Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#02

Salsa menuruni anak tangga rumahnya dengan tergesa-gesa. Matanya melirik arloji putih, yang melingkar di pergelangan tangan. Berdecak kesal ketika sadar ia akan terlambat masuk kuliah. Karena waktu sudah menunjukan pukul 08:50 pagi.

"Ayda," panggil Salsa, setelah ia berhasil menuruni tangga dengan selamat.

"Gue di sini!" teriak Ayda di arah ruang makan.

Salsa lantas berjalan untuk menemui Ayda. Ia berdecak sebal, ketika menemukan gadis bermata bulat itu tengah sarapan dengan hikmad di meja makan.

"Ay, kita udah telat ini. Kenapa masih sarapan aja?" tanya Salsa seraya mendudukan dirinya di samping Ayda.

Ayda melirik Salsa sekilas. "Telat apa?"

"Ayda!" jerit Salsa, gemas sendiri dengan tingkah teman satu rumahnya itu.

Ayda tersenyum geli melihat ekspresi Salsa, yang tengah menahan diri agar tidak menumpahkan amarahnya. Sejurus kemudian Ayda menatap Salsa dengan datar. Tangan kanan gadis itu, mendarat sempurna di kening Salsa.

"Hhmm, gak panas," kata Ayda, seolah tengah memeriksa pasien.

Sontak saja Salsa langsung menepis tangan mungil Ayda, dari kening mulusnya. "Paan sih, orang gak sakit juga!"

Ayda terkekeh geli, lantas menyimpan sendok yang sedari tadi ia anggurkan di tangan kirinya.

"Gue rasa elo sakit, karena nahan kangen sama suami lo, yang gak pulang selama tiga hari ini," kata Ayda menyimpulkan.

Salsa hanya membalas itu dengan dengusan. Yang lantas membuat Ayda tergelak. Tidak lucu!

"Makanya sama suami tuh, jangan galak-galak, Oneng!"

"Isshh berisik!" Salsa memutar bola matanya malas, nada juteknya pun tidak bisa ia kontrol. Mood-nya masih belum baik, harusnya Ayda tidak membahas Imam dalam waktu dekat ini. Walau Imam suamiku.

Sahabat Salsa itu hanya mengedikan bahu tak acuh. Detik selanjutnya gadis yang sering disapa Ay itu, menangkup dagu dengan kedua tangan, yang bertumpu di meja makan. Ayda menatap Salsa dengan lekat.

"Gue tau elo gak bisa nerima semua kenyataan ini." Ayda menghembuskan napas lelah, yang diajak bicara duduk di sampingnya. "Tapi Sa, dia tetep suami lo. Adalah kewajiban elo sebagai seorang istri untuk mematuhi Imam."

Salsa diam tergugu, mencoba untuk mencerna ucapan Ayda. Salsa sadar akan hal itu. Hanya saja ia belum bisa menerima sumua hal yang terjadi padanya dengan hati lapang.

"Dan Mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajiban menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. [Al-Baqarah: ayat 228]." Ayda mengusap tangan Salsa. "Rasulullah shallallaahu ‘alaihiwa sallam bersabda: Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.”

Salsa memejamkan matanya beberapa detik, lalu kembali melihat sahabatnya. "Gue tau gue salah. Tapi, Ay. Fariza...?"

"Gak mungkin Imam nikahin elo secara sah di mata agama dan hukum, kalo istri pertamanya a.k.a Fariza, gak tau tentang ini."

Salsa membuang muka ke arah samping kiri, lalu tersenyum getir. Salsa memang berharap perkataan Ayda benar adanya. Tapi, kalau Fariza tau. Kenapa Fariza dan Indri tidak turut hadir diacara pernikahannya.

"Kita bisa berangkat sekarang kan, Ay? Udah telat," kilah Salsa, berusaha menghindari obrolan tadi.

"Elo terlalu banyak mikirin Imam deh." Ayda terkekeh diakhir kalimatnya.

"Apaan sih?"

"Ini hari rabu, sayang. Kita gak ada kelas sampe nanti siang."

"Heh?" Salsa bengong. "Iya gitu? Kok gue gak tau sih?"

▪ ▪ ▪

Seorang wanita cantik, terlihat tengah duduk di tepi ranjang–di kamarnya. Menatap bingkai foto, yang berdiri di nakas dekat tempat tidur. Dalam foto itu, terdapat empat perempuan SMA dan seorang lelaki . Empat perempuan berwajah ceria, dan satu lelaki berwajah masam.

Itu adalah foto Fariza bersama dengan keempat sahabatnya, ketika masih berada di sekolah menengah. Fariza lantas menyentuh foto itu, dan tersenyum kecil.

Di foto itu, Salsa dan Fariza tampak tersenyum senang, karena berhasil menyeret Imam–guru les privat Fariza–untuk berfoto bersama. Sedangkan Indri dan Ayda tersenyum jahil, karena berhasil membuat Imam kesal setengah mati.

Jika mengingat masa-masa itu, Fariza selalu ingin kembali ke masa itu. Merasakan bahagia bersama keempat sahabatnya. Dulu mereka sangat dekat, sampai akhirnya terjadi perpecahan. Keempat perempuan dalam foto itu berselisih paham, sampai akhirnya Imam memutuskan untuk menjauh dari keempat perempuan itu–setelah berhasil membuat mereka berbaikan.

Fariza sangat ingat, waktu itu Imam memilih menjauh. Karena lelaki itu tau penyebab Fariza dan sahabat-sahabatnya berselisih paham, adalah karenanya.

Fariza dan tiga sahabat perempuannya kehilangan kabar dari Imam, setelah Imam lulus. Dan akhirnya mereka bertemu kembali satu tahun yang lalu. Namun dengan banyaknya perbedaan, kembalinya Imam pun tak lantas membuat mereka bisa bersama seperti dulu lagi.

"Sayang," panggil lelaki, yang sedari tadi memperhatikan Fariza.

Dia Imam. Lelaki di dalam foto itu, guru les privatnya dulu dan kini adalah suaminya.

Fariza mendongak, lalu menatap Imam dan tersenyum manis pada suaminya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kamu gak kuliah? Kenapa belum siap-siap?"

Fariza berdiri dan mendekati suaminya dengan senyum manis. Tangan mungilnya, kini membantu Imam memakaikan dasi.

"Enggak, aku kuliah nanti siangan," jawab Fariza sekenanya.

Imam hanya menganggukan kepalanya, seraya tersenyum manis pada sang istri.

"Kamu... kenapa gak pulang ke rumah istri kedua kamu?" tanya Fariza dengan hati-hati.

Senyum Imam luntur seketika. Lelaki itu menatap Fariza dengan tatapan tidak suka. "Aku sudah bilang kan, kalo kita lagi berdua. Gak boleh ada obrolan tentang orang lain?"

"Tapi dia bukan orang lain, dia istri kamu," bantah Fariza dengan nada luar biasa lembut. Tidak terpengaruh oleh nada tidak suka suaminya.

"Zaa...." Terdengar nada permohon, ketika Imam berusaha mengingatkan Fariza.

Bukan Imam tidak ingin membicarakan Salsa. Akan tetapi, Imam takut pembahasan mengenai 'istri kedua' melukai hati Fariza. Imam pun takut khilaf menyebut nama Salsa.

Ya, Fariza Aisyah tidak tahu atau lebih tepatnya memilih untuk tidak mengetahui siapa madunya. Bukan tanpa alasan Fariza hanya tidak mau tersakiti terlalu dalam. Walau sebenarnya dialah yang meminta Imam untuk menikah lagi dengan alasan tidak ingin membatasi Imam dengan terikatnya mereka dalam pernikahan yang telah diatur oleh para orang tua.

"Aku cuma mau kamu berlaku adil. Kamu udah tiga hari di sini, padahal sebelumnya kamu cuma nginap satu hari di rumah istri kedua kamu."

Imam menatap Fariza dengan lekat. Ternyata benar apa yang dikatakan Salsa. Fariza memiliki hati selembut sutra, Fariza bukan wanita yang egois, selalu bisa bersikap dewasa, dan selalu baik pada siapapun. Termasuk pada wanita yang kini menjadi madunya.

Bolehkah Imam mengatakan, kalau ia semakin jatuh hati pada wanita cantik di depannya itu?

Imam menggenggam tangan Fariza, dan menciumnya dengan penuh kelembutan, dan penuh kasih sayang. Ia tidak akan pernah menyesal telah menikah wanita di depannya walau mereka bersatu karena sebuah perjodohan.

"Terima kasih," bisiknya.

"Untuk apa?" tanya Fariza.

"Untuk semuanya."

Lalu Imam menarik tubuh mungil Fariza ke dalam pelukannya, dan membisikan seauatu di telinga Fariza. Setelahnya Imam tersenyum jahil, dan mencium kening Fariza.

"Imam!" jerit Fariza.

Entah apa yang dibisikan Imam, sampai membuat Fariza berontak ingin lepas dari pelukan suaminya itu.

"Apa, sayang?" tanya Imam, seraya tersenyum menggoda.

Melihat senyum itu, sontak saja pipi Fariza langsung memerah. Dan itu justru semakin membuat Imam semakin menjadi menggoda istrinya.

Keduanya tertawa bersama. Untuk sejenak mereka ingin menikmati pagi yang indah ini, dengan tawa bahagia. Dan melupakan masalah yang ada. Bahkan mereka melupakan hati yang saat ini tersakiti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro