Ch 6: Ricuh
Adam adalah sosok orang yang sangat ambisius. Dia tidak suka harga dirinya dijatuhkan. Semua hal yang dia anggap tidak penting, selalu dia letakkan di bawah kakinya. Wajahnya yang kasar seolah mencerminkan hal itu. Adam turun dari dalam mobil patroli dengan muka masam. Para perwira yang turut bersamanya segera mengambil posisi. Tugas menunggu untuk diselesaikan.
David mendapat bagian menyatroni sisi mobil Terios yang ringsek parah akibat menabrak tembok pembatas jalan. Ditelitinya kemiringan tembok tersebut. Dia berdecak. Gila! Orang yang mengendarai mobil ini pasti benar-benar berniat mengantar nyawanya pada kematian. Hampir seluruh sisi kiri dan moncong depan mobil tersebut hancur.
"Bagaimana TKP?" tanya Adam pada salah satu anak buahnya yang datang menghampiri.
"Kita bisa melihatnya bersama, Kapten." ucap Akil.
Mereka berjalan beriringan. Memasuki gang lebih dalam lagi. Meninggalkan David dan beberapa perwira lainnya yang masih sibuk dengan Terios hitam itu.
Sesekali Adam menengadah. Menatap bangunan tua yang berdiri kokoh di balik dedaunan pohon. Bangunan tersebut terlihat menyeramkan. Langit mendung bergulung di atasnya, menambah kesan suram pada bangunan kos-kosan berlantai tiga itu. Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut sangatlah wajar, mengingat tragedi berdarah baru saja terjadi di tempat itu.
Sebelumnya dilaporkan, sekitar pukul tujuh, oleh Irina Hadi, Melia Ivanka ditemukan tewas di kamar Virja A. Yazid--kekasih korban--dengan dua luka panjang menganga di leher. Mobil yang ringsek, lalu ponsel yang tergeletak di aspal.
Tidak ada CCTV di sekitar gang tersebut.
"Jadi, kalian menemukan ponsel milik pacar korban di sini?" Adam kembali bersuara, begitu mereka sampai di jalanan berlubang yang diberi sebuah tanda.
Akil segera mengiyakan. "Ponsel itu sudah dibawa ke laboratorium forensik untuk diperiksa lebih lanjut."
Adam memerhatikan sekitar. Jalanan di gang tersebut bersih tanpa ada sampah yang berserakan. Dia segera beranjak begitu menyadari Akil yang sudah berada jauh di depannya.
"Korban bernama Meli." Akil mulai bercerita. "Sementara ini, kami belum bisa melacak keberadaan pacar korban."
"Mereka tinggal bersebelahan?" tanya Adam memastikan, yang kemudian segera diangguki Akil. Akil begitu kurus dan ceking. Punggungnya tampak sedikit bungkuk. Postur tubuhnya seperti kebanyakan orang yang kerap duduk menghabiskan waktu di depan komputer.
"Ibu pemilik kos sebelumnya mengatakan, sebagian orang di lantai satu dan dua sudah lama pindah ke tempat lain. Sedangkan yang menempati lantai tiga memang hanya tiga orang itu saja; korban--Meli, kekasih korban--Virja; dan juga saksi--Irina Hadi," jelas Akil panjang lebar.
Wanita tua itu terlihat sangat menyesal. Dia tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi di tempatnya. Saat Akil menanyakan di mana dia berada ketika tragedi mengerikan itu terjadi, wanita tua itu menjawab, dia sedang berada di rumah ibu mertuanya dan baru kembali pagi ini, saat tim polisi sudah mengerumuni gedung kos-kosan miliknya.
"Saya sangat menyesal, Pak Polisi," ujar wanita tua itu berkali-kali saat ditanyai.
"Sebenarnya lantai tiga bangunan kos-kosan tersebut diperuntukkan untuk wanita." Akil melanjutkan. "Untuk pria, berada di lantai satu dan dua."
Setahun yang lalu, Virja datang pada pemilik kos tersebut. Lantai satu dan dua sudah penuh waktu itu. Wanita tua itu berkata, Virja tidak mempunyai cukup uang untuk menyewa kamar kos di tempat lain yang harganya jauh lebih mahal. Dia memohon. Akhirnya pemilik kos tersebut membuat pengecualian untuk Virja. Dan, membiarkannya tinggal di sana.
Akil berhenti berbicara begitu mereka sampai. Gedung kos-kosan itu terlihat sangat sepi. Semua pintu tertutup dengan rapat. Namun, tiba-tiba ...
"Apa kalian gila, hah?!" sebuah teriakan terdengar dari atas.
Tidak butuh watu lama bagi keduanya untuk dapat mengenali siapa pemilik suara itu. Kendra. Dengan langkah seribu, mereka bergegas menaiki anak tangga menuju lantai tiga.
"Ada apa ini?!" sentak Adam. Beberapa petugas yang sedang beradu mulut telah lebih dulu menghentikan ocehan mereka begitu melihat kepala Adam muncul dari bawah. Hanya Kendra yang masih melantangkan suaranya. Apa yang dia ributkan? Suara bariton milik Adam bahkan tak mampu membuatnya berhenti. Adam menarik paksa jaket kulit Kendra, tetapi bawahannya itu justru memberontak. Adam pun terpaksa melayangkan bogem mentahnya tepat di wajah Kendra.
"Sadarkan dirimu, Kendra!"
"Shit!" Kendra mengusap sudut bibirnya kasar. "Sudah kubilang ...."
Mata mereka saling bertumbukan untuk sesaat. Kendra buru-buru menunduk, baru sadar siapa yang dia maki barusan.
Adam yang tak habis pikir, menggeleng tak percaya. Dia mengabsen satu per satu wajah para cecunguk gila yang terlibat pertengkaran di ambang pintu TKP tadi. "Benar-benar tidak tahu diri!" desisnya tajam. "Apa kalian semua berniat menghancurkan TKP?! Berkelahi saja di sana!" ujar Adam sambil menunjuk ke arah jalan raya yang tampak padat dari kejauhan. Kericuhan semakin menjadi. Beberapa reporter terlihat memaksa masuk ke dalam gang. Kemacetan pun tak dapat dihindarkan.
"Aku tidak akan peduli, sekali pun truk-truk besar itu menggilas kepala kalian!" sentaknya lagi.
Adam melengos tanpa mempedulikan tatapan penuh arti dari Kendra. Akil mengangkatkan garis kuning untuknya, memberi akses pada Adam untuk masuk lebih dahulu ke dalam TKP.
Ruangan itu telah sepenuhnya biru, disorot oleh sinar ultra violet dari seluruh penjuru kamar. Tim olah TKP bekerja dengan cermat. Mencari bercak darah di sekitar jendela. Mereka menggeleng. Area itu dinyatakan bersih oleh mereka. Akil mengeratkan sarung tangannya dan memeriksa engsel pintu yang sedikit rusak. Sementara Adam mendekati Juru potret yang telah selesai mengambil foto-foto korban. Jasad Meli terbujur kaku di pintu kamar mandi dengan mata terbelalak lebar. Kondisinya sangat mengenaskan. Luka mengaga di perutnya membuat Adam lantas berpaling muka.
"Hei, kau, kemari sebentar," ucap seorang pria dari sudut ruangan. Akil yang sadar dengan posisinya segera berlari dan menghadap. "Bola mata kirinya hilang," beri tahu pria itu.
Adam memerhatikan apa yang sedang mereka lakukan denga mata memicing. Sebuah alat peraga berbentuk kerangka manusia lengkap dengan organ-organnya tergeletak sembarang di lantai. Ginjal, payudara, serta jantung. Akil mengerutkan alisnya. Membalik kerangka bagian kepala yang terpisah dengan hati-hati. Benar. Hanya bola mata kanan yang tampak melekat pada tempatnya, sementara bola mata kirinya raib menyisakan ceruk.
Adam mendekat begitu merasa ada yang tidak beres. Sepertinya dia kenal dengan orang yang seenak jidat menyuruh bawahannya itu. "Jansen?" terkanya sembari mengingat-ingat. Pria itu menengok ke arahnya. Benar. Pria itu adalah Jansen, seniornya di Akademi Kepolisian. “Wah ....” Adam berdecak kagum. Sementara orang yang dipanggil hanya menggangguk singkat, tak begitu mengacuhkan Adam.
Jadi, ini alasan Kendra mengamuk di TKP, batin Adam sembari meringis.
Adam berkacak pinggang. "Sepertinya kau sudah kehabisan obat (kau sudah gila),” sindirnya tajam. Namun, pria bernama Jansen itu tidak sedikit pun menggubrisnya. Jansen justru sibuk memberi titah pada Akil.
"Cari di sana. Di bawah kolong tempat tidur. Mungkin terlempar ke sana."
Akil bersimpuh dan mengintip ke bawah ranjang, tetapi yang dia dapati hanya pasangan ginjal lainnya. Akil menyerahkan benda itu, sembari menatap heran, kenapa pria ini malah sibuk mencari bola mata palsu.
"Ada-ada saja," gerutunya.
"Apa?" sentak Jansen.
"Bu-bukan apa-apa. Aku hanya tidak habis pikir. Apa dia (VJ) harus mengoleksi benda-benda seperti ini di kamarnya. Itu agak ... yah ...."
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" Jansen memotong dengan cepat, membuat Akil semakin gelagapan saja.
"Ya ... itu ...."
"Dia adalah calon dokter."
"Ten-tentu saja, Pak." Daripada terlibat perseteruan, Akil lebih memilih mengalah.
Adam yang merasa diabaikan mulai naik pitam. "Kau bahkan berani memerintah anak buahku?!"
Jansen kemudian berputar, menuju ke tempat di mana Meli tergeletak. Darah kering tertinggal di lantai menuju pintu keluar. Satu-satunya jejak sepatu terlihat sangat jelas berkat sinar biru yang mendominasi tempat itu. Jejak tersebut sepertinya sengaja ditinggalkan oleh pelaku.
"Jangan menguji kesabaranku. Apa kau sadar, kau sedang menginjak ladang milik orang lain?"
Jansen akhirnya menanggapi Adam yang terus merengek padanya. "Semua orang terus saja berteriak. Tujuan kita sama, bukan? Mengungkap tragedi gila ini."
Adam meninggikan suaranya. "Kasus ini bukan milik wilayah Kepolisian Medan Kota! Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini!"
"Sifatmu itu masih saja sama," sergah Jansen. "Aku tidak akan berbuat seperti ini jika saja kau becus mengurusi bawahanmu." Pandangan Jansen jatuh pada Kendra.
"Apa maksudmu?"
"Satu lagi," Jansen memperingatkan. "Hanya karena gadis itu tewas di kamar ini, bukan berarti kita bisa langsung menyimpulkan dialah pelakunya!" Jansen terlihat sangat kesal. Ditunjuknya sebuah figura foto yang menampakkan wajah VJ di dalamnya.
Adam terdiam cukup lama. Dia bahkan tak bisa berbuat apa-apa ketika Jansen mengambil alih semuanya.
"Bawa jasad korban sekarang juga!"
"Segera selidiki jejak sepatu itu!"
"Temukan merk dan perusahan yang memproduksi. Berikan daftar nama para pembeli padaku. Dan, juga..." Jansen menambahkan. "Beri aku daftar sepatu yang dipakai kekasih korban..."
Adam merasa dipermalukan di hadapan semua bawahannya. Dia tidak akan tinggal diam begitu saja. Terutama pada Kendra, akar dari semua permasalahan ini.
***
Untuk kedua kalinya mereka bertemu. Kendra merasa tak perlu lagi bersopan satun pada pria tua itu.
Jadi, selama ini dia terus membuntuti Irina?
"Apa kau tidak punya urusan lain? Dasar tua bangka!"
"Kenapa kau tidak urus saja urusanmu sendiri?" balas Jansen. Kendra terkekeh. Pria tua ini memang tidak tahu malu. Dia terus memberontak, berusaha melepaskan belenggu di tanggannya. Namun, hal itu sia-sia saja, sebab kunci borgol ada pada Kendra.
"Lihat! Gadis itu sudah pergi sekarang," ucap Jansen lagi.
Kendra yang segera tersadar lantas berdecak keras. Sialan! Tidak ada gunanya berurusan dengan orang tua yang sudah bau tanah ini. Jansen sudah membuang waktunya. Kendra menghempas Jansen dari kungkungannya, kemudian berlari secepat mungkin, mengejar bayangan Irina yang masih tampak di ujung koridor. Diabaikannya Jansen yang mulai jadi pusat perhatian beberapa orang mahasiswa.
Irina terlihat berlari menuju tempat pemberhentian Bus Lintas USU.
Kendra berhasil menangkap tangannya di saat yang tepat. Irina menatapnya frustrasi. Sejauh apapun Irina berlari, Kendra selalu punya cara untuk menemukannya.
"Kenapa kau terus mengikutiku?"
"Kita perlu bicara."
Irina hampir gila mendengarnya. "Apa? Aku sudah mengatakan semuanya di ruang interogasi." Sekilas Irina memerhatikan pria di hadapannya. Pria yang dilihatnya di ruang interogasi waktu itu memiliki rambut cepak yang rapi dan mata yang teduh, tapi pria ini tampak berbeda--gaya rambutnya juga cara bicaranya yang sedikit memaksa.
"Masih belum," sahut Kendra tenang. kedua alis matanya nyaris menyatu. Dia memohon agar Irina mau memberinya kesempatan untuk bicara.
Irina menyentak tangannya yang masih ada dalam genggaman Kendra. Mereka menarik perhatian beberapa pejalan kaki. Orang-orang itu mungkin sedang membicarakannya saat ini. Irina merasa semakin buruk.
"Kau melihatnya malam itu."
"Melihat?" Napas Irina tercekat. Dengan alasan yang tidak jelas dia mulai bertingkah aneh. Irina membelakangi Kendra. Dia bersiap untuk pergi ketika bus terlihat dari kejauhan. Polisi itu tidak akan bisa mengejarnya lagi. Hanya mahasiswa USU yang diperbolehkan naik ke dalam bus tersebut. Irina melangkah menuju kerumunan mahasiswa yang sedang berdesakan masuk ke dalam bus. Namun, satu kalimat yang diucapkan Kendra berhasil membuat tubuh Irina menegang seketika.
"PEMBUNUHNYA."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro