Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 - RENCANA


MASA KINI

Iqbal memilih tidak menyusul Acha, ia menangkan diri untuk mendinginkan kepala seperti yang diperintahkan oleh sang pacar. Iqbal juga merasa Acha masih dipenuhi emosi. Iqbal takut jika dia menemui Acha sekarang, mereka semakin bertengkar besar.

Iqbal akhirnya pulang ke Apartmennya, mengendarai mobil pelan-pelan dengan pikiran mulai tak fokus.

Iqbal sesekali melirik ke ponselnya siapa tau Acha menghubunginya. Namun, nihil. Acha sama sekali tak menelfonnya atau mengirimnya pesan.

Iqbal menghela napas panjang, menyesali ucapannya ke Acha.

"Maaf, Natasha."

*****

Di tempat lain, Acha meracau sendiri di kamar, masih kesal dengan Iqbal. Biasanya jika bertengkar dengan Iqbal, Acha akan langsung menangis. Namun kali ini, Acha memang menangis tapi tidak menangis hebat seperti pertengkaran-pertengkaran lainnya. Karena, Acha lebih merasa kesal karena ucapan Iqbal.

"Bisa-bisanya Iqbal bilang gitu!"

Acha mengambil gelasnya dan meneguk air putih sampai habis. Kerongkongannya mendadak kering. Emosi Acha terlalu menggebu-gebu.

"Nggak akan langsung Acha maafin! Biar Iqbal bisa intropeksi diri!"

Acha mengeluarkan ponselnya dari tas, kemudian sengaja mematikannya saat itu juga.

****

Iqbal bangkit dari kasurnya, ia langsung memeriksa ponselnya. Masih tidak ada telfon ataupun pesan dari Acha. Dan, Iqbal tau Acha pasti sangat marah kepadanya.

Iqbal mencoba menelfon Acha, namun ponsel gadis itu dimatikan. Jujur, Iqbal mulai resah saat ini.

Iqbal menghela napas panjang.

"Sebaiknya gue ke rumah Acha."

Iqbal bergegas mandi dan bersiap. Ia ingin menjemput Acha untuk berangkat kuliah bersama sekaligus meminta maaf kepada sang gadis. Iqbal sangat tau dia yang salah.

****

Iqbal tidak bisa menemukan Acha di rumahnya, ketika sampai di depan rumah Acha, Iqbal tetap tidak bisa menghubungi Acha. Iqbal menunggu hingga tiga puluh menit dan tidak melihat Acha keluar rumahnya sama sekali.

"Sepertinya dia hindari gue."

Iqbal yakin Acha sudah berangkat pagi-pagi agar tidak bertemu dengannya. Iqbal dengan berat hati berangkat ke kampus sendiri dengan perasaan gusar dan takut.

Bagi Iqbal, Acha adalah gadis yang baik, sabar dan selalu mengerti dirinya. Bahkan, Acha tidak pernah marah kepadanya. Namun, jika Acha sudah marah, sangatlah menakutkan bagi Iqbal. Karena, untuk meminta maaf ke Acha butuh perjuangan lebih, seperti saat ini.

****

Iqbal masuk ke dalam kelas, benar saja Ia menekukan Acha sudah duduk dengan teman-teman ceweknya dan sedang bercengkrama dengan mereka. Gadis itu tidak duduk di kursi yang biasanya ia duduki di sebelah Iqbal.

Bahkan saat tatapanya berpapasan dengan Acha, Iqbal ingin menyapa duluan tapi gadis itu langsung membuang muka, tidak memberi kesempatan bagi Iqbal.

Iqbal lagi-lagi hanya bisa menghela napas pasrah. Iqbal tidak ingin memperbesar masalah atau bertengkar di kelas. Iqbal memilih segera duduk di kursi belakang, membiarkan Acha duduk bersama teman-teman ceweknya.

Pandangan Iqbal tidak lepas sama sekali dari sang gadis. Iqbal ingin segera menyelesaikan pertengkarannya dengan Acha. Sangat tidak nyaman buat Iqbal.

"Kak."

Iqbal terkejut dan langsung menoleh ke samping. Ia menemukan Tesya yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya.

"Tumben duduk sendiri?" lanjut Tesya merasa aneh. Tak biasanya Iqbal dan Acha duduk terpisah.

Iqbal hanya mengangguk singkat.

"Iya," balas Iqbal seadanya.

Tesya mengerutkan kening, merasa semakin aneh. Tesya menatap Acha sesaat yang seolah tak peduli dengan Iqbal, kemudian memperhatikan Iqbal. Tesya mendapati sorot mata Iqbal cukup gusar.

Tesya mengangguk-angguk paham.

"Bertengkar sama Kak Acha?" tebak Tesya.

Iqbal lagi-lagi hanya bisa mengangguk pasrah.

"Iya."

"Karena?"

"Gue," jawab Iqbal.

Tesya terkekeh pelan mendengar jawaban Iqbal yang menurutnya sangat jujur.

"Lo berbuat salah apa?" tanya Tesya ingin tau.

Iqbal menoleh kembali ke Tesya, sedikit ragu untuk bercerita kepada gadis itu atau tidak. Namun, Iqbal tau Tesya sangat dekat dengan Acha. Iqbal berpikir siapa tau Tesya bisa membantunya.

"Gue akan bantu lo, buruan cerita!" tambah Tesya dapat menangkap keraguan dari sorot mata Iqbal.

Iqbal langsung mengangguk cepat. Dia pun mulai bercerita dari awal permasalahannya dengan Acha.

"Gue terlalu kalut dan lelah semalam," akuh Iqbal mengakhiri ceritanya.

Tesya menghela napas berat, geleng-geleng mendengar pertengkaran Iqbal dan Acha.

"Nggak besar sih sebenarnya permasalahannya. Hanya saja, sepertinya Kak Acha terlalu kesal sama lo, Kak," simpul Tesya.

"Iya, gue tau."

"Terus rencana lo mau minta maaf gimana?"

"Nggak tau."

Tesya melebarkan matanya, kaget mendengar jawaban Iqbal.

"Kak Acha hindarin lo?" tebak Tesya lagi setelah mendengar jawaban pasrah seorang Iqbal.

"Iya."

"Telfon nggak diangkat?"

"Iya."

"Pesan lo nggak dibales juga?"

"Iya."

"Lo mau nggak kerjain tugas gue?"

"Iya... Hah?"

Tesya tertawa karena kebodohan sang kakak kelas itu. Iqbal hanya fokus menatap Acha dan mengiyakan pertanyaannya.

Tesya melihat Iqbal sedikit kesal kepadanya dan memberikannya tatapan tajam.

"Makanya kalau jawab itu jangan iya, iya, aja!" cibir Tesya.

Iqbal menghela napas pelan dan kembali menatap Acha yang sama sekali tak mempedulikannya. Bahkan, berbalik ke belakang saja tidak sama sekali.

"Gue harus apa?" tanya Iqbal meminta bantuan.

Tesya berdeham pelan, mencoba berpikir cepat.

"Beliin aja boneka sapi, pasti langsung dimaafin."

Iqbal tertegun sesaat, hal penting yang ia lupakan.

"Bener juga."

"Kak Acha kalau dikasih uang seratus juga atau boneka sapi, gue yakin dia akan lebih pilih boneka sapi. Jadi, untuk sekarang boneka sapi adalah jalan terbaik sambil minta maaf ke Kak Acha!" jelas Tesya.

Iqbal mengangguk setuju.

"Lo bisa bantu gue, nggak?"

"Dengan senang hati. Bantu apa?"

"Lo ajak Acha ke rumah lo."

Tesya mencerna sejenak ucapan Iqbal.

"Gue ajak Kak Acha ke rumah gue, terus Kak Iqbal susuk kesana dan kasih boneka sapinya di sana?" tebak Tesya sangat akurat.

"Iya."

Tesya langsung mengangkat jempolnya.

"Oke, gue akan bantu. Tapi..." Tiba-tiba Tesya menggantungkan ucapannya.

"Tapi apa?"

"Nggak gratis."

Iqbal mendesis pelan, sudah curiga saat gadis itu terus mengiyakan permintaannya tanpa berpikir panjang.

"Mau apa?" tanya Iqbal malas basa-basi.

Tesya tersenyum senang. Ia sedikit mendekatkan tubuhnya dan berbisik pelan ke Iqbal.

"Bantu gue kumpulin bahan untuk flip chart minggu depan. Setuju?"

Iqbal langsung mengangguk, bukan tugas yang sulit juga.

"Oke, gue bantu flip chart lo."

Tesya bersorak senang, akhirnya dia bisa sedikit bernapas lega, karena Tesya yakin dengan bantuan Iqbal tugasnya kali ini akan lebih cepat selesai.

Tesya menepuk pelan bahu Iqbal.

"Kak Acha akan ada di rumah gue nanti sore. Kak Iqbal tinggal siapin boneka sapi aja."

Iqbal mengangguk pelan, ia kembali menatap ke dapan, lebih tepatnya memperhatikan sang pacar lagi. Iqbal sangat berharap rencananya dan Tesya berhasil. Iqbal benar-benar berharap Acha akan memaafkannya.

Iqbal sangat tidak nyaman bertengkar seperti ini dengan Acha. Hatinya terus gusar dan takut.

"Semoga semuanya lancar."

*****

Tesya melihat Acha yang keluar dari kelas, ia buru-buru mengejar Acha tak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Tesya langsung merangkul bahu Acha.

"Kak Acha mau langsung pulang?" tanya Tesya berusaha bersikap biasa seperti biasanya.

Acha sedikit terkejut awalnya, namun detik berikutnya senyumnya mengembang.

"Iya, Tesya," jawab Acha, ramah.

"Kak Acha ada acara nggak habis ini?"

"Nggak ada. Kenapa Tesya?"

"Mau main ke rumah gue, nggak? Gue lagi sendirian di rumah dan malas banget kalau nggak ngapa-ngapain. Kalau ada Kak Acha kan kita bisa curhat-curhat sambil makan," ajak Tesya.

Acha termenung sebentar, mempertimbangkan tawaran Tesya.

"Mau ya, Kak. Gue lagi butuh temen, pengin curhat tentang Kak Jehan," lanjut Tesya memelas.

Acha pun mengangguk setuju, tidak tega melihat wajah sedih Tesya.

"Oke, Acha mau."

Tesya bersorak senang, satu rencananya berjalan lancar.

"Makasih ya, Kak. Ayo kita langsung ke rumah gue."

Keduanya pun segera berjalan ke parkiran sambil bercanda. Dari kejauhan, Iqbal terus memperhatikan keduanya. Iqbal sedikit lega Acha mau ikut dengan Tesya, setidaknya mempermudahkan dia bertemu Acha setelah ini.

*****

Acha menikmati jus jeruk yang diambilkan oleh Tesya. Pandangan Acha mengedar keseisi ruang tamu rumah Tesya, Acha tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat rumah Tesya yang memiliki interior sangat mewah.

Ternyata benar rumah Tesya anak orang kaya, bisa dilihat dari rumah mewah Tesya. Dan, ini untuk pertama kalinya Acha bermain ke rumah Tesya.

"Kak, gue mau ganti baju dulu nggak apa-apa, kan?" tanya Tesya meminta izin.

"Iya Tesya. Nggak apa-apa."

"Gue delivery makanan, nanti kalau sudah sampai dan gue belum turun. Kak Acha ambilkan dulu boleh? Satpam di rumah lagi izin servis motor."

Acha tersenyum dan mengangguk tanpa ragu.

"Boleh Tesya."

"Oke, Kak. Kalau ada bel rumah bunyi, Kak Acha langsung keluar aja dan ambil makanannya. Gerbang rumah juga enggak dikunci Kak."

"Iya, Tesya."

Setelah itu Tesya bergegas naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Tanpa diketahui Acha, Tesya langsung menelfon Iqbal dan meminta cowok itu untuk segera datang melanjutkan rencana mereka.

****

Acha menghela napas panjang, jujur seharian ini sebenarnya Acha tidak bisa fokus. Acha sangat khawatir sekaligus merindukan Iqbal. Namun, rasa kesal Acha masih terasa. Acha hanya ingin sedikit memberikan ruang untuk Iqbal agar bisa intropeksi dan tidak mengulangi lagi kesalahannya.

Bahkan saat di kelas tadi, Acha menahan dirinya agar tidak melihat ke Iqbal. Rasanya sangat susah.

"Acha kangen Iqbal," lirih Acha.

Acha mengeluarkan ponselnya yang masih ia matikan. Ingin rasanya Acha menyalakannya, namun Acha hanya bisa menahannya. Ia merasa belum saatnya untuk menelfon Iqbal.

Suara bel rumah menyadarkan Acha dari lamunan. Acha sontak segera berdiri dan berjalan ke pintu rumah.

Perlahan, Acha membuka pintu di hadapannya. Dan, saat pintu itu terbuka, tubuh Acha langsung membeku di tempat dengan kedua mata melebar sempurna. Acha sangat terkejut melihat sosok Iqbal berdiri di hadapannya dengan membawa boneka sapi.

"Cha," panggil Iqbal pelan.

Acha sedikit memundurkan langkahnya, otaknya mencerna semua kejadian hari ini. Akhirnya Acha menyadari bahwa Tesya dan Iqbal bersekongkol agar Iqbal bisa menemuinya.

"Iqbal ngapain kesini?" tanya Acha dengan nada cueknya.

"Minta maaf," jawab Iqbal tanpa ragu.

Acha menghela napas berat, ia mengalihkan pandanganya ke arah lain.

"Acha masih kesal sama Iqbal," balas Acha dingin.

"Sampai kapan kesalnya?"

"Nggak tau!"

"Gue beneran minta maaf."

Acha kembali menatap Iqbal, lebih tajam.

"Iqbal tau kesalahan Iqbal apa?"

"Iya, tau."

"Apa?"

"Gue lampiasin emosi gue ke lo."

Acha mendecak pelan, mengingat kejadian semalam membuat emosinya kembali naik.

"Acha nggak suka Iqbal bicara dengan nada tinggi kayak kemarin! Acha nggak suka Iqbal tiba-tiba marah dengan ucapan kasar kayak kemarin!"

"Iya, gue tau. Gue salah."

"Jelas Iqbal salah! Dan, Iqbal harus perbaiki sifat Iqbal yang seperti itu. Nggak sekali ini aja Iqbal kayak gini."

"Gue minta maaf, Acha."

"Setelah minta maaf bakal diulangi lagi, nggak?" sinis Acha.

Iqbal diam, mencari jawaban yang tepat. Iqbal dapat melihat emosi Acha masih berkobar seperti semalam. Gadis itu masih belum tenang.

"Cha, gue sedang berusaha." Iqbal mencoba untuk tidak terpancing dan tetap tenang. Tujuannya hari ini, Acha harus memaafkannya.

Acha diam sejenak, tatapanya beralih ke boneka sapi yang masih ada di tangan Iqbal. Acha langsung merebut boneka sapi tersebut dari Iqbal, membuat Iqbal sedikit kaget.

"Kalau Iqbal sudah tenang, baru samperin Acha lagi," ucap Acha berniat beranjak.

Iqbal langsung menahan lengan Acha, menahan sang gadis.

"Gue sudah tenang, Cha."

Acha melepaskan tangannya, kemudian memberikan sorot mata yang cukup tajam ke Iqbal.

"Belum!"

Acha langsung masuk dan menutup pintu rumah Tesya dengan sedikit keras. Acha tidak memberikan kesempatan kepada Iqbal untuk berbicara lagi kepadanya.

Acha menghela napas panjang, hatinya terasa sakit. Jujur, Acha tidak tega sebenarnya. Namun, ia merasa harus melakukan ini demi hubungan mereka.

Acha menatap boneka sapi yang sudah dipeluknya dengan erat. Sorot mata Acha berkaca-kaca.

"Maafin Acha, sapi. Acha belum bisa maafin Iqbal."

*****

Di depan pintu, Iqbal masih terdiam dengan napas beratnya. Iqbal menatap pintu di hadapannya dengan tatapan semakin gusar.

"Gue harus gimana sekarang?"

Dengan terpaksa, Iqbal berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya. Ia harus mencari rencana lain agar Acha bisa memaafkannya.

*****

Acha melihat Tesya turun dari tangga dengan senyum canggung dan kedua tangan tertangkup.

"Kak Acha maaf, gue hanya ingin bantu Kak Iqbal biar bisa dimaafin Kak Acha," jujur Tesya merasa tidak enak kepada Acha.

Acha tersenyum kecil, sangat paham dengan niat Tesya.

"Iya Tesya nggak apa-apa."

"Kak Acha nggak marah, kan?"

"Enggak Tesya."

"Makasih Kak Acha."

Tesya bernapas lega, ia semakin mendekati Acha. Tesya melihat boneka sapi yang dipeluk oleh Acha.

"Kak Acha belum maafin Kak Iqbal?" tanya Tesya hati-hati.

Acha menggeleng.

"Belum."

"Kenapa?"

"Acha ingin beri ruang untuk Iqbal agar lebih sadar dengan kesalahannya semalam. Acha nggak ingin kejadian semalam keulang lagi."

Tesya mengangguk-angguk mengerti. Ia pun memilih tidak ingin memaksa Acha. Tesya merangkul bahu Acha, mencoba memberi dukungan untuk Acha.

"Gue doain semoga Kak Acha dan Kak Iqbal bisa segera baikan, ya."

****

Acha akhirnya sampai di rumah. Setelah membersihkan tubuhnya dengan air hangat, Acha langsung mengganti bajunya dengan piama. Setelah itu, Acha langsung merebahkan tubuhnya di kasur.

Acha menoleh ke samping, melihat boneka sapi pemberian Iqbal terbaring tak berdaya. Acha segera meraihnya dan memeluknya erat.

"Acha kangen Iqbal," lirih Acha.

Toktok!

Suara pintu kamar diketuk dari luar.

"Masuk," seru Acha.

Pintu kamar perlahan dibuka oleh Kirana, sang Mama. Kirana masuk ke dalam kamar Acha sembari mengembangkan senyum.

"Ada yang cari kamu di depan rumah," ucap Kirana.

Acha segera bangkit dari kasur.

"Siapa? Iqbal?" tebak Acha dengan nada sedikit sebal.

Kirana terkekeh mendengar suara kesal Acha. Kirana tau Acha sedang bertengkar dengan Iqbal, karena semalam Acha sempat cerita ke Kirana.

"Lihat aja sendiri," suruh Kirana.

"Acha masih nggak mau ketemu Iqbal."

"Emang nggak kangen?" goda Kirana.

"Kangen banget! Tapi Acha masih belum pengin maafin Iqbal!"

Kirana menghela napas pelan, berusaha mengerti.

"Bukan Iqbal, Cha."

Acha tertegun kaget. Ia menatap Mamanya mencari kejujuran di sana.

"Bukan Iqbal?" tanya Acha memastikan sekali.

"Bukan."

"Terus siapa?"

Kirana hanya tersenyum tipis tanpa menjawab, membuat Acha penasaran. Acha pun bergegas berdiri dan berjalan menuju pintu rumahnya yang terbuka.

Acha akhirnya bisa melihat jelas seorang cowok yang tengah duduk di kursi teras rumahnya. Acha cukup kaget melihat keberadaan cowok tersebut.

"Glen."

*****

#CuapcuapAuthor

Bagaimana part ini? Semoga selalu suka dan selalu baca Our Mariposa ya.

Jangan lupa kasih vote dan komen juga biar aku semakin semangat update lagi.

Terima kasih banyak teman-teman pembaca untuk semua supportnya. Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love u all.

Salam,

Luluk HF

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro