BAB 4 - PENYESALAN
Alex sudah sampai di rumah sakit. Penampilannya yang berantakan dengan tubuh basah kuyup tak menghentikan langkahnya yang menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan yang menjadi tempat ayahnya di rawat sekarang.
Dia mengenal betul rumah sakit ini karena sang ayah pun ikut serta dalam pendanaan yang membuat rumah sakit ini berdiri kokoh bahkan menjadi satu-satunya rumah sakit yang memberikan pengobatan gratis untuk orang-orang tak mampu.
“Tuan Alex!”
Suara seorang dokter yang tiba-tiba memanggil Alex yang hampir melalui koridor yang salah, membuat Alex menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuhnya ke arah suara dokter yang memanggilnya.
“Tuan Daverson masih berada di ruangan ICU, Tuan. Mari saya antar, “ ucap dokter itu dan Alex pun mengikuti langkah dokter itu tanpa banyak bicara.
Pengaruh alkohol tadi sudah menghilang sepenuhnya sehingga dia bisa mengontrol kewarasannya seperti sedia kala.
Alex mengekori dokter itu sampai di sebuah ruangan ICU dan setelah pintu ruangan itu terbuka, terlihatlah ayahnya yang sudah setengah baya dan selalu memberinya pelukan juga kasih sayang yang begitu berlimpah terbaring lemah di atas brankar dengan beberapa alat yang menempeli tubuhnya yang sudah renta.
“Daddy,” suara Alex tercekat.
Wajahnya yang tadinya menakutkan, berubah seperti anak kecil yang ketakutan saat ditinggal oleh orang tuanya.
Mata Alex yang se biru samudra itu, mulai mengkristal dan sebentar lagi butiran-butiran yang menggenang itu pasti akan tumpah ruah.
Dadanya perlahan merasakan sesak begitu tangannya berhasil meraih tangan ayahnya yang selama belasan tahun membesarkannya sendiri karena ibunya sudah lama tiada. Membesarkannya dengan penuh kasih sayang, sehingga dirinya tak merasakan kekurangan kasih sayang orang tua yang lengkap.
“Maafkan aku, maaf sudah menjadi penyebab rasa sakit yang kau rasakan saat ini, Daddy.”
Alex menelungkupkan wajahnya. Butiran kristal yang membuat pandangannya buram akhirnya jatuh juga.
Rasa sesak yang disebabkan oleh penyesalannya karena sudah membentak sang ayah sebelum pergi meninggalkan ayahnya terbayang lagi sehingga membuatnya merasa begitu tak becus hingga kemarahannya yang tak mendasar membuat ayahnya seperti sekarang.
Alex menggenggam tangan ayahnya begitu erat. Rasa takut saat dirinya kehilangan sang ibu kembali menghantui.
Tidak. Dia tidak mau kehilangan lagi. Cukup sekali karena kehilangan adalah satu-satunya hal yang membuatnya begitu terpuruk dalam kesedihan yang mendalam.
Dokter yang kebetulan adalah dokter pribadi tuan Daverson mendekat. Dia meletakkan sebuah handuk di dekat Alex kemudian menepuk pundak Alex pelan.
Ada saatnya, Alex yang selalu dia temui saat akhir pekan itu membutuhkan sebuah dukungan dari seseorang yang sudah seperti keluarga bukan lagi seperti bawahan yang takut pada atasannya.
“Tuan Daverson berhasil diselamatkan. Dia berhasil melewati masa kritis dan akan siuman besok pagi. Beruntung Tuhan masih memberinya pertolongan lewat wanita yang hebat dan juga pemberani itu. Jika tidak, entah bagaimana hidupnya sekarang.”
Mendengar perkataan dokter itu, tubuh Alex menegang. Ayahnya diselamatkan oleh seorang wanita dan dirinya baru saja menghancurkan hidup seorang wanita.
Astaga...
Alex memukul keningnya sendiri dengan kepalan tangan. Saat ini, dia bisa mengendalikan kewarasannya sepenuhnya. Tanpa ada pengaruh alkohol atau pun cerita Axelendra yang bisa saja adalah sebuah kebohongan.
Setelah ayahnya sadar, dia akan mendengarkan penjelasan ayahnya kemudian memperbaiki segalanya.
Tapi, bagaimana dengan nasib wanita yang sudah dia hancurkan?
Bagaimana dirinya akan mengembalikan kehormatan wanita itu?
Bagaimana dirinya akan mengembalikan kepercayaan diri yang sudah dia injak-injak sampai tak terbentuk. Bagaimana?
Alex menghembuskan napasnya kasar. Dia tidak tau bagaimana harus bertanggung jawab atas perbuatan keji yang sudah dia lakukan.
Untuk bertanggung jawab pun bagaimana caranya? Dia pun tak tau bagaimana rupa wanita malang yang sudah menjadi korban kebejatannya itu.
“Sekarang, bersihkan dirimu. Biar aku yang membawakan pakaianmu. Ayahmu membutuhkan semangat darimu, Alex.”
Alex mendongak. Dia menatap pria yang usianya terpaut beberapa tahun saja dari sang ayah. Selama ini, dokter itulah yang menjadi dokter pribadi untuk mengontrol kesehatan sang ayah juga menasihati pola makan dan aktivitas yang boleh dilakukan atau tidak mengingat usia ayahnya sudah memasuki usia renta.
“Terima kasih, Paman. Terima kasih banyak sudah menyelamatkan hidup ayahku.”
Alex yang selama ini jarang berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, membuat dokter itu mengangguk pelan dengan senyuman menenangkan.
Tuan Daverson tak pernah salah mendidik Alex. Meski Alex pendiam dan cenderung dingin, Alex tetaplah pria bermartabat dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi.
Karena kemurahan hati Alex dan tuan Daverson, rumah sakit ini bisa menjadi tempat pengobatan gratis untuk orang-orang miskin.
Meski begitu, ayah dan anak itu tak pernah mau disanjung. Kebaikan mereka selalu ditutupi dari publik. Tapi, Tuhan tak akan pernah salah memilih orang-orang berhati baik. Alex dan tuan Daverson tetaplah menjadi orang nomor satu di kota ini.
Alex yang notabene memiliki kecerdasan juga otak cerdik, membuat perusahaan tuan Daverson yang sekarang berada dibawa kekuasaannya semakin berkembang pesat setiap tahunnya.
Alex bangkit dari duduknya. Menatap ayahnya yang terbaring dengan mata terpejam rapat sekilas kemudian mengambil handuk yang diberikan dokter tadi dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Pakaian kotornya terlepas satu persatu. Setelahnya, Alex berdiri di bawah shower kemudian menghidupkan air hangat dan membiarkan air itu membasahi tubuhnya.
Tubuhnya yang beberapa menit lalu menggigil kedinginan di bawah derasnya hujan dan juga tanah berlumpur yang menjadi bukti jika di bawah pohon besar itu dia sudah melecehkan seorang wanita.
Tidak, bukan wanita melainkan seorang gadis. Dia bisa merasakan bagaimana ketakutan dan juga kakunya bibir tipis itu yang berada dalam kecupan dan juga gigitan kecilnya.
Dia pun bisa merasakan bagaimana sempit jalan yang dia lalui sehingga membuatnya meledak dan merasa puas atas perbuatan keji yang dia lakukan.
Alex mengusap wajahnya kasar. Setelahnya, dia membenturkan keningnya beberapa kali ke dinding kaca yang berada di depannya.
Butiran air hangat yang mengalir ditubuhnya belum tentu mengalir juga ditubuh gadis itu. Bisa saja, gadis itu masih terbaring di bawah derasnya air hujan tanpa baju.
Bugh!
Alex memukul tembok di depannya dengan kuat. Rintihan dan juga permohonan gadis itu, seolah berputar di telinganya sekarang.
Ya, dia menyesal. Menyesal karena sudah menghancurkan gadis polos yang tak tau apa-apa itu.
Ingin rasanya dia memutar waktu agar insiden ini tak pernah terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Dirinya bukanlah Tuhan yang bisa berkehendak apa pun. Semua sudah terjadi. Akal sehatnya yang sudah dikendalikan oleh kemarahan sekaligus alkohol, membuat hati dan juga pikirannya buta dan gelap. Akal binatangnya membuatnya benar-benar menjadi pria bejat sekarang.
“Maafkan aku... “
Alex melirih di tengah guyuran air hangat yang sudah dia ganti dengan air dingin bertemperatur rendah.
Bahkan rasa dingin air itu mengalahkan dinginnya guyuran air hujan tadi. Biarkan posisinya dan wanita itu sama. Karena dia yakin, wanita itu masih berada di sana. Di bawah pohon besar dengan kondisi menyedihkan setelah dia cabik-cabik begitu keji.
Alex mengangkat kepalanya. Bisakah dia menghampiri wanita itu sekarang?
Meminta maaf atas perbuatannya dan juga mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai yang wanita itu minta.
Tapi, bagaimana dengan ayahnya? Dia tidak mungkin meninggalkan ayahnya yang masih tak sadarkan diri sendiri saja di rumah sakit ini karena dia yakin, insiden yang menimpa ayahnya ada kaitannya juga dengan Axelendra.
“Aku akan menghancurkanmu, Axel!” tekad Alex dengan tangan mengepal.
Matanya yang kebiruan berkilat penuh oleh perasaan marah. Axel sudah membuat ayahnya hampir tiada sekaligus membuat hidup seorang wanita hancur. Lihat saja, balasan seperti apa yang akan dia berikan pada pria bajingan itu dalam waktu cepat.
Alex mengambil handuk dan membungkus tubuhnya. Beberapa inci kulitnya terasa perih. Terutama di bagian sudut lehernya yang sempat wanita itu gigit.
Ya Tuhan, ini membuktikan sekali bagaimana berengseknya aku tadi. Batin Alex kemudian keluar dari kamar mandi.
Hari masih belum pagi. Dia akan meminjam ponsel dokter kepercayaan ayahnya untuk menghubungi beberapa anak buah yang akan dia tugaskan untuk menjaga keamanan di rumah sakit.
Sedangkan dirinya akan pergi. Pergi mencari keberadaan wanita yang sudah dia perlakukan dengan keji.
Ya, dirinya tak bisa berdiam diri seperti ini sedangkan ada seseorang yang begitu hancur di tengah pekatnya malam, terancam keselamatannya karena bisa saja ada binatang buas di tempat itu karena kejahatannya. Ya, dia akan mencari wanita itu kemudian meminta maaf.
Sungguh dirinya menyesal. Kejahatan yang dia lakukan pasti akan membuat ibu terlebih ayahnya kecewa jika mengetahuinya.
Tidak. Dia tidak akan menjadi pria berengsek yang membuat didikan ayahnya sia-sia. Dia pasti akan menemukan wanita itu dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Semoga saja, dirinya tak terlambat untuk menemukan wanita itu lagi. Karena jika sampai hal itu terjadi, entah bagaimana dia akan menjalani hidup dengan bayang-bayang rasa bersalah ini.
***
Flower membuka matanya yang terpejam. Derasnya hujan yang masih mengguyur tubuhnya membuatnya tersadar dari tidurnya yang beberapa menit lalu terlelap dan menemukan mimpi yang gelap gulita.
Pingsan.
Flower merasa jika beberapa menit yang lalu dirinya pingsan bukan terlelap.
Hawa dingin yang menerpa tubuhnya hingga menembus pori-pori kulitnya dan membuat tulang-tulangnya meradang membuat Flower meringkuk di bawah pohon besar itu dengan hati yang hancur.
Air matanya kembali mengalir dengan deras. Rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya membuat Flower sadar jika insiden yang baru saja menimpanya bukanlah sebuah mimpi buruk.
Ini semua nyata. Terlihat bagaimana menyedihkannya tubuhnya yang telanjang dan dibiarkan begitu saja setelah dihancurkan dengan begitu kejam.
“Hiks ... hiks ...”
Isakan Flower terdengar menyayat hati. Dia tidak tau harus bagaimana sekarang. Hidupnya sudah hancur dan tak ada yang bisa dia banggakan lagi.
Dirinya hanya gadis miskin yang hanya memiliki kehormatan untuk dia persembahkan pada seseorang yang akan menjadi belahan hatinya kelak. Tapi, sekarang? Semuanya sudah hancur.
Tak ada alasan lagi yang akan membuatnya bisa merasakan bagaimana rasanya hidup normal menjadi seorang wanita yang dicintai oleh seseorang dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.
Impian sederhananya sudah hancur tak tersisa. Tak akan ada yang mau menerima gadis miskin yang juga kotor sepertinya. Tak ada impian indah lagi dalam hidupnya yang berharap suatu hari nanti, kisahnya akan seperti Cinderella yang menemukan pangeran tampan yang benar-benar mencintainya dan akan mengubah hidupnya.
“Kenapa aku harus merasakan semua penderitaan ini?” isak Flower sambil mengusap setiap inci kulitnya dengan kuat sehingga menimbulkan rasa sakit yang menyakiti tubuhnya sendiri.
Dia benci. Benci karena menjadi wanita lemah yang tak bisa melakukan apa-apa. Andai saja, dirinya bisa melawan. Tentu saja dirinya tak akan menjadi korban pelecehan.
Flower memeluk tubuhnya dengan isakan semakin kuat. Hidupnya memang sudah hancur. Tapi, kisah hidupnya belum berhenti sekarang.
Dia tidak mungkin menyia-nyiakan pemberian Tuhan yang masih memberinya nyawa sampai di detik ini. Pria itu memang mengambil kehormatannya tapi untuk hidupnya selanjutnya bukankah dia masih memiliki hak untuk terus berjuang?
Dirinya memang terluka, tentu saja. Bahkan rasa sakit di hatinya tak terkira begitu mengingat bagaimana bejatnya pria itu menghancurkan setiap inci kulitnya kemudian meninggalkannya tanpa perasaan.
Tapi, hidupnya belum berhenti sekarang. Dirinya masih bisa bernapas meski kehilangan kehormatan. Jadi, apakah dirinya akan menjadi lebih bodoh lagi dengan melenyapkan nyawanya sendiri seperti wanita-wanita di luar sana yang putus asa setelah mengalami kejadian buruk seperti dirinya?
Tidak.
Nyawa pemberian Tuhan itu mahal harganya dan dirinya tak akan menyia-nyiakannya. Mungkin saja, Tuhan sudah menyiapkan hadiah yang besar untuk penderitaan yang dia alami sekarang. Ya, Tuhan pasti akan membantunya untuk tetap bertahan.
Flower mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha menyingkirkan air mata kesedihan di wajahnya meski air mata dari matanya yang sembab tetap mengalir deras.
Setelahnya, dia mencoba bangkit dengan menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya.
Memungut pakaiannya yang tercecer dan bercampur dengan lumpur beralaskan dedaunan kemudian memakainya asal setelah memeras airnya agar tak begitu dingin saat dia kenakan.
Flower mengusap wajahnya lagi. Saat ini tubuhnya tak lagi telanjang. Melainkan sudah tertutup penuh oleh pakaiannya yang lusuh dan penuh dengan kotoran lumpur.
Dia mengambil jaketnya yang berada di bawah pohon kemudian mengecek ponselnya yang dia letakkan di dalam sakunya.
Mengetahui jika ponselnya masih berada di sana, membuat Flower bersyukur. Dia pun mengenakan jaketnya dan berniat untuk pergi dari sana. Hingga langkahnya yang tertatih membuatnya tak sengaja menginjak sesuatu.
Flower membungkuk dan meraih benda yang diinjaknya tadi. Ternyata sebuah jam tangan. Jam tangan yang tak dia ketahui bagaimana rupanya. Sepertinya jam tangan itu milik pria bejat yang sudah melecehkannya karena dia pernah menjadikan jam tangan itu sebagai pegangan agar pria itu tak pergi meninggalkannya karena dia begitu ketakutan.
Ya, tak salah lagi. Jam tangan itu memang milik pria bejat itu dan jika jam tangan itu berharga, pria bejat itu pasti akan kembali untuk mengambilnya.
Flower terkesiap.
Tidak. Dia tidak mau bertemu dengan pria bejat itu lagi yang bisa saja menyakitinya lebih dari tadi. Tak mau berlama-lama berada di tempat itu dan berjaga-jaga dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi, dia pun memasukkan jam tangan itu ke dalam sakunya dan segera melangkah pergi.
Pergi dengan langkah terlatih menuju jalan yang sebentar lagi akan membuatnya sampai di jalan pulang.
Setelah dirinya sampai di jalan bercabang yang letaknya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya sekarang, maka dirinya akan selamat.
Rahang Flower yang tirus mengetat. Sebenarnya, saat ini dia merasa ketakutan karena takut bertemu dengan pria berengsek lainnya.
Tapi dia yakin, Tuhan tak akan membuatnya menderita lagi.
Tuhan pasti akan membantunya melewati semua ini dan sampai di rumah dengan selamat tanpa gangguan lagi.
***
Alex mengendarai mobilnya dengan cepat.
Sebentar lagi, dirinya akan sampai di tempat di mana dirinya meninggalkan wanita malang itu.
Keamanan ayahnya di rumah sakit sudah terkontrol penuh. Jadi, dirinya bisa melakukan tugasnya untuk menemukan wanita itu dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hanya saja, semoga dirinya masih bisa menemukan wanita itu di sana.
Tak berselang lama, Alex sampai di tempat itu. Hujan masih saja mengguyur dengan derasnya.
Tapi, hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk menemukan wanita itu. Alex turun dari mobilnya tanpa mengenakan payung dan hanya membawa senter yang dia pinjam dari dokter tadi.
Membiarkan tubuhnya kembali basah kuyup dan lagi-lagi harus mengigil kedinginan.
Alex menggigit bibir dalamnya menahan dingin. Menyusuri semak-semak belukar dan mencari tempat di mana dia melecehkan wanita itu. Dia terus melangkah dan menyisir semak-semak hingga menemukan sebuah kantong plastik dan juga payung.
Barang-barang ini pasti milik wanita itu. Batin Alex kemudian mengambilnya.
Menjadikan payung itu sebagai alat perlindungan dari hujan dan kembali menyisir semak-semak.
Merasa jika tempatnya salah, dia pun mendongak dan menyenter ke sembarang arah. Mencoba mencari kayu besar yang menjadi tempatnya membungkus tubuh wanita itu agar tak bisa melawan. Kayu besar itu pun menjadi penanda.
Dia menemukannya.
Alex melangkah ke arah kayu itu berada. Melangkah sangat cepat, berharap dirinya masih bisa menemukan wanita itu di sana.
Sayang, setelah dia sampai. Dia tak menemukan apa-apa.
Alex menyenter tempat itu, bahkan menyisir semak-semak di sekitar kayu itu karena mungkin saja, wanita itu berpindah tempat. Tapi, nihil. Dia tak menemukan wanita itu di mana-mana.
Alex frustrasi. Mendadak rasa takut menyergap pikirannya.
Bagaimana jika wanita itu diterkam binatang buas? Atau di bawa oleh penjahat? Tapi, pakaiannya yang dia lepaskan dengan paksa sudah tidak ada. Jadi, mungkinkah jika wanita itu sudah pergi dengan selamat ke rumahnya?
Tubuh putus asa Alex bersandar pada kayu besar itu kemudian jatuh perlahan.
Alex merasa begitu gagal.
Saat ini, dirinya tak bisa melakukan apa-apa selain berharap wanita itu baik-baik saja karena untuk mencari keberadaan wanita itu, dia pun tak tau bagaimana rupa wanita itu secara jelas.
Tangan Alex yang memegang payung terjatuh ke tanah. Membuat tangannya bersentuhan dengan sebuah benda.
Dia pun meraihnya. Ternyata, benda yang di sentuhnya tadi adalah sebuah ikat rambut yang sudah kotor oleh lumpur.
Genggaman Alex menguat. Bagaimana dia akan menemukan wanita itu hanya berdasarkan ikat rambut yang semua orang pasti memilikinya?
Tak memiliki peluang akan menemukan wanita itu, Alex pun bangkit dari duduknya tadi.
Membawa semua barang-barang wanita itu yang selamanya akan dia kenang sebagai bukti jika dirinya adalah pria bejat yang tak akan ter maafkan.
Sampai kapanpun itu.
****
JIKA INGIN LANJUT, SILAKAN KUNJUNGI APLIKASI NOVEL LIFE ATAU PELUK VERSI CETAKNYA NANTI. 🙏
Pusat info 👉 IG : riskihakiki29
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro