Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Konstituen 2 | Tak Perlu Khawatir

Pagi ini aku memiliki jadwal temu dengan ketiga sahabatku. Di sebuah kafe sekitar Cihampelas, dekat dengan restoran tempat hatiku hancur, kami bertemu. Tidak ada agenda khusus yang harus kami laksanakan di sana. Hanya bercengkerama sembari menghabiskan waktu bersama-sama, layaknya remaja-remaja yang masih berseragam putih-abu atau bergelar mahasiswa baru.

Tujuh pagi adalah waktu yang tepat untukku. Waktu di mana otakku mampu bekerja secara maksimal mengenai segala perihal yang harus dituntaskan. Jadi aku datang lebih dulu ke sana, duduk di salah satu meja dekat tembok dengan pemandangan Cihampelas Walk yang dipadati penduduk, ditemani secangkir cappuccino dan sepiring kecil kue bolu. Setelah benar-benar nyaman, aku menyalakan laptop dan melanjutkan mengetik naskah novelku yang ketiga. Keseluruhan novelku kurang-lebih berdasarkan tentang bagaimana sakitnya ditinggalkan orang yang dicintai. Aku benar-benar pernah merasakannya, jadi mengerti bagaimana harus menuangkannya dalam sebuah buku.

Di buku ketiga ini, aku ingin menceritakan sesuatu yang sedikit berbeda dengan dua buku sebelumnya. Di buku pertama, aku menyiksa tokoh utama dengan cinta yang begitu teramat, hingga ketika ia ditinggalkan, perasaannya masih begitu besar-kutulis beberapa minggu setelah putus dari Aura. Di buku kedua, aku membunuh tokoh utama dengan kedok berdalihkan cinta. Dan di buku ketiga ini, rasa-rasanya aku harus keluar dari zona menyedihkan itu. Bagaimana aku bisa mengobati hati bila kepalaku selalu disesaki penyesalan-penyesalan yang berujung pada rasa sakit?

Banyak orang yang memberi komentar mengenai kedua buku sebelumnya. Entah menyukai atau membenci, aku hanya bisa mengulas senyum mendengarnya. Setidaknya mereka tahu kalau apa yang kutulis di sana sudah dibuat serealistis mungkin, tanpa ada bumbu-bumbu drama berlebihan layaknya sinetron.

Waktu benar-benar pergi begitu cepat ketika aku merasa nyaman dengannya. Baru mengetik beberapa ribu kata, sembari memikirkan dinamika hidup yang berkelumat, temanku mulai berdatangan. Diawali dengan Alif yang datang dan berdiri kebingungan di depan pintu masuk, sampai akhirnya kuangkat sebelah tangan untuk mengundangnya ke mari. Wajahnya terlihat sumringah ketika mendapatiku-yang sudah tertebak sedang melakukan apa dengan laptop menyala-duduk di sana.

"Dari tadi?" Alif menanyakan jawaban yang sudah menjadi rahasia umum. Mungkin ia hanya ingin sedikit basa-basi, menyadari bahwa baru kami berdua yang sudah sedia di tempat. Aku pun menjawabnya dengan anggukan. Alif kemudian memanggil seorang pelayan, memesan minuman dan beberapa camilan. "Gimana proyek naskahnya?"

"Lumayan bagus," jawabku singkat. "Kali ini gue mau buat cerita yang berbeda dari dua novel sebelumnya."

"Oh, ya?" respons Alif bersemangat. "Gimana-gimana? Berbeda gimana?"

Kalau dipikir-pikir, ketiga temanku itu bisa dibilang sebagai orang-orang pertama yang membaca naskahku sebelum naik terbit. Menanyakan perihal kritik dan saran pada mereka dalam membuat perbaikan. Dan Alif termasuk ke dalam orang yang sangat menyukai tulisanku. Entah itu novel atau sekadar bait-bait puitis yang kubagikan melalui laman Instagram.

"Gue mau bikin akhir yang berbeda."

Alif menatap saksama, lalu menautkan alisnya. "Bahagia?"

"Bisa dibilang begitu ...." Aku menekan salah satu tombol yang tersusun pada keyboard laptop, kemudian menyudahi kegiatan tersebut. "Gue mau bikin sesuatu yang baru. Rasanya, basi kalau gue lagi-lagi bikin cerita yang mau sebagaimana pun konflik yang dituangkan, tapi akhirnya tetap sama."

"Oh ... paham-paham," gumam Alif.

Kami pun sedikit membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan pekerjaan. Haekal Aliffian, atau kerap disapa Alif, adalah sarjana lulusan Ilmu Komunikasi yang kini membangun usaha sebagai event organizer di Bandung. Di tahun-tahun awal kelulusan, Alif berhasil bekerja di salah satu event organizer ternama, sayangnya itu hanya bertahan selama dua tahun, sampai akhirnya ia memutuskan membangun usaha sendiri. Dan siapa sangka justru pekerjaannya kini benar-benar sukses.

"Fan?" Alif menyebutkan namaku. "Gimana? Udah dapet pengganti dia? Pengganti Aura?"

Aku tidak mempersiapkan diri untuk pertanyaan semacam itu. "Entahlah. Rasanya, belum," jawabku spontan.

"Mau sampai kapan? Umur lo udah mau kepala tiga. Bukannya gue terlalu mendesak lo untuk segera menikah atau sebagainya, tapi ya minimal lo harus udah memikirkan seseorang untuk menyisihkan Aura dari hati lo."

Alif memang tidak payah malu dalam mengucapkan perihal yang bersangkutan dengan pernikahan. Sebentar lagi, kurang lebih satu bulan, ia akan menikahi gadis cantik bernama Raina setelah menjalani pertunangan selama lima bulan. Dan, yah, aku tidak menyalahkan sikap asistensinya itu dalam asmaraku. Toh, meski aku lebih berpengalaman, tapi Alif-lah yang sebentar lagi menginjak kaki pada tingkatan dunia yang lebih sulit. Pernikahan.

"Iya, gue paham."

Kalimat itu benar-benar mengakhiri pembicaraan singkat kami. Tak lama diikuti oleh kedatangan dua temanku lainnya, Kevin dan Rendra, yang bersisian menghampiri kami dengan cangkir di masing-masing salah satu genggaman.

"Gila! Bandung makin lama makin hilang asrinya, ya!" gerutu Kevin, setelah duduk di sisi Alif dan menaruh tasnya secara kasar di atas meja. "Udah macet, banyak polusi lagi."

Rendra tidak menghiraukan keluhan Kevin. Ia membenarkan posisi kacamatanya dan duduk tenang di sampingku. "Gimana kabar Raina, Lif?" Ia mulai angkat bicara selepas Kevin lelah bersuara.

"She's good."

"Gue cuma mau ngingetin lo aja, ya. Masa lajang dengan masa nikah itu bener-bener berbanding terbalik. Gue paham mungkin lo bakalan bosen sama ceramahan ini, tapi gue cuma mau memastikan sampai lo paham seutuhnya."

"Papa is talking now," ejek Kevin, lalu dibalas delikan tajam oleh Rendra. "Just kidding, Bro ...."

"Nih, ya, Lif, lo tuh udah mau jadi pemimpin buat seorang wanita. Jangan berlagak kayak bocah di samping lo itu." Rendra memajukan dagunya ke arah Kevin. "Bisa-bisa nanti wanita itu nyesel lagi."

Kami semua tertawa geli, terkecuali Kevin, tentunya. Lelaki yang lebih muda satu tahun dibanding kami bertiga-karena meraih akselerasi-itu hanya bisa menggembungkan pipinya. Dari awal nada tawa kami mengudara, sampai akhir tawa kami melenyap.

"Bercanda, ya, Vin." Rendra sedikit bangkit dan menepuk bahu Kevin beberapa kali. "Nanti juga lo bakal merasakan apa yang sekarang gue atau Alif alami."

Nampaknya bila membicarakan perihal hati, aku adalah sosok yang paling sulit untuk disadari keberadaannya. Meski tampak larut dalam tawa bersama lainnya, hatiku tetap enggan bersatu ke dalam topik pembahasan. Cinta. Mungkin ada sedikit rasa trauma di dalam sana, sehingga terus meronta pada akal untuk memikirkan cara agar bisa menyelamatkan diri dari topik yang mematikan ini. "Oh, iya, gimana kabar Yuka?"

Rendra menoleh ke arahku. Kombinasi antara anggukan dan senyuman adalah pertanda akan jawaban yang mengatakan bahwa wanita itu baik-baik saja. Mungkin aku mengambil langkah yang tepat untuk membuat Rendra menyadari keberadaanku, karena setelahnya, ia hanya menyesap kopi yang masih mengebulkan asap tersebut.

"Kapan-kapan kita main di restoran Yuka bisa kali, ya?" Alif berusaha mengembalikan suasana ramai. "Sekalian ketemu sama keponakan."

"Maaf, ya, Fan." Terdengar nada penyesalan pada kalimat itu. "Gue gak bermaksud."

"Santai aja kali," kataku. "Malah, kayaknya, gue butuh banyak saran dari lo dalam urusan ini."

Rendra menaruh telapak tangannya di bahu kiriku. "Tentu!"

Perkumpulan kami selanjutnya dipenuhi oleh topik-topik yang selalu hadir di tiap pertemuan, yaitu membahas pekerjaan, film, dan terkadang kenangan ketika kami duduk di bangku SMA. Membahas sebuah memori tidak pernah menjadi hal yang membosankan bila itu termasuk dalam kategori indah. Entah berapa kali diucapkan, baik melalui mulutku, maupun mulut lainnya, kenangan itu tetap sama. Menyimpan berjuta-juta rasa yang mungkin kini mulai terlupakan.

Selain aku dan Rendra, kami menjalankan perkuliahan di kampus yang berbeda, juga jurusan yang tak sama. Ketika meraih gelar sarjana, aku mengambil fokus pada Sastra Indonesia. Alif mendalami Ilmu Komunikasi. Rendra menarik Manajemen sebagai tujuan. Sedang, Kevin mengejar mimpinya sebagai diplomat melalui Hubungan Internasional. Beruntungnya, pertemanan kami tidak terlupakan hanya dengan alasan berbeda jurusan atau kampus. Kami sering bertukar informasi mengenai apa-apa saja yang terjadi di sekitar ketika bermain sama-sama.

Namun, ketika pekerjaan menjadi dunia kami, perlahan komunikasi kami mulai berkurang. Bahkan untuk bertemu hari ini saja, kami membuat janji dari seminggu yang lalu, atau mungkin sebelumnya.

"Ren, gimana kabar Alisya?" ucapku menanyakan anak pertama Rendra-Yuka yang secara tidak langsung menjadi keponakanku.

"Dia baik, sebentar lagi mau masuk ke TK, umurnya udah hampir empat tahun. Nanti pas ulang tahun dia, kalian semua pasti datang, 'kan?"

Kevin memajukan tangan kanan dan mengangkat ibu jarinya. "Pasti!" Lalu terkekeh seorang diri.

"Iya, nanti gue bakal ajak Raina buat ketemu Yuka sama Alisya," jawab Alif.

"Tak perlu khawatir, Alisya juga keluarga gue, jadi gue pasti datang." Giliranku memberi kepastian. "Tapi, mungkin gue bakal dateng sama nyokap. Gak apa?"

Rendra menggaruk rambutnya sendiri. "Harus banget, ya, lo tanya hal yang udah lo tau jawabannya?" Kemudian tawa meledeknya terbit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro