꒰𖡄꒱ Di Bawah Hujan Dan Tiang Lampu
Sutan menghela napas. Ah, kakeknya mendesak dan ini cukup membuat Sutan tertekan. Ia tidak mungkin menikahi Gojo yang baru ia temui sebanyak tiga kali. Mereka belum saling mengenal lebih dalam. Bagaimana jika mereka menikah lalu ada sikap Gojo yang tidak membuat Sutan nyaman ataupun sebaliknya?
"Kakek." Sutan menatap Sang Kakek. "Bagaimana kalau aku mengenalnya lebih dulu?"
"Asal kau mau menikahinya."
Dia tetap bersikeras, batin Sutan. "Berbeda dengan Kak Shoko, aku tidak mengenal Gojo-san sama sekali, bahkan Kak Shoko yang sudah lama mengenalnya pun menolak untuk menikahinya." Sutan melangkah mendekat. Ia berdiri di depan meja kerja Sang Kakek. "Biarkan aku mengenalnya lebih dulu."
"Lalu kau langsung menikahinya?" desak Sang Kakek.
Sutan menggigit bibir bawah. Ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Dia ingin mencoba, mungkin saja benar mereka cocok. Namun, bagaimana jika tidak? Sutan harus menolak jika ia merasa tidak sejalan dengan Gojo.
"Hei, jangan terlalu menekan keponakanku," kata Haruto. Ia mendekat sambil mengibaskan tangan. "Setidaknya dia mau mencoba mengenal anak putih itu."
"Hmm." Sang Kakek berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah, tapi kau harus ingat, Sutan. Hanya ada satu pilihan."
Sutan menghela napas. Perkataan terakhir kakeknya memang agak mengganggu, tapi setidaknya dia terbebas dari suasana mendesak tadi. Ia membungkuk singkat sebagai tanda permisi, lalu beranjak untuk keluar dari ruang kerja Sang Kakek. "Paman, ayo pergi," ajak Sutan. Ia berhenti di samping Sang Paman.
"Pergilah duluan. Paman mau bicara dengan kakekmu." Haruto melambai sambil tersenyum lebar. Ia melihat Sutan mengangguk dan melanjutkan langkah.
Setelah Sang Gadis keluar dari ruangan. Haruto langsung menghela napas panjang. Sejujurnya, suasana tadi juga cukup menekan Haruto. Padahal, bukan dia yang mengalami.
"Haruto," panggil Sang Kakek dengan suara serak khas orang tua. "Aku sudah mengikuti kemauanmu untuk menjodohkan Gojo dan Sutan. Namun, kenapa kau harus membawa Shoko masuk dalam rencanamu?"
Haruto menyeringai. Ia bersedekap. "Aku sudah 'melihat' Shoko-chan akan meninggal hari ini dari beberapa minggu lalu. Aku berani memintamu untuk menjodohkannya dengan Gojo sebentar karena tahu akan hal itu. Tentu saja untuk membuat keponakanku tidak terlalu curiga."
Sang Kakek menghela napas. Ia tahu akan kemampuan yang dimiliki Haruto. Pria bermata hijau itu ... dia yang melihat hari kematian putrinya di masa lalu, ibu Sutan. Namun, Haruto hanya melihat, tidak bisa menghentikan karena itu menyangkut kematian seseorang.
Ada satu hal yang tidak bisa diubah dalam takdir. Kematian. Haruto yang mendapat vision tidak bisa mengganggu itu. Entah meninggal karena sakit ataupun kecelakan yang berakhir kematian. Namun, musibah yang tidak akan merenggut nyawa seseorang dapat diubah, seperti yang Haruto lakukan untuk menyelamatkan Sutan di hari Valentine.
"Aku tidak mengerti. Untuk apa kau melakukan itu, Haruto? Aku sampai mengungkit janji lama dengan temanku." Sang Kakek menghela napas.
Haruto tersenyum hingga kedua matanya tertutup.
🕊 ˚✧ ₊˚ʚ
"Wah ... hujan." Sutan mendongak. Melihat langit malam tanpa bintang karena awan gelap. Ia sekarang berada di area pemakaman. Banyak orang yang sudah pulang setelah memakamkan Shoko. Sutan memilih untuk tinggal lebih lama hingga tidak sadar hujan turun. Ia menghela napas. Untuk terakhir kalinya dia menatap pemakaman Shoko. Tersenyum kecil dan mengatakan selamat tinggal. Sutan melangkah santai di bawah hujan. Yah, dia sudah terlanjur basah dan tidak ada tempat berteduh. Untung saja dia membawa kendaraan sendiri. Sutan memperhatikan langkahnya di permukaan beton. Saat mendekati tiang lampu, Sutan dapat melihat pantulan dirinya di air. Tampak sedikit berantakan. Ia terus berjalan, hingga berhenti saat sepasang sepatu pantofel pria ada di hadapannya.
"Sutan?"
Sang Gadis mendongak. Mendapati Gojo memegang payung berwarna biru di bawah cahaya lampu. Setelan jas hitam menempel di tubuh kekar pria itu. Namun, karena basah, kemeja putih yang Gojo kenakan sedikit mencetak perut dan dada bidangnya.
"Halo, Gojo-san," sapa Sutan pelan sambil mengalihkan pandangan ke kacamata Sang Pria. Ia tersenyum kecil. "Kita bertemu lagi."
Gojo diam. Ia mengarahkan payung ke arah Sutan hingga menahannya di pundak gadis itu. Sutan tampak kaget dan sepertinya hendak menolak. Gojo langsung mensejajarkan wajah mereka sembari tersenyum miring.
"Gojo-san, kau jadi basah. Ambil payungmu kembali. Aku tidak apa-apa karena sudah terlanjur kena air hujan," kata Sutan. Ia berusaha mendorong payung itu, tapi sia-sia. Tangan Gojo menahan pegangannya terlalu keras hingga Sutan tak mampu menggerakkan benda itu.
"Kau terlihat sedih banget, ya. Shoko sangat dekat denganmu?" tanya Gojo tiba-tiba. Dia menilik wajah cantik Sutan. Mata memerah beserta kelopak mata dan hidung. Bibir pucat hampir menyamai warna kulitnya, mungkin karena hawa dingin.
"Ah, iya." Sutan mengangguk. "Aku kehilangan kakak perempuanku. Tentu saja aku sedih sekali."
"Heee." Gojo menegakkan tubuh. "Kau tidak takut sendirian di sini?"
Sutan menggeleng. "Tidak ... aku bisa menjaga diri."
"Begitu, ya." Gojo tersenyum dan berbalik. "Pakai payung itu, kalau tidak mau buang saja." Ia melangkah duluan.
"Kau yang harusnya pakai Gojo-san!" Sutan segera menyamai langkah Gojo. Kini mereka berjalan beriringan. "Pakaianmu tadi masih kering. Harusnya kau tidak memberiku payung ini." Sutan menyerahkan pelindung hujan itu pada Gojo.
"Aku tidak mau. Aku sudah basah kuyup," kata Gojo tanpa melihat Sutan. Ia fokus menatap ke depan, banyak pemakaman dan tiang lampu.
Sutan menghela napas, lantas menutup payung itu. "Kalau begitu, kita sama-sama basah saja."
Suara hujan menghantam jalan beton begitu keras, terlebih angin yang cukup kencang menggoyangkan pepohonan. Suasana yang cukup menyeramkan. Namun, Sutan dan Gojo tetap melangkah santai. Mereka tidak kesusahan melihat jalan berkat tiang lampu.
"Gojo-san suka pakai kacamata, ya?" tanya Sutan tiba-tiba. Ini adalah pertemuan keempat mereka, tapi Sang Gadis tak pernah melihat warna mata si pria.
"Aku pakai kacamata saat mau saja, sih." Gojo tersenyum.
"Hmm." Sutan mengangguk. "Apa Kak Shoko berteman denganmu sejak SMA?"
"Betul! Saat SMA, aku berteman dengan dua orang. Salah satunya Shoko, tapi enggak terlalu dekat, sih. Dibandingkan yang satu itu ...."
Sutan agak merinding. Suara Gojo di akhir kata agak merendah dan terkesan dingin. Kenapa dia seperti itu? Pasti karena satu orang teman Gojo, kan? Sutan menggeleng. Sudahlah, itu bukan urusannya. Ada yang lebih penting dari memikirkan itu. "Aku sudah bicara dengan kakekku." Sutan memutuskan mengubah topik pembicaraan. Ia tidak mau suasana ini berubah makin mencekam-menyadari aura Gojo dapat mengubah suasana.
"Oh? Lalu? Jawabanmu?" tanya Gojo. Nada ceria dan santai khasnya sudah kembali.
"Aku ingin kita saling mengenal dulu." Sutan mendongak melihat Gojo. Ia tersenyum. "Kau tahu ikatan pernikahan itu seumur hidup. Aku tidak mau saat kita menikah nanti, ada hal yang tidak bisa kita mengerti satu sama lain sampai hubungan itu berakhir."
"Hoo? Iya, sih. Pengenalan memang butuh banget. Aku dan Shoko sudah lama mengenal, tapi tidak merasa cocok." Gojo mengangguk paham.
"Tentu saja. Bagaimana kalau kita saling mengenal dulu, Gojo-san?" Sutan berhenti melangkah, begitupun Gojo. Tepat sekali mereka berdiri di bawah tiang lampu.
Gojo mengangguk. "Boleh saja."
Sutan mengangkat tangan gestur ingin saling berjabat. "Kita belum mengenalkan diri dengan benar. Aku Kouno Sutan."
Gojo tersenyum lebar. Ia membalas uluran tangan Sutan. Saat ia menggenggam tangan gadis itu, Gojo sadar betapa mungilnya tangan Sutan. "Aku Gojo Satoru."
Sutan makin tersenyum lebar. Senyuman Gojo tampak manis menurutnya, seperti anak-anak. la ingin melepas genggaman tangan mereka, tapi terhenti karena Sutan merasa tangan Gojo membungkus tangannya dengan sempurna.
Hangat ..., batin Sutan. Pipinya sedikit merona merah. Apa yang baru saja dia pikirkan? la menggeleng. Ini bahaya. Dia tidak boleh terlena.
"Hei? Sutan baik-baik saja?" Gojo membungkuk untuk menyetarakan tinggi mereka. Ia memeriksa raut wajah Sutan. Pipinya makin memerah dan mata obsidian gadis itu tampak berbinar. Anak ini kenapa? batin Gojo sambil mengernyit.
Sutan menelan ludah. Ia memang sudah tahu dari dulu bahwa Gojo itu sangat tampan. Apalagi melihatnya dalam jarak dekat. Kacamata hitam pria itu pun tidak dapat menutupi ketampanan Gojo. Rambut putih yang indah, hidung mancung, dan bibir tipis. Jantung Sutan berdetak kencang hingga menggema di pendengaran. Suara keras hujan pun mulai tidak terdengar.
"Mukamu makin merah, Sutan. Kau sakit, ya?" tanya Gojo. Ia menegakkan tubuh.
Sutan segera sadar. Ah, apa yang baru saja terjadi? Ia mengatur napas, menetralisir diri. Lantas mendongak menatap Gojo sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja, Gojo-san."
"Benarkah?" Gojo mengangkat satu alis. "Sutan harus pulang. Apa kau bawa kendaraan?"
Sutan mengangguk. "Iya, aku bawa mobil."
"Bagus. Apa aku boleh ikut?" tanya Gojo sambil menunjuk dirinya sendiri. "Nanami pergi meninggalkanku karena aku lama sekaaalii di sini."
Nanami? Orang itu bawahan Gojo-san, bukan? Kenapa ada bawahan yang meninggalkan atasannya di sini? batin Sutan heran. Sungguh, kali pertama dia melihat kejadian seperti ini. Ia berkata, "Gojo-san boleh ikut." Sutan mengangguk.
"Biar aku yang menyetir mobilmu." Gojo mengulurkan tangan. Meminta kunci mobil.
"Baiklah." Sutan merogoh tas. Untung saja tasnya bukan tipe menyerap air jadi barang-barangnya di dalam tetap aman. Ia mengambil kunci dengan gantungan kucing yang lucu lalu menyerahkannya pada Gojo.
"Ayo pulang!"
⊱ ────── {𖡄} ───── ⊰
Spoiler : Chapter depan Gojo memamerkan kekayaannya. Yah, tau kan Gojo kalau pamer enggak ngomong, tapi langsung kasih liat 🫂
Chapter ini panjang juga ❄
Ann White Flo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro