebatang kara di waktu yang sama.

Cyrilla hanya bisa memberinya dukungan sebagai kekasih, mencoba mencurahkan segala hal agar senyum kembali mengembang di wajah tampannya. Beberapa hari dia ikut menginap di rumah Lifa. Hubungan Lifa dengan Heavy hampir sebelas duabelas dengan dirinya dan Fajar. Untungnya ada keluarga Lifa yang sudah menganggap Heavy sebagai putranya sendiri.

"Kak," panggil Cyrilla saat beberapa kali ia coba mengetuk pintu kamar Heavy namun tidak juga ada jawaban dari dalam kamar. Gadis itu takut ada hal buruk yang terjadi, mengingat sudah seminggu kekasihnya itu tidak makan dengan baik.

"Ada apa, Cy?" tanya Lifa, saat dengan wajah panik gadis itu menghampirinya yang sedang membantu sang Ibu mencuci piring setelah ada tamu.

"Kak Heavy belum ke luar dari kamarnya, Cyrilla takut kenapa-napa," ungkapnya.

"Tunggu aku panggil, Abah," sahut Lifa segera berlari menuju ruang depan rumahnya.

Tidak lama Lifa datang bersama dengan Abah, menemui Cyrilla dan Ibu yang sudah lebih dulu berada di depan kamar Heavy. Abah meminta mereka mundur, lalu mendobrak pintu kamar Heavy, benar saja, pemuda itu sudah tidak sadarkan diri tergeletak di lantai dekat tempat tidurnya. Buru-buru mereka membawa Heavy menuju ke rumah sakit di jalan Pasteur.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Cyrilla menggenggam tangan Heavy, air matanya mengalir. Wajah Heavy pucat pasi, dan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dalam hati gadis itu berdoa kekasihnya itu baik-baik saja. Tuhan ... semoga Kak Heavy baik-baik saja, aku takut, Tuhan.

"Kak ...." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro