1
A Oneshot Story
Words count : 8.396
Genre : Romance
Pairing : Matsuoka Thorn x Asakura Nico (OC)
Enjoy!
***
"Jika nona adalah Dandelion, maka aku akan menjadi tempatmu tumbuh, aku akan menjadi tempatmu bernaung , hingga kau akan tumbuh kembali menjadi sosok yang jauh lebih indah"
Dandelion, bunga yang kuat namun rapuh. Dengan sejuta semangat dan perjuangannya untuk berdiri pada kedua kakinya sendiri. Mungkin kata-kata itu sangat cocok ditujukan pada Nico Asakura, seorang gadis remaja dengan sejuta rasa penasarannya namun terhalang oleh keadaan fisik yang memaksanya untuk menyerah dengan mimpinya.
Disamping itu, Matsuoka Thorn sang supir tidak pernah meninggalkan sisinya. Menemaninya dalam kesehariannya, dan selalu membawa Nico untuk melihat dunia yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Ia telah menyerah dengan mimpinya, tapi apakah ia juga akan menyerah dengan perasaannya?
🌼🌼🌼
Siang itu, bel tanda waktu pulang berdentang nyaring di salah satu sekolah khusus putri.
Pelajaran telah usai, masing-masing warga sekolah pun beranjak pulang dan menuju jemputan masing-masing. Sekolah ini didominasi oleh kalangan bangsawan, hampir seluruh siswi yang bersekolah disini berasal dari kerajaan atau pemerintahan yang sangat sukses mengingat sangat besar biayanya untuk dapat menempuh pendidikan di sekolah ini.
Seorang gadis muda yang baru saja melangkah keluar dari sekolah menarik perhatian dari seluruh siswi yang masih berkumpul di halaman.
Ada yang bisik-bisik, ada yang memuji terang-terangan , ada juga yang menyindir. Seperti kata kebanyakan orang , saat ada seseorang yang begitu menyukaimu, maka ada juga yang membencimu. Hal itu sudah lazim terjadi, apalagi untuk gadis cantik sang penerima pita merah di sekolah ini.
(arti pita merah = "siswi terbaik yang paling berprestasi" )
"lihat lihat! itu nona Nico Asakura, kan??"
"cantik dan anggun seperti biasanya ya!"
"pita merah itu, tanda dia siswi terbaik~"
"seperti bunga lily merah ya, indah sekali.."
"heh- begitu saja kok! lagipula dia putri orang kaya baru- tidak ada istimewanya!"
Tep.
"kata kata buruk seperti itu..sama sekali tidak berguna lho, nona Yuko Suzuki"
Langkah gadis itu terhenti tepat di depan gadis lain yang baru saja menyindirnya. Tersenyum simpul, ia menengok dan bertemu pandang dengan gadis itu.
"padahal kamu punya suara yang seindah bunyi lonceng , mengapa tidak berkata lebih lembut?"
Wajah gadis yang dipanggil Yuko Suzuki itu langsung memerah. Ia sempat meracau menahan rasa malu dan kesal karena semua siswi disana menertawakannya. Nico sendiri hanya tersenyum tipis sembari melambaikan tangannya pada para siswi disana.
"aku duluan, mobil jemputanku sudah datang" ia berucap lembut.
Tak menunggu lama, sebuah mobil hitam kuno keluaran 1930-an yang melaju dari arah kiri pun berhenti tepat di hadapan gadis itu. Timing yang benar benar tepat , hasil dari kegiatan antar jemput yang sudah dilakukannya lebih dari 8 tahun.
"selamat kembali, nona"
Seorang laki laki muda bernama Matsuoka Thorn, turun dari dalam mobil dan tersenyum lebar menatap sang majikan. Thorn adalah supir yang bekerja pada keluarga Asakura,
Mengulurkan tangannya seperti seorang gentlemen, Thorn membiarkan Nico memegang tangannya dan membantu sang putri menaiki mobil. Namun perhatian Nico langsung tertuju pada sang supir dan membuatnya mengernyit.
"kamu ini benar benar..." Nico menghela nafas kemudian menunjuk kemeja yang dikenakan Thorn.
"pakai topimu! kemeja jangan dibuka dua kancing begitu! dasi juga dirapikan supaya nggak melorot!"
Baiklah, omelan dari nona satu ini mulai lagi.
"dasar.." dengus Nico sembari menarik lepas dasi hitam yang melingkar pada leher Thorn , kemudian membantu Thorn memakainya dengan benar.
Pemandangan itu membuat para siswi yang menyaksikannya menjerit. Bagaimana tidak? Puteri bangsawan cantik dan Supir yang rupawan. Keduanya terlihat seperti lukisan ketika berdiri berhadapan seperti itu.
Nico tersenyum puas melihat hasil karyanya. Penampilan sang supir kini jauh lebih rapi dengan kemeja dikancing penuh, dasi yang simetris dan topi. Tanpa sadar, pandangannya beralih dan ia malah tertegun melihat wajah tampan Thorn.
Tapi lamunannya itu dibuyarkan oleh Thorn yang memanggil namanya. Begitu tersadar, wajah Nico pun memerah menyadari hal bodoh yang baru dibuatnya dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa mengucapkan apa apa.
Beruntunglah pijakan mobil tidak terlalu tinggi, sehingga kakinya yang lemah masih bisa menggapainya.
Di perjalanan pulang, Thorn menyadari Nico yang sedari tadi hanya diam memperhatikan jalanan. Tidak seperti biasanya, sang nona umumnya akan banyak berbicara dan membahas hal-hal yang tidak penting. Melihat itu membuatnya khawatir, sehingga ia pun kemudian bertanya.
"nona tidak apa apa?"
"eh-- oh.." gelagapan, Nico langsung menengok ke arah Thorn lalu menggelengkan kepalanya "tidak apa apa.."
"apa kakimu sakit? Nona banyak berjalan ya hari ini?" Thorn bertanya lagi.
"darimana kau tau?" Nico bertanya balik.
"jalanmu.. agak sempoyongan" senyum Thorn "biasanya tidak begitu, namun aku bisa melihat kalau nona sedikit memaksakan diri.."
Nico tersenyum tipis "kau benar benar memperhatikanku, hm? bukankah perhatianmu sedikit berlebihan? Bagaimana kalau-"
"kalau kita disangka menjalin hubungan terlarang?" Thorn memotong perkataan Nico.
"c-cinta terlarang?"
Tertawa kecil, Thorn membelokan mobilnya pada tikungan terakhir sebelum sampai kerumah.
"j-jangan bikin salah paham dong! aku dan Thorn kan.. dibesarkan seperti kakak beradik!" protes Nico, menganggap serius perkataan Thorn barusan.
"yah..benar sih" mata Thorn mengerjap, diam-diam melirik pada Nico dari kaca spion "lucu sekali.. jatuh cinta dengan nona sama seperti jatuh cinta sama cowok"
Netra Nico membelalak "s-siapa yang kau bilang cowok, hah??" kesalnya.
"..atau mungkin sama nenek-nenek ya" Thorn terkekeh.
Nico mendengus kesal dan refleks menjitak kepala Thorn dari kursi belakang, mengakibatkan Thorn sedikit kehilangan konsentrasinya. Beruntung jalanan sedang sepi hari itu.
"dasar!!"
***
"hup! hati hati turunnya nona"
Nico turun dari mobil dengan berpegangan pada tangan Thorn yang menjulur kearahnya. Sudah merupakan tradisi bagi seorang supir untuk mengawal majikannya turun dari kendaraannya.
Melangkah turun sambil menggengam tangan Thorn yang berbalut sarung tangan, perhatian Nico kembali tertuju pada sarung tangan yang dikenakan Thorn.
"Sarung tanganmu sedikit kotor, nanti aku akan bilang ke kepala pelayan untuk memberikanmu yang baru" komentarnya.
Thorn mengangguk dan meng-iyakan perkataan sang nona. Ia hanya menatap sosok Nico yang meninggalkannya disana dan berjalan masuk ke dalam rumah, ia tersenyum pahit.
"hubungan kita..bukan kakak beradik.." lirihnya, menatapi kedua tangannya sendiri sebelum menarik lepas sarung tangannya. "kenyataannya, aku tak bisa menyentuhmu tanpa sarung tangan.."
"hubungan kita..memang hanya sebatas majikan dan pelayan"
***
"eh? ayah nggak pulang lagi?"
Nico yang tengah menyantap makanannya bertanya kepada pelayan yang baru saja menyampaikan kabar kurang mengenakan. Ayah Nico, yang bekerja sebagai pemilik perusahaan impor-expor international dan menetap di luar negeri, tahun ini tidak pulang...lagi.
"betul nona, tuan besar mengabarkan tadi siang. Tuan besar masih banyak pekerjaan, tapi beliau memuji pita merah nona" ujar pelayan itu, menatap Nico tak enak hati.
"nona pasti kesepian ya.. sudah berbulan bulan tuan besar tidak pulang.."
Nico hanya tersenyum simpul sembari menyuap sepotong besar daging ke dalam mulutnya.
"kesepian? nggak kok, udah bertahun tahun begini..aku juga sudah terbiasa" jawabnya, berusaha terlihat baik baik saja.
Padahal..
Pandangannya lalu beralih pada meja makan yang ia tempati. Ia merupakan satu-satunya orang yang duduk disana, seperti beberapa bulan terakhir.
Sejak kapan ya..meja makan terasa seluas ini?
"tuan besar tahun ini sama sekali belum pulang kan?"
"mau bagaimana.. tuan besar tidak tertarik dengan hal hal lain diluar pekerjaannya, sih.."
Suapan Nico melambat kala mendengar suara bisik-bisik para pelayan di belakangnya. Kesedihan yang tertumpuk di dalam dirinya kian meluap kala mengingat sudah lebih dari setahun sang ayah tidak pulang ke rumah. Bahkan tidak menghadiri acara penyematan pita merah yang berhasil diraihnya pada awal tahun.
**
Malam itu, Nico duduk sendirian di halaman rumah.
Membaringkan kepalanya pada kursi panjang, ia merenung seorang diri.
'padahal aku sudah berjuang keras dalam pelajaran dan kesenian..' ia membatin sedih.
Sejak ia meraih pita merah itu, ia berharap ayahnya akan menyempatkan waktu untuk pulang dan memeluknya. Ia ingin melihat sang ayah bangga dan memujinya.
Ia mengerti betul bagaimana sibuknya ayah dengan pekerjaannya. Sejak ibu meninggal dunia, ayah menjadi semakin menarik diri dari keluarganya. Hanya pekerjaannya yang ia pedulikan, bahkan meneleponnya pun jarang. Rasanya ia begitu merindukan sosok sang ayah yang dulu.
Srakk.
"wah- ternyata nona benar disini!"
Suara laki laki yang datang dari belakang membuat Nico terkejut. Ia menengok dan mendapati Thorn tengah bersandar pada sandaran kursi itu, tersenyum menatap Nico.
"dari tadi aku cariin loh, nona gak biasa biasanya keluar waktu malam" ujarnya seraya mendudukan dirinya di sebelah Nico.
Nico hanya tersenyum tipis, menyandarkan punggungnya pada besi kursi yang dingin, ia menatap Thorn teduh.
"kamu juga..ngapain cariin aku?" Nico bertanya balik.
"ah! iya- aku bawa ini untuk nona!"
Thorn dengan gembira menyodorkan sebuah benda yang dibungkus kain. Saat Nico membukanya, ia tertegun mendapati tiga buah onigiri yang ada didalamnya.
"nona tadi makan sedikit banget loh, setidaknya nona harus makan nasi. Tubuhmu agak kurus akhir-akhir ini" Thorn berucap lembut.
Mengangguk kecil, Nico hanya menatapi onigiri itu dengan sedih.
"tapi..kok kamu tau aku disini?" tanyanya.
Thorn terkekeh "pfft- gimana ya.. kau pikir sudah berapa lama aku bersamamu? Aku sudah hafal, nona kalau ada apa apa pasti duduk disini.."
Pandangannya kemudian beralih pada cahaya rembulan, entah kenapa bulan terlihat lebih terang malam itu.
"lagipula, kita pertama kali juga berjumpa disini kan?"
Flashback
--
8 tahun lalu..
-Nico's POV-
Hari itu adalah malam terakhir di bulan Juni.
Ayah sudah 5 bulan tidak pulang ke rumah, dan aku sangat merindukannya.
Malam itu, aku tengah belajar untuk menggerakan kakiku seorang diri di taman belakang.
Kecelakaan yang menimpaku tahun lalu membuat kedua kakiku tidak dapat digerakan sama sekali. Sehari-harinya aku duduk di kursi roda. Hal itu membuat perggerakanku terbatas, bahkan aku tak bisa mencegah ayah untuk pergi bekerja.
Waktu itu, aku percaya bahwa ayah pasti pulang kalau aku berhasil menggerakan kakiku.
Namun kenyataannya, sudah tak terhitung berapa kali aku terjatuh karena tersandung kakiku sendiri. Aku hanya bisa menangis, menahan rasa putus asa mulai menggerayangiku.
Saat itulah cahaya mulai mendatangiku. Seorang laki-laki muda berdiri dihadapanku memegang sebuah lentera minyak, ia menerangi sekeliling kami.
'siapa..' aku membatin seorang diri. Aku tidak mengenal laki laki ini.
"saya Thorn, pegawai baru yang akan mulai bekerja besok" senyumnya "saya disuruh untuk mencari nona"
Pandangan Thorn lalu beralih pada posisiku yang tengah tengkurap di tanah. Wajar saja sih, karena aku baru saja tersandung kakiku sendiri untuk yang kesekian kalinya.
"sedang latihan tengkurap di lantai ya? jangan di luar, kotor..lebih baik didalam rumah" ucapnya.
Aku melotot kearahnya "e-enak aja! aku sedang latihan jalan!" geramku.
"begitu.." laki laki itu mengangguk "mau kubantu?"
Aku menyahut cepat "t-tak usah!! percuma kalau bukan usahaku sendiri! aku bisa melakukannya!"
Laki laki itu nampak terkejut mendengarnya, ia menatapiku selama beberapa detik kemudian beranjak pergi dari sana tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Kedua netra-ku melebar, agak dibuat kebingungan dengan sikapnya barusan.
'b-biasanya orang bakal maksa..' tegunku.
Berusaha menarik diriku bangun, aku membatin lagi.
'mungkin dia berpikir aku akan segera menyerah ya..' Bertumpu pada tongkat yang kupegang , aku mendengus menyadari pose ku yang nyaris seperti nenek nenek.
'ya sudahlah, memang aku selalu sendiri kok..'
Menggeleng dan menyingkirkan kesedihan-kesedihan dari kepalaku, aku kembali menyeret paksa kakiku untuk berjalan lebih jauh. Setidaknya, aku harus berusaha lebih keras.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh mengitari rumah, kedua kakiku pun sudah menjerit minta berhenti. Aku sendiri sudah kelelahan dan mengingat bahwa aku harus menghadiri pelajaran kesenian besok membuatku akhirnya menyerah.
Namun aku cukup bangga karena dapat berjalan sedikit lebih jauh dibandingkan kemarin.
"bagus sekali.."
Suara lembut itu mengalihkan perhatianku.
"nona..sudah berusaha dengan baik"
Melihat laki-laki muda itu yang duduk di kursi panjang tak jauh dariku, membuatku tertegun.
Ia menunggu disana , dibawah terangnya lampu taman.
Ia menungguku.
--
Flashback off
"pfft- sejak itu..kamu selalu menungguku sampai pagi ya"
Thorn tersenyum simpul "aku hanya menjalankan kewajibanku untuk menjaga nona" ujarnya.
Nico tersengih "tapi aku bisa berjalan sekarang, mungkin sebagian besar karenamu"
Memang , sejak awal kami bertemu hingga sekarang.
Thorn menjadi orang yang paling dekat denganku.
Orang yang menjadi teman, pelayan, sahabat, kakak yang dapat diandalkan.
Ayah yang tidak pernah pulang , membuatku selalu makan sendirian di meja yang luas.
Tapi walaupun begitu.. aku tidak kesepian.
Karena Thorn bersamaku.
Sampai saat ini pun, tidak ada orang yang lebih dekat denganku selain supir pribadiku ini.
"walaupun aku lemah, tapi aku akan berjuang! seperti pohon pinus!"
Thorn tergelak mendengar pernyataan Nico. Sungguh? Pohon pinus..katanya.
"kok jadi pohon pinus sih, nona??" tanya Thorn, masih tertawa.
"pohon pinus kan kokoh! kuat dan mencengkram tanah!" balas Nico, mengebu ngebu.
"aish..nona.."
Thorn geleng geleng kepala melihat kelakuan majikannya yang umurnya sudah menginjak 17 tahun, namun kelakuannya masih seperti balita. Rasanya ia tidak berubah sama sekali sejak pertama kali bertemu 8 tahun silam.
"kalau menurutku, nona lebih seperti dandelion" komentarnya.
Nico memiringkan kepalanya, bingung "dandelion?"
"Bunga Dandelion.. ia tak secantik mawar, tidak seindah anggrek, tidak se-abadi edelweis. Dandelion itu rapuh, bunga yang paling rapuh yang bisa hilang hanya karena tertiup angin.. persis seperti nona"
Menolehkan kepalanya dan bertemu pandang dengan Nico, Thorn tersenyum dan melanjutkan kata-katanya.
"Tapi di sisi lain, Dandelion adalah bunga yang terkuat. Ia bisa tumbuh dimana saja kelopaknya hinggap, di tanah tandus, di rerumputan, semak duri, bahkan di celah batu sekalipun.."
"...persis seperti nona"
🌼🌼🌼
Siang itu, Nico terlihat sedang berada di ruang jahit. Ia tengah berkutat dengan mesin jahit di depannya seorang diri, sudah satu jam lebih ia terlihat sibuk disana.
Tidak ada siswi yang berani mendekatinya. Lebih tepatnya, para siswi yang sangat menghormatinya ingin membiarkan gadis itu menikmati waktu dan konsentrasinya, sehingga mereka hanya bisa mengagumi sosoknya dari jauh.
"lihat- nona Asakura hari ini pun terlihat cantik!"
"wajah serius-nya cantik sekali.."
"pita merah itu, disinari cahaya mentari senja terlihat seperti bunga lily merah"
"huh, lembur seorang diri di ruang jahit.." gadis bernama Yuko yang kebetulan lewat bersama para siswi lain kembali mengomentari.
"bunga lily merah kebanggaan semua orang , ternyata payah menjahit ya" ia tertawa mengejek, menarik perhatian Nico yang langsung menghentikan kegiatannya untuk sementara.
Nico menghela nafas, kemudian tersenyum.
"jalan untuk menjadi ibu dan istri yang baik sangat terjal.. bukankah lebih baik jika bisa mempelajari hal hal dasar..?"
Lalu ia menengok, bertemu pandang dengan Yuko dan para siswi yang masih berdiri di luar jendela.
"betul tidak..nona Yuko Suzuki?"
Para siswi mulai menjerit, wajah Yuko pun sudah tak dapat dideskripsikan lagi. Ia malu luar biasa hingga seluruh wajahnya memerah dan langsung berlari pergi dari sana, meninggalkan para siswi yang masih berkumpul dan Nico yang kebingungan.
"loh..?? aku kan ngomong kenyataan.." Nico berkedip bingung, namun kemudian ia menggeleng dan melanjutkan aktivitasnya itu.
Gadis bernama Yuko Suzuki itu memang agak aneh. Sejak awal bertemu dengannya, sepertinya ia terlihat membenci Nico.
Yah, itu tidak masalah sih. Lagipula, Nico tak pernah peduli dengan yang namanya teman. Ia datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk berteman.
Lagipula, ia sudah ada seseorang yang menemaninya.
Di belakang sekolah,
Seperti biasa Thorn Matsuoka menunggu kepulangan sang nona dengan bersandar di mobil hitam kesayangannya, ia dikelilingi oleh gadis-gadis muda..lagi.
Teriakan dan pekikan gadis-gadis itu terdengar jelas dan menarik perhatian orang-orang disana. Bagaimana tidak? Thorn memiliki pesona yang dapat membuat siapapun gila hanya karena dilempari satu dua senyum saja.
Satu lagi, Thorn walaupun hanya berstatus sebagai supir, ia sangat populer di kalangan gadis muda dan siswi sekolah. Tentu saja karena wajahnya yang tampan dan perilakunya yang supel dan pandai bergaul itu membuat orang-orang nyaman berbicara dengannya.
"i-ini! aku ada cemilan manis dari kuyuri!"
"ibuku kemarin membawa kue ini! cobalah sedikit~"
"ah..terima kasih"
Thorn melempar senyum pada gadis yang baru memberinya permen. Padahal hanya seperti itu, namun semua gadis yang ada di sana ikut merasa senang karenanya.
Melihat jam tangannya, Thorn bergegas menyimpan pemberian gadis gadis itu kemudian mengucapkan selamat tinggal setelah menaiki mobilnya.
Tentu saja, karena ini waktunya sang nona sampai di depan pintu gerbang.
Dan benar saja.
Begitu mobilnya berhenti, langkah sang nona juga berhenti. Sungguh timing tepat yang tidak pernah dilewati oleh Thorn, dan itu membuat Nico kian kagum dengan ketepatannya.
Hanya saja..
"selamat datang nona- eh?"
Nico cemberut begitu bertemu pandang dengan Thorn.
"mana topi mu??" kesalnya.
"kancing kemejanya sampai atas! dasimu rapikan! kamu mau jadi incaran guru ya??"
Mendengus, Nico langsung menarik Thorn mendekat dan merapikan penampilannya yang jauh dari kata rapi itu. Ini sudah bukan hal yang baru, namun tetap saja interaksi keduanya membuat para siswi yang menyaksikannya menjerit kegirangan.
Pasangan yang seperti lukisan, interaksi yang manis, takdir yang terhalang oleh status..
Berbagai hal yang dilontarkan oleh para siswi itu menyebar di seluruh sekolah seperti virus.
"lagi lagi kita disangka sepasang kekasih.." Nico tersenyum hambar.
"ternyata penggemar nona ramai juga ya.." Thorn turut berkomentar saat melihat kerumunan para siswi yang mengamati mereka dari kejauhan. Persis seperti stalker terang-terangan.
"penggemarmu! bukan penggemarku, tau" Nico menyahut, bibirnya mengerucut.
"aneh ya.." ucap Thorn, bertemu pandang dengan nona-nya.
"padahal.. aku hanya supir nona" senyumnya.
Nico tertegun mendengarnya. Senyuman Thorn saat itu tidak seperti biasanya, seperti..menyembunyikan sesuatu, namun Nico tidak terlalu menghiraukannya.
Karena sama seperti biasanya, pemuda ini memang penuh rahasia.
"mari nona.."
Thorn membukakan pintu lalu mengulurkan tangannya untuk dipegang oleh Nico. Namun alih alih memegang, Nico malah menggengam erat tangan supirnya itu. Kemudian ia tersenyum, manis sekali.. hingga membuat pipi Thorn memerah karenanya.
"bukan 'hanya' .. tapi Thorn itu supir sekaligus sahabatku yang sangat berharga" ujarnya.
Tidak tahu kenapa, kata-kata Nico saat itu membuat Thorn berdebar. Nico nampak tidak menyadarinya, namun Thorn benar-benar tertegun melihat sang nona berbicara begitu manis. Membuatnya jatuh lebih dalam terhadap pesona nona-nya.
Menyadari Thorn yang terdiam, Nico pun penasaran dibuatnya. Jarang sekali ia melihat Thorn diam seribu bahasa seperti itu. Apalagi saat ia menyadari Thorn enggan untuk melepaskan tangannya walaupun ia telah menjejakan kakinya ke dalam mobil.
"lalu.." Thorn buka suara "bagaimana.. jika ada pemuda yang mencintai nona, tapi derajatnya berbeda dengan nona?"
"hah?"
"ya.. orang seperti nona, ditakdirkan untuk menikahi orang yang sederajat dengan nona. Orang dengan status sosial yang sama.." ucap Thorn.
"memangnya salah jika aku juga mencintai orang yang status sosialnya berbeda?" Nico bertanya balik, ia menatap serius Thorn.
"memangnya.. aneh ya, kalau aku tidak peduli dengan status sosial?" ia bertanya lagi.
Mengulas senyum , Thorn menggeleng lalu melanjutkan kegiatannya menuntun sang nona masuk kedalam mobil.
"aku suka nona yang seperti itu" ungkapnya, sebelum menutup pintu mobil itu.
"sama seperti nona yang menganggapku berharga, nona juga sangat berharga bagiku" sambungnya.
"aku kesal dengan pemisahan status sosial.. dan aku menyesalkan fakta bahwa aku dan nona memiliki status yang berbeda.." Thorn menghela penuh sesal.
"padahal kubilang aku tidak peduli dengan status.. kamu sudah seperti keluargaku, Thorn" sahut Nico. Sebelah tangannya terulur, mengelus rambut Thorn yang tidak tertutup topi.
Padahal menurutku.. cinta dapat meruntuhkan tembok yang menghalangi kita.
"tapi itu hanya keegoisanku sih- pokoknya begitu, ya!" Nico buru-buru menarik tangannya, tertawa canggung menatap Thorn "nanti kamu yang disalahkan karena keegoisanku- jadi lupakan saja!"
Tak disangka, Thorn malah menarik tangan Nico dan membawanya kedalam sebuah pelukan hangat. Beruntunglah para siswi yang tadi mengerumuni sudah berlalu dan suasana sekolah yang berangsur angsur sepi, sehingga tidak ada yang melihat perbuatan Thorn yang terbilang 'lancang' itu.
Status sosial..
Pasti akan tiba saatnya, tembok yang menghalangi kita runtuh dengan sendirinya.
"Disalahkan pun juga tidak apa apa.." senyum Thorn "aku sangat suka nona yang seperti biasanya.."
".. karena itu nona tidak perlu sungkan..di depanku"
"ya.."
Larut dalam dekapan hangat, perasaan yang tersalurkan, tembok penghalang yang perlahan lahan runtuh oleh sesuatu yang dinamakan 'cinta' .
Bertahun tahun yang dihabiskan bersama, Thorn tidak dapat membohongi perasaannya lebih jauh.
Ia mencintai Nico dan tidak dapat menghentikan perasaan itu.
"pasti begini ya rasanya.."
Nico tau-tau menyeletuk, ketika keduanya saling melepaskan pelukan itu.
"rasanya punya kakak cowok!" girangnya. Thorn langsung berkeringat dingin mendengarnya.
"hah??"
Nico terkekeh "agak malu sih~ tapi aku nggak tau rasanya punya kakak cowok itu! Thorn baru saja menunjukannya padaku!" senyumnya.
"t-tapi nona.."
"Thorn benar benar seperti kakak cowok-ku deh!"
Ternyata..
Masih tidak mengerti juga..😭 - Thorn
🌼🌼🌼
Putri keluarga Asakura yang selalu menarik perhatian ketika ia melangkahkan kakinya kini baru saja berjalan keluar dari gedung sekolah.
Seperti biasa, setiap langkahnya dihiasi oleh pujian dan tatapan kagum dari setiap siswi yang berada disana. Saat ia sampai di gerbang sekolah dan sebuah mobil hitam klasik berhenti di depannya, kerumunan para siswi itu malahan semakin banyak.
"selamat datang nona!"
Thorn Matsuoka, yang tau-tau sudah turun dari mobil menyambut kedatangan sang nona dengan riang. Nico sendiri tak kalah terkejutnya melihat Thorn.
Bukan karena Thorn menyambutnya, namun karena penampilan Thorn yang hari ini terlihat sangat rapi. Kemeja putih yang dikancing hingga atas, dasi yang disimpul rapi, dan topi yang menutupi kepalanya. Sungguh pemandangan yang langka.
"Kok rapi?!" kaget Nico.
Thorn membalasnya dengan tersenyum seperti seorang gentleman "demi nona- aku berubah!" ujarnya, mengulurkan tangannya pada sang nona.
"Wah- bagus!" Mengancungkan jempolnya, Nico menatap Thorn penuh makna sebelum menyambut tangan Thorn dan memasuki mobil. Kemudian mobil mulai berjalan pulang kembali ke kediaman Asakura.
"Thorn!" Nico memanggil girang.
"hm?"
"liat! aku dapet surat dari Yuko!" ia berucap semangat, menunjukan sepucuk surat yang terbalut amplop biru di tangannya pada Thorn yang tengah menyetir.
Thorn terdiam sejenak. Ia tidak tahu banyak tentang teman-teman Nico, namun ia sering mendengar nama Yuko Suzuki yang tidak lain adalah wanita yang selalu mencari masalah dengan Nico. Hal itu membuat Thorn otomatis menyeletuk.
"surat tantangan ya?"
"ih bukan!" Nico menyahut cepat.
"kepada Nico Asakura,
Dengan surat ini, aku Yuko Suzuki ingin mengundangmu ke acara pesta dansa para bangsawan di kediaman Suzuki untuk merayakan ulang tahun Ayahku malam ini.
Yah- aku mengundangmu karena kau pasti tidak pernah pergi ke pesta bangsawan kan? Walaupun sepertinya nggak akan ada pemuda yang mau berdansa denganmu sih~
Kutunggu kedatanganmu! Pakai gaun yang cantik ya!.... dari Yuko.
Begitu.. isi suratnya"
Wajah Thorn sudah merengut sejak mendengar kalimat awal surat yang dibacakan Nico. Mungkin terdengar normal bagi sang nona, namun jelas sekali bahwa Suzuki tengah mengejek Nico atas keadaannya. Ia sangat membenci itu.
"pesta bangsawan ya.."
Nico mengangguk semangat "iya! sejak lahir aku baru kali ini diundang teman ke rumahnya! pasti bakal menyenangkan!"
"hee.."
Saat mobil berhenti di halaman rumah kediaman Asakura, Thorn sempat menoleh dan membaca surat yang sedari tadi digenggam hati-hati oleh sang nona.
Seperti dugaannya. Surat itu ditulis tangan dan jauh dari kata rapi. Padahal biasanya surat undangan akan ditulis khusus oleh penulis istana dan memiliki cap resmi, namun surat yang diberikan pada Nico jelas sekali hanya surat asal-asalan yang ditulis sesuka hati.
"Note : Supirmu dilarang masuk"
Mata Thorn menggerling ketika membaca kalimat terakhir yang terletak di pojok bawah surat.
"aku tertarik banget sama pesta ini! siapa tau aku bisa menambah teman!" ujar Nico antusias.
"hee..memangnya teman nona sedikit ya?"
"i-ih! bukan begitu!" Nico menyahut kesal, walaupun sebenarnya yang dikatakan Thorn itu benar adanya.
"cuma..sejak kecil aku kan selalu menghindari pesta semacam ini karena kakiku.." ucapnya "tapi..kupikir kali ini bagus juga kalau aku datang , lagipula Yuko sudah susah-susah mengundangku"
Kecelakaan yang kualami saat kecil, selalu membuatku takut untuk pergi ke tempat ramai.
"pesta dansa ya.." Thorn mengangguk angguk "tapi..nona belum pernah dansa sekalipun kan?"
Nico tercekat "a-aku akan begadang untuk belajar dansa!"
"lalu..?" Thorn tersenyum nakal "nona akan berlatih dengan siapa?"
"a-aku bisa sendiri!" tungkas Nico.
"tapi kalau dipikir-pikir aneh juga ya, belajar dansa sendirian.." Nico mendadak membayangkan dirinya berputar putar sempoyongan dengan iringan musik dansa yang lembut.
"pfft- nona.." Thorn berusaha menahan tawa membayangkan sang nona sendirian di ruang dansa, berputar putar tanpa arah. Lagipula Nico belum pernah sekalipun belajar dansa, dasar-dasarnya pun tidak tahu.
Memasang wajah tampan, Thorn menatap Nico dengan lembut.
"kenapa nona selalu ingin melakukannya sendirian saat kau memiliki pendampingmu disini?"
Nico tersenyum mendengarnya.
**
Sore menjelang, kini Nico, Thorn dan seorang pelayan pria bernama Taufan berada di ruang latihan dansa.
Ketiganya berbincang bincang. Kebanyakan membahas serba serbi dansa yang hitung-hitung sebagai teori awal yang harus dipelajari Nico sebelum masuk ke prakteknya. Nico tidak bisa berlatih terlalu lama karena kakinya tidak kuat, karena itu mereka memutuskan untuk berlatih bagian pentingnya saja.
"Hee..pesta dansa bangsawan ya.."
Taufan menggumam usai membaca surat yang diberikan Yuko Suzuki itu.
Oh ya, selain Thorn sang supir pribadi, Taufan Alvino sang butler juga salah satu orang yang paling dekat dengan Nico. Bisa dibilang , Thorn dan Taufan masuk ke kediaman Asakura di waktu yang bersamaan. Dengar-dengar dulu mereka bekerja bersama di rumah seorang majikan kaya.
"ekspresimu aneh deh, fan.." Nico berkedip bingung melihat ekspresi gelisah Taufan.
"ah..bukan.." Taufan menghela panjang "hanya saja.. kudengar kalau para keluarga bangsawan lain iri dengan perkembangan keluarga Asakura yang semakin sukses. Kabarnya, mereka menganggap keluarga Asakura sebagai 'orang kaya baru' dan membenci keluarga Asakura bagaikan ular dan kalajengking"
"di..di sekolah aku juga sering disebut orang kaya baru..sih.." Nico langsung pundung mendengar ucapan Taufan barusan.
"begitulah..nona. Namanya sesama bangsawan pasti ada aja perselisihannya.." ucap Taufan.
"tapi mungkin ini kesempatan bagus untuk nona bisa menemukan pria hebat disana, yang sepadan dan sederajat dengan nona" sambung Taufan, menenangkan Nico yang terlihat sedih.
Tak tau kenapa, Thorn tidak suka dengan ucapan Taufan barusan. Sorot hijaunya langsung menghujani Taufan dengan tatapan tajam, walaupun Taufan sendiri tidak menyadarinya.
"Saya masih ada tugas di ruangan belakang , saya harus permisi sekarang.." pamit Taufan, menepuk pelan pundak Nico yang tegang "tenang saja.. kalau nona berubah pikiran, nona bisa berdansa dengan saya di taman yang indah. Saya akan menemani nona.."
Mengambil tangan mungil Nico dan mengecupnya, Taufan menatap Nico dengan kedua netra biru safirnya yang bersinar di kegelapan. Wajah Nico memerah dibuatnya.
"kalau begitu, saya duluan.. sepertinya sudah ada yang siap menerkam saya"
Taufan terkekeh melihat Thorn yang nampaknya sudah terbakar api cemburu. Bukannya ia tidak tau soal perasaan Thorn terhadap sang nona, ia hanya ingin menggodanya.
Lagipula, Nico terlihat saat imut saat pipinya memerah. Setidaknya begitu yang dipikirkan Taufan.
Sepeninggalan Taufan, Nico dan Thorn sempat bertukar pandangan selama beberapa saat. Hingga kemudian, Thorn mengulurkan tangannya dan menjemput Nico untuk berdiri.
"Teori itu tidak diperlukan dalam dansa, namun selama saya masih ada disini, saya tidak akan membiarkan nona terjatuh.." Thorn berucap lembut.
Ia membimbing tangan Nico ke pundaknya, sementara tangannya sendiri ia lingkarkan pada pinggang mungil sang nona. Alunan musik lembut pun mengalun dan ia mulai bergerak dengan membawa tubuh Nico mengikuti alunan musik dansa.
"t-tunggu! jangan bergerak cepat cepat dong! aku kan belum bisa--"
"ssh.."
Thorn mendekatkan wajahnya pada Nico, dekat sekali.. hingga pangkal hidung mereka hampir bersentuhan satu sama lain tanpa menghentikan gerakan mereka.
"nona..cukup tutup matamu.. nikmati alunan musiknya, dan ikuti saja langkahku" bisiknya.
Tersenyum dengan wajah yang memerah, Nico menuruti perkataan Thorn dan mengalun bersama dengan irama yang dibimbingnya. Rasanya nyaman dan menyenangkan, seperti melayang di tengah awan.
"kamu itu..bisa segalanya ya.." ucap Nico, menatap sosok di depannya dengan kagum.
"bagaimana ya.." Thorn tersenyum simpul, membawa sang nona pada putaran kecil saat musik mulai memasuki bagian akhir.
"memang harus begitu kan? Namanya pelayan.. tidak akan punya nilai kalau tidak bisa melakukan segalanya.." sambungnya.
"tidak denganku kok.." Nico mencengkram pundak Thorn cukup kuat, lalu menatap Thorn dengan mata yang tersenyum "kamu walaupun nggak bisa segalanya, kamu tetap keluargaku yang paling berharga"
Sunyi melanda keduanya. Hanya gerakan dansa terakhir yang dilakukan Thorn tanpa sepatah kata pun, seakan hanyut dalam suasana manis yang memenuhi ruangan saat itu.
Begitu gerakan terakhir dilakukan, Thorn tau-tau saja menarik Nico lebih erat kedalam pelukannya. Ia menatap Nico dengan kedua netra hijaunya yang frustasi.
"nona.." panggilnya, membuat Nico mengangkat kepala dan menatapnya.
"tidak bisakah jika nona tidak pergi ke pesta itu..?"
"eh?"
Tatapan frustasi itu perlahan lahan berubah sendu. Tanpa sadar, Thorn mengangkat tangannya dan bergerak mengelus pipi sang nona yang menghangat.
"aku khawatir.. aku tidak ingin nona diperlakukan tidak baik oleh para bangsawan itu.." ucapnya.
Nico tersenyum tipis melihat wajah khawatir Thorn. Rasanya lucu sekali, melihat ekspresi wajahnya yang frustasi.
Memang benar, ia dan Thorn tidak pernah berpisah sedikitpun selain di sekolah. Lagipula, pengalaman pesta ini adalah yang pertama baginya. Wajar saja jika ia khawatir.
"jangan cemas..aku bisa mengatasinya" ujar Nico, tersenyum yakin.
"lagipula hanya dua atau tiga jam. Setelah pesta selesai, aku janji akan langsung menemuimu" sambungnya.
Thorn menghela panjang. Melihat wajah sang nona yang begitu yakin, ia akhirnya mengangguk. Lagipula, ia juga sadar akan statusnya. Tidak seharusnya ia menentang keputusan majikannya.
"tapi janji ya, kalau ada apa apa..nona harus memanggilku"
Mengangkat jari kelingkingnya, Thorn menunjukan jarinya di depan wajah sang nona.
"janji!" Nico dengan semangat menautkan kelingkingnya pada kelingking Thorn, lalu tertawa kecil.
"baiklah! aku harus menyiapkan baju untuk be-- ah!"
Kluk!
Nico yang terlalu bersemangat tanpa sadar langsung melepaskan Thorn dan kakinya yang terlalu lelah itu pun tak mampu menahan beban tubuhnya. Ia terjatuh ke lantai tanpa sempat ditangkap oleh Thorn.
"S-SAKIT!!!!!"
**
"jadi..."
Thorn menghela tak habis pikir saat ia membukakan pintu belakang mobil, dimana Nico terduduk disana dengan berbalut kimono merah muda dan menyandang sejuta rasa gelisah.
"tetap datang walaupun kakimu sakit ya.."
Nico mendengus "habisnya mau gimana lagi- nggak mungkin aku menolak undangan Yuko begitu saja, gak sopan tau.."
Thorn mengulurkan tangannya, membantu Nico turun dari mobil dengan langkah yang perlahan.
"pokoknya hati hati dengan kaki nona! kalau bisa, duduk saja. Dan jangan mau diajak dansa oleh pria-pria serigala itu!" ujar Thorn bertubi tubi.
"aku sengaja pakai kimono supaya nggak ada yang ngajak dansa" ungkap Nico.
Dari arah gerbang , seorang laki laki paruh baya berjalan menghampiri keduanya kemudian mengulurkan tangannya tepat di hadapan Nico.
"silahkan nona Asakura, pintu gerbang sudah hampir ditutup. Dan supir tidak boleh masuk, silahkan menunggu pada gerbang yang di sebelah sana"
"b-baik!"
Entah bagaimana, rasa gugup mulai menyerang sang nona begitu melihat pelayan itu. Ia jarang sekali berinteraksi dengan orang asing , dan bayangan dirinya berada di tengah sebuah pesta bangsawan yang mewah membuat dadanya berdebar tak karuan.
Thorn menyadari tangan sang nona yang gemetaran. Ia tau, sang nona tengah menahan rasa sakit dan gugup. Namun seperti biasa, ia tidak bisa berbuat apa apa untuk mencegahnya. Sehingga ia pun memilih untuk mengalah dan menyerahkan Nico pada pelayan itu.
"aku akan menunggu disana, hingga pesta selesai" ucap Thorn "tenang saja.. aku yakin nona-ku adalah yang tercantik dari semua yang ada disana.. karena nona adalah nona-ku yang tidak akan kalah oleh siapapun"
Nico tersenyum dan mengangguk "terima kasih.. aku masuk ya"
Ah, ya.. ini pertama kalinya aku berpisah dengan Thorn selain di sekolah..
Menyaksikan sang nona yang berjalan masuk, Thorn tertegun melihat sosok wanita yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama kali melihatnya. Nico terlihat begitu anggun melangkah dengan kimono yang membalut tubuh mungilnya. Rambutnya yang diikat dengan hiasan bunga menampilkan jelas wajah cantik miliknya.
Hanya perpisahan sementara..
Thorn menunduk, ia menyembunyikan wajahnya dibalik topi yang dikenakannya. Tangannya merambah menyentuh dadanya sendiri.
Tapi mengapa.. jantungku berdebar..
**
"putri keluarga Asakura sudah tiba"
Begitu kedatangan Nico diumumkan, terlihat para tamu yang berada disana langsung menghujaninya dengan tatapan tidak menyenangkan. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, mengomentari putri keluarga Asakura yang baru saja datang itu.
"Asakura? orang kaya baru itu ya?"
"pasti datang untuk beli suami deh"
"orang kaya baru.. tinggal dikasih uang semua keinginannya terpenuhi"
"kudengar semua giginya diganti emas"
"orang kaya baru memang suka pamer ya hahaha"
Nico yang tengah berjalan perlahan melewati kerumunan itu hanya bisa tersenyum pahit menahan emosi yang nyaris meluap. Menatap tanah dan mengikuti kemana kakinya berjalan, ia menghela nafas berkali kali mendengar suara suara yang seakan menyuruhnya pergi. Suara bisik-bisik yang nampaknya sengaja dikeraskan agar didengar olehnya.
'susah susah datang pas kakiku sakit cuma untuk dengar beginian.. bisik-bisik kalian kedengaran, bodoh!' Nico membatin.
"oh- selamat datang Asakura!"
Nico menengok ketika mendengar suara memanggilnya. Bibirnya refleks tersenyum ketika sosok gadis yang dikenalnya menghampirinya, gaun putih yang dikenakannya terguncang lembut di setiap langkahnya.
"Yuko.." senyum Nico.
Yuko tersenyum simpul, hal pertama yang dilihatnya adalah pakaian yang dikenakan Nico.
"lho- hari ini pakai kimono ya? nanti susah dansa-nya lho.." ujarnya.
"maaf.. sebenarnya hari ini kakiku sedang sakit.." Nico menjawab canggung.
"wah- tapi tetap menyempatkan datang ya.." Yuko berucap prihatin.
Nico tersenyum, menatap Yuko dengan kedua bola mata indahnya "itu.. karena aku senang kamu mengundang ku ke pesta keluargamu.."
Glep! Wajah Yuko memerah mendengar kata kata itu. Jika biasanya ia akan kesal dan langsung pergi meninggalkan Nico, kali ini ia hanya membalas senyumnya dan malah tertawa kecil karena canggung dengan sikapnya sendiri.
"k-kalau begitu aku akan menyapa para tamu lain dulu! kalau kakimu sakit, duduklah di kursi sebelah sana! nanti kukenalkan pada orang tuaku!"
Setelah mengatakan itu, Yuko pun berlalu dengan wajah bersemu merah. Tawa khas nya adalah yang terakhir didengar Nico saat itu.
Rasanya lucu melihat Yuko yang seperti itu. Sikapnya berbeda 180 derajat dengan di sekolah, membuat Nico berpikir bahwa sebenarnya Yuko Suzuki itu adalah gadis yang sangat baik.
Baru saja Nico mendudukan dirinya di deretan kursi, seorang pemuda tegap bermata sipit datang entah dari mana dan berdiri di hadapan Nico.
Keduanya bertukar pandang sesaat, lalu ia mengulurkan tangannya.
"Selamat malam~ anda putri keluarga Asakura kan? Mari berdansa?"
"m-maaf..tapi aku hari ini memakai kimono.." Nico menolak halus.
"tidak masalah kok!"
Pemuda itu dengan kurang ajarnya langsung menyambar tangan Nico yang bahkan tidak diulurkan padanya dan menarik tubuh mungil wanita itu bergerak menuju lantai dansa.
Nico yang terkejut hanya bisa mengikutinya. Kedua kakinya yang masih sakit itu mulai berdenyut karena dipaksa bergerak diluar keinginannya. Namun ia tidak berani berkata kata, ia tau betul bahwa satu kesalahan kata dapat menghancurkan seluruh reputasi keluarganya.
"pft- lihat si Fang.. dia mau mengerjai orang kaya baru tuh"
"dia memang benci sama orang kaya baru sih ya"
"gosipnya kakaknya dirampas dengan uang"
Oh baiklah, bisik-bisik itu terdengar lagi dan memenuhi gendang telinga Nico sepanjang perjalanannya menuju lantai dansa.
Ketika keduanya tiba di lantai dansa, Nico melepaskan tangannya dari pemuda itu secara sepihak. Ia berusaha setenang mungkin, menatap pemuda itu dengan senyum.
"Jangan menyeretku seperti itu" pintanya "aku akan berdansa denganmu, tapi karena aku memakai kimono..tolong hati hati ya"
Menekankan kata-kata akhirnya, Pemuda itu mulai berkeringat dingin melihat seakan ada harimau yang keluar dari belakang tubuh Nico, menandakan bahwa wanita itu tidak main main dengan ucapannya.
Musik mengalun, dan semua orang disana pun mulai berdansa mengikuti irama musik. Tak terkecuali Nico dan pemuda itu, yang kini mulai bergerak dengan perlahan.
Di tempat lain.
Thorn yang gelisah menunggu pesta usai pun tak bisa berhenti menatapi jam kecil di tangannya.
Pesta baru berlangsung selama kurang lebih 40 menit , namun rasanya lama sekali hingga Thorn ingin menyusul sang nona ke dalam ruangan pesta dan menariknya kembali ke pelukannya.
Diambang rasa penasaran dan khawatirnya, Thorn akhirnya memutuskan untuk memutari gedung pesta itu dan mencari-cari jalan belakang. Gedung itu dipenuhi oleh jendela besar dimana mana, harapannya adalah untuk melihat apa yang sedang dilakukan Nico dan memastikan nona-nya baik baik saja disana.
Ia berdiri di halaman belakang kediaman Suzuki, diam-diam mengintip di jendela besar yang menghadap langsung pada tempatnya berdiri. Disana, ia secara kebetulan melihat nona-nya melewati jendela itu. Dan ia berdansa dengan pemuda lain.
Thorn mendengus, batinnya bertanya tanya jika sang nona mengabaikan peringatannya tadi untuk tidak berdansa. Pasalnya, kondisi dari kedua kakinya itu tidak diketahui siapapun kecuali keluarganya. Dalam keadaan begini, tidak akan ada yang menyangka bahwa sebenarnya Nico tengah memaksakan kakinya untuk bergerak walaupun ia tau ia sudah mencapai batasnya.
Tapi..
Ia terlihat senang.
Melihat bagaimana nona-nya tersenyum begitu lebar, sesekali mengobrol dan bertukar tawa dengan pasangan dansa nya itu sambil bergerak seiring irama musik. Thorn tidak bisa berkata apa apa selain memasang wajah cool seperti biasanya.
Lagi-lagi, ia disadarkan dengan dunianya dan dunia Nico yang ibaratkan langit dan bumi.
Tapi kali ini, rasanya Thorn begitu berat untuk melangkah pergi. Ia hanya bisa menyandarkan dirinya di tembok itu, sesekali melirik ke dalam ruangan pesta.
Ia tau ia bersikap egois..
"kalau sudah begini.. lebih baik kalau kakinya terinjak, lalu berlari pulang karena merasa gagal dalam dansa..maupun pesta ini.." Thorn menggumam pelan.
Ia tau itu terdengar jahat..
"dan jika itu terjadi.. lebih dari siapapun, akan kuperlakukan dengan sangat istimewa..hingga ia tenggelam didalamnya"
Namun ia tak bisa menghentikan dirinya lagi.
Ia cemburu.
**
Sekian waktu berlalu, acara dansa itu akhirnya selesai juga.
Nico yang sebenarnya sudah kesakitan hanya bisa menyembunyikan rasa sakit itu oleh senyumnya yang manis. Syukurlah pemuda yang berdansa dengannya dengan baik hati menuntunnya untuk duduk di kursi tak jauh dari sana.
Ternyata pemuda ini tidak terlalu buruk. Walaupun kesan pertamanya cukup buruk..sih.
"maaf.. tidak seharusnya aku menyeretmu seperti itu.. apa kau baik baik saja?" pemuda itu bertanya, khawatir melihat ekspresi Nico yang menahan sakit.
"aku baik baik saja, hanya saja kakiku sedang agak lemas sejak pagi.. sepertinya keseleo" jawab Nico, berbohong.
Pemuda itu memasang wajah bersalah, ia menunduk dan meminta maaf sekali lagi.
"kalau begitu, apakah anda ingin minum? biar kuambilkan--"
"hoi- fang!"
Pemuda itu terkejut saat tiba-tiba pundaknya ditepuk cukup keras dari belakang. Ia dan Nico refleks menengok dan mendapati seorang pemuda paruh baya berpenampilan seperti polisi yang berdiri disana dan menegur mereka berdua.
"oi fang! jangan seenaknya dekat dekat dengan orang kaya baru dong!" pemuda paruh baya itu tertawa, keras sekali hingga menarik perhatian orang orang yang ada disana.
"p-paman Sam.." Fang berkata gagap, masih memproses apa yang barusan terjadi.
Namun pemuda paruh baya yang dipanggil paman Sam itu malah tertawa semakin keras, ia merangkul Fang dan menatap sinis pada Nico yang tengah duduk di depannya.
"kamu jangan mau dong dibeli seperti kakakmu itu! kan kau tau putri keluarga Asakura.." Sam memasang wajah mengejek, berkata dengan sombongnya "putri keluarga Asakura.. yang menyukai orang kalangan bawah"
Baiklah, ini sudah keterlaluan.
Nico berdiri dari duduknya, menarik lengan Fang agar berdiri di sebelahnya. Fang terlihat terkejut, namun ia tidak berkata apa apa melainkan hanya menundukan kepalanya. Sepertinya ia sakit hati karena perkataan paman Sam yang menyinggung kakaknya tadi.
"dengan segala hormat, paman Sam. Jika anda punya waktu untuk menanggapi gosip murahan seperti itu, bagaimana jika anda menggunakan waktu untuk sesuatu yang dapat membantu keluarga anda agar tidak dikalahkan oleh orang kaya baru?"
Nico berkata dengan berani, nadanya tegas namun tetap tidak kehilangan senyum di wajahnya. Dan seperti dugaannya, tua bangka itu terlihat marah. Wajahnya mulai memerah menahan geram.
"kau..tidak sopan.." geramnya.
"justru anda yang tidak sopan karena sudah menghina orang!" balas Nico, menengok sekilas pada Fang.
Tua bangka itu memukul meja kayu di depannya dengan keras "sombong sekali kau! disini bukan tempat untuk orang kaya baru sepertimu!"
Nico mendengus "itu tidak ada hubungannya! yang terpenting adalah hati orang yang datang kesini!" balasnya.
"kurang ajar! anak kecil tidak tahu diri!"
Nico tersentak saat tua bangka itu tau-tau mencengkram pundaknya dengan kuat hingga Nico terhuyung ke belakang.
Kedua kakinya yang sakit tentu saja langsung kehilangan keseimbangannya dan secara tak sengaja ia menyenggol pelayan yang tengah membawakan gelas gelas minuman di belakangnya.
Gelas-gelas itu jatuh dan minuman membasahi kimononya. Rasa takut dan malu langsung menyerangnya. Di situasi seperti itu ia hanya bisa meminta maaf dan langsung berlari pergi dari sana, meninggalkan tua bangka yang masih berteriak marah-marah dan orang-orang yang menyindirnya.
"sungguh memalukan"
Aku gagal..
"itu putri keluarga Asakura? ceroboh sekali.."
"lihat itu, kimononya kotor"
Aku gagal!
Ayah.. Thorn.. Taufan..maaf..
Aku datang membawa nama baik keluarga, seharusnya aku berjuang lebih baik lagi.
Kedua kakiku sudah mencapai batasnya. Aku bersandar pada tembok yang cukup jauh dari kerumunan, berusaha mengatur nafasku diantara rasa lelah dan malu. Aku merasa malu dengan diriku sendiri.
"Ternyata kamu disini, Nico!"
Baru ketika Nico hendak beranjak pergi dari sana, suara Yuko dari belakang memanggilnya. Nico menengok panik, namun tentu saja ia menyembunyikannya dibalik senyumnya. Berusaha terlihat baik baik saja.
"Y-yuko.." Nico berkata gugup, rasa takutnya semakin memuncak menyadari kedua orang tua Yuko yang turut serta bersamanya.
"kucari dari tadi! ayo kukenalkan pada orang tua ku!" Yuko berkata ramah.
Sebentar...
Penampilanku.. memalukan..
"m-maaf..aku.."
"Nico.. ada apa?" Yuko menghampiri Nico, memegang sebelah tangannya dan langsung ditepis lembut oleh Nico.
"a-aku minta maaf.."
Detik itu juga, Nico berlari sekuat tenaga pergi meninggalkan Yuko dan semua orang disana yang berdiri kebingungan dengan apa yang terjadi. Bahkan ia dapat melihat wajah kecewa Yuko, namun ia terlalu takut untuk menghadapinya.
Nico bersembunyi dibalik tirai yang mengarah ke ruangan lain. Ia malu, seluruh harga dirinya seakan runtuh dan hancur berkeping keping. Ia tidak berani menghadapi siapapun, ia membuat semua orang kecewa.
Di tengah ruangan itu, ia sendirian. Menangis, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kakinya terasa sakit luar biasa, demikian juga hatinya.
Semuanya jadi berantakan, hanya karena satu kata kata.
Sayup sayup, ia mulai mendengar suara.
'kaki nona..tidak apa apa?'
Nico menengok, dan bayangan wajah Thorn tau-tau muncul begitu saja di hadapannya.
Senyum Thorn yang ramah, seakan menuntunnya untuk pulang. Namun saat ia tersadar, ia hanya mendapati sebuah lorong kosong tanpa siapapun berada disana.
Benaknya bertanya tanya, bagaimana bisa ia memikirkan Thorn di saat-saat seperti ini..
Tapi benar.. selama ini, ia selalu bergantung pada Thorn. Namun Thorn dan dirinya dipisahkan oleh sebuah tembok besar. Di tempat seperti ini.. ia hanya sendirian.
"dasar si orang kaya baru itu!"
Nico tersentak kaget begitu mendengar suara langkah kaki datang dari arah belakang. Jantungnya berdetak semakin cepat menyadari pemuda paruh baya dan Fang berjalan kearahnya.
"Asakura mata duitan sialan! keluar kau!"
Teriakan laki-laki itu membuat Nico semakin ragu untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Ia takut. Ia takut akan melakukan kegagalan lagi. Ia takut tidak bisa menjaga nama baik keluarganya , dan nama baik keluarga Suzuki.
Sesaat sebelum Nico memutuskan untuk keluar, ia mendengar sebuah bisikan lirih di otaknya.
'tenang saja.. nona adalah nona-ku yang tidak akan kalah oleh siapapun'
Thorn..
Mengumpulkan tekad dan keberaniannya, Nico akhirnya keluar dari sana dan menghadapi dua pria yang ada di depannya. Fang hanya menatap Nico dengan raut bersalah, berbeda dengan si tua bangka yang menatapnya dengan penuh amarah.
"saya mohon maaf!"
Nico berkata dengan tegas, sedikit membungkukan tubuhnya di hadapan kedua pria itu.
"saya mohon maaf atas apa yang terjadi. Hanya ini yang bisa saya lakukan sebagai putri penerus keluarga. Demi kehormatan tuan rumah juga, saya berharap anda dapat memaafkan saya dengan hati lapang"
Pemuda paruh baya yang tidak suka dengan ucapan Nico barusan langsung maju dan mencengkram kerah baju Nico. Ia bahkan tidak sungkan melakukan itu pada perempuan, sedangkan Fang disebelahnya berusaha menghentikan pemuda itu dengan menarik lengannya.
"paman! hentikan!"
"apa apaan kau??! apa yang kau katakan dengan mulut kotormu itu, hah??" paman itu berteriak marah. Sebelah tangannya terangkat hendak menampar wajah wanita didepannya.
"tampar saja aku kalau itu membuatmu puas!!" balas Nico dengan suara meninggi.
Paman yang merasa tertantang oleh perkataan itu langsung melayangkan tangannya ke arah Nico yang menutup rapat kedua matanya. Demi Tuhan, ia takut melihat kemarahan paman itu, namun di sisi lain ia tidak ingin menjadi pihak yang tertindas. Ia bukan wanita selemah itu.
"BERANI SEKALI KAU!!!"
"HENTIKAN!!"
Sebuah teriakan nyaring yang datang membuat Nico membuka matanya. Alangkah terkejutnya saat mendapati Thorn sudah berdiri di depannya, memegangi tangan paman itu sebelum sempat menyentuh Nico.
"apa pun alasannya- seorang pria tidak boleh memukul wanita!!" Thorn berteriak lantang , ia memegangi tangan Nico yang gemetaran. Ia melindunginya.
"nona ini adalah majikanku! jadi kalau anda ingin menamparnya, silahkan tampar saya saja!" Thorn berkata lagi , kali ini sukses membuat airmata Nico mulai berjatuhan dari pelupuk matanya.
Padahal ia tau bahwa ia selalu mengandalkan Thorn..
Tapi mengapa...
Nico menyeka airmatanya frustasi. Kesabaran yang sedari tadi ditahannya pun sudah habis. Ia benar-benar tidak bisa menahan diri dan egonya lagi.
"a-apa apaan kau! kau pelayan-nya?? seenaknya saja masuk ke tempat pesta!" pemuda paruh baya itu berkata geram, ia menepis tangan Thorn yang menggenggamnya kuat.
"tidak punya tata krama! pasti karena tidak pernah sekolah!"
"oh! pantas saja! dia bekerja di rumah Asakura- sudah wajar kalau tata krama nya tidak ada! Sifat majikan menurun pada pelayannya, kan!"
Pemuda paruh baya itu tertawa mengejek, masih menatap geram pada Nico dan Thorn. Nampaknya ia masih belum puas juga.
"kau seharusnya malu! memiliki majikan seperti itu--"
Plakk!!
Kata-kata pemuda paruh baya itu terhenti begitu sebuah tamparan keras dilayangkan oleh sang nona. Bukan tamparan pada wajahnya, melainkan pada pelayannya sendiri.
Jelas terlihat bahwa Nico menampar pelayannya sendiri dengan penuh amarah, hingga Thorn tak dapat berkata-kata dibuatnya. Melainkan hanya terdiam dengan rasa sakit dan pipi yang memerah.
"dia pelayanku! dan aku sudah menghukumnya! tolong maafkan dia dan sikap lancangnya!" ujar Nico, kali ini ia yang berdiri membelakangi Thorn dan melindunginya.
"kau-!"
"sudahlah paman! hentikan! ayo pergi sebelum masalah semakin besar!" Fang turun tangan dan langsung menghalau paman itu sebelum dapat melontarkan lagi kata-kata kebencian. Ia mengiring sang paman keluar dari sana, namun sebelum pergi, ia sempatkan untuk menoleh dan bertemu pandang dengan Nico.
"terima kasih.. sudah membelaku saat kakakku diejek.."
Adalah kata-kata terakhir yang didengar Nico sebelum suasana kembali tenang. Hanya Nico dan Thorn yang tersisa disana, saling menatap dalam diam sebelum Thorn akhirnya memeluk sang nona dan membawanya pergi dari sana.
"t-tunggu! Thorn- aku tidak bisa pergi!" Nico berusaha mendorong Thorn agar menjauh darinya "kamu kembalilah ke mobil! Yuko tidak akan memaafkanmu kalau melihatmu masuk kesini!"
Namun Thorn masih tak bergeming.
"aku tau itu, dan aku siap menerima hukuman apapun" ujar Thorn, menarik Nico lebih dekat padanya.
"tapi sekarang nona harus ikut denganku! kaki nona sakit kan?? Dan nona juga habis berlarian! kakimu harus segera dirawat!"
"tidak! kamu kembalilah, Thorn!" tolak Nico, mendorong Thorn sekuat tenaga agar melepaskannya.
"nona--"
"kamu tak boleh ada disini, Thorn!" Nico meninggikan suaranya, wajahnya tertunduk. Tak berani bertemu pandang dengan Thorn "kamu benar-benar tak boleh kemari, hingga semuanya selesai! aku harus berdiri dengan kakiku sendiri!"
"sendiri? lalu bagaimana dengan orang yang mengundang nona?"
Nico berhenti memberontak, ia terdiam mengingat bagaimana ekspresi kecewa Yuko yang terlihat begitu menyedihkan. Ia yakin, yang dirasakan Yuko bukan sekedar kecewa, tapi juga malu karena para tamu-nya yang ricuh karena kesalahannya.
"nona.."
Thorn menyentuh lembut rambut-rambut yang menghalangi wajah Nico, ditengah hembusan angin salju yang menusuk kulit. Ia menyelipkan sebatang bunga ceri yang hampir layu, yang ditemukannya pada kaca mobilnya.
"aku sudah bilang.. aku akan menjadi tempat dandelion tumbuh.. aku tidak akan membiarkannya sendirian.." ucap Thorn lembut, meraba wajah pucat sang nona dengan penuh kasih sayang.
"aku membuat kekacauan.. aku membuat Yuko kecewa.. kupikir aku sudah kehilangan semuanya.." Nico berkata lirih, sentuhan hangat dari tangan Thorn yang terbalut sarung tangan putih seakan memberinya sedikit harapan untuk melangkah.
"tapi yang selalu datang ke benakku..hanyalah wajah dan kata-kata dari Thorn.."
Senyum wanita itu mengembang , kedua matanya yang tertutup pun perlahan dibukanya hingga cahaya netra hijau milik pria di depannya itu menembus kedua bola matanya.
Ia datang ditengah hujan salju yang dingin..
Menjaga dan melindungiku.
~
"nona.. kalau mengantuk, kembali saja ke kamar.. sudah hampir pagi.."
"nggak- aku mau bersamamu sampai pagi, Thorn
saat pertama kali kita bertemu, cahaya lampu-mu yang menemukan aku.. aku jadi tidak kesepian karena kamu selalu menemaniku..
dan sekarang..aku juga tidak ingin kamu kesepian"
~
Mungkin nona tidak tahu.. saat itu..justru aku yang menemukan cahaya.
"kumohon..ikutlah denganku, kali ini saja.." pinta Thorn.
Tidak ada kata yang terucap, melainkan hanya sosok Nico yang memeluk Thorn di tengah lebatnya salju.
Perasaan itu sangat sulit untuk dibohongi. Nico mengetahui itu lebih dari siapapun.
Dan saat ini.. ia hanya ingin bersama Thorn.
"maaf kalau aku bodoh ..." Nico terisak, dadanya terasa sesak entah kenapa.
tapi aku tidak bisa.. menerima hubungan kakak-adik lagi.. aku ingin bersamamu, Thorn.."
Thorn mengambil sebelah tangan Nico dan mengecupnya. Ia menatap sang nona begitu tulus, penuh dengan perasaan cinta ditengah kekhawatirannya dan rasa terkejut.
"tapi aku..aku sadar- hubungan kita.. tidak bisa-"
"NICO!!!"
Keduanya tersentak oleh suara teriakan wanita yang datang dari belakang. Suara yang tidak asing dan tak lain adalah suara Yuko Suzuki. Ia ternyata menyusul Nico setelah menyadari Nico tidak kembali ke ruangan pesta setelah insiden tadi.
"Nico! Kamu dimana?? biarkan aku bicara denganmu!"
"yuko.."
Apa ini kesempatan bagiku.. untuk memperbaiki semuanya..
Jika aku mendatanginya..
Nico menyeka airmatanya. Ia melepaskan pelukan itu dan berbalik pergi ke arah datangnya suara, meninggalkan Thorn yang masih berdiri di sana dengan senyum yang memudar.
"Nico!"
Gadis itu tiba pada balkon tempat Nico dan Thorn tadi berada, namun ia tidak menemukan siapapun disana.
Berdecih, gadis itu berbalik pergi dari sana.
Di semak-semak, tepat di depan pagar balkon yang membatasi rumah dan halaman belakang. Thorn berada disana, memeluk Nico begitu erat. Enggan melepaskannya barang sedetikpun.
"jangan pergi.." Thorn berkata lirih, nyaris berbisik.
"jangan menjadi milik siapapun.. jangan dekat dengan siapapun.. aku tidak ingin berpisah...aku..
mencintai nona.."
Perasaan yang berbalas..
"T..thorn.."
Thorn membalikan tubuh Nico, menangkup kedua pipinya dan mempertemukan wajah keduanya.
"bertahun tahun.. berkali kali..aku ingin mengatakannya.."
Thorn..
Nico menundukan kepalanya, debaran pada jantungnya sudah tidak bisa ia kontrol lagi. Semua emosi, perasaan yang selama ini terpendam dalam dirinya.
Ia tidak menyangka hari itu akan datang.
Tapi..
"t-tidak.. tidak bisa.." Nico mendorong pelan tubuh Thorn, airmata bercucuran membasahi kedua pipinya.
"i-ini..ini hanya keinginan egoisku.."
Aku tidak ingin kamu disalahkan lagi..
"nanti hidupmu jadi sulit..jika orang lain tau..aku.."
Namun Thorn menggenggam tangan Nico, jari-jari mereka yang tertaut satu sama lain seakan memberinya cahaya harapan. Keyakinan dan rasa percaya diri akan perasaan masing-masing.
"jika jalan itu yang nona inginkan.. seterjal apapun, pasti akan kutempuh"
Dengan kedua mata yang terkunci satu sama lain. Thorn bergerak perlahan, menutup jarak diantara kedua bibir mereka.
Tangan yang saling mendekap satu sama lain.. jantung yang berdebar.. udara yang dingin..
Jalan yang kuinginkan memang salah..
Tapi aku tidak ingin berpisah...
Aku mencintai Thorn.
~
Pertemuan singkat yang membuat kami menjadi dekat.
Kamu menemukanku dalam kegelapan itu.
Tapi..
"Thorn, seorang pelayan pria..tidak boleh menyentuh majikannya tanpa sarung tangan"
"ini perintah Tuan, dan merupakan syarat utama dan janji untuk bekerja pada keluarga bangsawan..kamu mengerti kan?"
~
Dibatasi oleh sebuah sarung tangan putih..
Seberapa jauh ya..seorang pelayan dan majikan bisa dekat?
Maaf nona.. aku melanggar sumpahku untuk tidak menyentuhmu secara langsung..
Tapi jika boleh memilih.. aku akan memilih jalan yang tidak akan pernah dimaafkan oleh tuan dan orang-orang sekitar.
Tapi maaf..
Saat ini aku tidak ingin melepasmu lagi.
🌼🌼🌼
"maaf..aku menamparmu, Thorn.."
Di dalam mobil, Thorn dengan telaten melilitkan perban dan pereda rasa sakit pada perggelangan kaki Nico yang bengkak. Ia melakukannya dengan penuh perhatian, seakan Nico merupakan sesuatu yang sangat berharga.
"itu salahku, nona.. lagipula.." Thorn mengangkat kepalanya dan bertemu pandang dengan nona-nya.
"nona bebas melakukan apapun padaku, karena aku adalah supir nona.. kau bebas memberiku perintah.."
Ia menyeka dan membersihkan sebelah kaki Nico dengan air hangat, jari-jarinya bergerak mengelus permukaan kulit yang pucat bagaikan sebuah porselen.
"nona.. benar benar seperti bidadari yang tidak bisa disentuh seenaknya oleh orang sepertiku..
tapi.. apakah salah, jika aku sedikit berharap..untuk menjadi orang yang akan melewati semua kesedihan dan kebahagiaan bersamamu?"
Walaupun status kami berbeda..
Berada di tempat yang berbeda..
Thorn akan selalu jadi orang terdekatku..
Denganmu aku ingin pergi kemana saja.. tempat yang tidak bisa kujangkau sendirian.
"kalau begitu.."
Nico tersenyum manis, kedua pipinya merona seakan menggambarkan perasaan dan emosinya yang selama ini terpendam rapat di dalam hatinya.
"aku ingin lebih lama..bersamamu.." pintanya.
Bukan hanya hatinya.. ia juga menginginkan sosok Thorn selalu berada di sisinya.
Setidaknya untuk saat ini..
"baiklah..kalau itu yang nona inginkan..aku akan selalu bersamamu" Thorn tersenyum, membiarkan Nico bersandar padanya.
"karena aku adalah supir nona.."
FIN
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro