Chapter 5 : Retak
Jika bukan demi pekerjaan, saat ini Naruto pasti masih tetap terlelap damai. Namun, sadar akan posisinya yang bukan seorang nyonya besar membuat kelopak mata Naruto terbuka penuh paksaan.
Sungguh, Naruto masih sangat mengantuk. Ingin rasanya kembali bergelung hangat di atas kasur. Tetapi, ada tanggung jawab yang harus dia penuhi. Dan dengan sedikit lesu, Naruto pun merapikan tempat tidur serta bergegas membersihkan diri sebelum keluar kamar.
"Ayame, apa Sakura sudah pulang?" Naruto tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya ketika memasuki dapur dan mendapati salah satu pelayan tengah sibuk menyiapkan sarapan.
Ayame melirik sejenak sebelum kembali fokus memasak, "Belum. Sepertinya Nona Sakura masih sibuk."
Terdiam. Naruto tak mengatakan apapun lagi. Pikirannya kini tertuju pada pria yang dipastikan masih berada di dalam kamar. Naruto yakin, suasana hati Sasuke pasti jauh lebih buruk dari kemarin.
"Maaf, Nona Naru ... apa Anda bisa memberikan ini pada Tuan Sasuke?" Seorang pelayan lain datang menghampiri seraya mengulurkan sebuah ponsel dengan gestur yang sangat sopan. "Tolong, ya."
Naruto menatap benda tersebut dalam beberapa saat. Itu adalah ponsel Sasuke. Ponsel yang semalam Sasuke lempar ke sembarang arah karena amarah kecilnya terhadap Sakura.
Dalam hati, Naruto mengutuk keteledorannya karena semalam tak segera meraih benda tersebut hingga dia lupa bahwa ponsel Sasuke masih tertinggal di ruang depan.
Dan Naruto paham, mengapa pelayan di hadapannya ini meminta dia untuk memberikannya kepada Sasuke. Sebab, hanya dia yang bisa keluar-masuk kamar pribadi sang majikan setelah Kakashi. Sedangkan kini Kakashi tidak ada di sini.
"Baik. Serahkan saja padaku."
•
•
•
•
•
Daftar kegiatan pagi di hari ini sudah tersusun rapi dalam benak Naruto. Dan karena Kakashi masih belum kembali, Naruto tahu bahwa membangunkan Sasuke serta membantunya beranjak dari ranjang adalah tugas dia sepenuhnya.
Setelah menarik napas cukup dalam, ketukan pun Naruto berikan pada daun pintu seraya berseru meminta izin masuk meski dia sendiri bahkan belum tahu apakah Sasuke masih terlelap atau sudah terjaga.
Naruto mendorong pintu perlahan dengan langkah yang diusahakan tak bersuara karena takut membangunkan sang empu yang rupanya masih memejamkan mata.
Dia masih tidur ternyata.
Tatapan Naruto memindai wajah Sasuke yang sangat tenang sebelum menyimpan ponsel pria itu di atas nakas dan beranjak menuju jendela, menyingkap tirai demi membiarkan cahaya mentari masuk ke dalam ruangan.
Namun ketika berbalik, Naruto dibuat terperanjat melihat kelopak mata Sasuke yang terbuka penuh, menatap lurus ke arah langit-langit kamar.
"Ma-maaf mengganggu tidurmu. Tapi, ini sudah pagi." Naruto berpikir bahwa bangunnya Sasuke bersebab dia yang masuk ke dalam kamar. Padahal nyatanya tidak demikian. Semalam Sasuke hanya tidur sebentar sebelum terjaga hingga sekarang.
Tidak ada sahutan yang Sasuke berikan. Sedangkan Naruto segera meraih kursi roda, menaruhnya di samping ranjang.
"Sakura belum pu--"
"Aku tahu." Kali ini Sasuke menyahut cepat dan lugas. Bahkan sebelum Naruto menyelesaikan ucapannya.
Ya, Sasuke tahu. Istri yang sejak kemarin dia nanti kepulangannya masih tak kunjung tiba di rumah.
Melirik ponsel di atas nakas, Sasuke pun meraihnya untuk menghubungi Sakura. Tetapi, satu pesan yang masuk dari Kakashi membuat niatnya terurungkan seketika.
Cengkeraman pada ponsel mulai menguat berserta rahang yang kian mengeras menahan gelojak amarah.
Tidak mengerti. Sasuke benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh istrinya. Dia sudah memberikan segala hal untuk Sakura. Memberikan apapun yang Sakura pinta. Memenuhi segala keinginan. Memenuhi segala kebutuhan. Namun sekarang, dia mendapat kabar bahwa sang istri melakukan pemotretan?
Sasuke paham, pemotretan itu pasti adalah pekerjaan baru yang Sakura terima. Sasuke juga tahu bahwa sejak lama Sakura memang sering diminta oleh beberapa perusahaan agar menjadi model mereka. Dulu Sakura selalu menolak. Tetapi sekarang, Sasuke tak menduga istrinya akan dengan berani mengambil pekerjaan tersebut yang bahkan tanpa izin darinya sebagai suami.
Naruto sama sekali tidak tahu apa yang tengah Sasuke lihat dalam benda pipih yang tadi dia taruh di atas nakas. Namun, Naruto bisa mengerti hanya dengan melihat netra kelam Sasuke yang kini tampak menajam. Ada sesuatu yang sudah membangunkan amarahnya. Bahkan Naruto percaya ponsel itu akan hancur jika Sasuke terus mencengkeramnya sedemikian kuat.
Layar ponsel tak lagi ditatap. Kini kelopak mata Sasuke terpejam jengah disertai helaan napas berat. Sebisa mungkin Sasuke berusaha menekan emosi yang meluap ingin keluar.
Naruto sudah berniat akan membawa Sasuke berjemur setelah sarapan nanti. Tetapi, melihat suasana hati Sasuke yang begitu buruk membuat Naruto harus mengambil tindakan lain.
"Sepertinya kau masih ingin di kamar, ya?" Naruto berusaha mengerti akan kondisinya. Dia menundukkan kepala dengan sopan. "Kalau begitu, aku pamit keluar. Untuk sarapannya nanti kuantar ke sini."
Tepat ketika Naruto hendak berbalik badan, salah satu tangannya dicekal oleh Sasuke.
"Aku harus mandi." Sasuke berucap lebih dulu sebelum Naruto bertanya.
" .... " Sejenak Naruto terdiam hingga akhirnya dia mengangguk paham dan mulai membantu Sasuke beranjak dari ranjang. Dia melakukannya dengan sangat hati-hati seperti semalam.
Tidak ada lagi yang Naruto lakukan di dalam ruangan itu setelah Sasuke memasuki kamar mandi. Dia juga tak perlu bingung atau cemas tentang bagaimana Sasuke membersihkan diri di dalam sana. Sebab, dia sudah tahu bahwa kamar mandi yang Sasuke pakai telah dirancang khusus untuk penyandang disabilitas.
•
•
•
"Sasuke, kau mau berjemur?"
Naruto memberanikan diri bertanya pada Sasuke yang kini mendorong kursi rodanya sendiri keluar dari ruang makan. Mereka baru saja selesai sarapan.
"Tidak." Tanpa ada keraguan, Sasuke menjawab cepat dengan intonasi datar. Juga, tak berbalik atau melirik. Dia tetap mendorong kursi rodanya memasuki ruangan lain, ruangan yang telah beberapa bulan ini menjadi tempat khusus untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai direktur perusahaan.
Ketidakpulangan Sakura mungkin menjadi salah satu alasan Sasuke terlihat kesal. Namun, Naruto yakin ada hal lain yang membuat raut wajah Sasuke tampak lebih murka. Hal lain yang tadi Sasuke lihat dalam benda pipih di dalam kamar. Ya, Naruto yakin. Penyebabnya bermula dari sana.
Sebenarnya apa yang sudah Sasuke lihat? Dia sangat marah sekarang.
Naruto melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul delapan pagi kemudian memandang ruangan yang mengurung Sasuke di dalamnya. Ini bukan jadwal Sasuke bekerja. Naruto tahu, biasanya Sasuke akan memasuki ruangan itu dan menggarap pekerjaannya sekitar pukul sepuluh.
Paham bahwa Sasuke benar-benar butuh waktu untuk sendiri, Naruto pun segera berbalik menuju halaman rumah demi menikmati kehangatan sang mentari. Dia merasa sangat sayang bila harus melewatkan sinar matahari di waktu pagi. Terlebih tidak ada pekerjaan apapun yang harus dia lakukan karena Sasuke juga sedang ingin sendiri sehingga Naruto berusaha menjauh dari sisinya.
Aku tidak pernah mengira ternyata Sakura sesibuk ini.
Pikiran Naruto melayang pada sosok sang teman sekaligus majikan yang masih tak kunjung pulang.
Apa Sakura tahu bahwa Sasuke sangat mencemaskannya?
•
•
•
Merenung.
Hanya itulah yang Sasuke lakukan ketika memasuki ruang kerja. Mulanya Sasuke memang berniat untuk menggarap pekerjaan demi bisa menenangkan pikiran perihal Sakura. Namun justru, kepalanya terlalu penat untuk dibawa bekerja.
Karena posisi meja kerja yang dekat dengan jendela, Sasuke pun memilih merapatkan kursi roda pada dinding agar bisa menyandarkan kepala. Dan seketika itu juga atensinya sedikit tercuri saat melirik ke arah luar jendela mendapati seorang gadis yang belum lama ini bekerja khusus untuknya tengah duduk di atas bangku kayu.
Pandangan Sasuke tak segera beralih. Iris obisidannya menilik wajah Naruto yang kini kedua matanya terpejam tenang, menikmati hangatnya sinar mentari.
Dan perlahan, Sasuke melakukan hal yang sama. Kelopak matanya mulai menutup disertai napas teratur, berusaha menikmati udara sejuk yang masuk seadanya melalui jendela.
Cukup lama Sasuke melakukan hal tersebut sampai akhirnya dia kembali membuka mata dan hal yang pertama kali dilihatnya adalah bangku kayu yang tampak kosong. Tak ada lagi seorang gadis duduk di atasnya.
Setelah merasa puas larut dalam lamunan sekian lamanya, Sasuke mulai memfokuskan diri pada pekerjaan di dalam laptop serta tumpukan kertas penting di atas meja yang menantinya sejak tadi.
Kendati demikian, bukan berarti dia sudah tenang. Tidak. Hatinya tetap dipenuhi berbagai emosi yang tak menyenangkan, berharap Sakura segera pulang agar mereka bisa berbicara mengenai masalah yang ada.
Tok! Tok!
"Sasuke, boleh aku masuk?"
Perhatian Sasuke terusik ketika ketukan pintu terdengar menginterupsi disertai suara seorang perempuan yang bertanya penuh rasa segan.
"Masuk saja."
Pintu terbuka. Naruto melangkah masuk dengan kesopanan yang berusaha tetap dia jaga.
"Maaf sudah mengganggu, aku hanya ingin mengantarkan ini." Naruto menaruh satu porsi makan siang berserta obat.
"Terima kasih."
Selepas Naruto keluar dari ruangan, Sasuke kembali fokus pada pekerjaan tanpa segera menyantap makan siang yang baru saja gadis itu antarkan.
Sedangkan Naruto sendiri hanya duduk terdiam di dekat ruangan kerja Sasuke untuk berjaga-jaga jika pria itu membutuhkan bantuannya.
•
•
•
Gelisah. Cemas. Kakashi dirundung perasaan gusar setelah bertanya pada Kurenai kapan pemotretan akan selesai dan Kurenai justru memberitahunya bahwa Sakura pergi bersama Sasori sejak satu jam silam.
Sebagai pengawal yang telah dipercaya oleh Sasuke untuk menjaga istrinya, tentu saja Kakashi takut terjadi sesuatu pada sang nyonya Uchiha. Terlebih nomor Sakura sulit untuk dihubungi. Dan hendak saja Kakashi melapor tentang kepergian Sakura yang tanpa sepengetahuannya jika sebuah mobil mewah berwarna merah tak berhenti tepat di hadapannya yang sejak tadi berdiri di halaman parkir studio.
"Nona!" Kakashi spontan berseru ketika melihat Sakura turun dari mobil itu bersamaan dengan seorang pria yang menjadi rekan kerjanya dalam dunia permodelan. "Anda baik-baik saja, kan!?"
"Dia sangat baik-baik saja." Sasori yang menyahut disertai seringai tipis. "Maaf sudah membuatmu cemas. Kami hanya pergi makan malam untuk merayakan keberhasilan pemotretan hari ini."
Kakashi tak lantas mempercayai ucapannya. Dia menatap Sasori penuh selidik.
"Ah, kau boleh memastikannya langsung pada nona-mu itu." Sasori tersenyum penuh makna ketika Sakura menatapnya. "Apa aku menyakitimu, Sakura? Pengawalmu sepertinya menaruh curiga."
Sakura menghela napas. Dan dengan penuh ketenangan dia membenarkan ucapan Sasori perihal makan malam yang mereka lakukan. Sakura juga menekankan pada Kakashi agar tak perlu khawatir karena tak ada hal buruk yang terjadi. Juga selain itu, Kakashi diperingatkan untuk tidak mengatakan apapun kepada Sasuke tentang kepergiannya dengan Sasori.
Sebagai orang asing yang hanya bekerja, Kakashi tentu paham apa yang harus dia lakukan. Dia tak bisa memberitahu Sasuke begitu saja karena dia sadar akan posisinya. Dia bukan siapa-siapa. Tidak ada hak untuknya ikut campur dalam permasalahan mereka.
"Kita pulang sekarang."
Kakashi mengangguk paham, dia membukakan pintu mobil untuk Sakura sebelum dirinya juga turut masuk dan duduk di jok kemudi. Sedangkan Sasori yang masih berdiri di sana hanya melambaikan tangan disertai seulas senyuman.
Perlahan, senyuman itu berubah menjadi seringai penuh makna ketika tatapannya beralih pada sebuah handycam yang tergeletak di atas dasbor mobil.
Sasori meraihnya setelah merogoh juga sebuah benda kecil yang menjadi tempat penyimpanan file-file untuk kamera.
Dengan seringai yang masih terpatri, Sasori memasangkan memori tersebut ke dalam handycam dan tatapannya tampak puas saat mendapati file terbaru dalam kamera tersebut.
Video dirinya dengan Sakura.
•
•
•
Naruto yang semula khawatir Sakura tidak akan pulang lagi di malam ini pada akhirnya bisa menghela napas penuh kelegaan saat melihat sedan putih memasuki halaman rumah.
Akhirnya dia pulang.
Sesungguhnya Naruto sangat penasaran tentang kesibukan yang Sakura jalani hingga nyaris dua hari menghabiskan waktu di luar rumah. Namun Naruto tahu, tidak akan sopan bila dia bertanya tentang hal tersebut. Sehingga kini dia hanya terdiam ketika Sakura dan Kakashi mulai berjalan mendekatinya.
"Kau belum tidur?" Sakura melepas coat tanpa mengalihkan pandangan dari Naruto.
Naruto tersenyum canggung dan menjelaskan mengapa dirinya masih terjaga; karena Sasuke belum tidur. Pria itu masih mengurung diri di dalam ruang kerja. Berkali-kali Naruto memintanya untuk segera beristirahat, tetapi Sasuke menolak dengan alasan sedang banyak pekerjaan. Dan merasa tidak mungkin harus terlelap di saat Sasuke masih sibuk, Naruto pun menahan rasa kantuk yang terus mendera dengan berdiam diri di ruang tengah.
"Masuklah ke kamarmu dan beristirahat." Sakura menyentuh salah satu bahunya disertai senyuman simpul. "Sudah ada Kakashi di sini. Biar dia yang mengurus Sasuke."
Mulanya Naruto hendak menolak karena berpikir bahwa Sasuke adalah tanggung jawabnya. Dia ada bekerja di sini untuk pria itu. Tetapi, saat melirik Kakashi yang membenarkan ucapan Sakura dengan anggukan sopan, Naruto pun menurut. Dia segera meninggalkan keduanya.
•
•
•
Setelah tadi mengetahui perihal sang suami yang masih terjaga di dalam ruang kerja, Sakura pun menarik langkahnya dari ruang tengah.
"Sasuke."
Hal pertama yang Sakura lihat ketika memasuki ruangan tersebut adalah Sasuke yang duduk di atas kursi roda, menghadap penuh pada meja kerja.
Meski tatapan Sasuke masih sepenuhnya mengarah pada layar laptop, tetapi tidak dengan atensinya. Dia sudah tahu Sakura pulang. Bahkan sebelum wanita itu memasuki ruangannya.
"Jika pekerjaanmu sudah selesai, aku akan segera meminta Kakashi membawamu ke kamar."
Perasaan tidak menyenangkan semakin menjejali hati Sasuke. Dia sudah menanti kepulangan sang istri sejak kemarin. Namun ketika kembali ke rumah, tidak ada satu pun kata maaf yang terlontar dari bibir Sakura, seolah ketidakpulangannya kemarin bukan sebuah masalah.
"Dari mana saja kau?"
" .... " Sakura tidak lantas menjawab. Dia masih terdiam, memandang Sasuke yang kini berbalik menghadap padanya disertai tatapan tajam.
Tidak perlu diperjelas. Sakura paham, suaminya sedang dipenuhi amarah.
"Kau serius bertanya seperti itu?" Sebenarnya Sakura tidak ingin berdebat. Namun, mendengar Sasuke yang melempar pertanyaan menjengkelkan membuat dia tak bisa hanya terdiam. "Apa kau masih tidak mengerti juga?"
"Ya, aku memang tidak mengerti." Rahang Sasuke tampak mengeras dengan sorot mata yang semakin tajam, menandakan bahwa pria itu sudah berada di puncak amarahnya. "Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan, Sakura! Tidak cukup 'kah nafkah yang sudah kuberikan?"
" .... " Sakura tahu apa maksud dari ucapan Sasuke. Kabar dari Kakashi tadi pagi perihal pemotretan yang dia lakukan adalah penyebabnya. "Perlu kau tahu, Sasuke. Ini bukan hanya tentang uang."
Sakura berjalan mendekat hingga jaraknya dengan sang suami hanya terpaut satu meter. Dia berseru dengan suara lebih tinggi, "Ini tentang kesenangan dan kesuksesan!"
Kedua tangan Sasuke terlihat mulai mengepal erat. "Aku suamimu. Apa kau--"
"Kau memang suamiku! Tapi, bukan berarti kau bisa membatasi kehidupanku!" Sakura menatapnya pongah. "Aku tidak akan pernah berhenti dari karierku!"
Kelopak mata Sasuke terpejam dalam beberapa saat. Sungguh, dia tak pernah mengekang Sakura atau membatasi pergaulan wanita itu secara berlebihan. Sasuke tetap memberi kebebasan yang wajar. Sasuke tetap mengizinkannya menjadi seorang seniman. Namun, segala yang sudah Sasuke beri seolah tak cukup. Sakura tetap saja mencari kepuasan akan obsesinya pada sebuah karier.
"Kau seorang istri. Tidak seharusnya kau lebih banyak menghabiskan waktumu di luar rumah." Dengan kesabaran yang tersisa, Sasuke mencoba bersuara lebih lembut, berharap wanita yang dia cinta ini mengerti, mampu memahami. "Ada tanggung jawab yang harus kau penuhi, Sakura."
Jika Sasuke mencoba menekan amarah dan menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin, maka lain halnya dengan Sakura. Emosi wanita itu justru terlihat semakin tersulut.
"Lalu, apa gunanya Naruto jika kau terus memaksaku untuk diam di rumah!?" Sakura benar-benar jengkel mendengar Sasuke yang masih saja mempermasalahkan pekerjaannya. Bukankah seharusnya Sasuke bangga memiliki istri seperti dirinya yang sukses di usia muda? "Aku sengaja mempekerjakan dia di sini agar kau tetap terurus di samping semua kesibukanku!"
"Dia hanya orang asing. Tidak semua kebutuhanku bisa dipenuhi olehnya, Sakura."
Sakura menggeram rendah. "Apa yang sebenarnya kau inginkan!? Apa yang tidak bisa dia penuhi!?"
" .... "
"Bukankah yang terpenting adalah kesehatanmu!? Selama ini Naruto sudah bekerja dengan baik!"
Sakura memunggungi. Namun, sebelum melangkah keluar, dia berseru penuh ancaman, "Jika sampai kau membuat dia berhenti bekerja, itu sama dengan kau mengusirku dari rumah ini. Aku benar-benar tidak akan pulang."
Pintu tertutup. Di dalam ruangan itu hanya terdapat Sasuke seorang diri yang kini masih menatap kosong ke depan.
Batin Sasuke sungguh lelah dengan segala konflik yang terus terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.
Apakah ada cara lain untuk membuat Sakura mengerti, berhenti bersikap egois dan berhenti keras kepala? Sasuke hanya ingin hubungan mereka kembali baik-baik saja.
•
•
•
TBC ...
31/Jul/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro