Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16 : Kita adalah Teman?

"Sachi!"

Sachi enggan memperdulikan panggilan Yukia. Baginya, rasa sakit ini telah melukai hati dan kepercayaannya pada Yukia.

'Apa salahnya jika aku bertanya?' batin Sachi yang kini telah berada di lantai tiga.

Sachi berjalan sebentar lalu bersandar pada tembok terdekat. Ia terisak dalam diam sembari duduk perlahan.

'Pertama Isamu. Kedua Yukia. Berikutnya apa!? Apa yang akan terjadi berikutnya!? Kalau begini caranya, lebih baik kalian tidak perlu datang menyelamatkanku,' batin Sachi.

Sachi terlalu sibuk menangis. Hingga tidak menyadari sesuatu sedang mengincarnya secara perlahan.

Grab!

Mulut Sachi dibungkam oleh tangan dan diapun mulai diseret.

"Mmm! Mmm! Mmm!" Sachi terus berusaha melepaskan tangan itu dari dirinya. Namun, sangat sulit.

Tak lama kemudian, Sachi pun terdiam lalu ia terpikirkan ide yang mungkin dilakukan saat ini. Ingat, kedua tangan Sachi masih bebas. Begitu pula dengan kedua kakinya.

Sachi langsung menyikut pinggang orang itu. Dan secara otomatis, orang tersebut melepaskan tangannya dari Sachi.

"C-Chiba ...."

"Apa yang kau lakukan, baka!" ucap Chiba sembari memegangi pinggangnya.

"Apa!? Siapa yang mulai menakutiku duluan, hah!" ucap Sachi sembari berkacak pinggang.

"Siapa juga yang menangis ditengah situasi seperti ini dan juga ... mengapa pipi kananmu merah?"

Sachi yang menyadari hal itupun langsung menutupi pipinya. Raut wajahnya turut berubah.

"Apa aku salah bicara?" tanya Chiba yang melontarkan tatapan penuh selidik.

"Apa pedulimu? Melindungi wanita saja gagal. Masa aku harus memberitahu masalahku," ucap Sachi yang tampak menghindari pertanyaan Chiba.

Chiba hanya menghela nafas. Maniknya terus memperhatikan kondisi sekitarnya.

"Yukia ... dimana dia? Bukankah kalian selalu bersama?" ucap Chiba yang membuat Sachi semakin diam dan tampak tidak peduli.

Chiba menghela nafas untuk kedua kalinya lalu berkata, "Jika ada masalah, cobalah untuk berbicara baik-baik padanya. Kalian ini teman, bukan?"

Setelah mengatakan hal itu, Chiba langsung memperhatikan lingkungan yang jauh dari jangkauannya dengan alat yang telah ia modifikasi sebelumnya.

'Teman ...,' batin Sachi.

"Apa kau pikir ... aku dan Yukia adalah teman?" tanya Sachi dengan tatapan kosong.

"Jawabnya ada diujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak. Anak yang tangkas dan juga pemberani~♪."

Sachi tertawa saat mendengar Chiba menyanyi. "Apa yang kau pikirkan, aho!"

"Tidak tahu, hanya terlintas saja dari pikiranku," jawab Chiba seadanya.

Namun, jika boleh jujur, Chiba melakukan itu hanya untuk menghibur Sachi. Ia tidak ingin melihat rekannya bersedih dalam situasi apapun. Selain itu, ia juga seorang pria. Yang artinya, ia harus bisa melindungi wanita dalam berbagai situasi.

"Apa lagu itu perlu aku sambung?" tanya Sachi sembari mendekati Chiba.

"Ah, tidak perlu repot-repot. Yang ada nanti mereka akan kemari karena mendengar suaramu yang merdu," ucap Chiba dengan manik yang belum teralihkan sama sekali.

"Aku anggap itu pujian," ucap Sachi dengan riangnya.

"Pujian? Bagiku, merdu adalah merusak dunia," ucap Chiba yang langsung membuat Sachi memukulnya pelan dengan pipi yang telah ia gembungkan.

"Sachi, cukup. Nanti aku tidak bisa konsentrasi lagi," ucap Chiba sembari memegang kedua tangan Sachi.

Sachi langsung melontarkan tatapan kesal pada Chiba dan berkata, "Chiba menyebalkan!"

Chiba pun mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Apa kau sedang dapat?"

"Chiba baka baka baka baka baka baka!" ucap Sachi yang kembali berontak untuk memukul Chiba, "Mulai sekarang, namamu Chibaka!"

"Terserah," ucap Chiba yang kemudian melihat ke arah tangga dan ruang kelas hingga ruang praktikum terdekat.

*****

Isamu masih menahan satpam itu semampunya. Bahkan, ia pun sempat terkena tinju dari satpam tersebut.

'Jika dia terjatuh dari sini, apakah dia akan baik-baik saja?' pikir Isamu yang sangat ingin melempar satpam tersebut dari jendela.

"Pikirkan baik-baik, anak muda. Membunuh dan dibunuh, itulah kehidupan," ucap satpam tersebut dengan tatapan yang masih mengincar kapak dibelakang Isamu.

"Hmmm, bukankah itu pemikiran Paman saja? Jika saling menjatuhkan itu hal wajar. Namun, pernahkah Paman berpikir jika hidup tidak selalu tentang membunuh atau dibunuh dan saling menjatuhkan?" ucap Isamu.

"Anak kecil jangan bicara besar! Tahu apa kau soal kehidupan?," ucap satpam tersebut yang mulai terpancing emosi.

"Sudah berapa lama Paman disini? Apa Paman tidak rindu keluarga?"

Yukia menginterupsi percakapan mereka. Namun, Isamu justru memberikan tatapan yang seolah-olah menanyakan perihal Sachi.

"Padahal, kasihan jika keluarga Paman melihat Paman seperti ini. Utamanya ... anak Paman yang masih berusia enam tahun. Tidak bisa kubayangkan betapa sedihnya dia." Yukia mulai memprovokasi satpam tersebut.

Alhasil, satpam tersebut berontak dengan sendirinya. Yukia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia langsung menarik Isamu pergi dari UKS dan mengunci pintu dari luar dengan bantuan kayu.

"Sachi, dimana dia?" tanya Isamu setelah mengganjal pintu tersebut.

"Untuk saat ini, jangan memberiku pertanyaan. Aku sedang tidak ingin ditanya," ucap Yukia yang langsung melangkah lebih dulu.

Dari ucapan Yukia, Isamu tahu jika ada hal yang tidak beres diantara mereka. Mungkinkah ada pertengkaran diantara mereka yang tidak ia ketahui?

"Tsk  ... tsk ... Yukia, masuk."

Mendengar walkie talkie nya berbunyi, Yukia pun menghentikan langkahnya dan menjawab panggilan itu.

"Doushita Chiba?"

"Cepat ke lantai tiga, bantu aku mengurus Io yang belum kembali juga."

Yukia pun tampak sedikit bingung. Namun, ia menyadari sesuatu, "Io pergi ke sana!"

"Iya. Io pergi menyusul mereka," jawab Chiba singkat.

Yukia terdiam sejenak dan saat ia akan menjawab, walkie talkie nya direbut oleh Isamu.

"Kami akan segera ke sana. Dan Chiba, jangan sampai lengah untuk kedua kalinya."

Yukia menatap Isamu yang memiliki tatapan tajam. Bahkan, saat ini Isamu lebih menyeramkan dibandingkan sebelumnya.

"Ayo," ucap Isamu dan mengambil langkah duluan yang diikuti oleh Yukia.

Sesampainya di sana, tatapan Yukia dan Sachi sempat bertemu sejenak. Namun, mereka membuang mata dengan begitu cepat pula.

"Ku kira kau sudah mati, Chiba," ucap Isamu.

"Kau kira aku laki-laki lemah yang mudah pingsan lalu terkurung di dunia yang tidak jelas?" ucap Chiba yang terkesan menyindir Isamu.

Isamu pun bertingkah masa bodoh dengan ucapan Chiba. Karena, Isamu tahu jika ia bukan tandingan untuk Chiba.

"Kau baik-baik saja, Sachi?" tanya Isamu yang mendapat anggukan singkat dari Sachi.

"Sachi baik-baik saja. Karena aku yang sedari tadi disini bersamanya," ucap Chiba yang kembali berkonsentrasi pada alatnya.

"Kali ini, apa yang akan kau lakukan?" tanya Isamu yang mendekat pada Chiba.

"Mengambil Io kembali. Ini sudah lebih dari batas ketentuannya," jawab Chiba singkat, "Apa kau tahu cara mengambil mereka kembali?"

Isamu hendak menjawab pertanyaan Chiba. Namun, suaranya diberhentikan oleh suara gesekan besi dengan keramik. Suara itu semakin lama semakin mendekat yang diiringi dengan bayangan seseorang.

"Here we go again, run!" ucap Chiba sembari mendorong Sachi dan Yukia untuk pergi terlebih dahulu bersama Isamu. Sementara dirinya berada dibelakang untuk berjaga-jaga apabila antara Sachi ataupun Yukia tidak mampu berlari.

Dan yang benar saja, semakin mereka berlari, maka suara besi itupun semakin cepat.

"Berpencar! Yukia dengan Isamu! Sachi, ikut aku!" teriak Chiba yang membuat mereka berhenti sejenak.

Chiba langsung menggandeng dan membawa Sachi berlari ke arah yang berlawanan dari Isamu dan Yukia. Mereka bersembunyi di kelas terdekat.

"Chiba, hah ... apa kau berniat memancing dia ke kita? hah ...," ucap Sachi sembari mengatur nafasnya. Sementara Chiba, ia masih berjaga-jaga dibalik pintu.

"Yukia, masuk," ucap Chiba yang tampak tidak memperhatikan Sachi bicara.

"Dimana kau sekarang? Dia mengincar kami."

"Kelas 3-A, dekat dengan toilet tempat Io pingsan."

"Hei, inikah yang kau rencanakan?"

"Diamlah, Isamu! Cukup ikuti saja permainanku."

Chiba mulai membuka ponselnya dan mengamati seluruh ruangan. Lalu, ia menemukan tempat Yukia dan Isamu berada.

"Siapa orang itu?" ucap Sachi yang kini telah berada di sebelah Chiba.

"Jika aku tahu, maka aku tidak menyuruh kita berpencar," jawab Chiba sembari memperbesar jarak pandang kamera tersebut.

*****

"Isamu, apa kau yakin rencana ini akan berhasil?" tanya Yukia yang masih menaruh keraguan.

"Tenang saja. Lagipula, aku makhluk yang sama dengan mereka. Jadi, tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Cukup berlari ke kelas Chiba lalu aku akan menyusul saat Io sudah bangun," ucap Isamu yang kini siap membuka pintu gudang.

Keheningan telah menyapa mereka. Namun, keheningan itu hanya berlangsung sementara. Suara besi yang diseret itu telah kembali di area mereka.

"Kau siap?" tanya Isamu sembari memegang erat gagang pintu dan sedikit melirik Yukia.

"Siap," jawab Yukia dengan mantap.

"Ichi ...."

"Ni ...."

"San!"

Bruagh!

Isamu membuka pintu tepat pada orang yang membawa besi itu. Dan saat itu pula, Yukia langsung lari menuju kelas dimana Chiba berada.

Sementara Isamu, ia mengambil besi tersebut dan bersiap jika makhluk itu menyerangnya. Namun naas, ternyata makhluk dihadapannya adalah kakak kelasnya sendiri yang ikut bersamanya saat mengikuti uji coba menahan Hanako.

"Minagoroshi," gumamnya.

"Hah?" ucap Isamu yang sulit mendengar dengan jelas tentang hal yang dikatakan oleh lawan bicaranya.

"Minagoroshi ...."

"Minagoroshi?" Isamu semakin menggenggam erat besi itu.

"Pilihlah, Isamu. Tubuh temanmu atau nyawa temanmu."

Suara Hanako membuat Isamu semakin meningkat kewaspadaannya.

"Masa bodoh dengan pilihan itu," ucap Isamu yang membuat Hanako tertawa.

"Benarkah? Apa kau tidak menyayangi temanmu ini? Atau kau lebih menyayangi gadis pindahan itu? Menyedihkan sekali," ucap Hanako yang terdengar memprovokasi Isamu.

"Urusai!" bentak Isamu.

"Aku akan memberikanmu sepuluh detik untuk memutuskan," ucap Hanako yang kemudian menghilang begitu saja. Dan setelah Hanako menghilang, kakak kelas dihadapannya mulai menyerang dirinya.

Brak!

Penggaris dari kayu itupun patah menjadi dua bagian. Dan Isamu sedikit terkejut dengan seseorang yang memukulnya.

"Ku harap, aku datang di waktu yang tepat, partner."

"Chiba," gumam Isamu.

Disisi lain, Yukia dan Sachi tengah berada di toilet sembari menatap tubuh Sachi yang semakin pucat.

"Aku rasa dia sudah pergi terlalu jauh," ucap Yukia sembari membenarkan kacamatanya yang tak jatuh sedikitpun.

"Io, sadarlah! Kami disini!" ucap Sachi sembari menggoyangkan tubuh Io.

"Kurasa tidak ada gunanya," ucap Yukia yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Sachi.

"Diamlah, Yukia! Kau tidak mengerti apapun tentangku."

Mendengar ucapan itu, Yukia masih memahami jika Sachi masih marah padanya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menamparmu. Aku hanya terbawa suasana," ucap Yukia yang membuat Sachi turut merasa bersalah.

"Iie, ini bukan salah Yukia. Ini salahku karena tidak mau menuruti perkataanmu."

"Tidak, ini salahku juga," sanggah Yukia.

Sachi pun sedikit tersenyum lalu berkata,"Kita ... masih berteman, bukan?"

"Tentu. Sampai kapanpun kita masih berteman," ucap Yukia.

"Sayang Yukia!" Sachi langsung memeluk Yukia erat yang membuat Yukia sedikit sesak.

"Sudah, Sachi. Aku tidak bisa bernafas," ucap Yukia dan Sachi pun melepaskan pelukannya sembari tertawa pelan.

"Jadi, bagaimana cara kita membangunkan Io?"

To be continued~

[Neko Note]

Aho = baka : bodoh

Doushita : Bagaimana

Here we go again : kita mulai lagi

Ichi : satu

Iie : tidak, bukan

Minagoroshi : bunuh semuanya

Ni : dua

Partner : rekan

Run : lari

San : tiga

Urusai : berisik

Jumlah kata : 1663 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro