Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 | Satu Nama

Lagi-lagi tugas individu, presentasi kelompok, pengerjaan LKS dan PR. Hari-hari sebagai pelajar selalu tentang semua deretan tugas itu. Tanpa terasa, dengan padatnya kegiatan akademik maupun non-akademik, keempat sahabat itu menjadi semakin akrab. Hampir setiap ada kesempatan mereka bertemu di luar sekolah untuk mengerjakan tugas, walaupun ujung-ujungnya tugas adalah nomor dua dan main adalah yang utama. Tetapi mereka konsisten dengan tanggungjawab mereka sebagai pelajar, tugas selesai, bermainpun tetap berjalan.

"Jayden," panggil Cyrilla setelah membaca pesan dari Palupi.

"Hm, ada apa?" Jayden menyahut setelah melihat ke arah spion motornya sebentar.

"Setelah mengantarku kamu mau langsung pulang atau mau ikut belajar bersama di rumahku?" tawar Cyrilla sambil pandangannya lekat ke arah ponsel, sementara jarinya sibuk membalas pesan-pesan yang mausk di ponselnya.

"Siapa saja?"

Palupi: Cyrilla, aku minta maaf karena ke rumahmu tanpa bilang dulu. Aku tiba-tiba teringat PR Fisika dari Bu Ikoh. Aku nggak sanggup kalau mengerjakan sendiri, mana PR nya banyak banget, Cy.

Cyrilla menepuk jidatnya sambil lalu. Dia teringat PR dari guru Fisika yang harus melengkapi seluruh tugas dan uji kompetensi pada buku LKS.

Anda: Ya ampun, Upi. Aku justru berterima kasih karena kamu mengingatkanku tentang PR Ibu Ikoh. Kalau nggak, aku keasyikan main.

Fajar: Cyrilla, kamu di mana? Aku di rumahmu, sedang coba mengerjakan PR dengan Upi. Kamu cepat datang, Cy. Aku lemah kalau nggak ada kamu.

Anda: Lebay deh, Jar! Ini aku sedang di perjalanan pulang kok.

"Cyrilla," panggil Jayden setelah beberapa kali gadis di belakang jok motornya itu belum juga membalas ucapannya.

Jayden mengembuskan napas kasar, dengan sengaja dia menekan rem pada stang kemudi, dan membuat motor yang ia kendarai berhenti mendadak. Cyrilla yang sedang tidak siap dengan hal itu kontan saja menubruk tubuh Jayden yang berada di depannya, helm bertemu helm, sementara dadanya bertemu punggung laki-laki itu.

"Jayden Adnan! Kamu sudah gila ya? Kamu sengaja cari kesempatan saat aku sedang lengah?" oceh gadis itu sambil mendaratkan tepukan beruntun di punggung Jayden.

"Cyrilla Meera, aku dari tadi sedang berbicara denganmu, tapi kamunya sibuk sendiri dengan ponselmu," jelas Jayden saat tepukan di pundaknya berhenti.

Mendengar jawaban Jayden yang tepat sasaran membuat Cyrilla mati kutu, gadis itu hanya dapat melempar senyum kaku, sementara mulutnya terus saja mengucapkan maaf.

"Iya sudah, berisik, Cyrilla. Kamu kan nggak harus meminta maaf terus, memangnya kamu ini radio yang rusak atau bagaimana sih?" sindir Jayden kembali menyalakan mesin motornya. Di sindir seperti itu oleh Jayden, bukannya membuat Cyrilla marah, dia malah tertawa cekikikan.

"Jadi tadi aku tanya, siapa saja yang mau belajar bersama di rumahmu?"

"Oh, itu, ada Upi dan Fajar," ucap Cyrilla sebelum ia kembali asyik dengan ponsel miliknya. "Kamu mau ikut juga, Jay?" tanya gadis itu.

"Boleh." Satu kata mewakili jawabannya.

"Mantap, semakin banyak orang yang belajar semakin cepat PR selesai." Cyrilla teringat cemilan sebelum belajar. "Ada yang mau aku beli, sebelum pulang. Di depan mini market ada pedagang, kita mampir dulu," tambah Cyrilla.

Anda: Aku ajak Jayden belajar, nggak apa kan?

Cyrilla mengirimkan pesan itu kepada dua temannya sekaligus. Tidak lupa ia juga mengirimkan pesan kepada orang tuanya, terutama Sesy.

Palupi: Iya nggak apa, Cy. Aku senang kamu ajak dia, Jayden kan jago Fisika.

Fajar: Alah sia, aya deui wae eta jalma. Nya atuh teu nanaon, meh rame.

Cyrilla terkekeh setiap kali berkirim pesan dengan teman masa kecilnya itu, lelaki itu selalu saja berkata tanpa disaring, seenaknya saat bicara, tetapi begitulah pertemanan ajaib mereka tercipta.

Sesuai perkataan Cyrilla, Jayden menghentikan laju motornya di depan sebuah mini market di dekat perumahan tempat Cyrilla tinggal. Di sana tumpah ruah para pedagang makanan dari mulai makanan berat hingga makanan ringan. Gadis itu dengan cekatan menjejaki kaki membeli cemilan dari mulai cilok, cilor, seblak, telor gulung, cimol, dan jajanan lain yang bisa menemani mereka belajar.

Di sisi lain, Jayden tertawa geli, melihat tingkah ajaib Cyrilla. Bisa-bisanya banyak makan tapi tubuhnya ramping. Geleng Jayden sambil terus menerima plastik demi plastik hasil hunting makanan Cyrilla.

***

Jayden dan Cyrilla baru saja tiba, tepat saat motor legenda milik Papa digiring ke luar rumah. Cyrilla mencium punggung tangan kedua orang tuanya yang terlihat siap dalam balutan busana yang rapi. Seperti yang sudah ia tahu, kalau besok di daerah Majalengka salah satu teman orang tuanya ada acara hajatan, dan kebetulan hari ini keduanya berangkat menuju salah seorang teman yang memiliki mobil. Rencananya mereka akan pergi bersama menggunakan mobil tersebut, dan akan menginap di Majalengka.

"Hati-hati ya, Pah, Mah," ucap Cyrilla.

"Kamu juga hati-hati ya, jangan berantem saat Mama dan Papa nggak ada di rumah."

"Memangnya, Mama pikir Cyrilla anak kecil apa? Lagipula Kak Sesy sudah kuliah, jadi nggak akan rebutan remote tv selama Kakak sibuk di kampus," tawanya berderai usai mengatakan hal yang membuatnya bahagia sebatas mendapatkan hak penuh atas remote tv yang biasanya selalu jadi alasan dia dan Sesy ribut di rumah.

Jayden mengucapkan salam dan mencum punggung tangan kedua orang tua Cyrilla, sebelum keduanya pamit pergi. Kedatangan mereka segera disambut heboh oleh Palupi dan Fajar dengan wajah keduanya yang sudah berlumur bedak. Cyrilla menepuk jidat.

"Kalian bilang mau belajar bersama, tapi kenapa malah main kartu sih?" katanya tidak percaya saat kartu remi yang coba disembunyikan oleh Fajar terjatuh dari balik baju yang ia kenakan.

Sebenarnya bermain sambil belajar adalah hal yang biasa mereka lakukan, tetapi mengingat PR Fisika yang bejibun, Cyrilla merasa tidak tenang. Apalagi dirinya lemah dengan mata pelajaran satu itu.

"Kami bosan menunggu kalian, jadi kami main empat satuan dulu sebentar," kata Fajar membela dirinya dan Palupi.

Permainan kartu empat satuan, sebuah permainan yang dimana kita harus mengumpulkan kartu di tangan kita sejumlah empat buah. Permainannya sederhana, kita mencari kartu hingga nominal angkanya berjumlah empat puluh satu. Pemain dengan jumlah nominal angka empat puluh satu atau dengan jumlah paling mendekati angka tersebut menang, dan pemain dengan nilai nominal paling sedikit, itu berarti dia kalah dan hukumannya dicoret wajahnya dengan bedak oleh tiga orang lainnya. Permainan kartu remi empat satu ini hanya dapat dimainkan oleh empat orang atau minimal dua orang pemain.

"Upi ... kamu pasti diajarkan hal sesat oleh Fajar, iya kan?" Cyrilla menghambur dan memeluk tubuh Palupi yang terasa sangat nyaman saat ia peluk, belum lagi saat kedua pipi gembilnya itu ia cubit.

Lucunya. Cyrilla berucap dalam hati dengan kedua tangan yang sudah bertengger di pipi Palupi.

"Cyrilla, sakit ...," lirih Palupi mencoba bertahan dari cubitan gemas gadis itu.

Cyrilla memamerkan deretan giginya sambil lalu sebelum mengucapkan permintaan maaf. Palupi mengiakan dengan anggukan. Dia tahu Cyrilla tidak benar-benar ingin menyakitinya, selain karena dirinya menggemaskan. Setidaknya, kalimat lucu dan gemas sering kali meluncur dari mulut Cyrilla setiap kali gadis itu mencubit pipinya. Palupi maklum dengan tingkah sahabatnya itu.

"Jadi, kita mau main kartu, bukan belajar?" Jayden mendapati buku-buku pealajaran yang masih rapih di atas meja, tergeletak tidak tersentuh. Sebaliknya, karpet hitam dengan motif leopard sudah penuh dengan ceceran bedak, lengkap dengan dus bungkus untuk kartu remi yang masih tergeletak di sana.

Fajar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, rasanya telak saat Jayden mengatakan hal itu. Tetapi biar bagaimana pun, ia masih butuh teman-temannya untuk mengerjakan PR bersama.

"PR dong, kalau main mah setelah selesai PR, anggap saja main mah bonusnya." Fajar tidak dapat menyembunyikan wajah girangnya. Segera dia menyambar buku PR miliknya, lalu duduk manis. Dia takut Jayden berubah pikiran dan memilih pulang. Biar bagaimanapun, Fajar mengakui kalau Jayden jago dalam mata pelajaran eksak.

"Ayo kita kerjakan PR!" Fajar bersemangat. Palupi mengikuti Fajar dan duduk di sebelahnya.

Cyrilla tertawa saja melihat tingkah Fajar dan Palupi yang terlihat seperti anak kecil yang kepergok ayahnya yang galak karena lupa mengerjakan PR. "Aku mau ke dapur dulu ya, menyimpan jajanan dan membawakan kalian minuman lagi." Cyrilla melihat botol dan gelas kedua tamunya sudah kosong.

"Terima kasih," ucap ketiganya kompak.

Bergegas Cyrilla menuju dapur, tidak lupa dia juga mengirim pesan kepada kakaknya untuk segera pulang dan membantunya dalam mengerjakan PR plus pekerjaan rumah. Cyrilla segera bergabung bersama dengan ketiga temannya. Tidak sadar kalau di salah satu media sosial miliknya yang dikenal dengan sebutan YM-an atau Yahoo Messenger yang beken tahun 2007-an sebelum munculnya BBM, Line, Whatsapp, Facebook dan berbagai messenger lainnya. Aplikasi chatting atau pesan instan yang dapat menampilkan foto profil penggunanya.

Yufaaput: Cyrilla, maaf ya kalau perkataanku saat itu membuatmu tersinggung. Aku hanya ingin dekat dengan kalian.

Yufaaput: Cyrilla, aku benar-benar berharap kalau kamu memaafkanku, Cy.

Yufaaput: Cyrilla, tolong balas chat-ku ya. Ini penting.

Semua pesan dari Yufa baru ia buka setelah PR Fisika selesai dan seluruh temannya pulang. Merasa tidak enak karena baru membuka YM Yufa pada malam hari, segera Cyrilla menelepon gadis itu. Tidak disangka Yufa ternyata cepat merespon panggilannya. Setelah saling mengucap salam, barulah Cyrilla menanyakan hal penting apa yang Yufa maksud dalam chat-nya.

"Sebelumnya maaf aku menanyakan hal ini." Suara Yufa terdengar ragu-ragu.

"Tanya apa, Yufa? Bilang saja, aku nggak akan marah, kok."

Gadis di seberang telepon mengucap syukur. Terdengar oleh Cyrilla, lawan bicaranya mengembuskan napas beberapa kali sebelum ia kembali berbicara. "Kamu dan Jayden ...." Yufa memberikan jeda, suara embusan napas gadis itu terdengar jelas di telinga Cyrilla.

Yufa kembali melanjutkan kalimatnya. "Apa kalian pacaran?"

"HAH?" Satu kata lolos sebagai bentuk tidak percaya Cyrilla dengan pendengarannya barusan. "Gimana, Yufa?" tanya gadis itu memastikan hal yang ditanyakan kepadanya, bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Tuh kan, kamu marah ya, Cy?"

"Eh, apa? Bukan, aku nggak marah kok, Yufa. Aku hanya ingin kamu mengulang pertanyaanmu karena sepertinya tadi sinyal ponselku gangguan." Buru-buru Cyrilla berdusta.

Sekali lagi Cyrilla mendengar Yufa berucap syukur karena dirinya tidak marah. "Jadi begini, Cyrilla. Aku mau jujur, ini hanya kamu yang tahu."

Entah kenapa tiba-tiba saja perasaan Cyrilla tidak enak, tetapi dia tetap harus mendengarkan hal penting apa yang akan disampaikan oleh Yufa kepadanya. Dia masih diam, sembari menajamkan pendengarannya.

"Aku suka sama Jayden, Cy." Yufa sengaja menekan kata suka. Dia lalu melanjutkan. "Aku mau minta bantuan kamu, tolong jadilah mak comlang untukku. Aku ingin bisa jadi kekasihnya Jayden, Cyrilla."

Yufa terus saja berbicara, "Dari semua teman cewek yang ada di kelas, hanya kamu yang terlihat sangat dekat dan akrab dengan Jayden." Sekali lagi gadis itu mengembuskan napas, dia berharap tidak ada penolakan dari lawan bicaranya.

"Kamu dan Jayden bukan pacaran kan, Cy?"

Pertanyaan itu terdengar dengung di genderang telinga Cyrilla. Suara Yufa terus terdengar tanpa jeda layaknya gerbong kereta yang panjang, semua yang dikatakan gadis itu berkenaan dengan satu nama, Jayden.

"Tolong bantu aku ya, Cyrilla. Aku tahu kalau kamu dan Jayden berteman dekat," ujar Yufa sekali lagi ia sengaja menekankan bicaranya, kali ini pada kata berteman dekat. "Nah, untuk itu aku berharap kamu mau membantuku memenangkan hatinya," tambah Yufa. Setelah mengatakan semuanya, gadis itu merasa sangat lega. "Terima kasih banyak loh, Cyrilla," tandasnya sebelum memutus panggilan.

Cyrilla masih membisu di tempatnya, sampai saat Sesy datang dan membuyarkan lamunannya.

"Cyrilla, kamu masih simpan lilin?"

"Untuk apa?" Satu pertanyaan bodoh mencuat dari mulutnya.

"Untuk jaga-jaga takut mati lampu, mana di luar hujan deras lagi!" seru Sesy sambil mencari lilin.

"Hujan ternyata. Entah kenapa, hujan di luar sana sudah mewakilkan perasaanku." Cyrilla berbisik lirih.

"Kamu ngomong apa sih, Dik?" tanya Sesy saat ia yakin kalau tadi adiknya itu mengatakan sesuatu, tapi sangat pelan dan nyaris seperti bisikan.

"Aku bilang lilinnya ada di dalam laci meja belajarku, Kak."   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro