Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3 : Masih Berharap

Sebelum menikah dengan Sasuke, karier Sakura memang sudah cemerlang. Dia adalah wanita yang cantik dan cerdas. Tidak sedikit pria yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya. Dan mungkin, Sasuke adalah pria paling beruntung karena berhasil menggenggam apa yang pria lain sulit untuk meraihnya.

Begitu pula dengan Sakura. Dia juga wanita yang teramat beruntung karena berhasil menarik perhatian pria setampan Sasuke. Pria yang sangat sulit untuk ditaklukkan karena sifat dinginnya. Entah sudah berapa banyak wanita yang dibuat jatuh hati hanya dengan memandang paras rupawannya. Hingga patah hati massal harus dirasakan ketika kabar pernikahan mereka diketahui oleh publik.

Menjadi seorang seniman tidak mudah. Pun, jika ingin karya yang dihasilkan bisa dikenal banyak orang. Dan Sakura tidak mau segala kesuksesan yang sudah dia dapatkan dengan susah payah harus lenyap begitu saja hanya demi menjadi ibu rumah tangga, diam di rumah serta mengurus suami yang sekarang kondisinya sedang cacat. Terlebih, mereka belum dikaruniai anak. Sehingga Sakura rasa, dia tak perlu berpikir dua kali untuk mempertahankan kariernya.

"Hari ini aku harus menghadiri pameran di Kota Ame serta ada beberapa urusan. Mungkin akan pulang larut malam." Sakura membuka suara di tengah-tengah kegiatan sarapan yang sejak tadi cukup hening.

Sasuke masih terdiam, mendengarkan. Begitu pun dengan Naruto di hadapannya.

"Kakashi juga akan menemaniku hingga selesai." Tatapan Sakura mengarah pada Naruto yang juga memandangnya dalam diam. "Jika kau butuh sesuatu, bicara saja pada pelayan di sini, mereka akan membantumu."

"Baik." Naruto paham, Sakura tidak akan meminta Kakashi pulang ke rumah seperti kemarin demi mengontrol pekerjaannya. Dan hari ini dia sebisa mungkin harus mengatasi semuanya sendiri.

Sasuke masih tak berkomentar. Dia sendiri sudah tahu bahwa hari ini akan diadakan pameran besar di Kota Ame. Dia juga sudah menduga Sakura akan hadir. Hanya saja, Sasuke ingin Sakura membatalkan kepergiannya dan menemaninya.

Sungguh, Sasuke sangat rindu pada masa di mana mereka masih sering menghabiskan waktu bersama. Sudah begitu lama mereka tak berbincang hangat layaknya suami-istri. Sudah begitu lama Sakura sangat sibuk dengan dunianya sendiri. Terkadang Sasuke ingin bertanya; tidakkah Sakura juga merasa rindu?

"Apa aku boleh ikut?" Sasuke yang sejak tadi terdiam, akhirnya mulai berbicara. "Aku ingin menemanimu."

Naruto tak bermaksud menguping. Namun, posisinya memang masih di sana, duduk di kursi meja makan. Dia juga tak bisa tiba-tiba pergi begitu saja karena sarapan juga belum selesai.

"Kita punya pekerjaan masing-masing." Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Sakura menyahut dengan intonasi datar. Tidak banyak kalimat yang dia ucapkan. Namun, Sasuke bisa menangkap makna yang terselip di sana bahwa dirinya tidak perlu ikut.

"Aku bisa menunda pekerjaanku." Sasuke belum menyerah. Dia berharap Sakura bersedia ditemani olehnya.

Sakura berusaha abai. Dia segera beranjak dari ruang makan setelah sarapannya selesai. Dan Sasuke dengan tergesa menyusul, bersusah payah mendorong kursi rodanya.

Melihat hal tersebut, Naruto yang merasa harus memenuhi tanggung jawabnya dalam melayani Sasuke pun lantas beranjak pula dari tempatnya. Berlari kecil untuk menggapai kursi roda Sasuke.

Namun, langkah Naruto harus terhenti dan dia harus bersembunyi di balik tembok lain ketika melihat Sakura menatap ketus pada Sasuke. Dan kemudian disusul dengan perdebatan singkat tetapi cukup menyesakkan dada.

"Sakura, bawa aku pergi bersamamu."

"Ini pekerjaanku. Kau tidak perlu ikut campur."

"Aku tahu. Aku hanya ingin menemani--"

"Dan kau sendiri tahu, bukan? Acara itu tidak cocok untuk manusia cacat sepertimu."

Napas Naruto memberat. Dia tak pernah menduga Sakura bisa berucap sedemikian kasar kepada suaminya, kepada seseorang yang seharusnya dihormati.

Dan di tempatnya, Sasuke hanya bergeming dengan netra yang sedikit membola. Kalimat terakhir yang Sakura lontarkan terlalu membuatnya terkejut.

Sesak dan sakit. Dua perasaan itu yang kini berusaha mendominasi hati Sasuke. Namun, Sasuke tetap mencoba berpikir positif bahwa mungkin Sakura berucap demikian karena sedang lelah. Serta mungkin juga Sakura belum terbiasa dengan keadaan yang ada mengingat dulu dia selalu memanjakan Sakura, melakukan apapun demi membuat hati wanita itu senang. Sedangkan kini, berjalan pun harus menggunakan kursi roda.

Sakura, maaf.



Sudah sekitar dua puluh menit sejak perdebatan Sasuke dan Sakura terjadi. Naruto masih belum berani mendekati pria yang kini tengah merenung sendiri di dalam kamar. Naruto hanya mengikutinya dari jarak tertentu. Karena Naruto paham, mungkin Sasuke butuh waktu untuk sendiri.

Tetapi, ada hal yang membuat Naruto tak bisa terus menjauh dari Sasuke. Pria itu belum meminum obatnya sejak tadi. Sehingga mau tak mau, Naruto pun lantas mengetuk pintu kamar, meminta izin untuk masuk.

"Kau belum--"

"Aku tidak ingin minum obat." Sasuke tidak menatapnya. Dia tetap membelakangi Naruto dengan menghadap pada jendela kamar yang terbuka, menjadi akses cahaya mentari masuk ke dalam ruangan itu.

Sejenak Naruto memejamkan mata sebelum menaruh benda yang dibawanya di atas nakas.

"Kau tidak ingin sembuh?"

Sasuke menoleh, menatap Naruto yang rupanya sudah berdiri di sisi kanan.

"Obat itu sudah aku konsumsi sejak lama. Tapi, sampai sekarang kondisiku tetap seperti ini."

Jujur, hati Naruto teriris melihat kondisi Sasuke yang tak sekadar butuh pengobatan dari dokter, namun juga perhatian dari orang-orang di sekitarnya, terutama Sakura. Naruto yakin, semangat yang Sakura beri untuk suaminya pasti akan menjadi obat yang lebih baik dari apapun. Tetapi, melihat apa yang tadi terjadi membuat Naruto sedikit paham bahwa hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja.

Naruto menghela napas pelan kemudian bersimpuh di hadapan Sasuke setelah meraih obat serta segelas air. "Semua butuh proses."

Kini pandangan Sasuke sedikit menunduk karena posisi Naruto yang menjadi lebih rendah darinya.

"Dan kau harus melanjutkan prosesnya untuk bisa sembuh." Seiring dengan ucapan tersebut, Naruto menyerahkan obat serta segelas air yang sejak tadi digenggamnya kepada Sasuke. Namun tak hanya dua benda itu yang Naruto berikan, melainkan juga sebuah senyuman tulus sehangat mentari.

Sasuke terpana. Pandangannya terpaku cukup lama, seolah senyuman serta tatapan yang Naruto beri telah menghipnotisnya seketika.

Akan tetapi, detik kemudian Sasuke kembali dirundung sendu. Mengapa perhatian serta senyuman itu diberikan oleh wanita asing? Wanita yang keberadaannya hanya karena terikat akan pekerjaan. Mengapa bukan Sakura? Mengapa bukan wanita yang telah lama menjadi istrinya?

Tatapan Naruto tampak puas ketika Sasuke meminum semua obatnya tanpa mengeluh apapun lagi. Dan dia segera berdiri tegap kemudian memposisikan tubuh di belakang kursi roda, mendorongnya keluar kamar.

Sasuke bingung. Sebab, dia tak meminta Naruto untuk mengantarnya ke mana pun.

"Mentari pagi bagus untuk berjemur," tutur Naruto seolah mengerti kebingungan yang tengah melanda Sasuke karena tiba-tiba dia membawanya ke halaman rumah.

Naluriah, ketika telah tersorot penuh oleh matahari pagi, Sasuke sontak memejamkan mata demi meresapi kehangatan yang membalut tubuhnya.

Dia juga berusaha memanjakan paru-parunya dengan menghirup udara segar di sekitar. Sedang bibirnya bergerak, melirih samar namun masih mampu Naruto dengar, "Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya."

Sebagai mantan atlet, tentu Sasuke sangat menjaga kesehatannya. Dan Sasuke berkata demikian bukan karena benar-benar tidak pernah, yang dia maksud adalah dia tak pernah dibawa oleh Sakura untuk berjemur dan menikmati udara segar di pagi hari setelah kecelakaan terjadi, setelah kondisinya berubah dari seorang atlet menjadi manusia cacat.

Melihat betapa Sasuke menikmati semuanya, Naruto pun tak kuasa menahan senyuman tanpa melepas pandangan dari wajah Sasuke.

"Kau suka?" Suara Naruto mengalun setelah sekian lama mereka terdiam dalam ketenangan.

" .... " Tidak ada jawaban yang Sasuke berikan. Bibir pria itu kembali terkatup rapat. Namun, iris obisidannya kini menatap Naruto dengan lekat.

Lagi, Naruto melempar senyuman yang tanpa sadar dia sadari begitu tulus nan memikat. Bukan senyuman yang muncul karena keterpaksaan. Bukan pula senyuman yang penuh dengan kepura-puraan.

"Mulai sekarang, kau akan selalu merasakannya.--"

Senyuman Naruto merekah indah, kali ini hingga menampilkan gigi kecilnya yang berbaris rapi.

"-- Karena aku akan membawamu untuk berjemur dan menikmati udara segar setiap pagi."

Sasuke tertegun. Hatinya kembali dilingkupi perasaan sesak menyadari bahwa wanita yang kini berada di sisinya dan memperhatikannya bukanlah Sakura. Bukan wanita yang dia cinta.

Kapan Sakura bisa kembali menaruh perhatian padanya? Kapan Sakura bisa kembali bermanja dalam pelukannya? Kapan Sakura bisa kembali seperti dulu?

Tidak banyak yang Sasuke pinta. Sasuke hanya ingin Sakura selalu ada di sisinya, menemaninya, memperhatikannya dan tidak selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hanya itu. Sasuke butuh sosok sang istri yang bisa menyemangati. Sasuke butuh dukungan sang istri untuk setiap pengobatan yang akan dia jalani.

"Dan kau sendiri tahu, bukan? Acara itu tidak cocok untuk manusia cacat sepertimu."

Sesuatu di balik rongga dada Sasuke berdenyut sakit. Dari sekian banyak perdebatan yang sering terjadi, mungkin hanya kalimat itu yang paling melukai hati.

Namun begitu, Sasuke sama sekali tidak membenci sang istri. Sasuke hanya benci pada dirinya sendiri. Sasuke benci pada kondisinya kini.

Dan Sasuke harap, dengan bekerjanya Naruto bersama mereka bisa sedikit meringankan beban Sakura. Sebab, memang itulah tujuan dia menerima Naruto sebagai 'istri'nya. Sasuke tidak bisa menolak saat Sakura berkata bahwa dia lelah jika harus mengurus semuanya sendirian. Ya, dia akan melakukan apapun demi bisa membuat Sakura nyaman hidup bersamanya.



TBC ...
24/Jul/23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro