Chapter 13 : Teror Hanako #4
Sang Surya menyapa dunia dengan senyumannya. Bunga pun menari dengan sang angin yang diiringi dengan nyanyian merdu sang burung.
Memang, hari ini sangat indah. Namun, tak ada yang indah jika keluarga tidak lengkap.
Entah sudah berapa kali Rin menghela nafas dalam waktu sehari. Walaupun papa Rin sudah mencoba menenangkan Rin, Rin tetap tidak bisa tenang. Ia selalu merasa bersalah karena kurang bertanggungjawab.
"Moshi-moshi! Rin-chan!"
Seorang gadis pun berseru dari luar rumah ini yang diiringi dengan bunyi bel yang terus-menerus ia tekan. Rin memang harus ikut, namun ia tidak bisa meninggalkan ibunya di rumah sendirian.
"Sebentar!" balas Rin yang belum membuka pintu. Tatapannya terpaku pada mamanya yang terbaring lemas dengan wajah pucat.
"Pergilah, Rin. Mama akan baik-baik saja," ucap mama Rin yang membuat Rin menatap mamanya seraya berkata, "Aku akan pergi ke kuil sebentar, Ma. Aku akan segera kembali."
"Sampaikan doa mama untuk anak baru mama, ya," lirih mama Rin sembari mengelus surai Rin.
Rin pun membalas ucapan mamanya dengan sebuah senyuman dan ia pun segera bersiap. Namun, sebelum ia benar-benar bersiap, ia mengecup dahi mamanya terlebih dahulu.
"Ittekimasu, Mama," lirih Rin.
"Itterashai," balas mama Rin.
Disisi lain, Sachi, Yukia, Chiba, dan Io tengah menunggu Rin yang tak kunjung membukakan gerbang untuk mereka.
Lelah? Tentu saja lelah. Bagaimana tidak, sudah hampir satu setengah jam mereka berdiri diluar. Tanpa duduk, minum, ataupun camilan. Bahkan, ini pun melebihi jam upacara mereka.
"Lama sekali," eluh Sachi sembari menghela nafas.
"Sabarlah, mungkin Rin sedang mengurus mamanya sebentar," ucap Yukia yang sejatinya telah lelah pula.
Sementara Chiba dan Io, mereka tidak mempermasalahkan seberapa lamanya Rin akan hadir. Karena mereka pun juga butuh waktu untuk mempersiapkan diri serta memperkirakan hal-hal yang akan menghadang mereka.
Klik~
Pintu pun terbuka dan menampakkan sosok Rin yang telah rapi dengan jaket tebal yang menyelimuti setengah tubuhnya dengan celana jeans biru yang tak begitu ketat dan dilengkapi dengan bandana biru pada surainya.
"Maaf menunggu lama," ucap Rin dengan sedikit tergesa-gesa.
"Tidak apa-apa. Kami pun menikmatinya," sahut Rin yang membuat Sachi memanyunkan bibirnya.
Setelah percakapan singkat tersebut, mereka pun langsung menuju ke stasiun dengan tiket yang telah dibeli oleh Io. Selama diperjalanan, mereka hanya diam. Entah apa yang membuat mereka sangat hening dari biasanya. Bahkan Sachi yang biasanya cerewet pun kini diam.
Mungkin, bisa dibilang jika pengaruh sang gadis pertukaran pelajar itu sangat kuat pada mereka. Kepolosan, kepintaran, keteguhan, keras kepala, dan ketidakpekaannya membuat mereka merasa kehilangan saat sang gadis mengalami nasib buruk yang bahkan membuat mereka terpisahkan dalam ikatan jiwa.
Saat mereka sibuk dalam pemikiran mereka masing-masing, kereta pun telah berhenti di stasiun Shibuya, Meiji-jingumae. Mereka segera mengecek barang bawaan dan setelah dirasa tidak ada yang hilang, mereka segera melakukan perjalanan ke kuil Meiji yang terletak tidak jauh dari stasiun ini.
Kuil Meiji adalah kuil bersejarah di Jepang yang telah dibangun pada tahun 1920 dan dihiasi oleh belasan ribu pohon. Tak jarang turis pun turut hadir kemari, karena kuil ini dianggap paling mujarab untuk mengabulkan doa.
Sesampainya di sana, mereka langsung menuju ke depan kuil sembari melempar uang koin yang mereka miliki dan mulai berdoa dengan cara menepuk tangan dua kali dan mulai menggenggam tangan masing-masing sembari mengucapkan doa untuk Kaisar Meiji.
Setelah mendoakan Kaisar Meiji, mereka langsung menuju ke pohon besar, Ema untuk menuliskan harapan mereka.
'Neko-chan, cepatlah pulang. Aku berhutang satu soal matematika padamu,' tulis Yukia.
'Neko-chan, kau pergi kemana? Cepatlah pulang sebelum Rin semakin sedih,' tulis Sachi.
'Tenkousei, kapan kau akan menemui kami? Kau masih berhutang ucapan 'terima kasih' padaku,' tulis Io.
'Ku harap, kau cepat pulang,' tulis Chiba.
Namun, dari sekian banyak harapan yang digantung, Rin masih belum menulis apapun. Ia tampak sedih, tetapi ia bingung apa yang harus ia tulis.
"Rin, Chiba, kami tunggu di gerbang," ucap Sachi yang meninggalkan dua temannya yang masih berada dihadapan Ema.
"Jadi, apa yang akan kau tulis?" tanya Chiba yang mendapat gelengan dari Rin.
"Kurasa ... aku akan menulis pesan dari Mama," gumam Rin.
Rin pun mulai menulis harapannya di kertas. Namun, ia ditahan oleh Chiba yang membuat Rin menatap Chiba dengan tatapan bertanya.
"Tulis saja keduanya," ucap Chiba yang semakin membuat Rin bertanya-tanya.
"Mama mu dan Tenkousei membutuhkan doamu juga," ucap Chiba yang membuat Rin sedih seraya berkata, "Sou da you."
Chiba pun mengacak surai Rin dengan senyuman setipis benang. Dan Rin pun mulai menulis harapannya lalu meminta bantuan Chiba untuk menggantungnya ditempat yang tinggi.
Setelahnya, mereka pun melakukan perjalanan pulang. Namun, kali ini mereka bisa sedikit lega. Karena, harapan mereka, cepat atau lambat akan segera terkabul.
*****
Sesampainya di rumah Rin, mereka telah disambut oleh Maeda-sensei yang tengah berkunjung ke rumah Rin.
"Sensei sudah lama?" tanya Rin yang tak enak atas kehadiran gurunya kemari tanpa ada dirinya.
"Tidak, Rin. Sensei baru saja tiba. Dan kalian baru pulang darimana?" tanya Maeda-sensei yang tampak curiga pada anak didiknya.
"Kami baru saja pulang dari kuil, Sensei. Dan ... sekarang kami izin undur diri," ucap Sachi.
"Rin, kami pulang dulu, ya," ucap Io.
"Ah, hati-hati dijalan," sahut Rin yang telah kembali dari ruang tamu dengan segelas minuman untuk gurunya.
"Permisi, Sensei," ucap Yukia dan langsung dipersilakan oleh Maeda-sensei.
Setelah kepergian mereka dari rumah Rin, mereka langsung menuju ke sekolah mereka dengan pembagian tugas yang telah direncanakan sebelumnya.
Mereka masuk melalui pintu belakang yang telah dibuka oleh Chiba. Dengan perlahan, mereka mengendap-endap hingga tiba di ruang UKS.
Sesampainya di ruangan itu, Sachi dan Yukia pun ditugaskan untuk menjaga dan memastikan jika mereka bangkit dengan keadaan tenang. Sementara Io dan Chiba, mereka pergi ke toilet yang telah memakan korban.
Tetapi, saat mereka telah membuka pintu tersebut, mereka semakin terkejut saat melihat korban bertambah dengan sendirinya.
"Masaka ...," gumam Io dan iapun langsung memerintahkan Chiba untuk membantunya memindahkan lima korban yang tak lain adalah penjaga UKS beserta empat anak OSIS, termasuk Hajime Isamu.
"Chiba, tolong jaga mereka," ucap Io dan dengan cepat, ia langsung melakukan hal yang sama dengan sang gadis sebelumnya. Mengunci rapat-rapat pintu tersebut dan meminta Chiba untuk tidak membukanya sebelum dua jam.
Chiba pun hanya bisa khawatir dalam diam. Pasalnya, kali ini para wanita yang menjadi pahlawan. Sedangkan ia, dirinya hanya diperintah ini itu saja oleh mereka.
Namun, yang menjadi perhatian Chiba ialah empat anak OSIS yang pingsan. Chiba pun berpikir jika anak OSIS tersebut pasti kemari dengan paksaan atau perintah dari orang tertentu.
Disisi lain, Io mulai memanggil Hanako. Tapi, ia tak kunjung mendapatkan jawaban darinya. Io pun tak kehabisan akal, ia masih ingat cerita masa kecilnya. Jika Hanako tidak menjawab, maka kemungkinan besar ia telah muncul dengan wajah yang terbilang cukup rusak.
Karena tak ingin membuang waktu, Io pun membuka pintu tersebut. Dan apa yang ia pikirkan pun benar, seorang gadis berambut bob dengan bercak darah di kemeja putih tengah menatapnya dengan wajahnya yang rusak.
"Senang bertemu denganmu," ucapnya dengan tangan yang berusaha meraih tangan Io.
Namun, Io tidak menghindar. Ia dapat merasakan tangan dingin nan basah menyapa kulitnya.
"Senang bertemu lagi denganmu," balas Io dengan tatapan tajam.
"Aku yakin jika kau sedang mencari mereka," ucap Hanako yang semakin mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan Io.
"Tidak, aku kemari untuk bermain denganmu. Ya, tentu saja aku kemari untuk menjemput mereka," ucap Io yang membuat Hanako tertawa.
"Sayangnya, mereka tidak ingin pulang. Mereka masih ingin bermain denganku, utamanya para pelaku bully itu," jelas Hanako sembari menunjuk cermin yang menampakkan dimana mereka berada.
Tetapi, Io menemukan sesuatu yang berbeda dan tidak asing dimatanya. Sang gadis tengah bersama dengan seorang lelaki yang ia kenal.
"Bawa aku ke sana," tegas Io yang membuat Hanako tertawa seraya berkata, "Apa yang membuatmu mau ke sana?"
Mendengar pertanyaan itu, Io pun menjawab dengan tegas, "Mereka teman baikku. Walaupun aku tidak mengenal bahkan dekat dengan mereka, aku yakin jika mereka masih memiliki sisi baik yang belum kau lihat."
Hanako pun tampak tersenyum dan ia pun langsung menarik Io keluar dari tubuhnya. Selanjutnya, ia membawa Io ke sebuah labirin.
"Temukan mereka seorang diri. Karena, aku tidak tahu dimana mereka," ucap Hanako.
"Tunggu, apa!? Kau yang membawa mereka, tapi kau tidak tahu mereka dimana?" ucap Io yang tidak percaya akan pernyataan hantu satu ini.
Hanako pun tertawa dan perlahan-lahan menghilang. Meninggalkan Io seorang diri dengan pemikirannya.
Io pun mulai melangkahkan kakinya memasuki labirin tersebut dengan berpedoman, selalu memilih kiri saat bermain labirin. Tetapi, ditengah perjalanan, ia menemukan jalan buntu yang membuatnya harus kembali ke langkah sebelumnya.
'Jebakan kah?' pikir Iori yang menyadari jika ia hanya dipermainkan oleh Hanako. Karena, ia telah berulang kali menemukan titik yang sama yang membuatnya harus kembali ke arah yang sama.
Io pun terdiam. Ia mulai memikirkan cara yang lainnya. Jika pedoman memasuki labirin itu selalu memilih kiri, maka kini ia mencoba memilih kanan.
Io pun kembali memantapkan diri dan mulai berjalan lajur kanan dengan pemikiran yang tenang. Namun, alangkah terkejutnya saat ia menemui jalan buntu pula.
'Tidak ada jalan keluar? Tidak mungkin labirin tidak memiliki jalan keluar' batin Io.
Pada akhirnya, Io memutuskan untuk berdiam kembali sembari memikirkan cara keluar termudah. Hingga ia pun tersadar, mungkin labirin ini sama dengan permasalahan yang tidak berujung. Namun, tiap permasalahan pasti memiliki solusi yang tidak mudah untuk ditemukan.
'Heh~ jadi seperti itu,' batin Io yang telah menemukan jawabannya.
Dengan segera, Io pun keluar dari labirin tersebut dan mulai mencari jalan lainnya. Awalnya, Io sedikit kesulitan untuk mencari shortcut tersebut dan membuatnya harus berulang kali meneliti cela yang ada pada ujung labirin.
To be continued~
[Neko Note]
Ema : nama pohon paling besar yang ada dalam Kuil Meiji. Pohon tersebut selalu di doakan oleh penjaga kuil setiap paginya agar bisa mengabulkan permohonan tiap orang yang datang
Ittekimasu : aku pergi / aku berangkat
Itterashai : hati-hati di jalan
Masaka : mungkinkah
Moshi-moshi : permisi
Sensei : guru
Shortcut : jalan pintas
Sou da you : benar sekali
Tenkousei : siswa pertukaran pelajar/siswa pindahan
Jumlah kata : 1616 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro