Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Konstituen 1 | Jangan Kembali Padaku

2018 adalah tahun di mana semua kesialan itu menimpa tubuhku. Ketika angka 24 hadir menemani hidupku. Ketika bersiap untuk melaksanakan wisuda gelar master yang akan terjadi beberapa hari kemudian. Ketika seluruh penantian untuk mengikat janji sehidup-semati berada di penghujung lidah.

Malam itu adalah malam Minggu. Tepat di tanggal di mana kami seharusnya merayakan hari kebersamaan yang ketiga tahun. Di sebuah restoran di Kota Bandung, aku duduk manis menanti kehadirannya. Sengaja datang lebih awal untuk memberinya sedikit hadiah karena sudah bersedia menemaniku, terlebih lagi di tahun-tahun aku meraih gelar magister.

Tepat pukul delapan malam, di waktu yang sudah kami sepakati sebelumnya, ia datang dengan mengenakan gaun berwarna navy. Kalau tidak salah ingat, itu adalah kado ulang tahunnya dariku di tahun sebelumnya. Dengan anggun ia berjalan indah menghampiri bangku yang kosong di hadapanku. Sontak, aku bangkit dan menarik bangku tersebut sedikit ke belakang, mempersilakannya untuk duduk di sana. Setelah ia berkata, "Terima kasih." Aku langsung kembali ke tempat sebelumnya.

Tak lama seorang pelayan lelaki datang membawakan sebotol anggur yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Dituangkannya anggur tersebut ke dalam gelas masing-masing untuk kami. Tersenyum, mengucapkan selamat menikmati, lalu kembali hilang.

"Aura ...." Aku menyebut namanya perlahan. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Aura meneguk anggur itu dalam sekali tegak. Tatapannya kini tertuju padaku. Dengan sendu, ia melihat bola mataku yang sudah kepanasan melihat ke sembarang arah. Aku belum mengerti kenapa wajahnya muram sekali malam ini, tapi aku harap itu bukan sesuatu permasalahan yang rumit.

"Arfan, aku juga memiliki sesuatu untuk dikatakan," katanya, "bolehkah?"

Aku mengangguk spontan. Setidaknya, saat Aura menyampaikan hal yang dimaksud, aku bisa mengontrol perasaanku, mengatur napasku, dan menenangkan emosiku. "Oh, baiklah. Apa yang ingin kamu katakan?"

Dari caranya berlagak di depan mataku, tampaknya besar sekali perihal yang ingin disampaikan. Aura tahu kalau saat itu aku baru saja lulus meraih gelar master di bidang psikologi, karena itu ia berusaha keras supaya terlihat berperilaku normal. Padahal aku bisa mengerti kalau tingkahnya berbeda dengan Aura yang kukenal.

"Aku ingin kita putus."

Empat kata itu datang dalam sekali ucap. Aku yang belum siap mendengar akhir dari kisah kami, hanya dapat tercenung. Tidak menjadi sosok yang responsif seperti biasanya. Kata demi kata aku pilah demi mendapat makna sesungguhnya. Namun, hasil yang didapat tetaplah sama. Sebuah penyelesaian.

"Kamu dengar aku, Arfan? Aku ingin ... kita putus." Aura mengucapkannya dengan kepala yang ditundukan. Suaranya bergetar. Air mata yang menetes jatuh terlihat secara jelas dari pandanganku. "Sebaiknya kita tidak pernah bertemu lagi. Jangan kembali padaku."

Entah apa yang dipikirkan Aura pada malam itu. Jelas-jelas ia tahu seberapa besar cinta yang kumiliki untuknya, tapi kenapa begini? Kenapa ia mengatakannya seolah tidak mengetahui apa yang kurasakan?

"Kenapa?" Mau tidak mau aku harus terlihat tegar. Di dalam restoran ini banyak sekali pasang mata yang memiliki perhatian masing-masing. Aku tidak ingin air mata yang mengalir nanti mengundang perhatian pasang-pasang tersebut ke arah kami. "Bisa kamu jelaskan kenapa?"

Aura menyeka air matanya yang turun. Seketika aku tahu menyadari alasan kenapa ia bertingkah aneh pada malam itu. Alih-alih menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, Aura justru bergegas bangkit untuk pergi meninggalkanku.

"Aku terima kita putus," kataku, lantang. "Asalkan kamu memberiku alasan kenapa."

Ucapanku mematahkan niatnya untuk pergi. Bagaimana tidak, beberapa pasang mata rupanya sudah terpanggil oleh kata-kataku tadi. Dan Aura tidak mungkin meninggalkan tempat itu tanpa memberi sebuah jawaban, aku kenal dia dengan baik.

"Orang tuaku ingin kita untuk putus. Mereka menginginkanku untuk segera menikah. Pada awalnya mereka memang mengizinkanku untuk berpacaran denganmu, tapi sepertinya mereka menyesal akan hal itu. Ayahku bilang, kamu adalah lelaki yang terlalu takut untuk mengambil keputusan dalam mencintai anak perempuannya, aku. Ibuku bilang, kamu tidak memiliki jaminan yang kuat di masa nanti bila hanya mengandalkan kedua gelarmu itu. Sastra Indonesia dan Psikologi, bukanlah dua gelar yang menjamin kebahagiaan anaknya, kebahagiaanku."

"Lalu ... bagaimana denganmu?" Rasa-rasanya air mata sudah menggumpal di pelupuk netra. Beberapa kedipan mampu menjatuhkan mereka satu persatu. "Bagaimana dengan perasaanmu terhadapku?"

Aura diam tanpa jawaban.

"Apa perasaanmu itu menggantung terhadap keputusan orang tuamu?" Aku berusaha menahan kekesalan untuk diungkapkan. "Lantas itu adalah perasaanmu atau orang tuamu, hah?"

Dua pertanyaan yang bersifat ofensif itu langsung membangkitkan Aura dari tempatnya bersenggama. Ia menatapku penuh kebencian, lalu berkata, "Kurasa aku sudah sering mengatakan bagaimana hal-hal yang menyangkut dengan kedua orang tuaku. Kurasa kamu mengerti. Kurasa kamu memahami. Kurasa kamu memaklumi. Namun, nyatanya tidak."

Tiap-tiap kata yang diucapkan menyiratkan ribuan emosi yang terkubur. Saat itu tatapan pasang-pasang mata di sekitar sudah mengarahkan fokusnya pada kami.

"Awalnya, kukira aku salah karena mengikuti perkataan Ayah dan Ibu untuk memutuskan hubungan denganmu. Nyatanya, setelah mendengar pertanyaanmu yang seolah menyalahkan orang tuaku, aku tidak menyesal untuk meninggalkanmu."

Aura benar-benar kandas dari pandanganku. Tubuh gemulainya itu lenyap ditelan tembok-tembok yang berasosiasi dengan belok-belok jalanan. Aku kembali sendiri. Kalau diingat, banyak sekali mulut-mulut yang ikut berkomentar mengenai kami dalam bisik, meski tidak mengerti apa permasalahan kami, atau mengenal siapa kami yang sebenarnya.

"Permisi, Tuan." Saat melebur diri bersama khayal, menjauhkan diri dari aspek-aspek hidup yang gemar mengelilingi seorang manusia, seorang pelayan memanggilku. "Kira-kira ... kapan saya mengantarkan pesanan Anda?" ucapnya dalam ragu.

Aku hanya mampu menoleh. Menatap pelayan wanita itu dalam-dalam dan menggeleng di beberapa detik kemudian. Tanpa mengucap sepatah kata, aku mengarahkan tanganku padanya. Meminta apa yang sebelumnya sudah kuberikan.

"Ah! Tunggu sebentar." Ia berlari, lagi-lagi seseorang meninggalkanku, tapi kembali beberapa menit kemudian dengan napas yang tersengal-sengal. "Ini, Tuan."

Aku meraih sebuah kotak yang di dalamnya berisikan cincin berlian yang sudah kubeli beberapa saat sebelumnya. Beruntung kepekaan pelayan itu bekerja dengan baik, sehingga aku tak payah memberinya isyarat untuk pergi. Entah kenapa, di satu sisi aku tahu ditinggalkan seorang diri itu menyakitkan. Namun, di sisi lain aku merasa ingin menyendiri karena hanya aku yang mengenal diriku sendiri.

Malam itu restoran sedang ramai-ramainya diisi oleh kawula muda. Selain itu, banyak juga orang seusiaku sedang merajut kisah bersama orang yang dikasih. Aku sudah memesan meja itu untuk satu malam penuh, sebenarnya. Siapa sangka ternyata pertemuan kami hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat?

Kira-kira, setelah lima belas menit menjadi objek pandang puluhan pasang mata di sana, aku memutuskan untuk pergi. Berjalan lesu meninggalkan restoran, menuju tempat di mana mobil-mobil diparkirkan.

Setelah pintu mobil diyakinkan sudah terkunci. Aku menghantam kepalaku sendiri ke arah kemudi. Mungkin saat itu semua emosi sedang bercampur melempar keluh-kesah, sehingga aku memaki diri sendiri.

Dan alasan terkuatku menjadikan hujan sebagai objek sendu adalah kejadian setelahnya. Mungkin semesta sedang jahil memperhatikan penghuni-penghuni yang ia cengkeram melalui udara, dan tidak sengaja melihat nasib sialku malam itu. Semesta pun merasa simpati. Ketika aku menangis, ia juga menangis.

Memang benar kalau kita sedang bersedih dan hujan turun, itu sangat-sangat menenangkan. Mendengar nada tiap rintik-rintik yang rela untuk jatuh. Saat itu, aku tidak dapat mencium aroma sejuk yang semesta berikan sebagai obat.

Aku semakin yakin bahwa semesta memperhatikanku ketika aku berhenti menangis, hujan ikut berakhir. Setelah sepuluh menit memandikan bumi, semesta kembali memberi penawar kesedihan melalui petrichor. Aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah yang kering.

Mobilku masih bersinggah di tempat yang sama, parkiran restoran, dari dimulainya sampai berakhirnya hujan-hujan menjatuhkan diri.

Ketika kaca mobil menyingkir perlahan, bebauan itu langsung menyerbak masuk. Menentramkam masalah-masalah yang tertumpuk tanpa tahu kendali. Sementara waktu, masalahku dengan Aura dapat dilupakan. Untung saja sidang thesis sudah terlaksana beberapa hari lalu, sehingga tidak membuat pikiranku pecah.

Aura bilang, aku bukan seseorang yang bisa membahagiakannya dengan materi. Apakah setiap manusia selalu menentukan kadar kebahagiaan berdasarkan kekayaan? Dan orang tuanya bilang, gelar yang kumiliki bukanlah sebuah predikat yang bisa menjamin kemakmuran. Apakah setiap manusia selalu membagi tiap-tiap gelar berdasar apa yang belum tentu terjadi di masa depan?

Katanya, Sastra tidak menjamin pekerjaan. Begitu juga Psikologi. Namun, pemikiranku tidak demikian. Hanya karena mereka pikir berasal dari keluarga dengan tingkat hierarki tertinggi, Kedokteran, semena-mena merendahkan pihak lainnya begitu rendah.

Dan karenanya, harus ada hati yang tersakiti. Menjadi akibat atas ketamakkan manusia lain. Membunuh perasaan-perasaan tulus yang tidak pernah berbuat salah.

Apa manusia memang seburuk itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro