Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02.

Langit cerah menyambut Sean ketika ia melangkahkan kaki keluar dari bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama 17 tahun. Ia mendongakkan kepala, berharap ramalan cuaca yang ia lihat beberapa menit yang lalu benar. Aktivitas luar ruangan yang akan ia lakukan membutuhkan cuaca yang berawan alih-alih panas seperti hari-hari biasanya.

Sean bergerak menuju parkiran, menaiki sepeda bututnya. Ia memakai earphone di salah satu telinga dan menyetel lagu sebelum mengayuh sepeda. Tak lupa, ia menyapa Pak Imam satpam panti asuhan yang sudah bekerja sejak 20 tahun yang lalu. Bahkan saat ia belum lahir ke dunia.

Lelaki berumur hampir setengah abad itu balas menyapa dengan pertanyaan. "Mau ke mana, Mas Sean?"

"Nonton lomba berkuda, Pak."

"Oh yang di Stadion Brawijaya itu, ya? Hati-hati di jalan, ya, Mas!"

Sean mengangguk, tersenyum. Ia menambah kecepatan kayuhannya setelah keluar dari gerbang.

Jalan tak seramai biasanya saat pagi. Mungkin karena hari ini hari libur. Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh saat ia mengecek ponsel beberapa saat yang lalu. Membutuhkan waktu hampir 30 menit untuk sampai ke stadion yang ia tuju, sedangkan kompetisi yang ia tonton mulai di jam delapan pagi.

Sean terbiasa mengayuh sepeda untuk bermanuver. Sepeda butut yang ia naiki sekarang adalah teman kesayangannya. Ia beli seken setelah bekerja part time setengah tahun di sebuah warung makan di usia 15. Hidupnya terasa lebih mudah setelah itu karena ia tak perlu membayar ongkos bus untuk pergi ke sekolah. Selain itu, tubuhnya terasa lebih bugar tanpa olahraga. Keputusan paling bermanfaat selama 17 tahun ia hidup di dunia.

Sesampainya di stadion, gerbang depan ramai oleh pengunjung. Ia membayar tiket masuk yang merogoh kocek cukup mahal menurut kantongnya. Dua puluh lima ribu adalah gajinya satu kali pertemuan mengajar bimbel anak SD. Gaji yang termasuk ukuran cukup mengingat statusnya yang belum lulus SMA.

Sean memarkirkan sepeda di tempatnya, lalu berjalan menuju tribun lapangan pacuan kuda di seberat barat stadion. Banner-banner besar dipasang di sepanjang perjalanan. Ia berhenti sejenak untuk membaca nama-nama yang menjadi sponsor acara.

Sanjaya Stables.

Ia menatap nama itu cukup lama. Ada getir yang menjalar di hatinya untuk sesaat. Namun, pengumuman kompetisi yang akan segera dimulai membuatnya bergerak. Sean melangkah ke tribun penonton di barisan depan, melepas earphone dan menyimpannya di kantong.

Pengunjung cukup ramai memenuhi tribun. Para atlet terlihat memasuki lapangan pacu bersama kuda kebanggaan mereka, tampak gagah dengan setelan berkuda. Sean menyipitkan mata, mencari kehadiran orang-orang yang menjadi alasan ia mengayuh sepeda selama 30 menit di hari libur ini.

Sejujurnya Sean baru tahu seluk-beluk dunia equestrian setengah tahun yang lalu. Sebelumnya ia sama sekali tidak tidak mengikuti bidang olahraga ini. Ia hanya tahu jenis kompetisi pacu kuda di mana orang-orang dengan kecepatan penuh melajukan kuda untuk memenangkan pertandingan. Setelah mengikuti beberapa kali pertandingan, ia baru tahu ada jenis lomba lain di olahraga ini.

"Langsung saja, kita panggil peserta pertama kita di Dressage Competition kali ini. Adhinata Sanjaya dengan kuda Matilda dari Sanjaya Stables!" Setelah membuka pertandingan, sang MC menyebut nama yang tidak asing di telinga Sean. Tepuk tangan dan sorakan sontak terdengar dari tribun penonton. Sean mencari pemilik nama.

"Setelah dua tahun vakum dari kompetisi berkuda, kembar Sanjaya kembali hadir bersama kita di kompetisi tahunan kali ini." MC lanjut berbicara. Tepuk tangan penonton kembali bergemuruh.

Sean menangkap sosok Adhinata di lapangan pacu kuda itu. Lelaki itu tampak gagah dengan jas dan helm berkuda warna birunya, menaiki kuda berwarna putih bernama Matilda yang sama bagasnya. Cantik dan memukau.

Matanya beralih pada dua orang lain berdiri di dekat pagar tak jauh dari arena pertandingan. Satu dengan setelan berkuda yang sama, kembar yang lain, dan yang satu lagi dengan setelan baju polo yang lebih santai; ayah mereka berdua. Orang-orang yang menjadi alasan mengapa ia duduk menonton pertandingan di tribun saat ini.

Kompetisi dimulai. Suara alunan instrumen lagu Pompeii dari Bastille mengalun. Perlahan Adhinata mengarahkan Matilda berjalan masuk ke zona pertandingan. Kuda warna putih itu berjalan selaras dengan ketukan musik.

Dressage adalah disiplin berkuda yang menekankan pelatihan kuda dan penunggangnya untuk melakukan gerakan yang sangat terkontrol dan terkoordinasi. Dalam kompetisi, kuda dan penunggang akan melakukan serangkaian gerakan yang telah ditentukan, yang disebut "test" di depan juri. Penilaian dilakukan berdasarkan ketepatan, keselarasan, dan keanggunan gerakan.

Lima menit penampilan Adhinata berjalan begitu menyita atensinya. Sean seringkali melihat kompetisi Dressage di video yang ia tonton di Youtube. Hanya saja ini pertama kalinya ia melihat secara langsung. Kuda terlatih itu berjalan dengan tempo berbeda sesuai dengan alunan lagu. Tapak kakinya bergerak seimbang sesuai dengan ritme dan harmoni. Mereka begitu pintar, membuatnya bertanya-tanya berapa lama mereka berlatih.

Setelah alunan lagu selesai, Adhinata merendahkan kepala. Pemuda itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah audien sebagai penutup penampilan. Hal itu disambut dengan tepuk tangan meriah dari tribun. Sean ikut bertepuk tangan. Tidak bohong jika penampilan barusan menakjubkan.

Seharusnya Sean menikmati penampilan Dressage peserta lain setelah itu. Hanya saja pandangannya tidak bisa teralih dari tiga orang yang sejak awal menjadi pusat perhatiannya. Mereka tampak begitu bahagia. Sang Ayah memeluk bangga anaknya yang berhasil tampil memukau, begitu juga kembarannya.

Sean menonton mereka dalam diam.

Beberapa waktu selanjutnya, setelah penampilan peserta Dressage selesai, kompetisi Show Jumping dimulai. Setelah beberapa kali menyebut peserta untuk tampil, kali ini nama lain yang tidak asing kembali disebut oleh MC.

"Kita panggil peserta keempat untuk Show Jumping Competition kali ini. Adhiraja Sanjaya dengan kuda Ezekiel dari Sanjaya Stables!"

Tepuk tangan meriah kembali terdengar.

Adhiraja dengan kuda warna hitam bernama Ezekiel masuk ke zona pertandingan. Zona itu telah diatur dengan banyak rintangan dan pagar. Seperti namanya, Show Jumping adalah disiplin equestrian yang menekankan kemampuan kuda dan penunggang untuk melewati serangkaian rintangan atau pagar dalam urutan tertentu. Biasanya juri menilai dari banyaknya rintangan yang jatuh dan kecepatan kuda menyelesaikan seluruh rintangan yang ada.

Setelah peluit berbunyi, pemuda itu memacu kudanya. Ezekiel dengan surai hitam melewati 10 rintangan yang disusun sedemikian rupa. Semua berhasil dilewati dengan baik. Kuda itu sangat tangguh meloncat tanpa terlihat goyah sedikitpun. Begitu juga dengan penunggangnya yang duduk dengan percaya diri di atas pelana.

Adhiraja maupun Adhinata adalah atlet equestrian sungguhan. Dua tahun vakum untuk kuliah tidak membuat perfoma mereka menurun sedikitpun. Sean tidak heran jika penampilan kembar tak seiras itu tetap memukau.

Penampilan Adhiraja juga ditutup dengan tepuk tangan dan sorakan dari penonton.

Setelah seluruh pertandingan selesai ada jeda istirahat sebentar sebagai waktu juri menilai. Sean mengeluarkan roti yang ia bawa dari panti sebagai makan siang. Ramalan cuaca yang ia baca sungguhan terjadi. Awan putih menutupi sinar matahari dan angin berhembus ringan membuat susana menjadi sejuk. Siang hari dengan cuaca menyenangkan setelah beberapa hari ini panas menyengat.

Untuk sesaat tiga orang itu menghilang dari pandangannya. Tentu saja untuk istirahat dan makan siang.

Satu jam berlalu dan pengumuman pemenang segera dimulai. Tidak jauh dari tebakan Sean. Kedua kembar Sanjaya menang. Adhinata memenangkan juara dua kategori Dressage, sedangkan Adhiraja juara satu kategori Show Jumping. Penonton bertepuk tangan meriah untuk para juara.

Dua orang itu maju untuk menerima piala dan medali, kemudian turun untuk mendapat pelukan dari sang Ayah. Lelaki itu tampak begitu bangga dengan kedua anaknya.

Sean mengedipkan mata setelah tak sengaja melihat dua orang yang tadinya duduk di tribun atas melangkah turun. Ia baru menyadari ada dua orang Sanjaya lain yang menonton dari tribun. Aruna dan Arjuna menghambur untuk memberi selamat pada kedua kakaknya di lapangan.

Keluarga yang harmonis.

Sean hanya bisa mengamati pemandangan itu dari tempatnya duduk. Fokus visinya kembali pada lelaki yang kini merangkul pundak dua anak laki-lakinya. Januar Sanjaya tersenyum. Senyumnya aneh karena mengingatkan Sean pada wajahnya sendiri.

Tiba-tiba bayangan liar menyusupi pikirannya. Apakah Sean bisa merasakan pelukan yang sama? Apakah hidupnya akan lebih baik jika takdir berjalan berbeda?

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro