Chapter 6 : Keputusan Sasuke
Tertidur pulas adalah hal yang Sakura lakukan dari semalam hingga pagi hari. Seolah tak ada beban yang harus dia pikirkan. Berbeda dengan Sasuke sendiri yang tidak tidur sama sekali. Dia hanya berdiam diri dalam ruang kerja. Tetap setia duduk di kursi roda, mengabaikan rasa pegal yang mulai menjalar punggungnya.
Bahkan Kakashi yang seharusnya bertugas mengantar Sasuke ke dalam kamar pun dengan berat hati meninggalkan sang majikan seorang diri ketika semalam Sasuke memintanya pergi.
"Emmhh!" Sakura menggeliat usai terjaga dari tidur nyenyaknya. Dia melirik ke samping, pada bagian kasur yang kosong. Seharusnya sejak semalam ada Sasuke di sana, tidur bersamanya.
Tetapi, Sakura sama sekali tidak peduli. Rasa kesal nan jengkel bersebab perdebatan di tadi malam membuat dia enggan menghampiri sang suami. Sakura lebih memilih kembali meringkuk hangat di atas kasur.
Teringat sesuatu, Sakura terpaksa menahan rasa kantuknya lagi kemudian meraih telepon rumah yang tergeletak tak jauh di atas nakas dekat ranjang.
"Selamat pagi, Nona. Apa a--"
"Aku tidak akan ikut sarapan. Jangan ada yang menggangguku di kamar. Aku ingin istirahat." Dengan suara parau, Sakura menyela cepat sebelum sang pelayan menyelesaikan ucapan. "Sampaikan pada Naruto, sarapan saja bersama Sasuke. Tidak perlu menungguku untuk makan."
"Ba-baik, Nona."
"Ah, Sasuke juga tidak ada di kamar. Mungkin dia di ruang kerjanya. Cari saja."
"Ba-"
Terputus. Panggilan berakhir secara sepihak. Sakura kembali menyamankan posisinya di atas kasur. Pagi ini seharusnya memang jadwal pemotretan kedua. Tetapi, Sakura cukup lelah atas banyaknya kegiatan kemarin sehingga dia meminta pergeseran jadwal pada Tsunade demi bisa beristirahat sebelum nanti sore kembali disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai model.
•
•
•
"Sasuke di ruang kerjanya?"
Matsuri, sang pelayan yang tadi menerima telepon pun mengangguk. "Begitulah yang Nona Sakura sampaikan."
"A-apa aku bangun kesiangan!?" Alih-alih segera sarapan, Naruto justru panik karena berpikir bahwa Sasuke bangun lebih dulu dari dirinya. Sedangkan membantu Sasuke beranjak dari ranjang adalah tugasnya. "Ta-tapi, ini masih pukul enam, 'kan!?"
Senyuman canggung terpatri di bibir Matsuri. "Jangan khawatir. Sepertinya Tuan Sasuke memang tidak tidur."
"Tidak tidur?"
"Hm. Semalam aku tidak sengaja melihat Tuan Sasuke menyuruh Kakashi untuk meninggalkannya sendiri di ruangan itu."
Naruto terdiam. Ketika Matsuri berpamit untuk kembali menggarap pekerjaannya pun Naruto masih terpekur di tempat. Beberapa saat dia tetap seperti itu hingga akhirnya memutuskan bergegas menuju sebuah ruangan di mana Sasuke berada.
•
•
•
Naruto sama sekali tidak tahu apa yang sudah terjadi semalam hingga Sasuke tak terlelap dan mengurung diri di dalam ruang kerja. Namun, ketika dia meminta izin untuk masuk ke dalam ruangan itu dan tatapannya jatuh pada sosok Sasuke, Naruto yakin ada sesuatu tidak menyenangkan yang sudah Sasuke alami. Sasuke terlihat jauh lebih murung dari kemarin. Seperti tengah diselimuti oleh berbagai kesedihan dan kekecewaan.
Apa dia bertengkar dengan Sakura?
Bagi Naruto, tidak mengherankan bila mereka memang berdebat. Sebab, sudah sewajarnya Sasuke marah pada Sakura yang nyaris dua hari seperti tak ingat pulang. Naruto sendiri sangat menyayangkan sikap Sakura yang rupanya begitu egois. Ingin rasanya Naruto berkata bahwa Sasuke sangat membutuhkan Sakura. Tetapi, Naruto sadar hal itu bukan urusannya. Dia merasa tak berhak memberi komentar untuk kehidupan rumah tangga temannya. Terlebih mengingat watak Sakura yang keras, tak senang diberi nasihat.
"Sarapan sudah Ayame siapkan." Naruto berusaha membuka pembicaraan. Sedang langkahnya terhenti di dekat sofa, berjarak beberapa meter dari Sasuke yang tengah menatap kosong ke arah jendela. "Kau ingin sarapan di ruang makan atau di sini?"
" .... " Tidak ada jawaban. Bahkan Sasuke tak menatapnya sama sekali.
"Sasuke?"
Alih-alih memberi jawaban, Sasuke hanya berbalik, mendorong sendiri kursi rodanya menuju pintu. Mengabaikan Naruto yang masih berdiri di sekitarnya.
"Tunggu!" Dengan tergesa Naruto berusaha menyusul. "Biar aku yang--"
"Tidak perlu." Sasuke menyahut tanpa menatap. "Aku akan mandi."
Naruto pun terdiam. Kini dia hanya memandang Sasuke yang kembali mendorong kursi rodanya seorang diri, memasuki ruangan di mana seharusnya pria itu tidur sejak semalam.
•
•
•
Hal pertama yang tertangkap oleh netra kelam Sasuke ketika memasuki kamar adalah sosok wanita yang tengah tertidur pulas. Wanita yang dulu tidak pernah mengabaikannya. Wanita yang dulu selalu menemaninya.
Lama Sasuke terdiam, memperhatikan wajah cantik Sakura yang terlihat tenang dalam lelapnya. Hingga akhirnya napas terhela pelan, Sasuke menipiskan bibir usai menarik pandangannya dari sang istri dan bergegas menuju kamar mandi.
Karena kondisi fisiknya yang tak normal seperti dulu, Sasuke harus menghabiskan waktu cukup lama meski hanya sekadar membersihkan tubuh. Dan selama itu pula ternyata Sakura masih belum bangun.
Sasuke yang sudah mengenakan pakaian, mengalihkan atensinya pada ponsel sang istri yang tergeletak di atas kasur, tepat di samping bantal yang Sakura tiduri.
Tanpa ragu, Sasuke meraihnya, memeriksa setiap pesan serta panggilan yang masuk. Sampai satu pesan dari kontak bernama Tsunade Senju benar-benar menarik perhatiannya. Sebab, kontak itu mengirim beberapa file kepada Sakura disertai ucapan terima kasih atas kerja samanya dan berharap pemotretan selanjutnya bisa berjalan mulus seperti kemarin.
Sasuke membuka file dalam pesan yang wanita bernama Tsunade kirimkan kepada istrinya. Dan seketika itu juga sepasang oniksnya membola sempurna ketika mendapati gambar berkualitas tinggi yang menunjukkan potret-potret Sakura bersama seorang pria.
Sakura yang bekerja sebagai model tanpa izin dirinya selaku suami pun sudah cukup membuat Sasuke marah. Dan kini, Sasuke ditampar oleh kenyataan kedua bahwa sang istri tak sendiri dalam menjalani pekerjaan barunya.
Sasuke tidak naif. Dia tahu siapa sosok pria yang menjadi pasangan Sakura dalam potret itu. Akasuna Sasori. Sebagai pria dewasa yang mempunyai pengalaman cukup dalam, Sasuke sangat tahu tentang model bersurai merah ini. Bahkan tak jarang Sasuke mendengar berita tentang betapa gilanya Sasori dalam percintaan, dalam menjalin hubungan nakal dengan wanita-wanita yang seolah tak memiliki harga diri.
Dengan penuh amarah terpendam, Sasuke menaruh ponsel sang istri ke tempatnya semula sebelum bergegas keluar kamar tanpa melirik sedikitpun pada Sakura yang masih terlelap damai.
Naruto sontak beranjak dari duduknya ketika melihat Sasuke memasuki ruang makan dengan penampilan yang lebih segar. Namun, tidak dengan raut wajahnya yang terlihat sangat tak menyenangkan untuk dipandang.
Sejujurnya Sasuke tidak ingin sarapan. Nafsu makannya meluap sejak beberapa menit silam. Tetapi, tuntutan obat yang harus dikonsumsi membuat dia terpaksa menelan nasi meski tak sebanyak biasanya.
Suasana sarapan pagi ini benar-benar hening dan lebih canggung. Naruto bahkan harus menahan pandangannya agar tetap fokus pada makanan daripada melirik Sasuke yang dilingkupi aura hitam.
"Sasuke, apa ada yang bisa kubantu?" Naruto memberanikan diri melempar pertanyaan ketika Sasuke lagi-lagi keluar dari ruangan dengan mendorong kursi rodanya sendiri.
Namun, sebelum Sasuke menjawab, perhatian mereka teralihkan oleh Sakura yang baru saja keluar dari kamar disertai penampilan cukup kusut. Kendati demikian, kecantikan Sakura tak berkurang. Paras itu tetap terlihat jelita meski belum dibawa mandi atau dipolesi make up.
Dalam hati, Naruto benar-benar terkagum melihat kemolekan tubuh serta kecantikan yang Sakura miliki. Sebagai wanita, tentu dia juga berharap bisa mempunyai kecantikan yang sama. Tetapi apalah daya, jangankan untuk merawat diri secara lebih, untuk keperluan keluarganya saja dia harus terikat pekerjaan seperti ini.
Pandangan Sakura mulanya terpaku pada Sasuke yang menatap dia tanpa ekspresi sebelum melirik Naruto yang berdiri di belakang suaminya. "Kalian sudah sarapan?"
"Baru saja selesai." Naruto tersenyum canggung. "Maaf tidak menunggumu. Matsuri bilang kau perlu istirahat dan tak ingin diganggu."
"Tidak masalah." Sakura berjalan mendekat. "Di lain waktu juga kau tidak perlu menahan lapar jika aku atau Sasuke tak bisa makan bersamamu."
Naruto hanya mengangguk paham. Berpura-pura mengiyakan ucapan Sakura meski jauh di dalam hatinya dia sama sekali tak berani jika harus makan di rumah ini dengan mendahului mereka.
"Nanti sore aku harus kembali ke studio untuk pemotretan kedua."
Entah kepada siapa Sakura mengkhususkan ucapannya. Karena tatapannya pun mengarah pada Sasuke dan Naruto.
"Pemotretan?"
Melihat kebingungan sang teman, Sakura pun mulai menjelaskan dengan antusias bahwa dia bekerja sebagai model di sebuah perusahaan fesyen yang cukup besar. Sedangkan Naruto sendiri hanya menganggapi dengan senyuman kecil serta mengucapkan selamat atasnya.
Sejenak, Naruto melirik Sasuke yang raut wajahnya berubah semakin masam setelah Sakura memberitahu mereka akan kepergiannya nanti sore.
"Tapi, kupikir hari ini kau tidak ada pekerjaan."
Sakura terkekeh. "Aku baru melakukan pemotretan satu kali. Masih jauh untuk bisa menikmati hari libur."
Naruto kembali terdiam. Begitu pula dengan Sasuke yang sejak tadi tak mengatakan apapun. Bahkan pria itu segera bergegas meninggalkan mereka, memasuki ruang kerjanya dengan bantingan pintu yang cukup kasar.
Melihat sikap keduanya yang sama sekali tak harmonis, membuat Naruto semakin sadar bahwa hubungan sepasang suami istri ini memang tengah tidak baik-baik saja. Dan jujur, Naruto menjadi sangat canggung atas situasi ini.
"Tidak perlu cemas. Kau tetap bekerja saja seperti biasa." Ekspresi wajah Naruto yang sangat kentara membuat Sakura bisa dengan mudah membaca pikirannya. "Tak ada masalah serius. Kami hanya sedang sedikit bertengkar."
" .... " Naruto tak mengatakan apapun. Sampai detik kemudian ucapan Sakura membuat atensinya tak bisa beralih pada hal lain.
"Apa uang yang ku transfer sudah masuk?"
"Huh?"
"Tadi aku mengirim uang ke rekeningmu."
"Uang? Untuk apa?" Naruto sontak merogoh ponsel, membuka aplikasi m-banking demi memastikan ucapan Sakura. Dan benar saja, ada notifikasi masuk perihal penerimaan transfer dengan nominal yang tak pernah dia dapatkan selama bekerja di mana pun. "Sakura ... ini ... "
"Bayaran untuk bulan ini." Sakura melipat kedua lengan di depan dada.
"Tapi, aku belum satu bulan bekerja di sini."
Sakura menggeleng disertai senyuman tulus. "Naru, aku mengerti kondisimu. Kau butuh uang itu secepat mungkin untuk biaya keluargamu, 'kan? Terutama Ibumu. Bukankah beliau harus segera dibawa ke rumah sakit?"
Sungguh tidak masalah bagi Sakura harus membayar Naruto secepat ini. Karena sejak awal, dia juga sudah ada niat untuk membantu sang teman. Dan Sakura paham, kondisi keluarga Naruto tak bisa menunggu lebih lama lagi hingga Naruto mengumpulkan uang yang cukup untuk mereka.
"Sakura ... " Sepasang safir Naruto berkaca-kaca hingga sebuah pelukan pun dia lakukan. "Sungguh ... terima kasih!"
Memiliki teman setulus Sakura, membuat Naruto merasa beruntung. Dia berjanji akan berusaha membalas segala kebaikan yang sudah Sakura beri untuknya.
Sakura balas memeluk dalam beberapa saat sebelum menjauhkan tubuh mereka dan meminta Naruto untuk segera bergegas pulang ke rumahnya demi bisa mengurus segala keperluan sang ibu dan sang adik yang selama ini terhambat karena keuangan. Namun, Sakura memberi syarat bahwa Naruto harus kembali sebelum malam tiba. Sebab, nanti sore Sakura akan pergi bekerja bersama Kakashi sebagai pengawal.
"Dan sepertinya, aku akan bermalam di hotel lagi."
Naruto terpekur. Lidahnya terasa kelu untuk berucap. Tetapi, dia tak bisa menahan diri lebih lama. Dia ingin Sakura tahu tentang bagaimana Sasuke jika dia tak ada di rumah.
"Sakura, maaf sebelumnya. Tapi, Sasuke terlihat sangat gelisah jika kau tidak pulang. Dia--"
"Dia egois."
"Eh?"
"Hanya itu." Sakura menghela napas. "Dia tak pernah bisa mengerti kesibukanku. Dia tak bisa paham betapa pentingnya segala pekerjaan yang aku lakukan. Semua itu demi nama baiknya juga. Bukankah dia akan bangga memiliki istri yang berbakat di berbagai bidang?"
" .... " Tidak ada yang bisa Naruto berikan sebagai jawaban. Karena hati kecilnya sendiri tak menyetujui ucapan Sakura.
"Kau tidak perlu memikirkan apapun, Naru. Jalani saja pekerjaannya sesuai dengan yang kuperintahkan." Sakura mencengkeram lembut kedua bahu Naruto. "Dan sekarang ... sebaiknya kau segera pulang. Keluargamu membutuhkan uang itu."
•
•
•
Belum satu bulan Naruto meninggalkan rumah. Belum satu bulan Naruto bekerja dengan Sakura. Tetapi, bagi Kushina dan Sara sudah terasa begitu lama. Entah mengapa. Mungkinkah karena baru kali ini mereka terpisah jarak?
"Kakak!"
Pelukan rindu tak mampu tertahan. Sara menyambut kedatangan sang kakak dengan dekapan hangat.
"Sara menjaga Ibu dengan baik, 'kan?"
"Hm." Sara mengangguk pelan kemudian melepas pelukan dan bergegas ke dapur demi memberi jamuan terbaik untuk kakak tercintanya.
Sedang Naruto sendiri kini mulai mendekati Kushina yang duduk bersandar di atas ranjang. Dia ikut terduduk di tepinya sebelum membawa Kushina ke dalam dekapan cukup lama, demi menyalurkan rasa rindu yang selama ini menyesakkan dada mereka.
"Naru, maafkan Ibu." Kushina tak kuasa menahan air mata. "Kau harus bekerja keras seperti ini."
Naruto menggeleng tegas tanpa berniat untuk segera melepas pelukan. "Ini kewajibanku. Ibu jangan merasa bersalah." Air mata mulai menganak. Sebisa mungkin Naruto menahan diri agar tak terisak. "Seharusnya aku yang minta maaf karena tak bisa berada di samping Ibu setiap saat."
Sungguh, Naruto sangat ingin berada di sisi Kushina setiap waktu, menjaganya, merawatnya, mengabdi dengan sebaik-baiknya sebagai seorang anak. Tetapi, jika dia diam di rumah, maka bagaimana dengan kebutuhan mereka? Uang tak akan tiba-tiba jatuh dari langit. Semua harus ada usaha. Semua harus ada pengorbanan.
Selepas beberapa saat berbincang ringan, akhirnya mereka bergegas ke rumah sakit menggunakan taksi. Naruto berusaha menenangkan sang ibu yang tampak khawatir akan biaya yang harus Naruto keluarkan jika dirinya dirawat. Dan Naruto berkata bahwa dia bekerja keras seperti ini karena memang untuk hal tersebut.
Ketika tiba di rumah sakit, Naruto harus mendapat teguran keras dari dokter yang menangani sang ibu karena asam lambung yang diderita Kushina ternyata sudah sangat parah.
Naruto tahu, sangat tahu. Seharusnya memang sejak lama dia membawa sang ibu ke rumah sakit dan tak menunggu kondisinya memburuk seperti ini. Tetapi, lagi-lagi keuangan yang menjadi kendala. Naruto bukan lalai. Naruto bukan tak memperhatikan ibundanya. Keuangan yang mereka miliki kemarin sangat tidak mencukupi jika harus membawa Kushina ke dokter.
"Berapa lama Ibu harus dirawat?"
"Kami tidak bisa memastikan." Sang dokter menilik kertas yang diberikan oleh perawat yang tadi memeriksa kondisi Kushina bersamanya. "Karena Nyonya Kushina ternyata mengalami komplikasi. Bukan hanya asam lambung yang dideritanya."
Napas Naruto tertahan cukup lama. Dia tak pernah menduga wanita yang dulu merawat dirinya serta Sara dengan penuh ketegaran, wanita yang dulu fisiknya tampak kuat seolah tak mengenal kata lelah, akan berakhir seperti ini.
"Nyonya Kushina perlu perawatan intensif hingga kondisinya benar-benar pulih dan dipastikan bisa melakukan rawat jalan."
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang sang dokter lontarkan sebelum meninggalkan Naruto yang masih berdiri di luar ruangan, menatap nanar sang ibunda yang tengah berbaring lemas di atas brankar.
Ibu ... maaf. Aku baru bisa membawamu sekarang ke tempat ini.
•
•
•
Waktu yang menunjukkan bahwa hari telah sore, membuat Naruto dengan berat hati berpamit pergi, meninggalkan Kushina yang kini sudah tertidur tenang usai meminum obat. Dan Sara yang sudah diberi amanah olehnya untuk selalu menemani Kushina di rumah sakit setiap pulang sekolah. Tak lupa, Naruto juga meninggalkan sejumlah uang untuk kebutuhan sehari-hari sang adik.
Naruto kira, Sakura masih ada di rumah karena dia pun datang tepat di waktu yang Sakura pinta. Tetapi rupanya, Sakura dan Kakashi sudah pergi. Keadaan di dalam rumah mewah itu kembali seperti saat Sakura tak pulang kemarin, sangat sunyi, hanya ada beberapa pelayan dan Sasuke yang sedang terdiam sendiri di halaman belakang, menikmati keindahan senja yang sementara.
"Ah, apa aku mengganggu?" Naruto tersentak ketika tiba-tiba saja Sasuke menoleh. Tak dia kira, kedatangannya yang tanpa suara ternyata bisa disadari oleh pria itu.
Sasuke tak mengucapkan apapun. Dia hanya menatap Naruto cukup lama.
"Sasuke, aku dan Kakashi akan pergi sekarang."
"Oh ya, Naruto sedang pulang. Dia harus mengurus keperluan keluarganya. Dan akan kembali ke sini sore."
Ucapan Sakura kala tadi terngiang dalam benak Sasuke. Sejujurnya kemarin dia masih tak percaya akan kesediaan Naruto dalam bekerja bersama mereka. Tetapi, setelah tadi dari jendela ruang kerja dia melihat sendiri bagaimana tergesanya Naruto pergi dari kediamannya serta mendengar kabar dari Sakura, akhirnya membuat Sasuke benar-benar paham; Naruto memang sangat membutuhkan uang sehingga gadis itu terlihat tak ragu mengambil pekerjaan yang bisa dikata telah mengorbankan kehidupannya sendiri.
"Maaf sudah mengganggu waktumu. Tapi, jangan terlalu lama di sini. Hari mulai gelap. Angin malam tidak baik untuk kesehatan." Naruto tersenyum kaku. "Ah, aku akan menunggumu di dekat pintu."
Kaki Naruto yang semula hendak melangkah harus tertahan ketika tiba-tiba saja salah satu tangannya dicekal cukup erat.
"Sas?" Naruto kebingungan. Dia berkali-kali menatap pergelangan tangannya yang masih dicekal kemudian menatap wajah Sasuke.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"A-apa itu?"
Tanpa melepas cengkeraman, Sasuke melontarkan pertanyaan yang membuat Naruto merenung dalam beberapa saat.
"Jika seandainya kau di posisi Sakura ..." Tatapan Sasuke tak lagi terpaku pada iris biru Naruto, pria itu kini tampak memandang kosong ke arah rumput. " ... apa yang akan kau pilih? Kesuksesan kariermu atau ... suamimu?"
" .... " Lama Naruto terdiam. Bukan tak paham, hanya bingung saja perihal mengapa Sasuke memberikan pertanyaan seperti itu kepadanya. Tetapi, bagaimanapun dia harus menanggapi dan memberi jawaban yang cukup apa adanya.
"Sulit untuk membayangkannya karena aku sendiri belum pernah menikah." Naruto tertawa kering, kentara akan rasa canggung. "Ya ... meski kemarin pernikahan kita resmi, tetapi semuanya terjadi atas dasar tuntutan pekerjaan, bukan perasaan."
Sasuke diam, mendengarkan.
"Aku juga bukan wanita karier seperti Sakura."
" .... "
"Tapi ... " Naruto tersenyum tulus dengan pandangan yang tampak menerawang jauh, " ... kurasa aku akan memilih suamiku."
"Kenapa?" Sasuke menyahut masih tanpa menatap. Dan tanpa sadar, tangan Sasuke yang semula mencengkeram pergelangan, kini turun menggenggam telapak tangan. "Apa kariermu tidak penting?"
"Bukankah yang lebih penting adalah pasangan hidup kita daripada sebuah karier?" Naruto membalasnya dengan pertanyaan. "Maksudku, jika wanita sudah menikah, maka harus mengutamakan suami lebih dari apapun. Ibuku juga seperti itu. Beliau selalu menjadi istri yang baik untuk mendiang ayahku."
Kali ini Sasuke menarik pandangannya, menatap Naruto lagi.
"Terlebih, sangat sayang jika waktu kita terbuang demi mengejar karier dan mengabaikan pasangan. Karena kita sendiri bahkan tidak tahu kapan hidup kita berakhir." Naruto kembali mengukir senyuman. "Maka aku akan lebih memilih suamiku, keluargaku. Menikmati kebersamaan kami."
Bagi sebagian orang, mungkin jawaban yang Naruto beri terdengar sangat naif. Namun, memang begitulah seharusnya sikap wanita yang sudah menikah, karier bukan lagi nomor satu dalam kehidupan, suami harus diutamakan. Terlebih bila sang suami bahkan mampu memenuhi segala kebutuhan. Untuk apa sebuah karier? Menikmati waktu bersama orang terkasih jauh lebih berharga dari apapun.
Dan Naruto pribadi tak menghakimi Sakura yang sangat jelas begitu mementingkan kariernya. Tidak. Naruto paham, setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda. Dan mungkin bagi Sakura, karier adalah hal utama, lebih dari segalanya.
Sasuke memejamkan mata sejenak. Dia sangat berharap Sakura juga bisa memiliki pemikiran yang sama seperti Naruto. Tetapi, hal itu memang mustahil mengingat betapa besar obsesi Sakura terhadap kariernya.
"Sas, tanganmu."
Tersadar, sontak Sasuke pun melepas genggaman yang dia lakukan tanpa sengaja. Akan tetapi, pandangannya kembali terarah pada wajah Naruto. Sebuah pandangan yang tidak bisa Naruto pahami.
"Lalu, apa gunanya Naruto jika kau terus memaksaku untuk diam di rumah!?"
"Aku sengaja mempekerjakan dia di sini agar kau tetap terurus di samping semua kesibukanku!"
"Bukankah yang terpenting adalah kesehatanmu!? Selama ini Naruto sudah bekerja dengan baik!"
"Jika sampai kau membuat dia berhenti bekerja, itu sama dengan kau mengusirku dari rumah ini. Aku benar-benar tidak akan pulang."
Perdebatan kemarin bersama Sakura, seperti terputar ulang dalam ingatan Sasuke.
Mudah saja bagi Sasuke memberitahu Naruto tentang pertikaian dengan istrinya. Dan meminta gadis itu berhenti bekerja demi memaksa Sakura secara tidak langsung agar tak mengutamakan kesibukannya sendiri. Namun, setelah menyadari betapa Naruto sangat membutuhkan penghasilan yang cukup untuk keluarganya, Sasuke pun kembali mempertimbangkan dengan tidak mengedepankan ego.
Terlebih, ada yang ingin Sasuke lihat. Sejauh mana Sakura akan terus mengabaikan di saat dia benar-benar sudah memenuhi segala keinginannya, yang bahkan salah satu dari keinginan tersebut akan terdengar gila di telinga orang lain, terutama bila keluarga mereka yang mendengar kabar ini. Kabar perihal adanya sosok gadis asing yang bekerja bersama mereka.
Dan Sasuke juga ingin tahu, sejauh mana dia mampu bertahan dalam segala keegoisan Sakura. Sejauh mana dia mampu bersabar menjalani kehidupan rumah tangganya yang kian jauh dari kata harmonis.
Sakura, kau menyerahkanku pada gadis ini, bukan?
Tatapan Sasuke masih terkunci pada Naruto.
Baiklah, jika memang itu yang benar-benar kau inginkan.
Keputusan Sasuke sudah bulat. Dia tidak akan lagi banyak berbicara atau bahkan tak akan pernah lagi membahas tentang segala kesibukan sang istri. Tidak lagi. Karena mulai sekarang, Sasuke juga akan berusaha fokus pada pekerjaan serta pemulihan kesehatan, yang mana di setiap harinya tentu akan selalu ditemani oleh gadis pemilik mata safir ini.
•
•
•
TBC ...
09/Agus/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro