[OS] Another Red
***
Malam ini bulan semakin cekung. Angin malam masih menyelimuti tubuh Seohyun. Gadis itu menatap tanpa kedip. Ia tak menghiraukan orang orang yang mulai meninggalkan pantai menuju kelab kelab malam untuk berpesta. Pesta tak akan mengubah apa pun.
Bulan tidak lagi cekung. Ia menjadi lebih besar besar dan tak terbentuk lagi. Air mata itu membiaskan keindahan bulan. Mata indah itu kini mulai dibasahi air mata. Seohyun mendongak ke atas berharap air mata itu tak jatuh. Namun kepalanya terus menggeleng menolak dan tak kuasa menahan keluarnya air mata. Seohyun sebal setiap menangis, bagaimana dirinya, seorang manusia, makhluk hidup, justru tak bisa mengendalikan air mata, bukan makluk hidup, hanya benda mati. Dan hanya rasa sakit seperti palu yang terus menghantamnya. Perih rasanya. Tidak, bukan perih. Ini tentang perasaan yang tidak dapat digambarkan, bagaimana ia bisa menggambarkan perasaan bila hatinya saja sudah tak terbentuk?
***
Cappucino
Luhan mengangkat tangannya dan membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah pelayan. Cappucino untuk sarapan di hari tenang tanpa bekerja. Cappucino dua cangkir, untuk dirinya dan yeoja itu.
Luhan mengeluarkan ponsel dari satu celananya. Dengan cepat ia mencari kontak seseorang, namun belum sempat ia melakukan panggilan. Ia mencium aroma parfum yang sangat dikenalnya.
"Seohyun ?"
Gadis berkulit putih dengan rambut hitam panjang tergerai langsung duduk di kursi sebelah Luhan. Gadis itu menatap melihat Luhan yang masih memegang ponselnya. Ia berkali kali melihat Luhan kemudian ia mengalihkan pandangan pada ponsel hitam yang dibawa Luhan. Tak lama kemudian ponsel hitam itu sudah beralih tangan di tangan Seohyun. Seohyun mengangkat ponsel itu tinggi kemudian menjulurkan lidahnya pada Luhan. Kini Seohyun tersenyum sinis melihat Luhan yang bengong. Belum sempat Seohyun mengobrak – abrik ponsel namja ganteng itu, hidungnya mencium aroma cappuccino kesukaanya.
Tanpa ragu, Seohyun segera mengambil cappuccino yang baru saja di letakkan di meja tanpa mengingat kembali keadaan ponsel Luhan yang baru terlempar dan kini sudah sekarat di lantai. Kejadian ini sangat singkat, hanya dalam kedipan mata Luhan. Dan, ya, tidak ada yang dilakukan Luhan selain geleng geleng kepala. Dan dengan langkah malas segera mengambil korban baru Seohyun.
"Hyaa! Seohyun!"Teriakan Luhan tak mengubah kenikmatan Seohyun menyesap cappuccino itu. Perlahan, Luhan mengambil nafas dalam. Ia mengulanginya bukan sekali dua kali, bahkan sampai Seohyun berhenti menyesap cappuccino favoritnya itu.
"Wuih Luhan. Seandainya ada nominasi tetangga terbaik, kau pasti memenangkannya. Tumben kau mau menaktirku dengan cappuccino? Ah tak apalah, yang sering sering saja"
Luhan tersenyum dan menatap Seohyun dengan pandangan pembunuh.
"Hei Luhan, hati hati dengan matamu kau terlihat kejam dengan pandanganmu padaku. Duduklah, sedari tadi berdiri tidak capai? Atau kau diet dengan cara berdiri? Ku rasa kau sudah kurus! Segera duduk dari pada kau pegal pegal dan menyusahkan tetanggamu yang terlalu baik untukmu. Yay a ya, ku akui ku baik hati". Seohyun menyungging senyum dan sampai menahan tawanya dan hampir saja meledak.
Luhan menatap kursi di sebelah Seohyun. Tangan Seohyun telah menepuk nepuk kursi itu. "Cepatlah duduk di sini. Jangan berdiri terus. Kau yang bayar cappuccino malah tidak kau minum? Kau tidak suka ya?" Kini tangan Seohyun hendak mengambil cappuccino yang terlihat manis dan mengayunkan tangannya. Ups, kini tangan Luhan lebih dulu memegang cappuccino itu. Dengan cepat ia mengangkat cangkir itu dan mendekatkan ke mulutnya.
Lagi lagi belum sempat tubuhnya melakukan apa yang dinginkan hatinya, ada gangguan lagi. Ponselnya berdering. Melihat kejadian itu Seohyun tersenyum lebar dan menatap penuh makna dengan cappuccino di tangan Luhan. Namun Luhan tidak melakukan kesalahan lagi. Tangan kanannya memegang cangkir sedangkan tangan kirinya kini menggenggam ponsel.
"Yoboseoooo" Sapa Luhan ceria mendengar suara gadis yang meneleponnya. Kontan itu membuat Seohyun merasa aneh dengan sikap yang tiba tiba sedih melihat Luhan yang bahagia mendapat telepon dari seorang yeoja. Dan lagi, suara Luhan berubah menjadi sangat manis. Seohyun langsung memasang muak muak, dasar namja
"Aku belum melihat apalagi menerima undangannya" Luhan heran mendengar kata kata itu. Begitu pula Seohyun. Luhan akan menikah? Alis kanannya terangkat tanpa ia sadari.
"Undangan pernikahan?" Pertanyaan menggantung itu keluar dari mulut Luhan. Seohyun langsung menatap Luhan tajam. Tuh kann
"Kau akan menikah?" Tanya Luhan sekali lagi namun dengan nada keterkejutan yang luar biasa. Untung bukan Luhan. Seohyun tersenyum kecil. Namun baru ia sadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Mungkin hatinya benar benar hancur sampai merasa tidak ada orang lain yang boleh bahagia, termasuk tetangga terbaiknya, Luhan. Benarkah?
"Dengan siapa? Sehun?" Mata Luhan membulat.
"Okey." Luhan mengakhiri telepon itu dengan tanpa perasaan. Tanpa ia sadar cappuccino di tangannya terjatuh. Sungguh namja dramatis.
"Aish Luhan, apa yang kau lakukan?" Seohyun segera menghampiri Luhan yang terlihat payah itu. Bukan menghampiri Luhan tepatnya, namun menghampiri cappuccino kesekaannya yang telah tercecer bercampur dengan cangkir yang telah hancur.
"Oh cintaku kau tak apa?" Seohyun terlihat begitu sedih melihat cappuccino itu.
"Luhan apa yang telah kau lakukan? Kau membuat cintaku hancur dan terluka" Seohyun dengan pandangan kasihan menatap campuran dari sepertiga espresso, sepertiga susu yang dikukus, dan sepertiga busa susu.
Luhan terdiam. Ia menarik nafas panjang, semua karena Seohyun.
"Seo Joo Hyun. Kau baru putus dengan pacarmu?" Luhan menatap Seohyun dengan pandangan tanpa ampun. Wajahnya memerah dan ia tak bisa menyembunyikan kemarahan di dalam mata indahnya itu.
Seohyun langsung mendongak menatap Luhan dan memincingkan matanya. Wajahnya kesal bukan kepalang. Kau selalu menunduhku sebagai pelakunya, kau selalu membuat aku merasa bahwa aku pembawa sial.
***
Luhan dan Seohyun duduk berhadap hadapan. Pandangan mereka saling membenci satu sama lain. Dan hanya keheningan yang menemani mereka berdua. Dan Luhan memulai untuk memecah kesunyian itu,
"Kan sudah ku bilang padamu, tolong jangan putus!"
"Sudah kubilang aku sudah berusaha untuk tidak putus Luhan!" Seohyun menatap dengan pandangan pasrah pada tetangganya itu. Ia mulai meletakkan kedua tangannya di atas meja, berharap suasana lebih santai. Ia mulai menutup matanya, berharap menemukan pandangan lain selain Luhan yang lagi gila.
"Aku tidak percaya kau sudah berusaha maksimal!" Sentak Luhan.
"Aku tak mau bersama namja itu lagi Luhan" Seohyun menjawabnya dengan lirih. Ia menggigit bibir bawahnya, dan matanya mulai menerawang jauh mengingat namja gila mantan kekasihnya.
"Tapi aku masih ingin bersama yeoja pujaanku. Kau juga tahu bukan perjuanganku mendapatkan dirinya?" Luhan masih tak menerima semuanya. Hatinya ditutupi pada yeoja yang amat ia cintai namun tak menanggap Luhan sebagai kekasih. Sedang Luhan, langit pun masih kalah tinggi dibanding cinta Luhan pada yeoja itu.
"Ya aku tahu. Tapi kenapa kau menyalahkanku?"
"Kan sudah kubilang berkali kali padamu, jika kau mengalami ini itu maka aku juga akan mengalami ini it... "
"Luhan, kau lupa aku seorang wanita? Kau lupa? Kau selalu memarah marahiku? Kau selalu mencoba memasukkan aku dalam semua hal dalam hidupmu! Kau selalu mengatakan aku pembawa sial. Kau terjatuh dari pohon, kau terpelesat saat akan memancing, kau kehabisan es krim kesukaanmu, kau putus dengan pacarmu, dan apapun kejadian kejadian itu kau selalu menyalahkan aku karena apa yang aku alami pasti kau juga alami. Sadarkah kalau kau merasa sakit dengan itu semua, aku jauh lebih sakit dari pada kau!" Seohyun menatap Luhan dengan tajam. Sudah cukup ia pendam semua itu, dasar namja bodoh tidak berperasaan. Bodoh bodoh bodoh.
Seohyun sudah tak kuat menatap Luhan lagi. Namja sialan. Tidak berperasaan. Kurang ajar. Seohyun berdiri dari tempat duduknya dan mulai melangkah meninggalkan Luhan. Air matanya masih deras bercucuran di pipi manisnya.
Tiba tiba ia merasakan lengan Luhan yang telah melingkar di tubuhnya. Luhan memeluk Seohyun dengan erat dari belakang. Dengan suara parau Luhan berusaha mengatakan permintaan maafnya. Namun percuma, yang Seohyun dengar hanyalah tangisnya sendiri.
Dengan cepat, Seohyun mencoba melepas pelukan Luhan. Dasar sialan, kau berani memelukku? Sial, pelukan Luhan justru semakin kuat. Dengan bermodalkan sepatu high heelsnya, Seohyun menginjakkannya tepat di kaki Luhan. Kurang ajar, Seohyun justru semakin bisa merasakan hangatnya nafas Luhan. Bahkan kini telingan mendengar desahan nafas Luhan.
"Luhan, lepaskan!" Seohyun hanya bisa berdiri disana. Menata hatinya yang kini sedang meriang. Mau marah atau bahagia?
"Luhaan! Kau kira aku apa? Kau namja gila. Barusan kau marah marah padaku lalu kau tiba tiba mencuri backhug pertamaku. Kau fikir aku hanyalah boneka? Kau sialaa..."
Tiba tiba Seohyun merasa Luhan melepas pelukan itu namun kini ia melihat Luhan persis di depannya. Luhan menurunkan kepalanya dan semakin dekat dengan Seohyun. Semakin dekat, dekat, dan dekat. Wajah Luhan terlihat jelas di mata Seohyun, alisnya yang tebal, mata damainya, hidung mancungnya, bentuk bibir Luhan yang sempurna di mata Seohyun, begitu dekat Seohyun melihat guratan guratan wajah Luhan hingga akhirnya Seohyun menutup mata dan merasakan sesuatu yang hangat di bibirnya. Luhan mencium Seohyun. Bibir indah Seohyun itu kini telah dikecup Luhan. Tangan gadis itu tanpa ampun menampar Luhan. Meninggalkan rona merah yang semakin merah di pipi Luhan.
Dan hanya dari kejauhan Luhan bisa menatap Seohyun yang berulang kali mencaci dirinya. Namun sendiri tidak tahu betapa ia berani melakukan itu. Luhan hanya merasa...
Ah ia tidak tahu lagi, ia sendiri pusing dengan apa yang telah ia lakukan. Sebersit rasa bersalah muncul diantara rasa kebahagian yang tak tahu munculnya dari mana.
Setelah memastikan dari kejauhan Seohyun memasuki lift, Luhan mencoba menggerakkan kakinya yang terkena tusukan heels Seo. Perlahan ia angkat kaki kirinya sambil menahan rasa sakit yang pertama kali ia rasakan dalam hidupnya. Baru menyadari satu lagi dari wanita yang bisa membuat lelaki menderita, bukan hanya perkatan maupun perbuatan, juga sepatu heels mereka. Luhan hanya geleng geleng kepala. Kaki kanannya ingin berlari menuju apartemennya, namun si kiri masih belajar berjalan.
Perlahan ia menuju lift. Menuju apartemennya. Luhan yang berjalan sangat lama itu mendapat musibah lagi.
"Brukkk" Seorang dengan jaket hitam dan bertopi ungu menabraknya dan berlari menuju lift. Jaket yang dikenakan orang tersebut terlalu besar hingga Luhan takut orang tersebut justru terbang. Luhan merasa ada yang aneh dengan orang ini. Matanya melihat bahwa orang itu tengah berlari menuju lantai delapan, lantai tempat dirinya dan Seohyun tinggal. Menyadari itu, Luhan mengerutkan alisnya. Mungkin teman Seohyun.
Luhan mencoba berdiri namun ia masih tetap duduk tersungkur. Matanya menemukan lagi suatu note kecil yang berwarna ungu, bergambar menara Eiffel di sampulnya. Mungkin milik lelaki tadi? Lelaki dan note girly? Tidak masalah. Luhan tidak peduli namun ia mengambilnya. Kemudian ia kembali pada usahanya untuk berdiri.
***
Luhan berdiri tepat di pintu apartemennya. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri, awas dengan kehadiran orang yang mungkin melihat passwordnya. Matanya menatap sekeliling, kosong. Tak ada makhluk lain selain dirinya. Dengan cepat ia menekan passwordnya, kemudian melangkah santai memasuki apartemennya.
Luhan merebahkan badannya di sofa. Matanya menatap sudut sudut apartemen sekilas, kemudian bernafas lega karena tidak menemukan keanehan dan hal berbeda dengan saat terakhir kali dia meninggalkan apartemen miliknya. Hal seperti ini selalu dilakukannya, bahkan kadang membuat Seohyun, menatap hina Luhan. Apartemen apartemenmu, password paswordmu, kau terlalu khawatir. Luhan terkikih, setiap melihat Seohyun mengatakan hal itu. Juga saat ia memikirkan Seohyun, seperti saat ini. Tawa renyahnya menghiasi apartemen itu. Namun, kemudian Luhan menggeleng geleng kepalanya. Aish, Seohyun lagi. Yeoja itu terlalu cerewet hingga Luhan selalu teringat padanya.
Tiba tiba Luhan menepuk keningnya, teringat akan note yang tadi ia pungut. Perlahan ia mengeluarkannya dari saku celana, kemudian ragu untuk membukanya. Note bergambar Menara Eiffel itu seperti memanggil manggil Luhan untuk membukanya. Akhirnya, Luhan membuka halaman pertama. SJH. Tertulis indah menggunakan pena kaligrafi yang berwarna hitam. Tanda titik untuk huruf J, si pemilik note menggunakn tinta merah dan menggambar hati. Sejak kapan tulisanmu bagus? Halaman kedua. Si pemilik note menggambar Menara Eiffel dengan menggunakan tinta merah. Red.Eiffel. X. Tertulis di bawah ilustrasi Menara Eiffel itu. Kemudian Luhan merasa yakin bahwa ini memang milik Seo Joo Hyun. Merah itu seperti huruf X. X bisa berarti ciuman, sayang, bahkan tanda silang untuk orang yang dibenci. Begitu pula dengan merah. Warna hati merah, begitu kata orang, seperti cinta yang merona. Tapi warna darah juga merah, warna darah merah akan terlihat jelas saat tubuhmu terluka. Kau bisa melihat darah mengucur keluar dari luka di tubuhmu. Sebuah rasa sakit, begitu tepatnya. Itu pandangan menurut Luhan. Dan Luhan amat yakin, Seohyun juga berfikir seperti itu, seperti biasa, selalu. Eiffel yang berwarna merah? Tak tahu. Menginjakkan kaki ke luar negeri saja, tak pernah apalagi ke luar benua. Apakah Eiffel bisa berubah menjadi merah? Tiba tiba ada perasaan tak teduga yang menyambar tubuhnya, perasaan yang Luhan tidak kenali sebelumnya.
Perasaan itu membuat Luhan ragu untuk membaca note itu lagi. Sedetik kemudian, dengan wajah menggelikan menahan tawa, Luhan memutuskan untuk membaca note itu besok, keras keras dihadapan Seohyun. Kemudian ia akan melihat Seohyun yang naik pitam dan marah marah pada dirinya. Pasti imut.
Haduh Luhan. Kini tubuhnya lemas hingga tak mampu mencubit pipinya sendiri, Seohyun lagi, Seohyun terus. Aish. Tiba tiba bayangan saat ia mengecup Seohyun muncul di benaknya. Bertambah lemas tubuhnya, apa yang kulakukan? Bodoh.
Terdengar suara sesuatu yang terjatuh. Kemudian suara luhan yang berteriak kesakitan. Iya, suara kesakitan itu cukup keras terdengar saat Luhan yang jatuh dari sofa tempat ia merebahkan diri. Tak cukup itu, tubuhnya yang berguling hingga menatap meja. Aduh. Aww. Tarikan nafas panjang dan bagaimana cara Luhan yang menghembuskan nafasnya tanpa berdaya menunjukkan dia sudah lelah dan bingung kenapa terjadi. Kakinya tertusuk heels, pipinya merah merona, kepala pening selalu ada seohyun di benaknya, dan tubuhnya jatuh terguling.
Ia merasa dirinya merana. Tiba tiba ia teringat sesuatu, sesuatu yang penting. Jangan jangan Seohyun...
Omg. Luhan mencoba berdiri dengan perlahan sambil berpegangan dengan meja. Langkah kakinya dengan pincang membuat luhan berfikit lebih lama. Kau terluka kemudian aku terluka. Aku terluka, kau pasti sudah terluka. Pasti sesuatu yang buruk juga terjadi pada Seohyun, batin Luhan.
Satu langkah, dua langkah, dan pelan pelan Luhan melangkah menuju pintu. Diiringi dengan mulutnya yang komat kamit kesakitan. Dengan perjalanan seperti melewati gurun sahara tanpa setetes air, akhirnya Luhan sampai di bibir pintu. Luhan membuka pintu dan benar benar menyiapkan mental menuju tetangganya. Begitu terkaget ia saat melihat Seohyun tengah keluar dari apartemen dengan menarik koper miliknya. Hampir saja ia terjatuh melihat sosok Seohyun. Lalu, Luhan hanya bisa diam dan kebingungan dengan apa yang dilakukan Seohyun. Benarkan aku sejahat itu? Tidak. Aku Luhan, bukan orang jahat.
Luhan hanya menatap Seohyun dengan pandangan tak percaya begitu Seohyun hanya melihatnya dengan pandangan seakan mengatakan, bye-luhan-si-manusia-jahat-kau-past-menyesal-saat-tak-ada-aku!
"Apa?" hanya itu kata pertama yang keluar dari mulut mungil Seohyun. Selebihnya wajah uring uring yang jelas jelas tidak bisa disembunyikan dari wajah Seohyun.
"Koper?" Tanya Luhan sambil menunjuk nunjuk koper yang berada di sebelah Seohyun.
"So?"
"Kau mau pergi?" Dengan polos Luhan bertanya pada Seohyun. Luhan akan berubah menjadi namja yang terlihat polos dan bodoh bila menghadapi hal yang tak terduga.
"Aku tak mau melihatmu lagi."
"Mulai kapan?" Tanya Luhan sambil meninggikan alisnya sambil masih menunjuk nunjuk koper Seohyun. Dan matanya masih menatap Seohyun dengan pandangan tak percaya tak berdaya.
"Mulai detik ini. Bye!"
Luhan segera menutup matanya kuat kuat. Kemudian ia bertanya, "Kalau kau sudah pergi, cepat bilang aku supaya aku bisa membuka mataku lagi."
Seohyun sebenarnya ingin tertawa melihat Luhan yang konyol seperti ini. Tapi, ini lebih penting dari Luhan. Dengan segera ia menarik kopernya dan menuju lift. Dibiarkannya Luhan yang masih menutup matanya. Ditinggalkannya.
Untung saja suara berdecit yang terdengar saat Seohyun menarik kopernya terdengar baik oleh Luhan. Luhan hanya berkata lagi, "sudah boleh buka mata?"
Tentu saja tak ada yang menjawab. Luhan memutuskan untuk membuka mata dan mengikuti asal suara berdecit itu. Membalik badannya, dan melihat Seohyun yang melangkah menuju lift. Dengan langkah secepat yang ia bisa dengan keadaan kaki yang seperti itu, Luhan mengejar Seohyun.
Tentu, kecepatan lift menutup pintu tentu lebih cepat dibanding Luhan mengejar Seohyun. Seiring dengan lift yang menutup, Luhan terjatuh lemah. Hanya bisa melihat lift.
Tak berbeda jauh dalam keadaan di dalam lift. Seohyun lemas terjatuh tak berdaya. Bodoh, bukan kau yang menyebabkan aku pergi. Jangan terlalu percaya diri! Ini lebih penting dari kau. Sebenarnya ia bingung merasakan rasa sakit di hatinya. Ia juga tidak tahu kenapa. Beberapa detik kemudian, lift terbuka. Tiba tiba rasa ragu menjalar di tubuhnya. Apakah ia harus memberi tahu Luhan alasan kepergiannya?
***
Masih terlalu banyak pertanyaan di otak Luhan. Benarkan aku namja jahat? Benarkah aku terlalu keterlaluan? Benarkan itu terlalu menyakitkan Seohyun? Benarkan tak bisa diperbaiki? Rasa sakit di hatinya, menjawab lemah, mungkin kau memang jahat. Otaknya tak bisa menerimanya, secara logika, seharusnya Seohyun tidak sakit hati. Ia terlihat sebagai wanita tegar. Tapi hatinya mengaduh perlahan kecewa dengan pemikiran Luhan. Ini bukan tentang logika, bodoh! Kemudian seakan hatinya teriris iris pisau tak berdaya menjawab pertanyaan otak Luhan. Yang kemudian menimbulkan rasa sakit pada diri Luhan. Ia merasa, bukan hanya sebagian hatinya yang teriris namun setengahnya sudah diambil Seohyun. Bagaimana ini?
Luhan memikirkan itu semua sambil ia bangkit dan memasuki apartemennya. Sofa masih menjadi tempat pelampiasan yang terbaik untuk Luhan. Lagi, ia menjatuhkan diri dengan perlahan. Ponsel yang ada di kantungnya, dengan gusar ia letakkan di meja. Ia ingin menelepon Seohyun, tapi, bagaimana kalau dia tidak membalasnya?
"Hei ponsel. Jawab ya dengan getar dan jangan bergetar bila tidak!" Tiba tiba Luhan mengatakan itu pada ponsel miliknya. Ponsel yang menjadi teman bicara Luhan tiba tiba bergetar. Luhan pun tersenyum girang karena ponselnya mengiyakan pertanyaannya. Karena sebelumnya Luhan bertanya apakah dirinya tampan pada si ponsel, kemudian kendapat respon benar,Luhan yakin bahwa ini ponsel ajaib. Benar, benda mati pun tahu bahwa dirinya tampan.
Kemudian ia mulai mengajukan pertanyaan kedua, "apakah Sehun tampan?"
Ponsel iti tergetar. Tiga kali berrurut turut.
"hei, apa apaan ini! Kau salah kali ini, aku lebih tampan dari Sehun!"
Tidak ada perubahan apa pun pada ponselnya. Luhan menunjuk nunjuk ponselnya sambil berkata, "aku lebih tampan dari Sehun!" tidak terjadi perubahan apapun lagi. Luhan geleng-geleng kepala melihat tingkah ponselnya. Tiba tiba ia tersenyum bahagia, dan kini tertawa keras. Oke, akan kucoba lagi, batinya bersemangat bertanya pada si ponsel.
"apakah note ini milik seohyun?", Ponselnya tidak bergetar.
"apakah hari ini turun hujan?"
Ponselnya diam saja. Kemudian ponsel itu bergetar tiga kali, seiring dengan gerimis yang turun tiba-tiba. Bulu kuduk Luhan langsung berdiri melihat kecanggihan ponselnya. Kemudian ia bertanya, "apakah Seohyun pergi karena diriku?"
Si ponsel terdiam. Melihat itu, hatinya langsung tenang kembali. Tapi, ada getar panjang dari ponselnya. Serasa disambar petir, ia ingat, kemarin ia mengubah ponselnya menjadi mode diam. Langsung saja, ia mengangkat panggilan dari Sehun.
"yoboseoo!" sapa Sehun dari seberang.
"hmm. Apa?" jawab Luhan datar.
"kau. Ku kirim pesan padamau berkali kali, tidak satupun kau balas. Bahkan tidak kau baca!"
"benarkah itu?"
"coba kau cek ponselmu dulu. Oh ya, kau tak masuk kerja hari ini?"
Luhan langsung menepuk keningnya, "oh iya. Bagaimana ini?"
"kau baik baik saja?" Sehun tiba tiba berbicara dengan nada khawatir. Ia miris dengan keadaan Luhan.
"iya, aku baik baik saja. Oke, aku matikan teleponmu dan aku mau mandi dulu!" hampir saja Luhan mematikan panggilan dari Sehun, Sehun tiba tiba tertawa keras yang dipaksanakn dan berkata, "hari ini kau libur, kau lupa ya?"
Luhan terdiam. Kemudian pikirannya melayang mengingat kejadian saat kemarin si boss mengatakan ia libur hari ini.
"benar kau. Aku libur hari ini" jawabnya sambil disertai hembusan nafas panjang.
"benar dugaanku kau tidak baik baik saja."
"sepertinya memang begitu. Kau tahu?"
"tahu apa?"
"kau pasti tahu sesuatu makanya kau menghubungiku. Kau adalah temanku yang paling pelit, tidak mungkin kau meneleponku kalau tidak ada hal penting. Pesanku saja, bila kau rasa tak penting dijawab, juga tak jawab. Ayo cepat, katakan yang kau tahu?" todong Luhan dengan menggebu gebu.
"Seohyun hari ini tidak bekerja?"
Luhan tidak membalas dan hanya terbatuk mendengar pertanyaan Sehun.
"kau benar! Bagaimana kau bisa tahu?"
"tadi aju melihat sosok seperti Seohyun yang berada dalam taksi menuju bandara."
"bandara? Bagaimana kau tahu?"
"kau sepertinya, benat benar tidak baik. Bahkan kau kupa bahwa tempat kerjamu, tempat kerja kita, satu arah dengan jalan menuju bandara!"
Luhan menepuk keningnya lagi. Untuk saja, si kening sudah kebal dengan perlakuan Luhan.
"kenapa?"
"tak tahu aku. Tapi menurut ponselku, dia pergi bukan karena aku!" jawab Luhan dengan nada amat yakin. Kemudian disambut tawa yang keras dari Sehun.
"ponselmu? Ponsel bisa berbicaa?"
"tidak sih, hanya saja, saat aku bertanya, yes no question, dia bisa menjawab. Saat dia tidak bergetar berarti tidak, saat iya bergetar berarti ya!"
"kau, sehat?"
"wah wah. Kau tak percaya aku baik baik saja?"
"luhan. Kau laki laki dengan daya nalar tinggi, memiliki iq tinggi, ternyata lemah dihadapan wanita."
"hei jaga mulutmu" jawab luhan yang tak terima dengan kata kata Sehun.
"sekarang fikirlah. Getar dari ponselmu, tergantung dari pesanku, berarti kau menggantungkannya pada diriku yang bahkan tak tahu apa pertanyaanmu!"
Luhan terdiam. Sehun benar.
"ya kau benar. Ada lagi? Aku mau beristirahat hari ini."
"Hari ini sepertinya hari sialmu. Kau sudah menerima undangan?" Sehun pelan pelan bertanya pada Luhan, bagaimana kalau Luhan depresi? Sehun tak bisa membayangkan keadaan Luhan saat ini. Kekasihnya memutuskan kemudian segera menikah, dan Seohyun meninggalkannya. Mana ada lelaki tegar yang kehilangan pacar dan sahabatnya akan baik baik saja? Jauh di seberang sana, Sehun memikirkan keadaan Luhan.
"Oh. Mereka. Belum, aku belum menerimanya." Luhan menjawabnya datar sangat berbeda jauh saat Sehun memancing pembicaraan dengan Seohyun.
"Kau? Tidak ada rasa sakit di hatimu?"
Luhan terdiam. Rasa sakit?
"kau tidak takut tiba tiba boss memberimu waktu libur? Sebaiknya kau selalu aktifkan ponselnmu agar bila sewaktu waktu boss meneleponmu, kau bisa langsung mengangkatnya." Sehun mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"apa maksudmu?"
"ini mungkin berita buruk, maaf, tapi setidaknya, kau bisa bersiap siap. Oke byeee, happy holidayy~" kemudian, Luhan tidak mendengar suara Sehun lagi. Luhan melihat ponselnya.
"apa bos akan memecatku hari ini?" tidak ada getaran. Kemudian luhan tersenyum. Tapi sedetik kemudian ia membenturkan kepalanya perlahan pada sofa.
"aku percaya pada ponsel? Aku gila ya? Tidak aku tidak gila. Lagian. Kenapa aku percaya pada getar ponsel ini. Ini pasti salah. Sehun tapi benar, mana mungkin sehun lebih tampan dari aku. Tak mungkin.
"bagaimana dengan hujan?" hati kecilnya bertanya.
"ah itu, kebetulan. Benar kebetulan saja."
Jawab Luhan. Luhan memutuskan untuk bebaring di sofa, sekedar beristirat sambil mengecek apa yang dipirkan Seohyun terhadap dirinya. Ucapan Sehun mengenai rasa sakit tiba tiba berputar putar di kepalnya. Rasa sakit? Entah kenapa rasa sakit yang ia rasakan saat mendengar pacarnya menikah justru menguap melihat Seohyun meninggalkannya. Kemana sebenarnya rasa cinta Luhan? Luhan terdiam. Benarkah aku lebih cinta Seohyun?
***
Drr... Drr... Drrtttt...
Berkali kali pobsel Luhan bergetar. Andai saja, si ponsel dapat berbicara mungkin ia membutuhkan semacam vitamin karena terlalu lama bergetar. Luhan masih belum juga terbangun dari tidurnya, dan ponsel itu masih terus begetar.
Mungkin merasa akhirnya sofa bukan tempat yang tepat untuk menghilangkan penatnya, Luhan terbangun. Sambil merenggangkan badannya ia melihat sesuatu yang berubah dan tentu saja ini menarik perhatian Luhan. Kedudukan ponselnya telah berubah dari tempat semula ia meletakannya. Langsung saja ia menyambar ponselnya dan terdiam begitu mengetahui ada 23 panggilan masuk. Bukan hanya terdiam kali ini, alis kanannya terangkat begitu ia membaca kata "BOSS" dalam panggilan masuknya. Sehun tidak bohong? Benarkan ini. Kening Luhan langsung mengkerut membayangkan hal buruk yang akan terjadi.
Malang nasib Luhan, saat akan menelepon balik boss, ternyata boss telah memanggilnya duluan. Dengan detak jantung berdegub keras karena ketakutan, Luhan berusaha terlihat tenang.
"yoboseo..." Luhan coba menyapa duluan.
"ah kau, akhirnya kau angkat juga"
"ya begitulah boss, maafkan saya"
"okelah, memang kau sudah kemasi barang barangmu?"
Deggg. Jantung Luhan rasanya ingin meledak mendengar pertanyaan ini.
"maaf?"
"kau belum berkemas?"
"saya merasa saya tidak memahami apa yang boss tanyakan kepada saya" Luhan mengatakannya perlahan, kemudian menggigit bibirnya sebagai pengurang rasa takutnya.
"Sehun belum memberitahumu apa – apa?" nada keheranan muncul dari mulut boss.
"tidak, saya tidak mendengar apa apa" Luhan memutuskan untuk berkata bohong sedang sekarang dirinya sudah susah bernafas.
"ya sudah, dia ingin memberikan kejutan padamu. Tapi kejutan ini, akan kuakhiri sekarang. Kau sudah siap mendengar? Jangan potong ucapanku, dengarkan baik baik!"
"nee" hanya suara lemah serta pasrah ini yang kelaur dari mulut Luhan
Luhan mendengar tarikan nafas panjang si boss dan menambah gelisah Luhan.
"apapun itu yang kukatakan kau harus siap dan sebagai karyawanku kau mematuhi perintahku, bukan?"
"nee"
"kau tahu Jong In yang kupecat karena ketidakmampuan dia dalam memecahkan masalah sepele?"
"nee" sekarang bahkan jantung Luhan berdetak tiga kali lebih kencang dari sebelumnya, kemudian dalam hati ia mengatakan betapa sulitnya mendengar kata kata pemecatan dirinya dari kerja sebagai fotografer dari suatu majalah terkenal di Korea yang menjadi keinginannya sejak lama.
"kau, akan menggatikannya kedudukan itu. Dan kau akan langsung menuju Tokyo untuk menyelesaikan tugas perdanamu!" Mata Luhan mengerjap karena tidak percaya yang ia dengar, dan tanpa ia sadari ia berkata, "suer?"
"hey Luhan. Kau segeralah ke kantor hari ini dan kita bahas lebih lanjut disana. Oke, saya tunggu maksimal satu jam lagi!" dan panggilan terhenti.
Luhan masih mangap, membentuk o sempurna di mulutnya. Tokyo? Entah terlalu bahagia atau apa, jantungnya malah terus berdetak lebih kencang.
Untung, Sehun memanggil Luhan dan menyardakan dirinya. Segera Luhan berlari menuju kamar mandi, bergegas berangkat ke kantor. Untung belum ada satu jam, Luhan sudah duduk berhadapan dengan boss.
"bagaimana? Kau masih belum paham?"
Luhan menggelengkan kepala.
"kau. Lusa berangkat ke Tokyo, semua tentang penerbangan sudah kuatur"
Luhan menatap boss dengan keheranan.
"ini berkasnya, semua sudah ada di sini." boss menyodorkan beberapa map namun Luhan masih diam kebingungan. Merasa lelah dengan keadaan Luhan, boss memutuskan menelepon sekretaris untuk memanggil Sehun. Tak lama, Sehun datang dengan cengengesan. Tampangnya senyam senyum dipanggil bossnya.
"ini, temanmu, jelaskan semuanya. Aku sudah menjelaskan berkali kali, tapi tampaknya apa yang kukatakan seperti magnet sejenis dengan apa yang dipikirkan"
"putus cin..." ucapan sehun terhenti saat kaki Sehun diinjak Luhan tampa ampun.
Boss hanya tertawa. "sudah, ambil Luhan, jelaskan sendiri. Sanaa!" Segera Sehun menggandeng Luhan dan membawakan map map yang berada di atas meja. Malang nasipmu.
***
Senyum mengembang di bibir Luhan begitu menginjakkan kakinya di Narita Airport. Walaupun ia berusaha menutupi rasa ketertarikan yang berlebihan dengan berhati hati dalam bertindak, namun tetap saja terlihat namja itu terus menerus tersenyum. Hanya dengan tas ransel di punggungnya dan kamera yang terkalung di lehernya Luhan segera menuju bagian imigrasi, menggunakan visa transit dan taraa, sampailah Luhan di Tokyo!
Segera ia mengeluarkan map yang khusus dibuatkan Sehun untuk dirinya. Sehun batal ikut Luhan ke Jepang begitu mendengar ibunya sakit. Ya, bagimana pun Luhan tak bisa memaksanya ikut. Tapi setidaknya map ini sangat membantunya. Sehun memberi data rute rute yang akan ia lewati, monorail maupun jalur kereta mana saja, lengkap dengan foto kendaraan agar Luhan tak salah masuk. Juga, kosa kata bahasa Jepang yang mungkin membantu Luhan saat dia tersesat nantinya. Sehun cukup baik, sangat baik, batin Luhan. Tapi sepertinya ia mendoakan aku tersesat.
Luhan segera menuju ke loket yang bertuliskan "Limousine bus". Kemudian ia membeli tiket ke Stasiun Shinjuku. Tak sesulit yang Luhan bayangkan, ia segera memahami apa yang dikatakan petugas begitu menunjuk halte tempat ia mengantri bus. Jangan panik, kau tak akan salah halte kalau kau menunjukkan tiketmu, mereka akan memeriksanya.Kata kata Sehun setidaknya menenangkan Luhan dan melangkah penuh semangat mengantri di halte.
Di tengah ia mengantri, pikiran Luhan melayang pada saat pertemuan tak sengaja yang kedua dengan Seohyun.
"Hei peniru, kau disini!" Sapa Luhan cerah ceria melihat Seohyun antri di depannya.
"ya, sepeti yang kau lihat."
"wahh, kita akan menonton film yang sama", sapa Luhan ramah.
"menurutmu kalau kita mengantri pada line yang sama, kita lihat film yang berbeda?" Seohyun membalas sewot. Justu membuat Luhan semakin giat menggoda Seohyun. Dan semakin dekatlah dirnya dengan Seohyun.
Bahkan setelah pemutaran film berakhir, Luhan berjalan mendekati Seohyun terus.
"Apa?" Luhan ingat saat iti wajah Seohyun sangat risih melihatnya.
"Bagaimana menurutmu filmnya?"
"Ya, standart. Tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Aktornya terlalu muda untuk memerankan tokoh insinyur yang jenius, apalagi dia sangat tampan. Tidak realistis. "
"wah kau mencuri apa yang kufikirkan. Benar benar mirip." luhan menunjukkan kedua jempol tangannya untuk Seohyun.
"Kau tahu? Aku bisa membaca pikiran." Seohyun lirih berkata pada Luhan memastikan tidak ada yang mendengarnya. Kontan ini membuat Luhan mundur selangkah. Terdiam. Melihat Luhan yang masih bengong dan segera Seohyun berjalan menjauhi dirinya. Namja selalu takut bila dibaca pikirannya. Tapi kali ini Seohyun salah, saat ia menoleh ke kanan. Tampang Luhan ada di sampingnya.
"aku disini lagii!" Luhan dengan ceria menyapa Seohyun lagi. Seohyun berusaha tidak tampak terkejut, dan itu berhasil membuat Luhan kecewa. Yeoja ini hidupnya datar, batin Luhan. Ada namja tampan disampingnya justru diam saja.
"hmm. Apa kau tahu yang sedang kufikirkan sekarang?"
Seohyun menggeleng.
"aku lapar, tapi aku sedang diet. Tapi aku ingin sekali makan es krim. Es krim dengan taburan kacang almond diatasnya. Mau menemani?"
Seohyun menatap Luhan aneh. Namja ini, woi kita baru kenal!
"lagian aku bisa membantumu mempekenalkan Seoul. Kau pindahan kan? Atau kau mencurigaiku?"
Seohyun terdiam. Es krim adalah ajakan yang paling manjur untuk meluluhkan dirinya. Bahkan sekarang saat ia mencoba akan menolak Luhan, air liur di mulutnya justru berasa sepert es krim. Dan kacang almond! Dan tanpa sengaja mulutnya berkata, "baiklah". Luhan tersenyum, tiba tiba ia merasa bahagia. Bukan bahagia yang sama saat ia bertemu gadis lain.
Tiba tiba Luhan merasa ada yang menepuk lengannya. Bayangan Seohyun lenyap saat melihat orang yang menepuknya menunjuk bus dengan warna putih dan goresan diagonal oranye di sepanjang tubuhnya. Tulisan Friendly Limousine Airport yang berwarna putih tertera di atas goresan warna oranye tersebut. Limousine bus yang ia tumpangi sepertinya telah sampai. Setelah mengagguk mengucapkan terima kasih Luhan bergegas menghampiri petugas yang sepertinya telah menunggunya untuk mengecek tiket.
It's good. Batin Luhan. Not so good saat Luhan merasa lehernya kering kerontang ingin diguyur hujan. Sialnya, Luhan tidak membawa maupun membeli minuman tadi. Andai ada kedai es krim dengan taburan almond di bus ini. Pasti menyegarkan. Tanpa ia sadari pikirannya kembali melayang pada Seohyun yang ternyata juga menyukai apa yang ia suka. Bagaimana Luhan tidak menyukai orang yang menyukai hal sama seperti yang ia suka.
Luhan menghela nafas. Begitu terbangun dari tidurnya yang singkat, ia memutuskan untuk membuka korden jendela. Matanya langsung tertuju pada bunga matahari yang terjejer rapi di beranda apartemennya. Memandangang bunga matahari adalah penghilang stress baginya. Segera ia menuju beranda dan melihat perkembangan bunga matahari itu. Bahkan ia memberi nama satu per satu dari 12 bunga mataharinya! Saat melangkahkan kaki kanannya keluar kamar, pandangan matanya menatap hal yang menarik. Tetangga barunya, baru saja membuka pintu dan juga menatap 12 bunga matahari yang berjejer di beranda apartemennya.
"Hei tetangga baru!" Luhan berteriak memanggil yeoja itu.
Yeoja itu langsung menoleh ke sumber suara. Rambunya berkibar begitu angin pagi meniupnya. Rasanya Luhan seperti melihat bidadari turun dari surga untuk mengucapkan selamat pagi. Beberapa detik kemudian, Luhan berhasil mengontrol perasaannya. Kemudian, Seohyun berkata "Kau, peniru!" bersamaan pula dengan Luhan yang mengatakan hal itu. Kemudian tawa yang renyah menghiasi atmosfer pagi hari itu. Itulah pertama kali Luhan bertemu dengan Seohyun. Luhan terkikih mengingat itu.
Suara orang orang yang mulai bergegas turun menyadarkannya ke dunia nyata. Matanya menatap lcd dalam bus yang yang menuliskan Shinjuku Station. Sudah sampai ternyata. Aku berada di Jepang, bahkan tidak merasa berada di Jepang. Mau Jepang, Perancis, Italia, tetap sama kalau yang kupikir hanya Seohyun. Aish.
Setelah membaca petunjuk Sehun, Luhan berdiri diam ditempatnya. Luhan segera membidik momen momen baru di sini. Untungnya dia ingat, tujuan utama adalah Harajuku. Dengan langkah tergesa ia menuju lantai bawah untuk membeli tiket kereta selanjutnya. JR Yamanote Line dari Shinjuku ke Harajuku. Luhan sudah tidak panik, ia sebenarnya takut tidak bisa membaca huruf huruf jepang yang hanya ia bisa lihat saat bermain game. Lainnya nihil. Untungnya semua tanda mudah dipahami disini. Perjalanan terasa cepat walaupun ia melewati 2 perhentian.
Welcome to Harajuku! Untung Sehun juga menyertakan foto foto beberapa cara berpakaian orang di Harajuku. Setidaknya mulutnya tidak perlu bengong lagi. Segera ia membidik berbagai sudut di Harajuku.
Takeshita dori benar benar membuat Luhan berkali kali memotret keunikannnya. Muda mudi yang berpakaian nyetrik berlalu lalang di hadapan Luhan. Pekejaannya sebagai fotografer membuat Luhan seperti berada di surga. Tidak susah mencari objek karena semua muncul begitu saja dalam gang kecil yang hanya diperbolehkan untuk pejalan kaki. Entah dengan tokoh anime, dua wanita yang berpakaian sama persis atau dikenal dengan twin fashion yang ingin menunjukkan betapa erat persahabatan mereka, wanita yang menggunakan lolita gotik ataupun eksen punk benar benar tak sulit ditemukan.
Kedua, Luhan benar benar menikmari crepes khas Harajuku. Saat menikmati manisnya crepes, Luhan melihat ada pasangan yang tengah berlari dengan petugas toko dibelakang mereka yang meneriakinya. Lagi, pikiran Luhan tak mau jauh dari Seohyun.
"Aku lebih suka superman!" Luhan mengawali pembicaraan dengan Seohyun sambil menunjuk manekin tanpa kepala.
Begitu mendengar itu Seohyun langsung memandang Superman dengan takjup.
"kau juga menyukainya?"
"ah, tidak. Aku suka spidermen." Luhan tiba tiba menggandeng tangn Seohyun mengajaknya ke dalam toko untuk bertanyatentang spidermen. Ia bertanya tentang asesoris spidermen. Petugas toko pun menjawab dengn antusias, namun begitu mengetahui Luhan tiba tiba pamit ia marah besar. Bagaimana tidak, Luhan bertanya tiga puluh menit tanpa membeli. Kemudian seperti pasangan tadi, Luhan dan Seohyun berlari sambil bergandengan tangan dengan tawa lepas.
Sama seperti tawanya saat ini. Lelah tak terasa saat ada Seohyun di benaknya. Kini Luhan berada di stasiun Harajuku lagi. Seharusnya ia membeli perjalanan kembali ke Narita. Tapi entah kenapa, Luhan salah ambil kereta dan justu ia berhenti di Yoyogi Station. Merasa bahwa tidak sulit di negeri orang, Luhan juga ingin naik subway-nya Jepang. Dengan tanpa pikir panjang Luhan memilih Oedo Line menuju Akabanebashi. Ah, seandainya tersesa, Sehun pasti bisa membantuku.
Begiti sampai di Akabanebashi Luhan mengikuti langkah kakinya keluar dari stasiun dan melangkah bebas. Begitu kepalanya menengok ke atas, jantung Luhan rasanya copot. Eiffel merah! Luhan mengucek mata tak percaya. Tak tahu dari mana datanganya, Luhan tiba tiba merasakan kesedihan yang amat. Getar yang sama saat ia membuka note Eiffel itu.
"manchester united fan, right?" Lelaki dengan tubuh ramping dan wajah bundar tiba tiba menyapa Luhan yang mengenakan jersey tim sepak bola kesukaannya. Begitu mendengar nama manchester united disebut, Luhan langsung berbalik arah melihat orang itu. Sama! Dia juga mengenakan jersey mu fc!
"oh, yes i am" Luhan membalas sopan sambil tersenyum. Tiba tiba lelaki yang memperkenalkan dirnya sebagai Min Seok itu merangkul Luhan. Selesai merangkul Luhan yang kebingunan, dia berkata, "ah, are you speak chinese? or korean?"
"i speak korean.." Luhan bersemangat menjawabnya.
"oh, anyonghaseo..." sapa ulang lelaki itu terhadap Luhan. Luhan pun juga membalasnya.
"sudahlah, jangan bersedih lagi, walaupun tadi malam liverpool mengalahkan MU, tapi kuyakin itu hanya sekali."
Belum sampai Luhan membalas.
"jangan terlalu mempengaruhi hidupmu, akan kita hajar liverpool!", namja itu begitu bersemangat dan melakukan gerakan meninju udara dihadapannya seakan ia menghajar tim rival MU FC.
Belum sempat Luhan membalas lagi.
"kekalahan tadi malam hanyalah bad luck saja, kuyakin masih ada waktu untuk mu bangkit!" lelaki itu menepuk nepuk lengan Luhan.
"kau, kulihat memandangi tokyo tower, kau mau kuantar kesana?" seakan seperti mengerti keinginan Luhan menuju menara merah seperti eiffel itu. "Tokyo tower? benar? Terima kasih, sungguh!" sahut Luhan langsung tersenyum. Seohyun? Mungkin kau disana.
Aish. Seohyun lagi. Anehnya otakku, hariku, diriku tak lelah memikirkanmu.
***
Luhan mencubit pipinya. Sakit. Benar-benar. Tokyo tower, Eiffel merah. Debaran hatinya seperti ombak yang menghantam karam. Keras tak beraturan. Luhan membuka note kecil yang ia pungut waktu itu, membandingkannya dengan menara merah kebanggaan warga Tokyo itu. Sambil berjalan sendirian, setelah diginggal Min Seok yang ditelepon temannya, Luhan memandangi note itu, kemudian menyadari bahwa di halaman kedua dalam note itu telah disobek. Dan bahkan baru ia sadari itu bukan milik Seohyun, karena ada tulisan menggunakan pensil yang telah dihapus namun begitu Luhan menerawangnya justru tertulus, "for" . Lalu untuk halaman selanjutnya, apakah berisi asal pengirim? Tapi kenapa justru disobek?
Luhan mencoba memandang halaman kedua dengan seksama. Ia berharap bisa melihat bekas tulisan dari kertas yang telah disobek. Nihil. Sambil berjalan Luhan mengamati dengan seksama note itu. Dan seperti keajaiban! Saat Luhan memanggil nama yeoja itu, tepat di depannya Seohyun muncul. Hampir tertabrak Luhan.
"Oh. Mianee" Luhan membungkuk sopan. Dan saat ia memandang siapa yang ada di depannya. Jantungnya rasa terlepas dan berterbangan di angkasa.
"Seohyun!" Luhan hampir merangkulnya. Namja ini sepertinya sangat gatal ingin memeluk Seohyun. Namun Seohyun menghindar dengan cepat.
"Aku bukan tipe orang yang bahagia saat kamu bahagia. Dan sedih saat kamu sedih"
Seohyun terdiam mendengar apa yang dikatakan Luhan.
"Aku adalah tipe orang yang lebih bahagia saat kamu bahagia dan lebih sedih saat kamu sedih. Sudah, hapus air matamu!" Luhan mengusap lembut rambut Seohyun. Melihat Seohyun di depannya, rasanya ingin memekuknya erat! Seohyun tak juga memandang Luhan. Bahkan matanya terlihat sayu. Bahkan bisa dibilang sebagai mayat hidup.
"Ku rasa aku mencintaimu."
Dibawah Tokyo Tower Luhan menyatakan perasaannya keoada Seohyun. Matahari yang sejuk seakan hanya menyinari keduanya. Seakan peradaban berhendti dan hanya ada mereka.
Luhan merasa ameh saat Seohyun tak merespon apapun. Mengikuti pandangan Seojyun yang menghadap ke bawah, Luhan baru menyadari bahwa Seohyun memandang note yang terjatuh di sebelah kaki kirinya. Seohyun bahkan tak berkedip melihatbya.
"Seohyun!" Luhan menepuk lengan gadis itu dengan lembut namun cukup untuk membuat Seohyun menatap Luhan.
"Aku mencintaimu!" Luhan memastikan Seohyun mendengar kata itu dengan baik. Namun, justru kini air mata beruataian dari mata Seohyun. Kemudian, tamparan keras di pipi Luhan sudah cukup membalas ucapan tulus Luhan.
"Kau, salah mengartikan perasaanmu." Seperti memendam nanar di matanya, tatapan sayu Seohyun yang mengatakan hal itu menohok Luhan.
"Tidak, tidak ada yang salah"
Seohyun menggeleng pelan.
"Beraninya kau mengatakan itu padaku! Kau, adalah orang yang tak akan pernah kuizinkan berkata itu, walaupun Tokyo Tower rubuh dan Eiffel runtuh, walaupun saat tubuh tak lagi utuh!"
"Please. Jangan kau ulangi lagi Seohyun. Pandang mataku, pandang Seohyun" Luhan membuat Seohyun mendongak begitu tangannya yang lembut memegang rahan Seohyun. Seohyun tidak marah, Seohyun tidak meronta. Ia menggeleng pelan,
"Aniya Oppa"
Seohyun meninggalkannya, berlari, menjauhi Luhan. Luhan terdiam. Ia tetap saja mematung melihat Seohyum yang berlari menjauh, jauh, semakin jauh. Ia merasa Seohyun pergi, tak terkejar lagi. Kakinya serasa tak memiliki kemampuan untuk berjalan, mulutnya bahkan bahkan tak mampu mengucap, pandangan matanya memudar, serasa sulit bernafas lagi. Tangannya menepuk nepuk dadanya. Kepalanya menggeleng perlahan. Bagaimana ini? Ia menutup matanya perlahan, tapi bayangan gadis itu meninggalkannya lagi tanpa ia mampu menahan membayanginya.
Aku terlampau terlambat. Ternyata benar, kadang kita merasakan bahwa orang yang sangat berarti dalam hidup kita saat ia pergi. Saat Seohyun pergi.
***
Luhan langsung menghadap kebelakang saat ia merasa punggungnya ditepuk, "Seohyun?"
Sial, bukan Seohyun! Luhan segera mengenali orang itu. Min Seok.
"Seohyun? Pacarmu?"
"Ah, bukan."
Luhan merasa ada rasa bersyukur di wajah Min Saat mengatakan bahwa Seohyun bukan pacarnya. Luhan sedikit terganggu. "Apa hubunganmu dengan dia? Kau mengenalnya?"
"Oh. Kami? Kami tinggal bersama" Min Seok menjawab dengan semangat. Luhan merasakan lelaki itu begitu bersemangat bila mendengar kata Seohyun. Dan akat-katanya,lelucon macam apa itu.
Luhan menyipitkan matanya. Menatap dari atas sampai bawah lelaki bernama Min Seok itu.
"Jadi kau?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Sangat penting."
"Denganku?"
"Tentang Seohyun. Kudengar kau tetangganya?"
"Oh ya. Ya kami tetangga. Tapi kami sangat dekat. Sanggaat dekat!"
"Begitukah?" Min Seok tidak terkejut mendengar pernyataan provokasi Luhan. Justru ia tertawa, "Kalau kau sangat dekat dengannya. Berarti aku amat sangat dekat dengannya!" Min Seok meneruskan perkataannya santai.
Luhan terlihat geram. Sial.
"Tidak penting membicarakan itu. Lebih baik kau ikut denganku. Yah, sebentar saja." Seperti terhipnotis. Luhan mengiyakan dan mengikuti saja.
Setelah menggunakan subway dan melewati beberapa perhentian kemudian menaiki taksi, mereka sampai di depan rumah sederhana.
"Ini rumah kami" Min Seok mengawali pembicaraan itu.
"Rumah kami?" Luhan mengulangi dua suku kata itu sambil mengusap hidungnya. Min Seok justru terlihat kaget melihat apa yang dilakukan Luhan.
"Kau tak menyuruhku masuk?" Luhan memecah keheningan atas keheranan Min Seok.
"Oh, Silahkan masuk" Min Seok membukakan pintu dan berjalan di belakang Luhan. Rumah kecil dan sederhana. Banyak bunga matahari di halaman rumahnya. Dari luar terlihat korden yang berwarna merah menutupi jendela kamar yang masih menutup. Selera Seohyun, batin Luhan.
Dari dalam rumah keluar anak perempuan imut yang menghampiri Min Seok. Anak itu memandang Luhan aneh. Tolong jangan katakan ini akan kalian berdua. Kemudian mucul lelaki tua dengan rambut putih dan sangat kaget melihat Luhan. Apalagi saat melihat Luhan membungkuk kemudian menyisir rambutnya dengan tangan. Jangan katakan lagi ini orang tuamu, Jangan katakan ini mertua Seohyun!
***
"Jadi kamu yang namanya Luhan?" Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Tn. Myungsoo terpana melihat sosok disebelah Min Seok. Tepat dihadapannya makhluk yang sempat membuat dirinya penasaran.
"Iya."
"Benar benar mirip!"
"Maksudnya?"
"Ah, tidak. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Seohyun?"
"Kami dekat. Sangat dekat!" ucap Luhan membara sambil menatap Min Seok yang sedang meminum jus tomat. Min Seok yang merasa dirinya dimasukkan dalam percakapan itu hanya berusaha menahan tawa.
"Bukankah kau hanya tetangganya?"
"Tidak. Kami banyak memiliki persamaan. Dan saya merasa bahwa dia orang tebaik dalam hidup saya" Luhan mantap mengatakan itu. Kontan, Min Seok hampir tersedak mendengar itu.
"Kau tahu? Sama tidak menjamin apa apa. Magnet. Sama justru tolak menolak." ucap Min Seok sambil mencibir Luhan.
Guruan Min Seok membuat Luhan tiba tiba merasa aneh. Ada getar yang muncul saat ia mengucapkan itu. Aneh.
"Ah kau, sok ilmuan." Luhan membalas enteng berusaha menutupi rasa was was itu.
"Tak kau minum jusnya?" Min Seok menunjuk jus yang telah dihidangkan. Tak tersentuh, bahkan Luhan terkesan menjauhkan dari dirinya.
"Sebenarnya..." Luhan terlihat ragu membalasnya. Matanya membesar begitu mendngar suara perempuan yang keluar dari dapur dan menghampiri mereka.
"Kau pasti alergi tomat" perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu cukup tenang mengatakannya.
"Bagaimana anda tahu?"
"Seohyun ada..."
"Ya, ya, ya. Seohyun selalau menceritakan tentangmu. Puas?" Min Seok tiba tiba mengatakannya. Perempuan paruh baya itu terlihat heran dan tak terima dengan perkataan Min Seok, tapi, ia membiarkannya.
"Appa, Eomma, bolehkan aku berbicara bersama dirinya berdua saja?"
"Ah" Lelaki tua itu menggandeng istrinya pergi menjauhi Luhan dan Min Seok.
"Ini, aku menemukan sesuatu." Min Seok menunjukkan sobekan kertas yang ia ambil dari sakunya. Sekali melihat Luhan langsung mengenali kertas itu. Luhan segera mengeluarkan note yang ia pungut dan mencocokan dengan sobekan kertas tadi. Benar-benar mirip, bukan, ini cocok!
Luhan menatap kertas itu. LH ditulis indah dengan tulisan kaligrafi dengan mode yang sama dengan tulisan SJH. Luhan berfikir keras, LH? Luhan tiba tiba merasakan pening yang hebat di kepalanya. Juga, tiba tiba badannya berkeringat dingin. Luhan terus berfikir, ada apa ini? Pening itu justru seperti palu godam yang dihantamkan padany berkali-kali. Ada kesedihan yang menjalar di tubuhnya. Luhan mencoba mengatur nafasnya pelan pelan. Ia hirup Ia keluarkan. Terus, tapi justru keringat sebiji jagung menetes.
"Yeoboo..." Ny Myungsoo berteriak kencang. Suara langkah kaki yang tergesa gesa segera menghampirinya. Mr. Myungsoo memeluk istrinya dalam dalam.
"Seohyun. Seohyuuuuuuuuuuuun" Ny Myungsoo terus menerus meneriakkan nama itu. Lidahnya kelu tak bisa mengatakan hal lain. Ia duduk tak berdaya sambil memegang gagang telepon. Wajahnya pusat pasi. Dengan lembut, Mr. Myungsoo mengambil ponsel yang sedang dibawa istrinya.
Luhan hanya bisa melihat pandangan Mr. Myungsoo yang sayu tak bedaya saat mendengar apa yang dikatakan orang lain diseberang sana. Sementara itu, Min Seok sedang menenangkan ibunya yang sedari tadi histeris memanggil nama Seohyun. Luhan sendiri juga tak tahu apa-apa, bahkan tak tahu harus berbuat bagaimana.
Mr Myungsoo terdiam. Ia hampir terjatuh namun ia cukup tegar dengan tetep berdiri. Ia menatap Luhan, kemudian mengalihkan pandangannya dan mengatakan, "Seohyun kcelakaan"
Seperti kilat yang menyambarnya. Tapi ia tak mati saat disambar petir, ia hidup dan merasakan penderitaan itu. Apa ini? Apa yang terjadi? Mr. Myungsoo terdiam. Min Seok juga.
Tangis Ny. Myungsoo mengiris hati Luhan. Ia juga ingin menangis. Sangat ingin menangis.
"Apa yang kalian lakukan diam disini?" Luhan menatap Mr. Myungsoo yang kini telah duduk memeluk istrinya.
"Tangis tak mengubah apapun" Luhan mulai mendekati Min Seok.
"Berdiri. Ayo berdiri!" Ia menggoyang goyangkan tubuh lelaki itu. Min Seok hanya memandangnya. Saat itu, Luhan melihat air mata keluar dari mata Min Seok.
"Masih ada waktu untuk kita menemani Seohyun" Luhan menyeret lelaki itu
"Memberinya semangt untuk bangkit, mendoakannya" Luhan berganti menatap Ny. Myungsoo yang kini memeluk dalam suaminya. Kemeja suami hampir basah dibuatnya
"Kehadiran kita pasti meredakan rasa sakitnya."
"Apa kalian kalian lakukan, banguuuuunlaaah!" Luhan berteriak. Kemudian isak tangis yang ia coba sembunyikan hampir meluap.
"Dimana dimana rumah sakitnya? Kalian tak berguna!"
"Jawablaaah. Kita harus menemani Seohyun."
"Ayolah. Kenapa diam?"
"Seohyun..." Mr. Myungsoo tak bisa menatap Luhan
"Apa, ada ada dengan dirinya?"
"Dengan tenang ia meninggalkan kita."
Kata kata itu bagai langit yang menghantam tubuhnya. Luhan tersungkur mendengarnya. Tangis Ny. Myungsoo semakin keras menghiasi sore kelabu itu. Semakin menyayat hati Luhan. Aku baru bertemu denganmu lagi. Luhan memukul-mukul lantai. Kini ia menjadi mayat hidup. Matanya tak berhenti meneteskan air mata.
Begitu pula perjalanan menuju rumah sakit. Tak ada pembicaraan apapun. Ny. Myungsoo terus menangis sementara Min Seok menyeka air mata ibunya. Memeluknya dalam di kursi penumpang belakang. Luhan yang duduk di sebelah Mr. Myungsoo yang sedang menyetir tak melakukan apapun. Tubuhnya lemas dan matanya terus menatap bawah seakan disana, Seohyun disana.
Begitu sampai. Luhan pelan pelan keluar dan berlari mencari Seohyun. Dengan tangan yang masih memegang dadanya, Luhan menyeruak diantara orang orang yang berada di rumah sakit. Kemudian, setelah Mr. Mungsoo menemukan Luhan yang berlari membuka setiap kamar untuk melihat apakan ada Seohyun disana. Semua pintu ia buka, ia melihat satu persatu pasian disana. Kemudian ia menemukan Seohyun, tergeletak lemah ranjang dalam kamar mayat.
Seohyun lemah tak berdaya. Wajahnya ayu pucat. Luhan masih disamping Seohyun. Di saat Luhan tak bisa mendengar lagi celotehan gadis itu. Di saat Luhan tiba bisa mendengar tawa renyahnya. Di saat Luhan tak bisa mendengar nafas Seohyun. Di saat Luhan tak bisa melihat senyum gadis itu. Di saat Luhan tak bisa melihat mata indahnya. Di saat Luhan tak bisa melihat keteguhan jiwa Seohyun. Di saat Luhan tak bisa merasakan detak jantung Seohyun. Yang Luhan dengar hanya isakan tangisnya. Juga suara parau yang keluar dari mulutnya terus memanggil gadis itu.
Genggaman Luhan masih tak terlepas. Dan Luhan hanya bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang berdebar keras tak karuan. Bahkan Luhan merasakan semakin sulit dirinya bahkan untung menggelengkan kepala menolak ini semua.
Pita suaranya seperti terputus. Begitu sulit mengucapkan salam terakhir untuk Seohyun.Tidak. Jangan, jangan pergi. Kau tahu, aku baru saja merasakan bahwa kau adalah orang yang terbaik dalam hidupku. Baru saja kurasakan gara gara rasa bodohku. Bagimana bisa, aku melakukan ini padamu? Bagaimana bisa aku tak melindungimu? Bagaimana bisa? Seohyun. Lihat lihatlah aku disampingmu sekarang. Bukalah, bukalahan matamu, pandang aku di sini. Seohyun dengar dengarkan aku, dengarkan tangisku yang tak terbendung lagi. Seohyun. Rasakan aku disampinmu.Luhan disampingmu. Aku disampingmu.
"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Harus kan ini kuulang sampai kau terbangun nanti?" Luhan menggenggam tangan Seohyun.
Luhan menenggelamkan wajahnya di ranjang itu. Perlahan Luhan mengambil tangan lemah Seohyun, dan dengan tangan Luhan ia mengusapkan tangan Seohyun di kepalanya. "Seperti ini. Iya, tenangkanlah aku."
"Terima kasih. Kau masih mau menenangkan hatiku"
Perlahan Luhan mengembalikan posisi tangan Seohyun. Kini ia pandang wajah Seohyun. Ada gurat senyum di bibirnya. Luhan meraba wajah itu. Hidung mancungnya juga bibir mungilnya. Semua sentuhan itu menggetarkan hati Luhan.
Bayangan saat Seohyun memanggilnya oppa tiba tiba datang saat ia mengecup jidat Seohyun. Itu pertama kali dan terakhir kau mengucapkan itu. Luhan berusaha agar tak ada air mata yang menetes di tubuh Seohyun.
Luhan masih berdiri terpaku menatap Seohyun. Juga air mata yang masih menetes.
"Jangan menangis dihadapan Seohyun" bisik Min Seok. Luhan memandang Min Seok yang menahan tangisnya. Luhan memaksakan senyum itu.
"Tidak aku tidak memangis. Aku hanya tidak bisa mengendalikan air mataku yang ingin jatuh. Bodoh ya? Luhan si manusia itu tak bisa menahan air mata ini" Luhan mengatakannya lalu terjatuh dan duduk memeluk salah satu kaki ranjang Seohyun. Luhan membenamkan tangis tanpa suaranya di sana.
***
Hari berikutnya, benar-benar seperti hari baru untuk Luhan.
"Seohyun sudah berfikir itu dulu" Min Seok memulai pembicaraan itu. Ia memandang orang tuanya yang duduk bersebelahan dihadapnnya.
"Apa maksudmu?" jawab Ny. Myungsoo
"Dia sudah menyadarinya. Begitu aku keceplosan mengatakan dia memiliki saudara, dia bergegas pergi ke Seoul. Dia tak memberi tahukan kepada kalian karena dia amat mencintai kalian. Dia hanya ingin mengetahui saudaranya saja." Air mata Ny. Myungsoo hampir menetes lagi. Dengan lembut, Mr. Myungsoo mengusap usap kepala istrinya.
"Kemudian, aku berjanji membantunya... Seohyun tak lupa menceritakan semuanya kepadaku. Tentang bagaiana ia berjumpa dengan Luhan, tentang semua kesamaan yang ia miliki dengan Luhan"
"Benar. Mereka memang mirip" Mr. Myungsoo mengiyakan. Pandangannya menerawang jauh membayangkan Seohyun lagi.
"Aku tak sulit mengenali Luhan saat Seohyun mendeskripsikan tentang Luhan. " Tambah Min Seok.
"Aku hampir mati terkejut melihat bagaimana saat ia membungkuk dan menyisir rambutnya dengan jari, seperti yang Seohyun pertama kali kita adopsi. Dia melakukannya dengan manis, dia sangat bahagia di umurnya yang baru lima tahun". Ny. Myungsoo sudah terisak mendengar pernyataan suaminya.
"Mereka juga alergi jus tomat" Ny. Myungsoo menambahkan.
"Apakah Luhan juga seorang fotografer?" Tanya Mr. Myungsoo
"Iya, dia seorang fotografer majalah terkenal di Korea" Pasangan suami istri itu saling berpandangan. Bagaimana bisa ini terjadi?
"hingga suatu saat Seohyun berusaha membedakan dirinya dengn Luhan. Aku masih ingat bagaimana saat itu Seohyun bersemangat memberi tahu kepadaku ia memiliki tetangga yang sama sama punya 12 buanga matahari, memiliki pandangan yang sama tentang suatu hal, suka dengan es krim dengan taburan kacang almond, perfeksionis, menyukai warna merah, selalu sarapan dengan cappuccino setiap hari libur, dan tak terhitung lagi kesamaannya. Juga Seohyun menyadari, Luhan seperti penyambung lidahnya saat ia bingung menjawab pertanyaan orang, seakan akan mereka berfikiran sama. Seohyun hampir melupakan niatnya mencari saudaraya di Seoul. Hingga entah apa yang terjadi, Seohyun membuat perbedaan perbedaan palsu untuk menjauhkan dengan Luhan."
Mr. Myungsoo mencoba menghentikan pembicaraan itu, namun Ny. Myungsoo masih ingin mendengarkannya. Min Seok mulai mengatur nafas, menahan air mata yang sudah dipelupuk mata.
"Note yang dibawa Luhan adalah note yang seharusnya kuberikan pada Seohyun. Itu adalah note yang ada diantara mereka saat mereka ditemukan oleh penjaga panti asuhan."
"Tadi aku menghubungi panti asuhan untuk mengklarifikasi, mungkin kita akan mendengar tentang Seohyun dan Luhan. Apapun itu, kuharap Seohyun ..."
"ANDWAEE!" Teriakan Luhan membuat Min Seok, Mr. Myungsoo, dan Ny. Myungsoo berpandangan. Mereka segera menuju asah suara. Di sana, Luhan duduk merangkul lututnya.
"Orang ini tadi mengatakan bahwa aku dan seohyun saudara"
"Aku dan Seohyun kembar"
"Gurauan macam apa ini?"
"Apa kau mengetahuinya? Mengapa? Mengapa tak kau katakan padaku?"
Luhan berbicara sendiri. Menatap satu persatu wajah wajah yang ikut menderita melihat sikap Luhan. Ny. Myungsoo berusaha mendekati Luhan, memeluknya. Luhan memeluk erat perempuan paruh baya itu. Ia menangis sejadi jadinya.
"Apa aku yang bodoh? Apa aku yang tak tahu apa-apa?"
Tangisan masih mengiringi Luhan saat mengucapkan itu.
"Aku masih ingat saat Seohyun memanggilku oppa. Aku ingat saat itu."
Luhan meneruskan kembali ucapannya.
"Apakah benar aku salah mengartikan perasaanku? "
Luhan diam. Min Seok diam. Mr. Myungsoo diam. Ny. Myungsoo masih memeluk Luhan. Angin kesedihan masih memeluk mereka. Butuh waktu lama saat Luhan tak lagi berusaha mengucapkan kata-kata penyesalannya tak mengenali Seohyun. Isakannya yang membahana kini mulai mereda.
Perlahan Luhan melepaskan pelukan itu. Ia tersenyum, berdiri kemudian ia membungkuk dan berdiri lagi, seraya berkata, "Perkenalkan. Aku Luhan. Oppa-nya Seohyun. Oppa yang tidak akan mengecewakannya lagi, Oppa yang akan membuat ia bangga."
END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro