18 - Bad Accident
18. BAD ACCIDENT
"Gue rasa kita terkoneksi."
— Davila Naraka —
♡
"Semalem kok Sakura ada dua, Bos?"
Salah satu anggota Deathrow bertanya ketika Davila baru saja menempatkan diri di sofa hitam sambil membuka minuman kaleng. Pertanyaan bodohnya membuat perhatian Davila teralihkan.
"Itu beda orang, Bolot," dengus Davila.
Daxton yang duduk bersebelahan dengan Davila lantas menendang paha temannya yang bertanya seperti tadi. Temannya itu bernama Muray dan mereka berdua-lah yang semalam masuk ke kamar rawat Sakura untuk memberikan sekotak coklat dan sebuah boneka besar pada gadis itu.
Dua cowok yang telah lama bergabung dengan Deathrow itu memang sejak kemarin penasaran bercampur bingung kenapa cewek berambut putih itu ada dua. Biasanya yang mereka lihat hanya satu. Malah, mereka pikir salah satunya bukan manusia.
"Lo tau namanya, Bos?" tanya Muray.
"Ngapain lo nanyain dia?" Davila sewot. "Penting amat."
"Cakep, anjir! Lebih hot dari Sakura," gemas Muray, membuat Daxton ikutan gemas.
"Kakaknya Sakura, ya? Jangan-jangan kembaran? Mukanya mirip banget. Tapi penampilan dia lebih mantep. Itunya tuh berisi bener... busetdah...." Daxton heboh.
Sementara dua cowok itu sibuk membicarakan Zelena, Davila memilih diam dan anteng menikmati minumannya. Dia lalu melirik ke kanan, tepat di mana anak-anak Deathrow yang lain tengah seru menghabiskan waktu di sana. Mereka mendengarkan musik yang berdentum keras, ada yang bernari dengan disorot lampu gemerlap, ada juga yang asyik memainkan random games.
Melihat keseruan mereka membuat pikiran Davila melayang ke kejadian beberapa tahun lalu, di mana dirinya sengaja merenggut kebahagiaan orang lain dengan cara meneror mereka lewat permainan gila ciptaannya yang disebut "Try or Die".
Saat itu Davila masih dikuasai rasa benci teramat sangat pada Zhynix dan tentu Sakura. Tak ada yang mengerti perasaan Davila, hanya dirinya yang mengetahui betapa tersiksanya dia selama hidup.
Yang mereka tau Davila adalah sosok lelaki yang ditakuti banyak orang karena tingkahnya. Kata sadis, kejam, seram, dan semua yang berbau negatif sepertinya telah melekat di diri Davila. Membuatnya dicap "bukan manusia" oleh mereka semua, karena berpikir Davila tidak memiliki hati alias tidak jauh beda seperti iblis.
Tanpa mereka ketahui Davila pernah merasakan sakit teramat sangat, dia bahkan pernah menitikan air mata ketika berita duka tentang kepergian orang tuanya harus ia terima.
Dia pernah merasa jatuh ketika keluarganya mulai menghilang. Ketika ayahnya pergi, lalu ibunya menyusul sang ayah, ditambah lagi satu-satunya sepupu yang begitu ia sayang ikut menjauh darinya.
Davila memang dikelilingi banyak teman yaitu Deathrow. Anggotanya selalu ada untuk dia. Namun tetap, dia membutuhkan keluarganya.
Lalu saat Davila mulai merasakan adanya perasaan spesial dari dia untuk seorang perempuan ... dia malah merasakan sakit kemudian. Dia tak pernah benar-benar bahagia.
Karena rasa tertekan itu, Davila hanya bisa makin-makin pasrah. Dia menikmati segala waktu yang ada, menjalani hidup sesuai keinginannya. Dia bahkan sangat cuek mau dibilang apa oleh orang lain. Toh Davila tidak mengurus hidup mereka.
Namun, ada satu hal yang seharusnya mereka tau. Mungkin ini yang akan Davila katakan;
I'm human too.
"Bos."
...
"King Davila."
...
"Woi, masbro!"
...
"Ngelamun anjir."
...
"BOS!"
Suara yang memanggil Davila secara serempak berhasil menyadarkan dia dari lamunan. Dia gelagapan dan spontan menoyor kepala Daxton karena dia salah satu penyebab Davila terkejut.
"Apaan sih!" Davila kesal.
Daxton tertawa, begitu juga Muray. Kata Daxton, "Itu tuh ... ada yang nyariin."
Bola mata Davila spontan mengarah ke ambang pintu yang jaraknya tak jauh dari posisi dia, dan seketika pupil matanya membulat karena figur orang itu.
"Itu kan yang semalem, Bos," bisik Daxton. "Jodoh banget ya baru kita omongin barusan, eh tiba-tiba nongol."
Daxton dan Muray sibuk mengomentari orang itu ketika Davila memilih untuk beranjak dari sofa dan berjalan ke sana, menghampiri sang tamu. Muray lantas menempatkan diri di sofa dan menebak-nebak bersama Daxton apa yang akan terjadi pada bos mereka.
Langkah Davila membawanya ke hadapan cewek itu. Dia mengangkat dagu, memandang remeh Zelena. "Ngapain lo? Ngintilin gue, ya?!"
"Sembarangan kalo ngomong!" omel Zelena. "Gue aja nggak tau lo ada di sini. Lagian emangnya dilarang gue ke sini? Lo yang punya tempat ini, hm?"
"Emang gue!" balas Davila. "Mau apa lo?"
Zelena tersentak. Matanya lalu melirik ke belakang Davila, tepatnya ke dalam tempat yang isinya seperti diskotik padahal bukan. Luarnya tidak menarik karena warna temboknya gelap dan cenderung mengerikan, tapi dalamnya menarik. Sama sekali Zelena tak berpikir ada makhluk setengah iblis di tempat ini. Dia juga tidak sadar bahwa mobil merah yang terpakir itu milik Davila.
"Gue nggak mau nyari ribut. Gue mau minta tolong!" seru Zelena setelahnya.
"Halah, bilang aja mau nyari kesempatan buat ketemu sama gue." Davila berucap penuh percaya diri. "Kebaca dari gelagat lo, Barbar."
"Nggak bisa ya lo sekali aja nggak bikin kesel?!" Zelena berkacak pinggang. "Kalo gue nggak nabrak orang, gue juga ogah dateng ke sini, ketemu lo lagi! Demit!"
Malas dengan situasi seperti ini, Zelena akhirnya berbalik badan untuk pergi meninggalkan tempat. Baru saja dia melangkah sebanyak tiga kali, Davila seketika menyuruhnya berhenti.
Cowok itu berkata, "Lo nabrak orang?"
Zelena berbalik badan dan memandang lelaki tampan di hadapannya. "Ya. Gue tadi nyoba pinjem hape ke orang lain tapi nggak ada yang mau minjemin. Pelit semua! Tampang gue sekriminal itu emangnya?!"
"Gue kan nggak bawa hape, lagi di-charge di rumah soalnya lowbat. Kenapa sih orang sini begitu banget!" Zelena mencak-mencak.
"Terus lo mau minjem hape gue, gitu?" Davila mengambil kesimpulan. "Yakin banget gue bakal pinjemin?"
Kening Zelena makin mengerut dalam. Sebal, dia menabok dada Davila hingga cowok itu terkejut karenanya. "Gue bisa pinjem ke anak-anak di dalem sana! Emangnya manusia cuma lo. PEDE BANGET JADI ORANG."
"Minta tolong tapi nyolot. Bener-bener bar—"
"Diem, nggak usah ngatain!" selak Zelena, ngomel. Dia sudah cukup sabar disebut barbar terus oleh Davila. Padahal Zelena merasa dirinya manis. Benar, tidak?
Karena Davila sama sekali tak memberi respons baik tentang dirinya yang ingin meminjam telepon untuk menghubungi keluarganya, maka Zelena berniat menerobos masuk ke markas Deathrow namun sayang Davila menahannya.
Cowok itu merentangkan satu tangannya saat Zelena mencoba melewati dia. Davila tak membiarkan gadis itu masuk, malah meminta Zelena tetap berdiri di hadapannya.
"Mana mobil Sakura?" tanya Davila, menyadari tak ada keberadaan mobil pink itu di kawasan sepi ini.
"Ditahan orang-orang itu! Mereka pikir gue bule bego kali yang segampang itu mereka porotin!" kesal Zelena. "Makanya gue mau telpon nyokap, biar kelar masalahnya. Males banget gue!"
"Lo nabrak sampe orangnya mati?" tanya Davila, serius.
"Gue ngerasa ketabrak dikit doang motor orang itu. Langsung jatoh, terus masa tiba-tiba pingsan orangnya." Zelena mendengus.
Tak pikir lama, Davila langsung menyeret cewek itu ke arah mobil merahnya yang terparkir di tepi jalan. Tanpa banyak bicara, Davila menyuruh Zelena masuk dan mulai menyalakan mesin. Zelena tersentak saat mobil ini secara dadakan melaju kencang tanpa aba-aba.
"Kasih tau gue di mana posisinya," ujar Davila.
"Di deket—"
"Kasih tau yang bener! Gue lempar lo kalo main-main," celetuk Davila.
"Gue belom selesai ngomong!!!" pekik Zelena.
Yang biasanya Davila selalu sendirian di mobil, hening karena dia anti musik, sekarang keheningan itu berubah jadi kebisingan yang membuat telinga Davila tersiksa. Bagi Davila, Zelena bawelnya keterlaluan, membuatnya ingin membekap cewek itu pakai lakban dan tak akan membiarkannya lepas.
Tanpa Davila ketahui, sebetulnya Zelena tidak nyaman berdua dengannya di sini. Rasanya ada yang aneh, bawaannya ingin ngoceh terus tiap mendengar Davila mengeluarkan kalimat yang entah mengapa selalu terdengar amat sangat menyebalkan di telinga Zelena.
Mereka akhirnya bisa bebas dari rasa sesak di mobil setelah tiba di lokasi kejadian beberapa menit setelahnya. Mobil Sakura dikelilingi orang-orang yang tak mereka kenal, seakan orang-orang itu berada di pameran mobil karena menjadikan mobil aventador pink tersebut sebuah objek pemandangan. Malah ada yang mengintip ke jendela mobil —sungguh tidak sopan.
Kedatangan mobil merah Davila mencuri perhatian mereka. Apalagi mobil itu berhenti tepat di belakang mobil Sakura. Davila keluar dari mobil bebarengan dengan Zelena dan jalan santai mendekati warga itu.
Orang-orang tadi jelas kaget menyadari siapa yang datang. Davila Naraka, leader geng yang cukup terkenal akan kekejamannya. Geng yang cukup meresahkan warga. Mereka selalu menghindari Deathrow, tapi sekarang malah dipertemukan dengan pemimpinnya.
"Jelasin ke gue kenapa mobil ini ditahan." Davila berseru seraya menunjuk mobil Sakura. "Jelasin sejelas-jelasnya sesuai fakta. Kalo gue denger ada bohong dikit, langsung gue sayat leher lo semua."
Zelena yang tadinya berdiri di belakang Davila kini berpindah posisi jadi tepat di samping kanan cowok itu. Dia mengarahkan matanya ke motor yang tadi tak sengaja ditabrak, terlihat terkejut karena ban belakang motor itu tiba-tiba tidak ada padahal tadi masih ada. Ditambah lagi pria yang menjadi korban kakinya berdarah-darah, nyatanya tadi Zelena lihat kaki orang itu baik-baik saja.
"Lo bilang ketabrak dikit, kenapa sampe berdarah-darah gitu?" Davila berbisik, tatapannya menajam.
"I swear to God, nggak ada darah tadi." Zelena membalas, berbisik juga. "Mata gue masih sehat, ya kali tiba-tiba burik!"
Davila memahami keadaan. Dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, menghadapi banyak kasus yang membuatnya emosi sepanjang hari. Hanya dengan penjelasan singkat dari Zelena dia sudah bisa mengetahui kebenarannya. Apalagi wajah warga itu kelihatan menegang sekarang.
Kaki Davila yang terbalut boots hitam tersebut mulai bergerak mendekati motor korban dan memerhatikan perintilan yang hancur. Satu ban lepas, bautnya bergeletakan, kaki korban pun terguyur darah. Ini seperti habis terjadi kecelakaan maut, nyatanya tidak.
Mata Davila kini berpindah ke mobil Sakura. Dia memerhatikan secara detail bagian depan mobil mantannya, dahinya mengerut dalam karena tak menemukan adanya goresan di sana. Mungkin lebih masuk akal bila mobil Sakura 'luka' juga sehabis bertabrakan dengan motor dan pemiliknya yang keadaannya semengenaskan itu.
"Ckck." Davila berdecak dan terkekeh kecil. Dia mengusap rambut tebalnya dan menatap orang-orang di sekitar.
"Mentang-mentang bule, langsung dijadiin ladang money, ya?" Davila berucap tenang dan sekilas melirik Zelena.
"DIA NGGAK SEGOBLOK ITU!" Seketika suara Davila meninggi.
Tanpa hati, Davila mendekati korban dan meremas kuat kerah bajunya, memaksa orang itu berdiri dari posisi tidurannya di tepi jalan. Orang itu meringis, begitu juga para manusia yang melihat adegan tersebut.
"Mau gue bikin luka beneran kaki lo?!" sentak Davila. "Biar darahnya asli, bukan buatan! Biar lo rasain sakitnya beneran, ngeringis-ringis beneran, bukan akting! MAU?!"
Yang semula orang itu menekuk kakinya karena belagak sakit, kini dia berdiri normal karena Davila berhasil membuat nyalinya ciut. Dia bahkan memohon agar Davila mau melepaskan tangannya di kerah baju, sebab cengkraman kuat Davila membuat orang itu merasa tercekik.
Sejurus kemudian Davila membebaskan orang itu dari siksaan di leher, namun kaki Davila tiba-tiba terhuyung —alias dia menendang tulang kering pria tadi hingga terjatuh dan kesakitan.
Tak sampai di situ, Davila menendang perutnya, kemudian membungkuk untuk meninju wajahnya berkali-kali. Pria tadi kini berseru tanda sakit, meringis kuat dan meminta Davila berhenti melukainya.
Zelena yang melihat itu lantas mendekat dan menarik jaket Davila agar cowok itu berhenti bertindak seperti itu. Zelena cukup mampu menyeret Davila ke belakang dan berhasil menghentikan kelakuan Davila pada pria tadi.
Davila memang menurut pada Zelena. Tapi, itu tak bertahan lama. Satu tangan Davila merogoh saku jaket dan mengeluarkan benda kecil yang ketika dia tempelkan jempolnya di satu bagian, langsung keluar bilah pisau berukuran mini namun tajamnya setengah mati.
Melihat benda itu ada di tangan Davila, seketika semua orang bergegas pergi dari tempat, termasuk pria yang menjadi korban pukulan Davila. Zelena sendiri refleks mundur dan jaga jarak, takut Davila kesetanan dan malah melukainya.
"SAMPAH!!!" Davila berteriak lantang. "GUE NGGAK BAKAL BIARIN LO SEMUA BEBAS GITU AJA. NGGAK BAKAL GUE BIARIN SEGAMPANG ITU LEPAS. INGET OMONGAN GUE, ANJING!"
"BOCAH GUE ADA DI MANA-MANA. JANGAN HARAP LO SEMUA AMAN!" lanjut Davila.
Karena Davila berkoar-koar terus padahal mereka semua sudah meninggalkan tempat, akhirnya Zelena menyuruh cowok itu untuk diam. Davila melirik tajam Zelena dan kembali ngoceh tanpa henti.
"UDAH, LO BERISIK BANGET!" Zelena pusing.
"ITU RASA TERIMA KASIH LO KE GUE?!" hardik Davila. "SEKALI BARBAR TETEP BARBAR. NGGAK TAU DIRI."
Penuh kesal, Davila memasukkan kembali pisau tadi ke saku jaket dan mendengkus keras tepat di hadapan Zelena. Saat Davila hendak berbalik badan, Zelena segera menahannya dengan cara meremas ujung jaket cowok itu.
"Apa?!" sentak Davila, galak.
"Nggak jadi!" sahut Zelena. Padahal tadinya mau bilang terima kasih, tapi wajah menyebalkan Davila membuat niatnya terurung dan tergantikan dengan rasa sebal tiada tara.
Sekarang giliran Zelena yang hendak pergi dari hadapan Davila tapi langkahnya terinterupsi karena cowok itu mencekal lengannya sangat kuat. Zelena meringis dan spontan menarik kembali tangannya seraya kembali menatap Davila.
"Apa lo? Mau ngata-ngatain gue lagi? Jadi cowok nggak ada kerennya sama sekali, yang ada malah bikin enek!" sembur Zelena.
Zelena langsung terdiam ketika Davila mempersempit jarak mereka. Tubuh tinggi cowok itu benar-benar dekat dengan badannya, sampai Zelena bisa menghirup jelas aroma maskulin Davila.
Perlahan tapi pasti, Davila menunduk demi mendekatkan wajahnya ke telinga Zelena. Dia berkata dengan suara berat yang cukup seksi dan mampu memberi efek merinding pada Zelena.
Kata Davila, "Lo nggak perlu pamer dada, segala pake baju terbuka kayak gitu."
Lalu Davila menjauhkan wajahnya dan melirik bagian paling terekspos di tubuh Zelena. Dia kembali menatap gadis itu dan terjadi kontak mata antara mereka yang sempat membuat jantung Zelena berpacu tak stabil.
"Nggak ada yang nafsu," lanjut Davila.
Dua detik kemudian yang terjadi adalah Zelena menabok pipi Davila penuh rasa benci, juga mendorong lelaki itu hingga Davila menyingkir jauh darinya.
"Brengsek," desis Zelena.
— ♡ —
Pria tampan yang kesehariannya selalu mengenakan pakaian formal dan menebar aura misterius itu berjalan menelusuri rumahnya yang begitu sunyi.
Tujuannya adalah mengunjungi kamar sang anak yang saat ini masih berada di kampus. Ternyata rasa penasaran Alger tak kunjung sirna semenjak ia memergoki Saga sedang anteng bersama laptop di ruang rahasia keluarga Dominiguez.
Saga memang meyakini dia bahwa dirinya tengah mengerjakan tugas kuliah. Nyatanya Alger tak semudah itu percaya. Dilihat dari gerak-gerik Saga pun Alger semakin curiga.
Tangan kekar Alger kini menyentuh knop pintu kamar Saga. Dia mencoba membukanya namun tak berhasil karena kamar itu terkunci. Segera dia memasukan satu tangannya ke saku celana dan meraih sebuah kunci dari sana.
Pintu itu akhirnya berhasil terbuka setelah Alger memakai kunci cadangan tadi. Dia masuk ke sana, menyapukan pandangannya ke seisi kamar sang anak yang cukup berantakan. Para pekerja di rumah ini sulit merapikan kamar Saga karena pintunya selalu dikunci.
Langkah Alger membawanya mendekati sebuah meja yang terletak di dekat jendela besar kamar. Di sana terdapat sebuah benda yang Alger cari dan semudah itu ia temukan.
Gerakan Alger terbilang santai, tapi cukup waspada. Dia menyentuh laptop itu dan menyalakannya. Lagi-lagi barang milik Saga terkunci. Dia harus memutar otak untuk mengetik sesuatu pada kolom password yang tertera di layar.
Alger mencoba memasukkan beberapa angka dan ternyata salah. Ia terus berusaha berkali-kali dan gagal terus. Namun pria itu tak cepat menyerah. Dia menunggu sejenak dan membali memainkan jemarinya di atas keyboard hingga akhirnya usaha dia berhasil.
Senyuman miring muncul di wajah Alger ketika laptop ini telah berhasil ia kuasai. Dia mencari sebuah file, mengutak-atik apapun yang membuatnya curiga dan penasaran. Dia harus bisa memecahkan rasa curiganya dalam waktu lima belas menit sebelum Saga kembali dari kampus.
Tidak lebih dari tiga menit, Alger menemukan hal yang tak biasa. Dia menemukan sebuah dokumen yang seharusnya ada di laptop miliknya, bukan di laptop Saga.
"Buat apa Saga simpan ini?" gumam Alger.
Dia membuka dokumen tersebut dan menerima beberapa kejutan atas apa yang matanya lihat. Dia mengerutkan keningnya begitu dalam tanpa berkata-kata lagi. Ketika Alger membuka sebuah rekaman suara, saat itu juga dia menghela napas berat seraya menyentuh keningnya.
Kepalanya lalu bergerak pelan, dia menggeleng samar. Dia nampak tak percaya dengan apa yang ia lihat secara jelas. Sejenak Alger terdiam dan memejamkan mata, lalu kembali menatap lurus layar laptop.
Tak pikir lama, Alger menutup laptop dan membawanya keluar dari kamar Saga. Dia kembali mengunci pintu, dan berjalan cepat mencari orang suruhannya di rumah ini.
"Buang jauh-jauh benda busuk ini, hancurkan, jangan sampai saya lihat lagi," tegas Alger pada salah seorang lelaki berseragam rapi, sembari menyerahkan laptop kesayangan Saga.
— ♡ —
Ringisan keluar dari mulut Sakura saat ia berjalan dari toilet menuju brankar. Dia dibantu Saddaru yang beberapa menit lalu baru datang dari kampus bersama Figo, Saga dan Eleanor.
"Ayo, Kurkur bisa!" seru Figo.
Sakura meringis bercampur tertawa kecil mendengarnya. Dia mau nangis karena kaki kirinya sakit sekali, tapi dia tak mau menyerah. Dia bahkan menolak tawaran Saddaru yang ingin menggendongnya, karena cowok itu khawatir padanya.
Saat sudah sampai di dekat brankar, barulah Saddaru mengangkat tubuh Sakura dan mendudukkannya di tepi brankar. Dia juga membantu sang pacar tiduran dengan posisi senyaman mungkin.
Eleanor yang merupakan teman baik Sakura selama di kampus itu mendekat dan tersenyum ramah padanya. "Sorry semalem gue nggak ada di sini, harusnya gue nemenin lo, Sa...."
Sakura tersenyum maklum. "Gapapa, Ele. Kan masih ada temen-temen yang lain."
"Iya, tapi kan tetep aja gue juga pengen ada buat lo," sesal Eleanor.
"Sekarang Ele ada buat aku kok," sahut Sakura.
Eleanor mengangguk dan mengusap lengan temannya itu. "Sampe kapan dirawat?"
"Nanti malem udah boleh pulang," jawab Sakura. "Aku juga bosen di sini ... mendingan dirawat di rumah aja. Lebih bebas juga."
"Baguslah," respons Eleanor. "Berarti beberapa waktu ke depan lo pake tongkat? Atau kursi roda?"
"Kayaknya tongkat," sahut Sakura.
Eleanor membulatkan bibirnya dan tersenyum lagi. Dia menatap kaki Sakura yang terbungkus itu dan berdeham pelan. Dia juga diam-diam mencuri pandang ke tiga cowok yang sedang asyik berbincang entah membahas apa.
Sejurus kemudian, Eleanor melompat naik ke brankar dan bokongnya mendarat tepat mengenai kaki kiri Sakura. Lengkingan Sakura langsung mengisi ruangan ini, dan Eleanor terkejut karenanya.
"Eh, Sa, sorry! Kena, ya?" celetuk Eleanor.
"Aduh, aduh sakit!" Sakura merintih kesakitan.
Cowok-cowok itu secepat kilat mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Eleanor dengan tampang bingungnya turun dari brankar dan menggaruk tengkuk.
"Lo ngapain?!" Saddaru menggertak Eleanor.
"Gue tadi cuma duduk di situ kok," kata Eleanor sambil menunjuk brankar. "Gue mau duduk di deket Sakura! Lagian kursi dipake semua."
"Liat-liat dong kaki Sakura ada di situ!" marah Saddaru. "Bocah banget sih pikiran lo."
Mendengar Saddaru marahin Eleanor, Figo jadi memelas. Dia menyuruh Eleanor menyingkir agar tak mendapat 'semprotan tajam' dari Saddaru lagi. Kasihan pacarnya.
Air mata Sakura turun karena rasa sakit di kakinya tak bisa ia sembunyikan. Saga lantas memencet tombol pemanggil dokter agar Sakura segera ditangani. Mereka semua terlihat begitu kalut, terlebih Saddaru.
Sementara Sakura dikelilingi oleh tiga cowok yang berusaha menenangkannya, Eleanor malah bergeming di jarak tiga meter dari brankar sambil memandang Sakura dengan wajah datar. Pikirannya melayang-layang, dan gertakan Saddaru tadi masih terngiang di telinganya.
"Ele, sini!" panggil Figo. "Minta maaf atuh, kasian Kurkur."
"Tau lo gimana sih!" sambung Saga.
Bukannya menurut, Eleanor malah tetap pada posisinya. Dia menatap nanar mereka semua dan menunduk. Dalam hati ia berpikir; semuanya belain Sakura, nggak ada yang percaya kalo gue nggak sengaja.
Merasa kehadirannya tak diinginkan, Eleanor tanpa pamit keluar dari kamar dan cepat-cepat pergi meninggalkan rumah sakit.
### TO BE CONTINUED! ###
makasih sebanyak-banyaknya buat yang udah baca. KALIAN BERHARGAAA🤘🏻👏🏻💘💘💘💘
see you again!!
[ SADDARU / @mzsaddaru ]
[ DAVILA / @davilanaraka ]
[ ALAN & FIGO / @alanspazio , @figomamen ]
[ SAGA / @sagadomini ]
[ DION / @gidionsahala ]
[ NOLAN / @charleznolan ]
[ SAKURA / @charlotte.sakura ]
[ ZELENA / @charelle.zelena ]
[ DOTA / @serdotaaa ]
[ BRISIA ]
[ GIBRAN / @gibranzabriel ]
[ ELEANOR ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro