Ch 3 : Arah Angin
Alex digiring keluar dari dalam ruang interogasi dua jam kemudian. Adam mengantarnya sampai ke ruang tunggu saksi. Dengan suara bernada ancaman, Adam memberitahunya, bahwa selama penyelidikan kasus pembunuhan Meli berlangsung, Alex dilarang bepergian jauh dan dia dikenai wajib lapor selama 1 x 24 jam. Alex mengangguki setiap perkataan polisi gila itu, sebelum kemudian melongos pergi dengan langkah gontai. Dia benar-benar lelah. Diperiksa selama berjam-jam tanpa jeda waktu ternyata cukup membuat tubuhnya terasa kaku seperti mayat.
Alex sempat menoleh lagi sebelum meninggalkan tempat itu. Dia melihat Irina, teman dekat Meli, duduk di kursi tunggu paling ujung sembari menganyunkan kedua kaki. Ketika namanya dipanggil oleh seorang petugas polisi berseragam, Irina memasuki ruang interogasi dengan pandangan kosong. Sosoknya menghilang begitu pintu ruang interogasi ditutup rapat-rapat.
Suasana koridor cukup ramai hari itu. Beberapa petugas polisi tampak keluar-masuk dari dalam ruangan. Alex kemudian berbelok menuju lobi. Matanya terlalu sibuk memerhatikan setiap ruangan yang dilewatinya, sampai-sampai dia tidak sempat menghindar. Tanpa sengaja dia menabrak seorang pria. Berkas-berkas yang dibawa pria itu sampai jatuh berserakan di bawah kakinya. Alex membantu memungutinya. Di antara berkas-berkas tersebut, dia mendapati secarik kertas berisi data diri VJ dan juga--selembar surat keterangan adopsi?
Alex terkesiap ketika lengannya tiba-tiba saja dicekal dengan sangat kuat oleh pria itu. Dia menoleh tidak suka. Pria itu menariknya berdiri. Rupanya postur tubuh pria itu jauh lebih tinggi darinya, sehingga Alex mesti mendongak untuk menatapnya.
Pria itu mengenakan kemeja putih dan dasi merah di lehernya. Tampak sangat rapi. Dari seragam yang dikenakannya, Alex tahu pria itu adalah seorang penyidik. Kendra M. Sebuah nama tertulis pada tanda pengenal yang dia kenakan. Tanda pengenal itu berayun, ketika Alex berusaha mengempas cekalan pria itu darinya.
"Hei, lepas!"
“Kau bilang VJ bukan pelakunya.” Penyidik bernama Kendra itu bicara tanpa basi-basi. Tatapan matanya begitu tajam, tetapi terlihat getir secara bersamaan. Rambutnya lumayan panjang di bagian depan, tetapi tidak dengan sisi kanan-kiri dan bagian belakang kepalanya. Dia mencukurnya sampai kulit kepalanya nyaris terlihat. “Apa kau ingat pukul berapa VJ meninggalkan hotel?”
"Ha?" Alex sempat terbengong cukup lama. Setelah dijejali berbagai macam pertanyaan oleh Adam, kini dia harus diserang pertanyaan lagi. Namun, Kendra berkeras memaksanya menjawab. Ingatan Alex kemudian melayang pada menara jam yang dilihatnya melalui jendela besar hotel. "Jam dua lewat lima belas menit, kami masih berada di hotel. Menara jam terlihat jelas dari sisi kiri hotel." Alex mengangguk yakin.
Kendra melirik lantai sebentar. Kening Alex berkerut dalam. Usai mendapat jawaban yang dia inginkan, pria itu kemudian melenggang pergi dari hadapannya.
____________________
Orang yang memiliki krisis kepercayaan diri selalu berusaha menjauh dari dunia. Seperti itulah dia, Virja Yazid. Dia merasa harus terkucilkan, sebab dia tidak memiliki apapun untuk dibandingkan.
Ketika dia berada di titik terendah dalam hidupnya, dia akan berlari secepat kilat, menjauh dari segala kemungkinan, kemudian berbaur dalam keramaian, hingga dia lenyap bagai asap.
Dia hidup, bernapas, sama seperti orang lain. Tetapi, udara yang dia hirup hanya akan membuatnya merasa semakin tercekik.
Trauma masa lalu, kecemasan, dan rasa frustasi. Semuanya terlalu menyakitkan. Tidak ada lagi tempat tersisa untuknya. Meskipun begitu, dia tetap berusaha. Melawan ketidakpastian dunia dengan cita-cita. Akan tetapi masa lalu membuatnya takut untuk melangkah lebih jauh.
Kedua orang tua yang mengadopsinya tewas tertembak.
Dia tumbuh tanpa kedua orang tua. Sebatang kara. Pada akhirnya dia tersesat, melampiaskan rasa haus darahnya dengan sebilah pisau. Dia menyayat leher kekasihnya, kemudian merobek bagian perutnya dengan sangat keji.
"Trauma masa lalu ...." Adam bergumam. Papan linimasa telah penuh dengan kasus yang dia tangani kali ini. Tentang Melia Ivanka, korban pembunuhan yang tewas mengenaskan di kamar kekasihnya, juga tentang lelaki bernama Virja Yazid--kekasih korban--yang tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi.
"Rasanya masih ada yang kurang." Kali ini Kendra yang bergumam. Sembari mengusap-usap dagu, dia ikut memerhatikan papan linimasa.
Adam berdecak. "Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan, Kendra?" tunjuknya dengan spidol. Fokus Adam sedikit buyar akibat ucapan bawahannya itu. "Langsung saja ke intinya."
"Orang-orang dengan krisis kepercayaan diri cenderung menyakiti diri mereka sendiri. Mereka melampiaskan amarah dan rasa frustasi dengan menghancurkan apa saja. Mereka memberontak. Namun, adakalanya mereka merasa bingung dan hanya duduk menyudut di kamar."
Kendra lalu membuka kembali berkas dan catatan miliknya. Dia menunjukkan beberapa foto yang terselip di dalam sana. "Keadaan TKP terlalu bersih untuk seseorang dengan kepribadian rumit seperti Virja."
Adam menghela napas. Dia tahu persis maksud Kendra. Hanya saja ....
"Waktu kematian korban berkisar pukul dua belas sampai dua dini hari," ucap Kendra lagi.
"... Jam dua lewat lima belas menit. Kami masih di hotel ...."
"... Menara jam terlihat jelas dari sisi kiri hotel ...."
Kendra mengingat perkataan Alex.
Malam tahun baru selalu identik dengan kemacetan, apalagi letak hotel itu ada di tengah pusat kota. Butuh waktu cukup lama pastinya untuk Virja bisa sampai ke rumah indekosnya. Jika memperhitungkan situasi dan jarak, bisa jadi dia sampai di Jalan dr. Mansyur satu jam kemudian. Virja pasti terjebak macet. Mustahil Virja bisa sampai begitu cepat dalam rentang waktu kematian Meli. Ini sangat tidak masuk akal, kecuali jika mobil yang Virja kemudikan memiliki sayap dan terbang menuju lokasi TKP.
"Jika pernyataan saksi benar, maka alibi Virja bisa dikonfirmasi. Dia sedang bersama Alex. Itu artinya ada orang lain yang memasuki kamar Virja pada saat itu. Korban yang sempat melihatnya, mengira orang itu adalah Virja, kekasihnya, kemudian nekat menyusulnya ke dalam. Tapi, ternyata--"
"Kau hanya berspekulasi, Kendra." Adam segera memotong. "Semua bukti mengarah kepadanya." Ditunjuknya foto Virja yang melekat pada linimasa. "Sidik jari, juga DNA. Jika bukan dia pembunuhnya, dia tidak mungkin melarikan diri."
"Pemilik kamar itu adalah Virja. Tentu saja, jejaknya ada di mana-mana, Kapten."
"Sudah cukup, Kendra. Semua sudah selesai." Adam menghempas spidol di tangannya ke atas meja dengan sangat kuat, kemudian bangkit berdiri. Pelipisnya berkedut hebat. Dia merasa sangat lelah. Untuk saksi selanjutnya, dia akan menyerahkannya pada Detektif David.
"David, kau tangani saksi selanjutnya."
David yang sedari tadi diam mendengarkan obrolan Kendra dan kapten itu pun mengangguk cepat. Dia membawa beberapa map bersamanya. Sebelum keluar dari dalam ruang Divisi Pembunuhan, David sempat melirik Kendra di mejanya. Mereka saling bertatap-tatapan selama beberapa detik, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. David akhirnya melengos wajah, kemudian melangkah menuju ruang interogasi.
Dalam diam Kendra mengikutinya di belakang. Dia masuk ke pintu lain di sebelah ruangan tempat David menghilang barusan--ruang observasi. Kendra bisa memantau jalannya interogasi dari dalam ruangan tersebut.
Kendra disuguhi pemandangan seorang gadis yang tengah duduk sembari menundukkan kepala dari balik sekat. David menarik kursi, kemudian duduk berhadap-hadapan. Sebuah meja besi menjadi pemisah jarak di antara mereka. David mulai membuka map yang dibawanya.
"Irina Hadi?" panggilnya dengan suara tegas. Irina sedikit tersentak dibuatnya. Interogasi lalu dimulai dengan pertanyaan seputar indentitas gadis itu.
Irina, mahasiswi tahun ketiga di FIB USU, dia adalah junior Meli di kampus, yang kebetulan menyewa sebuah kamar kos di sebelah kamar Meli. Padahal dia tidak pernah mengikuti kegiatan organisasi, tetapi dia jarang sekali masuk kelas.
Kendra memerhatikan wajah Irina yang terekam dalam komputer di ruang observasi. Wajahnya cukup manis, rambutnya lurus dibelah tengah. Beberapa anak rambutnya tampak terburai di depan kening. Tubuhnya kurus. Dia mengenakan kemeja biru berliris putih.
"Sejauh mana Anda mengenal Melia Ivanka?" suara David terdengar kemudian.
Gadis itu tampak ragu-ragu. Dia memainkam jari-jari tangannya dengan gelisah di bawah meja.
"Sa-saya ... tidak begitu dekat dengannya ...."
Kendra memusatkan perhatiannya lagi pada Irina. Suaranya bergetar hebat ketika menjawab pertanyaan yang David ajukan. Dia terus saja menunduk.
"Bisa Anda ceritakan semuanya, bagaimana saat pertama kali Anda menemukan jasad Melia Ivanka?" David berusaha membujuknya. Namun, akal sehat Irina seakan belum tergerak. Sepertinya dia masih trauma dengan apa yang disaksikannya malam itu.
Namun, Kendra melihatnya dari sisi yang berbeda. Gadis yang malang, ucapnya dalam hati. Setelah dia perhatikan dengan saksama, wajah Irina rupanya penuh dengan luka lebam. Matanya bergerak gelisah seolah sedang mencari sesuatu. Kendra bisa merasakannya, gadis itu sedang tertekan. Dia ingin bicara, tetapi tidak bisa.
Irina Hadi, apa yang kautakutkan?
Tepat saat Kendra menyuarakan kalimat tersebut, Irina beralih ke arahnya. Seolah-olah dari seberang sana, dia mampu mendengar suara hati Kendra.
Bicaralah.
Kendra berbisik, "Kami ada untuk mendengarkanmu."
Mereka saling berpandangan. Sebentar kemudian, sorot mata gadis itu kembali pada David. Kendra hanya bisa menggeleng lemah. Irina masih menggunakan haknya untuk diam. Ternyata, suara hati Kendra tak mampu menembus kaca tebal yang menjadi pemisah di antara mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro