12 - Sakura atau Zelena
12. SAKURA ATAU ZELENA
Say you love me as much as I love you
Would you hurt me, baby?
Could you do that to me?
Would you lie to me, baby?
'Cause the truth hurts so much more
- Die In Your Arms -
♡
"Halo, Pa?" Nolan bersuara, berbicara dengan ayahnya via telepon.
"Iya, besok Nolan pulang bareng Alan," ujar Nolan. "Udah kangen banget sama rumah. Papa kapan?"
"Wih, serius?" Dari ekspresinya, terlihat Nolan terkejut senang.
"Siap, siap." Nolan tak bisa menghilangkan senyumannya.
"Oke, Bos!" ucap Nolan yang menjadi penutup percakapan singkat mereka.
Setelahnya, Nolan meletakkan ponselnya di atas meja dan meraih minuman kaleng miliknya yang tersisa setengah. Alan yang sejak tadi berada di dapur kini beranjak keluar dan menghampiri Nolan. Cowok itu ikut duduk di sofa seraya meletakkan sebuah hidangan yang barusan ia panaskan.
Seperti biasa, mereka akan selalu membahas berbagai topik yang ada. Kali ini yang mereka bahas adalah seputar keluarga dan sahabat mereka di Jakarta. Tentu Alan dan Nolan rindu manusia-manusia yang berjarak jauh dengan mereka.
Saddaru, Sakura, Figo, Saga, bahkan Dion dan Davila tak pernah absen dari bahasan mereka. Kadang mereka jadikan candaan, kadang juga dibahas dengan serius.
Seperti, hubungan Saddaru dan Sakura yang selalu membuat mereka iri karena kelihatan manis. Juga hubungan Figo dan Eleanor yang sampai saat ini masih terlihat sedikit kaku. Sepertinya Figo belum terlalu ahli dalam hal berpacaran. Dia harus belajar dari Saddaru.
Sayangnya, akhir-akhir ini komunikasi mereka dengan para sahabat di Jakarta mulai merenggang. Biasanya grup chat ramai diisi spam Figo dan Saga yang tak ada faedahnya, tapi sekarang grup itu bagai kuburan.
Biasanya juga ketika mereka semua sedang online, pasti Figo menggoda Sakura di grup, lalu Sakura pura-pura mengadu ke Eleanor dan Saddaru. Sekarang tak ada satu pun manusia yang memulai obrolan di grup tersebut.
Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing dan tak sadar melupakan orang-orang penting di hidup mereka. Begitulah manusia, terkadang bila sudah menemukan hal yang lebih menyenangkan, pasti yang lama ditinggal. Lalu kemudian menyesal karena rindu.
Nolan mendadak bangkit dari sofa dan meraih ponselnya yang semula ia taruh di atas meja. Sambil berjalan meninggalkan tempat, Nolan berkata pada Alan, "Mblo, gue telpon pacar dulu, ya."
"Gaya lo. Nanti gue dapet yang lebih plus-plus dari Brisia, jangan iri lo ya!" cibir Alan.
"Sori ye, selera gue cuma Brisia." Nolan meledek lagi.
Sebelum Nolan tiba di luar rumah ini, mereka terus mengejek satu sama lain. Baru berhenti ketika Nolan keluar dan menutup pintu. Nolan memang kadang kejam, dia suka mengejek jomblo.
Alan sendiri sampai sekarang belum ada niat mencari perempuan yang akan ia jadikan pasangan. Dia masih nyaman dengan statusnya yang unik ini. Lagipula, jodoh tidak akan nyasar. Sejauh apapun jaraknya, serumit apapun usahanya, pasti akan bertemu di waktu yang tak terduga.
Perbaiki diri juga perlu sebelum mencari pendamping hidup. Karena jodoh adalah cerminan diri kita. Kalau kamu baik, jodohmu juga akan baik. Begitu juga sebaliknya. Jadi, jangan gegabah.
— ♡ —
Jeep abu milik Saga terus melaju membelah jalan, mendahului banyak kendaraan. Sakura duduk tenang di sampingnya, tanpa bicara sepatah kata. Cewek itu terus diam dengan wajah murung, menandakan suasana hatinya sedang mendung.
Saga tak enak hati, tapi ini bukanlah keinginannya. Ia hanya berniat meluruskan masalah yang ada, yang kebetulan melibatkan Sakura di dalamnya.
Cowok itu bisa saja mengajak Sakura bicara, sekadar 'merayu' agar gadis itu tidak cemberut terus. Tapi, Saga memilih untuk fokus menyetir agar lebih cepat tiba di tempat tujuan. Karena lebih cepat lebih baik.
Selama hampir sepuluh menit mereka terus diselimuti keheningan. Sakura lama-lama bosan dan ngantuk. Untungnya tak lama dari itu mobil Saga berhenti yang artinya mereka sudah sampai.
Perlu beberapa detik untuk meyakini mobil besar itu terparkir dengan rapi di garasi. Setelahnya, barulah Saga dan Sakura keluar meninggalkan mobil. Keduanya jalan beriringan memasuki pekarangan dan lanjut terus sampai tiba di dalam rumah besar ini.
Sakura beruntung karena orang tua Saga tidak ada di rumah. Itu cukup membuat Sakura lega tanpa harus ketakutan memikirkan apa yang akan dilakukan Kaia dan Alger terhadapnya. Ingat, dua orang tua itu 'mengerikan'.
Tujuan Saga adalah mengajak Sakura ke ruang rahasia yang sebelumnya pernah mereka kunjungi. Usai berhasil mengakses pintu dengan sidik jari, mereka masuk tanpa adanya hambatan. Sakura berjalan di belakang Saga, mengamati sekitarnya yang serba hitam —tidak ada yang berubah dari yang terakhir ia lihat beberapa hari lalu.
Sambil berjalan, Saga bertanya pada Sakura, "Sa, coba lo jelasin ke gue, orang tua Davila meninggal gara-gara apa?"
Sakura mengerutkan dahi sebelum menjawab. "Seinget aku orang tuanya dibunuh pas lagi ciptain lagu, makanya Davila benci banget sama musik."
"Terus?" Saga meminta penjelasan lebih. Dia sebenarnya tau tentang kematian orang tua Davila. Dia hanya ingin mendengar jawaban versi Sakura.
"Terus aku nggak tau lagi," celetuk Sakura.
Saga mendengus ringan dan mempercepat langkahnya, membuat Sakura ikut melangkah lebih cepat. Bahkan kini Sakura telah berposisi di samping Saga, bukan lagi di belakang cowok itu.
"Gue ajak lo ke sini buat nunjukin sesuatu. Sini," ujar Saga, mengajak Sakura masuk ke sebuah ruangan dengan pintu hitam pekat yang baru pertama kali Sakura datangi.
Ruang rahasia ini ternyata memiliki banyak ruangan-ruangan lain yang jumlahnya bukan hanya satu. Benar-benar aneh tapi juga unik. Ukuran ruangan ini juga terbilang sangat luas, seperti ukuran satu rumah besar berlantai satu.
Entahlah, sepertinya orang tua Saga kebanyakan duit sampai rela menghabiskannya untuk membuat rumah sebesar ini. Padahal penghuninya sangat sedikit. Mereka juga jarang ada di rumah dan anaknya malah sering menginap di rumah orang lain.
Saga berjalan menghampiri sebuah meja yang di atasnya terdapat laptop dengan kondisi mati. Segera dia menyalakan laptop dan duduk di kursi. Ini adalah laptop miliknya yang pernah Saga tunjukkan pada Sakura ketika mereka berada di kamar cowok itu.
"Harusnya kita nggak usah ribet-ribet ke sini, Sa. Gue lupa balikin laptop ke kamar," celetuk Saga.
"Hah, maksudnya?" respons Sakura, bingung.
"Tadi gue kabur ke sini buat ngehindarin nyokap bokap. Gue males, mereka pasti jejelin gue pertanyaan soal lo terus," cetus Saga.
"Kamu ngumpet di sini?" Sakura menahan tawa.
"Terpaksa," sahut Saga. "Tadinya mau ke rumah Figo, tapi nggak jadi gue mager."
Sakura lalu menarik sebuah kursi kosong ke samping Saga dan duduk di sana. Dia mengamati layar MacBook dan beralih menatap Saga yang kembali bicara padanya.
"Tapi ada untungnya gue iseng-iseng main laptop di sini. Gue tadi sok jadi detektif, soalnya gue ngerasa janggal sama alesan Davila yang benci banget sama musik. Kayak nggak bisa diterima di akal sehat gitu," tutur Saga.
"Tapikan orang tuanya dibunuh, Ga. Ayahnya meninggal waktu lagi ciptain lagu, ibunya meninggal pas nyanyiin lagu itu." Sakura berkata.
"Lo aneh nggak denger omongan lo sendiri?" Saga menatap Sakura.
"Ngg ... ya gitu." Sakura menyahut. "Tapi itu yang Davila bilang ke kita semua. Aku mah iya-iya aja."
"Gini, Sa. Gue udah tanya ke bokap, sedikit sih. Tapi gue rasa ini cukup bikin lo kaget." Saga berucap.
Tubuh Sakura mendadak menegang. "Apa?"
"Waktu kejadian pembunuhan itu, Davila nggak ada di lokasi. Dia nggak ada di rumahnya. Dia nggak tau orang tuanya dibantai," ungkap Saga.
"Jadi, maksudnya?" Sakura belum sepenuhnya paham.
"Itu artinya Davila nggak tau apa yang dilakuin nyokap bokapnya sebelom penjahat itu dateng ke rumah mereka." Saga semakin lekat memandang Sakura. "Seharusnya Davila nggak tau kalo bokapnya lagi ciptain lagu, kecuali ada orang lain yang ngasih tau."
"Ya berarti Davila tau itu dari orang lain. Kamu kenapa jadi ribet gitu," ceplos Sakura.
"Bisa aja sih itu bener, Davila tau itu dari orang lain. Tapi masa Davila langsung percaya tanpa ada bukti?" kata Saga. "Pistol yang ada di koper bokap lo itu satu-satunya barang bukti, Sa."
"Papa kamu polisi, ya?" celetuk Sakura, lagi-lagi tidak fokus pada satu bahasan.
Saga tidak tau harus gimana lagi. Dia memandang lelah Sakura lalu mengusap wajahnya. Sakura terdiam sambil mengamati Saga sampai akhirnya cowok itu menatapnya lagi.
"Oke, oke. Jadi, maksud kamu Davila dibohongin?" ucap Sakura, mencoba memakai otaknya dengan baik.
"Gue nggak bilang gitu. Gue cuma kurang sreg aja sama alesan Davila yang benci musik," kata Saga. "Gue juga ngerasa kematian orang tua dia di-setting."
"Di-setting gimana lagi? Kayaknya otak kamu sama otak aku beda kapasitasnya, Ga. Aku nggak mudeng," ringis Sakura. "Aku tu ngeri kalo ngebahas kematian begini."
Tugas kuliah sudah cukup membuat Sakura hampir mati, ditambah bahasan ini dia makin pusing. Sakura sebenarnya pintar. Dia sering mendapat juara di kelas sejak SMA. Tapi, ada masanya dia malas berpikir ... seperti sekarang ini.
"Gue yakin banget, ada setan di balik ini semua." Saga berkata. "Lo inget, kan, orang yang nembak bokapnya Davila itu masih ngincer dua orang lagi buat dia jadiin sasaran. Salah satunya bokap lo, Sa."
Jantung Sakura berdebar cepat dalam sekejap. Mendengar itu, bahunya seketika melemas. Sakura jadi tak sanggup mendengar cuap-cuap Saga. Dia kepikiran Musa, ayahnya.
"Kenapa kamu nggak tanyain itu semua ke papa kamu?" tanya Sakura.
"Gue udah coba, tapi bokap nggak pernah mau jawab. Cuma tadi doang tuh tentang Davila yang ada di rumah atau nggak pas kejadian berlangsung," jawab Saga.
"Seharusnya papa kamu tau siapa yang bunuh orang tua Davila. Kalau papa kamu nggak mau jawab, berarti dia nyembunyiin sesuatu."
Kemudian Sakura menyipitkan matanya dan berkata, "Aku jadi curiga!"
— ♡ —
Ternyata menjadi Sakura bukanlah hal yang mudah bagi Zelena. Yang biasanya dia mengenakan outfit serba hitam, kini harus memakai pakaian berbau pastel yang unyu.
Penampilannya amat sangat persis seperti Sakura, bahkan bila keduanya disandingkan pasti tak ada yang bisa membedakan yang mana Zelena, yang mana Sakura.
Tadi, sebelum pergi meninggalkan rumah, Zelena pamitan pada Lira dan Dini. Dua orang itu sama-sama keliru karena mengira Zelena adalah Sakura. Dini sempat bingung sebab Sakura sudah pergi sejak tadi, kenapa tiba-tiba ada di rumah lagi.
Sekarang, di sinilah Zelena. Duduk manis di sebelah cowok yang aroma tubuhnya cukup khas, sambil mendengarkan lantunan kecil nan merdu yang berasal dari cowok itu. Zelena benar-benar kaku, dia tidak bisa bergerak secara leluasa.
Saat menjemput Zelena tadi, Saddaru sempat terpaku menatap cewek itu. Tatapannya membuat Zelena takut penyamarannya ketahuan, tapi ternyata tidak. Saddaru malah memuji kecantikannya.
"Babe," panggil Saddaru.
"Eh, ya?" Zelena menoleh. Dia sampai harus memaksakan suaranya agar terdengar lebih imut seperti milik Sakura.
"Semalem kamu beneran di rumah, kan?" tanya Saddaru tanpa menoleh ke cewek itu.
"Emh ... iya. Kenapa?" Zelena balik bertanya.
"Semalem aku nggak sengaja liat kamu keluar dari Jeep. Nggak tau abis dari mana," celetuk Saddaru.
Mampus, batin Zelena. Shit, Sakura tau ini nggak ya?!
"Ka—kamu liat di mana?" Zelena bertanya. Dia ragu memanggil Saddaru dengan sebutan 'kamu'.
"Depan rumah kamu," jawab Saddaru, "nggak tau sih itu kamu atau Zelena. Zelena kali, ya?"
"Ah, iya, itu Zelena." Zelena mengangguk. "Dia emang semalem pergi. Tadi pagi juga pergi, nggak tau sama siapa."
Sesudah berucap seperti itu, Zelena diam-diam menggigit bibir bawahnya dan semakin gugup. Padahal seharusnya dia biasa saja, tapi posisi seperti ini amat sangat tidak nyaman. Dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
"Jeep-nya kayak kenal, sih," celetuk Saddaru lagi.
"Emang pasaran kayaknya." Zelena berujar, mencoba untuk bersikap biasa.
Saddaru memanggut-manggut. Akhirnya ia mendapatkan jawaban atas rasa penasaran yang membuatnya hampir tidak tidur semalam. Tapi, Saddaru tidak merasa puas akan jawaban itu. Perasaannya pun jadi aneh, seperti ada yang kurang.
"Kamu nggak percaya, ya?" celetuk Zelena, menggunakan nada bicara semanis mungkin. Dia juga memberikan ekspresi melas yang semoga tidak membuat Saddaru berkeinginan menaboknya.
"Percaya, Sayang." Saddaru menyahut seraya menoleh sekilas sambil tersenyum tipis.
Terdengar helaan napas lega dari Zelena. Suasana kembali hening, hanya terdengar alunan lagu dengan volume rendah.
— ♡ —
Zelena meyakinkan bahwa Sakura akan menyesal karena lebih memilih ikut Saga dibanding Saddaru. Bagaimana tidak, Saddaru membawanya ke sebuah mall besar yang di dalamnya terdapat theme park.
Begini pemandangan yang terlihat dari tempat mereka berdiri:
Kebetulan Zelena memang berkeinginan pergi ke tempat seperti ini. Dia maunya pergi bersama keluarganya —ini malah bareng Saddaru.
Saat Zelena asyik mengamati sekitar, dengan tiba-tiba satu tangan Saddaru menyelinap ke sela jarinya, menggenggamnya dan menarik Zelena ikut bersamanya.
Zelena hampir berontak bila ia tidak ingat dirinya sedang menyamar jadi Sakura, yang pasti akan merasakan adegan seperti ini bersama sang pacar. Untungnya Zelena bisa secepat itu menahan diri. Kalau tidak, bisa-bisa Saddaru jadi korban tamparan supernya.
Dengan santai cowok itu menggandeng Zelena menelusuri tempat permainan, mencari wahana yang seru untuk dinaiki. Pilihan mereka terjatuh pada sebuah wahana yang cukup memacu adrenalin, yaitu Hysteria.
Zelena tersenyum lebar, dia sangat suka dengan sesuatu yang bersifat menantang. Melihat ekspresi Zelena, Saddaru jadi terkekeh tapi bercampur heran. Biasanya pacarnya akan merengek lebih dulu karena takut kenapa-kenapa bila menaiki wahana ekstrem, bukannya malah excited seperti yang Zelena lakukan.
"Kamu beneran mau naik itu?" Saddaru menunjuk permainan itu dan Zelena dengan hati senang mengangguk.
Lantas Saddaru tersenyum dan membawa gadis itu ke tempat antre permainan. Kebetulan antreannya tidak panjang, jadi mereka bisa lebih cepat naik dan menikmati sensasi dari wahana tersebut.
Bersama pengunjung lain yang juga ingin mencoba permainan ini, Saddaru dan Zelena mulai mencari tempat duduk. Mereka duduk bersebelahan, menghadap ke banyak orang yang menunggu permainan ini beraksi.
Senyum semringah tak kunjung pudar dari wajah Zelena, dia sangat senang dan tidak sabar tubuhnya dilepar ke atas dan dibanting ke bawah secara dadakan. Dia juga berseru-seru, meminta agar petugas segera menjalankan permainan ini.
Perlu beberapa waktu sampai semua peserta duduk dengan nyaman dan aman di bangku masing-masing. Pengaman sudah melindungi tubuh mereka agar tetap safety, dan mereka mulai menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Ini dilakukan agar tubuh tidak tegang dan tidak terlalu takut.
Dan tibalah saatnya. Bunyi beep beep mulai terdengar, yang artinya hitung mundur sudah dilakukan. Tidak lebih dari lima detik, suara teriakan dari mereka langsung menambah keramaian tempat ini.
"AAAAAA!!!" Zelena memekik amat sangat kencang, melebihi orang-orang yang juga berteriak.
Di sebelahnya, Saddaru terbahak karena dia sendiri yang tidak histeris. Dia malah terlihat biasa saja, seakan permainan ini tidak berarti apa-apa baginya. Cowok itu menikmati sensasi yang ada, dan juga menikmati lengkingan Zelena yang cukup menyiksa telinga.
Zelena berhenti teriak ketika bangku mereka berhenti di tengah-tengah menara tinggi ini. Tidak lama dari itu, mereka dibanting ke bawah dan semuanya berteriak lagi. Begitu terus sampai akhirnya permainan berakhir.
Zelena dan Saddaru sama-sama berdiam diri sejenak dengan napas tersendat. Usai deru napas mereka kembali normal, barulah keduanya turun dan meninggalkan permainan itu.
"Main apa lagi, nih?" tanya Saddaru ketika mereka telah tiba di luar wahana hysteria.
"Apa ya?" Zelena menyapukan pandangannya ke sekitar, mencari permainan yang menarik perhatiannya.
"Nah, itu!" Zelena menunjuk rel panjang yang melintang di langit-langit, membuat Saddaru lagi-lagi terkejut akan pilihan cewek itu.
"Serius? Mau?" Saddaru memastikan.
"Mau. Ayo!" Zelena dengan penuh semangat berlari ke sana, dan Saddaru otomatis mengejarnya.
— ♡ —
Berbagai wahana di tempat ini hampir semuanya telah dicoba Saddaru dan Zelena. Mereka senang bisa mengisi waktu dengan bermain dan melepas penat sejenak. Yang mereka lakukan sekarang adalah jalan berduaan sambil menikmati minuman yang tadi dibeli Saddaru.
Kali ini Saddaru tidak menggandeng Zelena, karena cewek itu memegang cup minuman dengan kedua tangan. Mereka berbincang mengenai banyak hal, mulai dari yang serius hingga random things. Selama itu pula Saddaru tak henti memerhatikan gerak-gerik Zelena.
Karena asyik ngobrol, mereka sampai tak sadar sudah tiba di parkiran mobil. Jam menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh menit. Zelena ingin cepat pulang dan lepas dari ini semua. Dari penyamarannya, juga dari intaian mata Saddaru.
Selama berjam-jam bareng Saddaru, Zelena sudah bisa mengenal lebih dalam sosok cowok satu ini. Tampangnya memang galak, kalau bicara seperlunya saja, tapi dia selalu bisa membuat cewek yang ia anggap spesial merasa seperti seorang putri.
Zelena tak habis pikir, kenapa Sakura bisa 'sejahat' itu terhadap Saddaru. Sekecil apapun kebohongan, pasti akan tercium busuknya. Zelena jadi merasa bersalah telah menuruti keinginan gila Sakura yang memintanya menyamar.
Pintu aventador kuning itu terbuka dan segeralah mereka berdua masuk. Zelena duduk sambil merapikan rambut panjangnya, sementara Saddaru mulai menyalakan mesin dan bergegas meninggalkan tempat yang semula dipijak.
Kali ini perjalanan mereka dihiasi keheningan yang lebih menggila dibanding pagi tadi ketika mereka pergi ke tempat ini. Entah Saddaru sengaja atau lupa, biasanya dia akan menyalakan musik namun kali ini tidak. Dia juga tak mau buka mulut, benar-benar berhasil menciptakan hening yang terasa mengganggu.
Mungkin Saddaru lelah karena tenaganya terkuras setelah melakukan aktivitas di taman hiburan tadi. Begitu juga yang dirasakan Zelena. Bahkan dia rasanya ingin tidur sekarang.
Saddaru diam-diam melirik Zelena, lalu senyuman begitu tipis muncul di sana. Zelena yang menyadari lirikan itu lantas menoleh dan dalam sekejap Saddaru tak lagi menatapnya.
"Mau mampir dulu? Ke mana gitu," celetuk Saddaru.
Zelena menggeleng. "Pulang aja."
"Oke." Saddaru menyahut dengan begitu santai.
Saddaru memang fokus menyetir. Tapi dia terlihat gelisah karena berkali-kali Saddaru membuang napas berat, memijat pelipisnya, juga mengusap wajahnya. Zelena hanya bisa diam tanpa berkata apa-apa, dia tidak mengerti apa yang sedang dirasakan Saddaru.
"Saddaru!" Zelena tiba-tiba memekik ketika mobil ini hampir saja nyelonong ke arah yang salah —hampir menabrak mobil orang lain.
Mata Saddaru seketika terbuka lebar dan mobilnya berhenti mendadak. Dalam sekejap banyak klakson berbunyi dari arah belakang, membuat kening Saddaru mengernyit dan alisnya saling beradu. Dia melihat kaca spion, lalu mendengus dan kembali melajukan mobil.
"Sorry," ucap Saddaru, pelan dan berat.
Zelena menatap cowok itu dari samping, tidak melihat kebahagiaan lagi di sana. Padahal beberapa saat lalu Saddaru selalu menampilkan wajah senangnya. Tersenyum, tertawa, dan semuanya yang membuat dia terlihat manis.
Ingin sekali Zelena bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Saddaru. Namun, dia rasa tak memiliki hak untuk itu. Meski sekarang dia sedang memainkan peran sebagai Sakura, tetap saja Zelena tak berani melakukannya.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan rumah keluarga Sakura. Keduanya sama-sama terdiam lagi tanpa ada yang memulai dialog. Saddaru bahkan enggan menoleh, dia hanya menunggu Zelena keluar dari mobilnya.
Feeling Zelena semakin tidak enak, membuat degup di dalam dadanya bergetaran tak karuan. Dia sampai sakit perut karenanya. Cewek itu lalu menelan salivanya yang terasa pahit dan berdeham pelan.
"Saddaru, makasih ya," ungkap Zelena, membuat cowok itu akhirnya menoleh dan kembali menatapnya.
Saddaru mengangguk. Kini dia memerhatikan Zelena yang siap-siap keluar dari mobil. Saat Zelena hendak menyentuh pintu, Saddaru tiba-tiba berucap,
"Tolong bilang ke gue, sebenernya Sakura ada di mana?"
Zap!
Tubuh Zelena seakan diberi sihir yang membuatnya membeku, seperti dirinya baru saja berubah wujud menjadi patung. Dia sampai tidak berani menoleh untuk sekadar menatap wajah Saddaru. Tapi, Zelena bisa rasakan cowok itu sedang menatapnya dari belakang.
"Lo Zelena, kan?" ceplos Saddaru lagi, masih terus menghujam Zelena dengan mata tajamnya —meski yang Saddaru lihat hanya rambutnya karena Zelena tak kunjung menoleh.
What the heck! Zelena mengumpat dalam hati.
Cewek itu memejamkan matanya, lalu perlahan menyentuh wajahnya —tepatnya menutup wajahnya dengan satu tangan. Dia tidak menyangka ternyata Saddaru sebegitu peka dengan keadaan. Ini bagus karena membuktikan Saddaru tidak bodoh. Tapi, ini bahaya untuk Zelena!
Pelan-pelan Zelena bergerak dan mencoba untuk tenang. Dia kembali duduk dengan posisi normal, tidak miring seperti sebelumnya. Saddaru masih menunggu jawaban Zelena, tapi cewek itu enggan bersuara.
"Hari ini lo emang persis Sakura. Gue juga sempet nggak sadar. Tapi, ternyata gue masih bisa bedain yang mana cewek gue," ungkap Saddaru. "Rasanya beda."
Hal yang sejak tadi Zelena takutkan akhirnya terjadi. Dia mengutuk dirinya dalam hati dan memaki-maki tanpa sepengetahuan siapapun. Dia malu, tapi lebih tidak tega melihat Saddaru yang tentu sedih dan juga kecewa. Bahkan amat sangat kecewa.
"Berarti Sakura daritadi pergi? Dia nggak di rumah?" ujar Saddaru. "Dia ke mana, Zel?"
Dari suaranya, terdengar Saddaru lelah dan muak dengan keadaan. Cowok itu ingin marah, semua yang ada di dekatnya bisa ia hancurkan dengan tangan kosong. Namun dia mencoba untuk meredam amarahnya dengan tetap bersikap setenang mungkin.
"Oke, lo bisu mendadak." Saddaru menyeletuk lagi. "Ya udah, turun aja."
Pada awalnya Zelena tidak menuruti ucapan Saddaru, dia ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tapi niatnya terurung karena raut wajah Saddaru menyatakan cowok itu sudah benar-benar jemu.
Maka, Zelena menunduk dan meninggalkan mobil. Dia berjalan cepat memasuki pekarangan rumah dengan membawa rasa sesal, malu, sedih, marah, dan hampir semua jenis emosi menyatu dalam dirinya.
Di dalam mobil, Saddaru masih belum berbuat apa-apa. Dia diam, giginya saling beradu di dalam sana, tatapannya semakin nyalang, satu tangannya yang berada di kepala seketika menjambak rambutnya sendiri dan kemudian dia berteriak keras walau singkat.
"KENAPA!" Saddaru memukul stir penuh rasa kesal.
"KENAPA JADI GINI, ANJING!" lanjut Saddaru, marah-marah.
Tak bisa berlama-lama seperti ini, Saddaru seketika tancap gas dan melaju kencang bersama mobilnya. Dia harus pergi ke suatu tempat. Dia perlu meluapkan amarahnya yang sejak tadi terpendam.
### TO BE CONTINUED....#
MAKASIH YA MAMENKU UDAH BACA CERITA INI!!! Nantikan terus kelanjutannya yaaaaa!💜 semangat buat kita semua!🎉🎉🎉
~ rache ~
ig: @radenchedid
@noveloscillate
@mzsaddaru
@charlotte.sakura
@sagadomini
@davilanaraka
@figomamen
@charleznolan
@alanspazio
@gidionsahala
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro