Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 - Permainan Menuju Neraka

06. PERMAINAN MENUJU NERAKA

Davila memandang Figo dan Saga yang terdiam di tempat, enggan memberi tau keberadaan Sakura. Selain gertakan, ancaman pun tidak mempan bagi dua cowok itu. Mereka tidak akan membiarkan Davila tau di mana Sakura.

Tiba-tiba Davila tertawa kecil, tapi tawanya terdengar seperti meremehkan dua cowok di hadapannya. Figo dan Saga sama-sama menampilkan wajah bingung bercampur tak suka.

"Perlu waktu berapa abad buat jawab pertanyaan gue?" celetuk Davila. "Tinggal sebut di mana Sakura aja kayaknya susah banget. Bisu mendadak lo?"

Seperti biasa, Davila selalu seperti itu. Habis tertawa, detik berikutnya berubah jadi ketus lagi, ditambah tatapan sinisnya yang menakutkan tapi juga menyebalkan.

"Buat apa lo nanyain Sakura?" Saga berucap. "Masih nggak terima Saddaru lebih pilih dia dibanding menuhin permintaan lo?"

Karena ucapan Saga, Davila semakin dilanda rasa kesal. Mengingat sepupunya, Saddaru, lebih peduli terhadap Sakura dibanding dirinya, Davila jadi makin benci cewek 'putih' itu.

"Mau sampe kapan juga Saddaru bakal tetep ada di pihak Sakura. Mau lo ngancem atau apapun itu, Saddaru bakal terus lindungin Sakura." Figo berujar tegas. "Jadi, lo nggak usah buang-buang waktu buat usik temen gue!"

Davila terdiam. Bukan takut karena perkataan Figo, tapi diam-diam dia mengepal kuat kedua telapak tangannya karena geram. Geram mendengar ucapan Figo. Rasanya dia ingin menghabisi cowok itu sekarang juga.

Sebelum kembali berucap, Figo menoleh ke belakang, tepatnya ke orang-orang yang masih ribut. Pertempuran antara Deathrow dan Riderking. Sudah banyak yang terjatuh dan berdarah-darah, tapi perkelahian belum kunjung selesai.

"Lo nggak bosen bikin orang lain celaka mulu?" cetus Figo tiba-tiba kepada Davila. "Seharusnya lo belajar dari kematian orang tua lo."

"Lo nggak usah bawa-bawa orang tua gue!" sentak Davila, dia tidak suka.

"Tapi, lo seharusnya bisa terima kenyataan! Bukannya dendam nggak jelas kayak gitu, Dav!" balas Saga dengan suara meninggi.

"Shut the fuck up!" marah Davila.

Saga mendengus keras, sedangkan Figo menggerutu. Davila mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredam amarahnya.

Setelahnya, Davila berucap lagi, "Sekali lagi gue tanya. Di mana Sakura?"

"Lo percuma nanya. Gue nggak bakal jawab," balas Figo yang kemudian berbalik badan, mengajak Saga untuk kembali ke motor mereka.

Wajah Davila memerah tanda marah. Kepalan pada kedua tangannya semakin kuat, urat-urat di pergelangan tangan serta wajah dan lehernya mulai timbul.

Dengan lantang, Davila berseru, "DEATHROW!"

Anggotanya itu serempak menoleh ke arah Davila, menunggu apa yang akan dikatakan oleh leader mereka. Langkah Figo dan Saga juga terhenti. Mereka berdua sama-sama berbalik badan, melihat Davila yang siap menerkam mereka bersama pasukannya.

"Lo nggak bisa seenaknya sama gue. Lo nggak bisa main-main sama gue," ujar Davila, geram.

"EGOIS LO, TOLOL!" Saga berucap tidak santai.

"Gue ada hak buat nggak kasih tau lo di mana Sakura. Dia temen gue. Gue mau dia aman," ujar Figo.

Davila tertawa lagi, kali ini tawanya lebih seram karena sama sekali tidak ada yang lucu tapi dia malah ketawa. Sambil berucap, Davila melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo pikir gue peduli?"

"Lo pilih Sakura aman, atau lo berdua yang aman?" lanjut Davila. "Kalo tetep kekeuh nggak mau ngasih tau gue di mana Sakura ... Deathrow bakal bikin lo berdua mati. Satu menit setelah ini, lo nggak bakal bisa ketemu temen-temen, bahkan keluarga lo lagi."

Kini Davila maju beberapa langkah mendekati Figo dan Saga, dan berhenti tepat di hadapan dua lelaki itu. Davila mengangkat dagunya, menatap rendah dua anak tadi.

"Gue tau, lo paham siapa gue. Gue nggak pernah main-main sama apa yang gue bilang. Gue selalu serius," papar Davila.

Saga gemas, rasanya ingin menabok Davila sampai kepalanya hilang. "Lo nggak bisa buat nggak ngancem orang, ya? Selalu nyebut-nyebut mati. Lo bukan Tuhan, Dav!"

"Tuhan?" Davila tertawa lagi. "Man, gue ngancem bukan cuma omong doang. Bukan cuma gertakan supaya orang takut. Gue serius, gue bakal jadiin anceman itu fakta kalo apa yang gue mau nggak terwujud."

Saga dan Figo tetap tidak mau membeberkan informasi tentang keberadaan Sakura. Figo berkata, "Terserah lo. Yang pasti gue sama yang lain bakal tetep lindungin Sakura."

Davila pun bertepuk tangan sambil menggeleng kepala, seperti kagum padahal tidak. "Segitunya, ya? Demi cewek aneh kayak gitu, sampe rela nyerahin diri ke Deathrow?"

Davila benar-benar keras kepala. "Oke, berarti lo berdua udah siap mati, nih?"

Wajah Saga memanas, detak jantung Figo berdebaran sangat kencang. Apalagi ketika satu per satu anggota Deathrow mulai mendekat, menampilkan wajah garang seperti singa yang kelaparan.

Tinggal beberapa detik lagi maka Deathrow akan menghajar Figo dan Saga habis-habisan tanpa ampun. Sebenarnya mereka berdua tidak mau seperti ini, tapi mereka juga tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Sakura.

Ketika beberapa anggota Deathrow berhasil mendorong Saga dan memukul Figo, Davila tiba-tiba berteriak yang membuat para anggotanya berhenti menyerang. "DEATHROW!" seru Davila.

"Oke, karna lo berdua berani main-main sama gue, gue bakal kasih sesuatu yang nggak bisa kalian tolak." Davila berkata sambil menatap nyalang Saga dan Figo. "Sakura dan hidup lo berdua bakal aman, kalo lo ikutin perintah gue."

"Apaan?" Figo berucap ketus.

Tanpa berucap, Davila berbalik badan dan berjalan menuju mobilnya yang terpakir tak jauh dari tempat ia berdiri. Cowok itu mengambil sesuatu dari sana, setelahnya ia kembali lagi menghadap Figo dan Saga.

Seakan kepalanya mengeluarkan tanduk merah seperti iblis, Davila tersenyum sambil menyerahkan sebuah benda kecil kepada dua cowok itu.

Mereka menunduk, menatap benda tersebut dengan wajah bingung. Mereka juga ragu menyentuh benda itu ketika Davila menyuruh untuk mengambilnya.

Bagimana tidak ragu, benda itu berbentuk kotak kecil berwarna hitam yang di permukaannya terdapat tulisan "Try or Die" dengan gambar tengkorak serta sebuah kalimat pendek di bawahnya. Seram dan aneh, membuat Figo dan Saga 'takut' menerimanya. Apalagi itu pemberian dari seorang Davila Naraka.

"Ambil." Davila menitah. "Gue udah kasih lo kesempatan biar aman dari gue. Jangan coba-coba buat nolak lagi."

Dengan berat hati Saga mengambil benda tersebut dari tangan Davila. Detik itu juga, Davila tersenyum puas, seperti baru saja memenangkan sebuah lotre.

"Kalo lo udah ngumpul sama temen-temen lo, lo harus mainin dia." Davila menunjuk kartu itu saat menyebut kata 'dia'.

"Setelah lo mainin dia, jangan pernah berenti sebelom waktunya." Davila melanjutkan. "Lo harus ikutin permainannya sampe tamat. Kalo nggak, lo semua yang terlibat bakal mati."

"The fuck, Dav?!" Saga tak mengerti, tapi firasat buruk seketika menghampirinya.

"Lo nggak bisa balikin benda itu ke gue, karna dia udah ada di tangan lo sekarang." Davila tersenyum miring. "Ini konsekuensinya kalo lo nggak mau nurutin permintaan gue."

Saga menatap benda tersebut, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara bermain dan apa tujuan dari permainan itu.

"Sakura aman dari gue, tapi keselamatannya sekarang ada di tangan lo." Davila berujar lagi sambil menatap Saga. "Bukan cuma Sakura, tapi lo dan temen-temen lo juga."

"What?" Saga makin pusing mendengar celotehan Davila.

Tanpa mau menjelaskan lebih detail lagi, Davila mundur dan beranjak dari tempat. Sebelum masuk ke mobil, cowok berambut pirang itu berseru pada Deathrow untuk lanjut menghajar Riderking. Kemudian Davila menoleh ke Saga dan Figo, lalu berkata,

"Have fun. Kalo ada apa-apa, bukan tanggung jawab gue."

• • 🌻 • •

Sekitar pukul delapan lewat beberapa menit, rumah Sakura masih ramai karena kunjungan teman-teman. Sakura yang sejak tadi murung karena kematian Hipu kini mulai tertawa lagi karena mendengar cerita lucu dari teman-temannya itu.

Ketika sedang happy seperti ini, Sakura selalu teringat akan masa lalunya. Ketika dia sendirian, selalu kesepian karena tak memiliki teman. Ibu yang sibuk bekerja, ayah yang berada di negara lain, kakak yang juga sibuk kuliah.

Setiap hari Sakura pasti berdoa, meminta kepada Tuhan untuk diberikan seorang teman. Tak apa walau hanya satu, yang penting bisa mewarnai hari-hari Sakura.

Namun pada akhirnya, Tuhan tak hanya memberinya satu teman, tapi banyak dan semuanya baik padanya. Sakura sangat bersyukur untuk itu.

Ingin rasanya momen ini akan selamanya seperti ini. Sakura tidak akan siap bila harus kehilangan mereka semua. Cukup Hipu yang pergi, yang lain jangan.

"Woi, lama amat lo berdua? Abis ngapain?"

Suara Nolan membuat perhatian teman-temannya teralihkan ke dua orang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan ini. Saga dan Figo.

"Tadi makan dulu di luar," ucap Figo, tak sepenuhnya berbohong.

Karena sebelum pergi ke rumah Sakura, dia dan Saga mampir memberi makanan sambil berbincang ringan membahas Davila dan benda tadi. Sejujurnya mereka takut, tapi harus melakukannya.

"Tumben, biasanya sengaja ngosongin perut biar bisa ngerampok makanan di rumah gue," celetuk Nolan, sedikit mencibir.

Figo tertawa. "Saga tuh ngeracunin gue buat jajan dulu! Katanya biar kenyangnya double."

"Dih, lo kali yang malak gue buat beliin lo jajanan!" balas Saga.

Akhirnya, dua cowok itu pun ribut karena makanan. Teman-temannya hanya bisa tertawa dan menggeleng melihat tingkah mereka. Setelah puas ribut, Figo dan Saga menempatkan diri duduk lesehan di atas karpet bulu yang lembut dan nyaman.

Ini waktunya.

"Bro, Sist, sini deh." Figo mengajak teman-temannya yang duduk di sofa untuk turun dan ikutan lesehan.

"Ngapain?" Nolan bertanya sambil mengecilkan volume pada televisi.

"Sini, Saga punya mainan." Figo berkata dengan ceria, walau pada nyatanya dia cemas.

Sakura, Saddaru, Alan, Nolan dan Brisia pun menurut dan duduk melingkar di atas karpet bulu. Mereka menunggu Saga mengeluarkan benda itu, terlihat penasaran tentang permainan jenis apa yang akan ditunjukkan.

"Ini." Saga meletakkan benda kotak hitam itu di atas karpet, di tengah-tengah mereka. "Kita main itu."

Saddaru mengerutkan kening saat melihat judul permainan tersebut. Lalu ia tersenyum tipis, terlihat excited. "Seru kayaknya."

"Iya. Coba buka. Isinya apaan?" ucap Nolan.

Saga pun meraih benda itu lagi dan membuka penutupnya yang ada di bagian atas kotak. Setelah terbuka, Saga membalikkan kotak itu hingga benda yang ada di dalamnya jatuh semua.

"Wah, kartu," celetuk Alan. "Kayak Uno, ya, Ga?"

Saga menggeleng. "Gue nggak tau, Lan. Gue belom pernah mainin, ini yang pertama kali."

Bukan hanya kartu, permainan tersebut memiliki sebuah benda berbentuk pulpen tapi sedikit lebih pendek. Warnanya hitam, salah satu ujungnya runcing berwarna merah.

Sebelum memulai permainan, Saga membaca instruksi yang tertulis di bagian belakang kotak mainan itu.

Pertama, kocok semua kartu dan jangan biarkan satu pun orang melihatnya. Artinya, kartu harus dalam posisi terbalik ketika dikocok.

Kedua, letakkan kartu di tengah-tengah para pemain.

Ketiga, leader mengambil kartu paling atas dan membacakan perintah yang tertulis di sana.

Keempat, putar tongkat kecil di tengah-tengah para pemain hingga berhenti dengan sendirinya. Lihat bagian runcing tongkat itu berhenti di siapa, maka dia-lah yang harus memenuhi perintah di kartu tadi.

Kelima, kartu yang telah dibuka harus disimpan agar perintahnya tak terulang lagi.

Keenam, semua yang terlibat harus mengikuti peraturan permainan dengan baik.

Ketujuh, permainan berakhir ketika leader mendapatkan kartu bertuliskan "The End". Namun, kartu itu sangat langka.

Kedelapan, semua risiko ditanggung oleh para pemain.

Setelah membacakan peraturan permainan, Saga terdiam. Bukan hanya Saga, semua yang mendengar melakukan hal yang sama.

"Aku boleh nggak ikutan?" celetuk Sakura, takut.

"Nggak, Sa. Semuanya harus ikutan," sahut Figo, membuat Sakura cemberut.

"Ini kan cuma game, santai aja." Saddaru tersenyum kalem.

"Betul!" sambar Nolan.

Tanpa diketahui teman-temannya, Saga menyimpan rasa takut luar biasa karena permainan ini. Dia menyesal telah menerima benda itu dari Davila. Tapi, kalau Saga menolak, Sakura bisa celaka.

"Tunggu, leader-nya siapa?" Brisia bertanya ketika Saga hendak mengocok kartu-kartu itu.

"Gue," jawab Saga.

"Oke." Brisia mengangguk.

Saga pun mulai mengocok tumpukan kartu itu dengan gerakan lambat di awal, dan cepat di akhir. Setelah beberapa detik mengocok, Saga berhenti dan menaruh kartu-kartu itu di tengah-tengah temannya.

Satu tangan Saga terulur pada kartu itu, mengambil satu kartu di paling atas. Rasa cemas semakin menghantuinya. Dia tau ini hanya permainan yang mungkin beberapa orang menganggapnya lelucon, tapi feeling Saga mengatakan permainan ini 'tidak biasa'.

"Buka, Ga!" Alan tak sabaran.

Dengan napas yang mendadak terasa berat, Saga membalikkan kartu itu dan membaca perintah yang tertulis di sana.

"Cari bangkai hewan bersisik di sekitarmu."

Mendengar itu, semuanya serempak berucap, "Hah?"

"Buset, bangke hewan bersisik?" heran Nolan.

Perasaan Saga semakin tidak enak. Kini dia harus memutar tongkat kecil berujung runcing itu di tengah teman-temannya. Agar tongkat tersebut bisa muter, Saga menaruhnya di atas kotak yang permukaannya datar.

Setelah tongkat itu berputar, semuanya mematung dan menunggu benda itu berhenti. Detik-detik berikutnya, tongkat itu diam dan ujungnya mengarah ke ....

"Brisia."

• • • • •

yes akhirnya update!!! gimana chapter 6? kasih komentarnya ya!💜💜👍🏻

next part? spam comment di sini cobaaaa

coba juga tulis APA YANG MAU KALIAN SAMPAIKAN KE ANAK-ANAK DI BAWAH INI:

- DAVILA

- SADDARU

- SAKURA

- SAGA

- FIGO

thanks ya udah baca 💋 ikutin terus kisah Oscillate 2 sampe chapter-chapter berikutnya ok!

SEE YOU AGAIN MY AMIGOS 😽



FOLLOW IG:
radenchedid
mzsaddaru
charlotte.sakura
sagadomini
figomamen
gidionsahala
charleznolan
alanspazio
davilanaraka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro