4 - Terlalu Peka
4 | TERLALU PEKA
♡
Gas motor yang sengaja dimainkan hingga mengeluarkan suara bising itu jelas mengganggu Davila. Lelaki yang tengah asyik bersantai di sofa ruang keluarga sambil memejamkan mata untuk menenangkan pikiran seketika membuka mata dengan dahi berkerut.
Brum! Brum!
Kesal, Davila bangkit dari sofa dan beranjak keluar rumah. Kalau suara motor itu berasal dari jarak jauh, Davila tak akan capek-capek membuang waktu untuk memeriksa ke luar rumah.
Lagipula, siapa yang berani mengusik ketenangan seorang Davila? Kalau dia masih sayang nyawanya, pasti dia bakal berpikir seribu kali sebelum melakukan hal nekat itu.
Pintu besar itu terbuka ketika Davila menariknya. Di hadapan dia ada seseorang yang berdiri, menandangnya begitu nyalang seperti ingin melahapnya sekarang juga.
"NGAPAIN LO?!" Davila menyentak orang itu.
"BOCAH LO TUH!" Cowok itu nampak sangat kesal ketika bicara dengan Davila. "Semalem bocah gue diserang! Alesannya juga kayak bangsat. MASA CUMA GARA-GARA GABUT??!"
Dion berucap sampai berapi-api seperti itu. Dia melanjutkan, "GANTI RUGI!"
"Ganti rugi apaan, tai! Gue aja nggak tau apa-apa!" sahut Davila.
"LO BOS MEREKA BUKAN?" Dion mengangkat dagu, tatapannya menantang Davila. "TANGGUNG JAWAB SINI! JANGAN JADI PENGECUT!"
Dengusan keluar dari hidung Davila, bagai banteng yang siap menyeruduk kain yang membentang di hadapannya. "Buang aja motor lo. Lo percuma punya motor tapi bokek mulu buat ngebenerinnya! Dikit-dikit minta ganti rugi, anjing!"
"Gue kenal bocah-bocah gue. Mereka nggak bakal nyerang kalo nggak diusik!" lanjut Davila. "PASTI GENG BALA LO YANG MULAI DULUAN!"
Dion hendak membalas perkataan Davila lagi, tapi tidak jadi karena Davila langsung mengusirnya. Raut wajah Dion makin suram. Dia pasti begitu sebal dengan situasi ini.
Sambil berjalan kembali ke motornya, Dion berseru pada Davila, "GUE BAKAR MARKAS LO, YA! LO JADI BOS NGGAK GUNA!!!"
"YA SANA BAKAR AJA! BIAR GUE BAKAR JUGA MUKA LO," balas Davila.
Tak mau meladeni Dion lagi, Davila mundur dan masuk ke rumah. Dia membanting pintu penuh dendam dan berbalik badan untuk kembali ke aktivitas semula.
Dia bisa saja memukul dan menghajar Dion habis-habisan sampai darah bercucuran di mana-mana. Tapi, ada sesuatu yang membuat Davila mau tak mau harus menahannya.
Gadis itu membuat Davila terkadang merasa bodoh karena akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, melamun, bahkan dia lebih sering menghabiskan waktu di rumah daripada di markas Deathrow.
Ini bukan seperti Davila. Davila tak pernah peduli pada siapapun, apalagi sama perempuan!
Davila tak mengerti ... kenapa akhirnya jadi seperti ini. Sakura jelas memiliki hubungan spesial dengan Saddaru, sepupunya, lalu apa yang Davila harapkan lagi? Sebenarnya tidak ada, tapi Davila sama sekali tidak mau berhenti memikirkan Sakura.
Otaknya seakan telah terhipnotis oleh pesona Sakura. Walau begitu, Davila masih sedikit ragu dengan perasaannya. Dan keraguan itulah yang membuat hari-harinya tidak seindah biasanya.
Cling.
Bunyi yang khas dari ponselnya membuat perhatian Davila teralihkan. Dia meraih benda pipih itu dari atas sofa dan melihat layarnya.
Jantung Davila rasanya berhenti berdegup dalam sekejap, serta dadanya berdesir hangat. Perasaan itu muncul begitu saja, tanpa Davila minta.
Sakura:
Kenapa tadi misscall?
Baru saja Davila ingin membalasnya, tapi satu pesan lagi muncul dan menghentikan jemari Davila untuk menyusun kata.
Sakura:
Jangan telpon aku lagi
Rasanya seperti jatuh dari ujung langit dan mendarat di dasar samudra yang tidak ada airnya. Senyuman tipis Davila pudar, digantikan dengan helaan napas berat.
Sekali lagi satu pesan masuk dan pengirimnya merupakan orang yang sama.
Sakura:
Soalnya aku mau tidur
Davila sudah berpikir negatif karena isi pesan Sakura yang menyuruh untuk tidak meneleponnya lagi. Ternyata ... Sakura mau tidur dan tidak mau diganggu.
Meski Sakura sudah berkali-kali menyuruh Davila menjauh, bahkan Sakura tak mau melihat wajahnya lagi, tetap saja cewek itu tidak bisa belagak jadi orang jahat di dunia ini. Siapapun yang pernah menyakitinya, pasti dia maafkan, walau sebelumnya Sakura ngomel-ngomel dulu.
Davila mengetik sesuatu di ponselnya sambil duduk di sofa. Seorang Davila biasanya mengirimkan pesan untuk orang lain berupa ancaman untuk membunuh, atau minta ketemuan untuk menciptakan kekacauan. Namun kali ini berbeda.
Davila:
Good night.
— ♡ —
Sakura yang sudah mengantuk itu masih diganggu Zelena yang sibuk mencari warna-warna rambut di sebuah aplikasi di ponselnya.
Zelena mengganggu Sakura dengan terus-menerus bertanya mana warna rambut yang bagus.
"Ini lucu buat lo, Sakura! Warna-warni pastel," ucap Zelena.
"Ini juga bagus nih," celetuk Zelena lagi. "Tapi mainstream."
Belum sampai di situ, Zelena mengajak Sakura ngobrol lagi padahal saudarinya itu sudah memejamkan mata. "Ini keren, Sa. Biru di dalem!"
Sebelum menyahut, Sakura menguap dulu sampai matanya berair seperti habis nangis. Katanya, "Kamu aja yang cari sendiri ... aku ngantuk."
"Masih jam sembilan tau!" Zelena yang biasa tidur tengah malam nampak terkejut melihat Sakura yang jam segini sudah tepar.
Biasanya juga Sakura baru akan tidur sekitar pukul sepuluh atau sebelas. Namun malam ini rasanya mata dia berat sekali untuk terbuka. Maunya tidur saja sampai pagi dan berangkat kuliah.
Masih belum puas mengganggu Sakura, Zeleba bertanya lagi pada adiknya itu. "Kalo ini bagus, nggak?"
Kali ini Sakura tidak memberi respons karena dia benar-benar telah memejamkan mata yang artinya sudah tidur. Melihat Sakura yang tak bergerak membuat Zelena menghela napas berat.
Zelena turun dari kasur dan berjalan mendekati cermin besar di kamar ini. Dia menatap pantulan dirinya di sana dan tersenyum sambil menata rapi rambut panjangnya.
Dia berpikir dan membayangkan rambut warna apa yang cocok untuknya.
"Warna gelap aja kali, ya?" gumam Zelena.
— ♡ —
"Hey, Ganteng. Nginep lagi?"
Saga menoleh saat Shana melintas di hadapannya sambil bertanya seperti itu. Saga yang tengah adu mulut dengan Figo lantas menoleh dan mengangguk. Dia beranjak dari sofa dan menyalami tangan Shana dengan sopan.
"Iya, Tan. Figo yang minta," ucap Saga.
"Ye, kutu!" Figo melempar bantal sofa ke punggung Saga. "Yang nyari temen curhat tuh siapa ya?!"
Saga seketika memungut bantal yang jatuh ke lantai dan melempar tepat ke wajah Figo. "Siapa yang nyari temen curhat!"
Tak peduli akan omongan Saga, Figo beralih menatap Shana —ibunya tercinta. "Ma, masa tampang sangar kayak Saga bela-belain nginep di sini cuma buat curhat sama Figo. Menye banget kan Ma!"
"Nggak, Tante!" elak Saga, karena tujuannya datang ke rumah ini memang bukan untuk bercurhat manja bersama Figo, melainkan nugas bareng karena besok ada presentasi dan takut ada kuis dadakan.
"Yeu ... cupu nggak mau ngaku," cibir Figo.
Entah Figo yang terlalu peka akan perasaan sahabatnya atau sebenarnya Figo cenayang, tapi dia sangat tahu apa yang sebenarnya ingin Saga lakukan di sini selain nugas bareng.
Shana tertawa melihat tingkah dua anak ini. Dia tertawa dan kemudian pergi, memberi waktu bagi keduanya tanpa harus ia ganggu. Shana sangat pengertian.
Setelah Shana pergi, barulah Saga menghempaskan badannya ke sofa sambil menyenderkan punggungnya di kepala sofa, kepalanya menghadap ke atas dan memejamkan mata.
Figo cekikikan. Dia meninju lengan Saga, membuat Saga sebal dan mendengus lagi karena Figo tak henti menertawakannya.
"Gue main sama lo, Saddaru, Dion, Alan dari jaman jebot. Mau lo pada boong sampe mati juga tetep bakal ketauan sama gue," celetuk Figo.
Figo terkekeh lagi saat Saga melirik begitu sinis ke arahnya untuk yang ke sekian kali.
"Jadi, sebelom gue ambil laptop dari kamar, lo cerita dulu deh mendingan." Figo mengubah posisinya jadi serong ke arah Saga.
"Cerita apaan sih, anjir," sahut Saga seraya mengusap wajahnya.
"Masih aja lo, Ga ... Ga," decak Figo. "Lo nih sebenernya adek kakak sama Saddaru ya? Ngomong jujur aja susah banget kayak tai!"
Terjadi keheningan sejenak karena Saga tak menyahut lagi, dia memilih diam sambil menyentuh pelipisnya dengan satu tangan. Nampaknya dia pusing. Pusing mendengar ocehan Figo dan pusing dengan perasaannya yang bagai tulisan tangan Figo. Berantakan.
"Gue udah dapet buku buat besok—-"
"Ngalihin pembicaraan, bangsat!!!" Figo emosi.
"DIH KOK LO JADI KESEL?" Saga membalas.
Sebelum Figo berhasil melempar barang lagi ke arahnya, Saga cepat-cepat angkat tangan ke udara dan meminta Figo untuk tidak macam-macam. Figo memang gila, sama seperti adiknya.
"Iya, iya!" Saga berseru. "Gue cerita nih! Lo diem dulu, jangan nimpuk gue!"
"Nah, gitu kan cakep!" balas Figo.
Saga menghela napas berat dan berdecak. Dia juga menggerutu karena Figo yang terlihat begitu menyebalkan.
"Jadi tuh gue ...." Saga menggantung ucapannya, bikin Figo harus menunggu.
"Gue...," lanjut Saga, masih menggantung.
"Jadi gue ...." Lagi, Saga ngomong setengah-setengah.
"Jadi...." Sekarang, Saga terlihat seperti sedang berpikir.
"Jadi jadi terus, sapi!!!" omel Figo, kesal maksimal.
Dia langsung nimpuk Saga remote tv dan membentur dada Saga dengan sempurna. Sekarang Saga yang tertawa dan Figo memberenggut.
"Gue ke dapur ya. Laper," cetus Saga kemudian.
"Kaga gratis ya!" sambar Figo. "Satu nasi goceng. Bukan satu sendok, tapi satu biji."
"Najis koret." Saga mencibir.
Sebenarnya Saga tidak sungguhan ingin ke dapur. Dia hanya berniat untuk mengakhiri topik perbincangannya dengan Figo. Sekarang pun Saga kembali menutup mata dan menikmati celetukan Figo yang tak ada habisnya.
Beberapa hari belakangan ini Saga sering menginap di rumah Figo, tapi Saddaru tidak ikut. Sudah beberapa kali Saddaru mereka ajak, tapi Muezza tak mengizinkan. Jadi, Saga dan Figo berduaan terus bagai anu.
Figo kini menatap Saga dengan tatapan penuh arti. Saga paham tatapan itu, tapi dia pura-pura bego.
"Gue sumpahin lo jodoh sama Dota, ya," ceplos Figo, mengancam.
"Ya kali anjir dia cowok!" balas Saga.
"Gue suruh transgender! Dia juga kayaknya naksir lo," sahut Figo, santai sekali.
"Amit-amit!" Saga kelabakan.
Setelah berlama-lama menghabiskan waktu untuk nyeloteh hal yang tidak penting, akhirnya dua cowok itu kembali serius.
Saga melirik dapur Figo, berniat ambil minum tadi dilarang Figo. Figo memang tega membiarkan tenggorokan sahabatnya seret.
"Besok gue mau ketemu Sakura." Saga berucap.
Figo mengernyit tanda bingung. "Gue juga. Tiap hari di kampus kan ketemu, nyet."
"Berdua." Saga memperjelas.
Figo makin mengerutkan kening. Sebelum Figo bertanya-tanya lagi, Saga menyeletuk, "Cuma lo yang gue kasih tau, Go."
"Maksudnya gimana nih?" Figo menatap lekat Saga. "Lo mau diem-diem ketemu sama Sakura? Nggak mau bilang Saddaru?"
Tanpa Saga menjawab, Figo sudah tau apa yang ada di benak cowok itu. Kata Figo, "Sebenernya nggak salah sih lo mau ketemu sama siapa aja. Tapi ... apa salahnya bilang Saddaru, Man? Dia cowoknya Sakura. Emangnya lo mau dibantai sama dia kalo ketauan bawa kabur ceweknya?"
"Justru kalo Saddaru tau gue mau ketemuan sama Sakura, makin ribet urusannya!" balas Saga.
"Emangnya lo mau ngapain sama Sakura?" tanya Figo. "Wah, jangan-jangan lo berdua...."
"Ada urusan," selak Saga.
Figo terdiam. Dia memandang Saga terang-terangan dan menyeletuk, "Lo nggak pacaran diem-diem sama Sakura, kan? Jangan, Ga, ancur persahabatan kita!"
"Gila lo ya?!" Saga menyahut.
"Siapa tau kan! Lo dulu sebel banget sama si Kurkur, terus lama-lama jadi demen. Biasanya kan kayak gitu!" balas Figo.
"Lo kebanyakan nonton sinetron!" sentak Saga.
"NGGAK ADA YANG MUSTAHIL DI DUNIA INI, GA." Figo ngegas lagi. "Bisa aja gue putus sama Ele terus pacaran sama lo!"
"AMIT-AMIT GO YA ALLAH. NAJIS." Saga histeris. "JANGAN NGOMONG KAYAK GITU LAGI. OMONGAN KAN DOA."
"GUE JUGA OGAH, ONENG!" pekik Figo.
"Ya udah, gini aja. Lo kontak Saddaru sekarang, bilang besok lo mau minjem ceweknya." Figo kembali serius. "Biar nggak ada yang salah paham. Cepet nurut sama gue!"
"Nggak bisa, Go," balas Saga. "Lo juga jangan bilang Saddaru. Please."
"Tumben lo please please-an." Figo menyeletuk.
"Gue sama Sakura nggak bakal ngapa-ngapain juga," kata Saga.
"Kalo nggak ngapa-ngapain, ya ngomong aja ke Saddaru. Greget gue sama lo, Ga." Figo lelah.
Saga beranjak dari sofa, hendak ke dapur karena dia semakin haus. "Pokoknya cuma lo yang tau, ya."
Sepeninggal Saga, Figo terdiam sambil berpikir keras. Gelagat Saga jelas membuatnya bingung dan curiga. Apalagi tak biasanya Saga bersikap seperti itu terhadap Sakura. Figo meraih ponselnya, niat ingin memberi tahu Saddaru tapi tidak jadi.
Figo dilema.
#### TO BE CONTINUED ####
AYEY UPDATED!!!🦉🔥
kasih komentar yaaaa🙏🏻 makasih semuanya!
🤤🤤🤤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro