Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilog: Orions Zeta

Sebelum kita benar-benar berpisah, absen dulu yuk!

Kamu baca cerita ini sejak kapan?

Kepada pembaca baru, selamat datang~ kepada yang lama, terima kasih telah menemani Una-Riam sampai akhir ❤

Jangan lupa untuk meninggalkan vote serta komentar, ya. Aku sayang kalian ❤

Happy reading~

***

Biasanya, polusi membuat langit Jakarta terlihat sama saja; mendung, gelap, sulit menemukan bintang. Tetapi malam ini langit yang sama seakan tengah berusaha menghibur dua orang yang menerima kegagalan. Terbukti ketika Una mendongak ke langit tanpa sengaja usai menjejalkan sempolan berbalut saus tomat pedas ke mulutnya, ia melihatnya.

Una buru-buru menyenggol lengan Riam dan berteriak dengan mulut penuh. "Iyam! Itu Sabuk Orion, bukan?"

Riam tidak terburu-buru seperti cewek itu. Ia menelan sempolan tanpa sausnya sebelum mengikuti arah telunjuk Una. Pada langit yang tampak lebih bersih dari biasanya, mereka dapat melihat taburan bintang-bintang. Dan persis di arah yang ditunjukkan Una, ia turut melihatnya. Tiga bintang berjajar, tampak sama besar, sama terangnya.

Alnitak, Alnilam, Mintaka. Orionis Delta, Orionis Epsilon, Orionis Zeta. Sabuk Orion.

Melihatnya membuncahkan rindu yang tidak Riam ketahui darimana asalnya. Di atas sana, ketiga bintang itu masih bersinar dengan terangnya, berdiri dengan kokohnya. Seolah tidak ada yang bisa menghancurkan mereka.

Riam mengangguk setelah beberapa saat. "Hm... iya."

Una menoleh menatapnya, mata cewek itu berbinar-binar. "Beneran?!"

Ketika Riam tidak mengatakan apa-apa, selain tersenyum seolah ia terhibur dengan raut wajah yang Una tunjukkan, cewek itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia meraih tangan Riam, menggenggamnya, lalu melompat dan berteriak senang. "YAY! Nilai IPS Una nggak nol lagi!"

Riam tertawa singkat kali ini, ia mengacak rambut Una dan berjalan lebih dulu menuju tangga di samping rumah cewek itu yang akan menghubungkan mereka ke atap. Pertandingan renang telah usai sejak siang. Mereka kembali ke Jakarta setelahnya, membuat semacam perayaan kecil yang berakhir sore itu juga, lalu semua orang pulang ke rumah. Kemudian, malam itu Riam memutuskan ia ingin mengantar sendiri cewek itu pulang ke rumah. Yang berlanjut dengan jajan di pinggir jalan hanya karena Una masih kelaparan.

Mereka duduk di atap untuk waktu yang cukup lama. Menatap Orion yang berkerlip di atas langit dan menghabiskan sisa jajanan mereka.

"Cobain yang pake saus, deh!" Una bersikeras, coba menyuapi Riam sempolan penuh saus miliknya, yang terang saja segera dijauhkan cowok itu.

"Nggak. Nggak suka baunya."

Ada dua jenis manusia di muka bumi ini. Yang makan bubur diaduk, dan tanpa diaduk. Yang makan apapun dengan berlumuran saus tomat, dan yang tanpa saus tomat. Dua-duanya, Una dan Riam adalah dua kutub yang bertentangan. Riam bahkan masih mengingat dengan jelas bayangan Una dulu, dulu sekali sebelum misi pengejaran dimulai, yang memakan ceker berlumur saus tomatnya hingga Riam bergidik ngeri sendiri.

"Makan gituan nggak pake tomat apa enaknya sih?!" Ia frsutrasi. Riam ketinggalan banyak hal.

Sementara, kadang Riam sama frustasinya. Bagaimana caranya, menggiring Una kembali ke jalan yang benar? Jalan yang lebih sehat dan higienis.

Tetapi percuma. Cowok itu mengendik tidak peduli pada Una yang menyuarakan protes. Ia menatap tiga bintang berjejer di atas sana lagi. Sulit untuk melepaskan pandang sekarang. Riam kembali teringat kejadian di bukit bintang. Mungkin ..., waktu itu adalah kali terakhir mereka bersenang-senang, benar-benar bersenang-senang. Kenangan yang kini tidak dapat dikembalikan.

Akan tetapi, Sabuk Orion di atas sana seakan menyadarkannya. Tiga bintang yang berjajar itu masih seperti tadi, hampir sama besar, hampir sama terang, seperti malam di bukit bintang. Seakan ... mereka abadi, saling jaga dalam posisi mereka.

Dan mungkin, seperti itu jugalah hubungan Riam dengan Mitha dan Saga. Saling jaga meski tidak selalu bersama. Juga Orion. Mereka masih satu keluarga, apapun yang terjadi.

Sepertinya, pikiran Riam sibuk demikian rupa, satu sehingga sentuhan di pundak membuatnya nyaris berjengit. Ia menoleh, menemukan Una menyandarkan kepala di pundaknya.

"Indah banget, ya?" gumam Una. Sekarang, jajanan dan saus tomatnya telah disingkirkan ke sisi. Hanya menyisakan mereka berdua, di bawah bintang-bintang. "Kadang hal-hal sederhana kayak menatap bintang bikin stress jadi hilang."

Stress? Riam menoleh lebih dalam. Ia sedang berusaha menebak-nebak maksud cewek itu, kemudian teringat kejadian tadi siang. Pertandingan itu. Serta, kedatangan Una yang terburu-buru setelah semuanya selesai.

"Kenapa baru datang?" tanyanya, dengan nada hampir seperti mengomel. Bukan hanya itu, Riam juga menatap tajam Una yang hanya bisa memasang wajah antara menyengir dan hampir menangis.

"Una... Gagal masuk 100besar," jawabnya setelah menjauhkan kepala demi menatap Riam.

"Ranking 102, kan?" Riam tidak melewatkan informasi itu, disampaikan oleh Rahma. "Itu udah bagus," ujarnya tulus. Telapak tangannya yang lebar terulur, menepuk kepala cewek itu, hal yang seharusnya ia lakukan semenjak tadi jika saja tim renang dan orang-orang tidak segera menyeretnya pergi untuk perayaan kecil. "Selamat."

"Kok selamat, sih?" Una mengerucutkan bibir. Kekesalannya terhadap hasil itu kembali. "Ya, bagus sih ... Tapi jadinya gagal memenuhi janji sendiri."

"Janji apa?"

"Buat... ngejar Iyam?"

Sekarang alis Riam berkumpul di tengah. Ia bahkan tidak perlu bertanya, tatapannya sudah memaksa cewek itu untuk menjelaskan.

"Kalau masuk 100 besar, Una mau ngejar Iyam lagi!" jelas Una, melupakan rasa malu bahwa cowok di depannya ini, adalah objek dari tujuannya itu.

Riam tersenyum di satu sudut bibir. "Nggak usah."

Barulah atas jawaban itu, Una memikirkan kembali ucapannya. Bahwa ia barusaja mengatakan bahwa ia ingin mengejarnya, seperti dulu. Kali ini tanpa misi balas dendam. Tetapi jawaban yang diberikan Riam membuatnya berpikir dua kali.

Mendadak, Una rasanya seakan ditampar. Riam ... tidak ingin dia mendekat? Apakah itu artinya Riam ingin dirinya menjauh?

"Iyam... nggak mau dikejar?" tanyanya.

Napas Una tersendat di kerongkongan ketika yang bisa ia saksikan, adalah Riam yang mengangguk. "Ya, nggak usah."

"Iyam... sebenci itu?"

"Pfft."

Kali ini, Riam tertawa. Lepas. Ia berdiri, membuat Una berpikir cowok itu benar-benar siap untuk meninggalkannya saat ini juga. Mungkin, malam ini akan jadi terakhir kali mereka mengobrol. Hingga, Riam mengulurkan tangan.

Una menyambutnya ragu. Cowok itu membantunya berdiri. Dengan ketinggian yang membuat adrenalin terpacu, Una tidak berusaha melepaskan pegangan tangannya di tangan Riam. Bagaimanapun, ia takut jatuh.

Beragam pikiran buruk masih menggerayangi otaknya. Seperti apakah Riam bermaksud mendorongnya dari atap rumah? Siapa tahu dia sebenci itu terus dikejar-kejar cewek seperti Una. Atau apakah Riam akan lebih dulu turun ke bawah dan menyembunyikan tangga agar Una terperangkap di atap selamanya? Ada berbagai macam kemungkinan. Beruntungnya, Riam menghentikan semuanya hanya dengan satu ucapan.

"Kali ini biar aku, yang melakukannya."

Masih sambil menatap Una tepat di mata, Riam mengambil satu langkah, menutup jarak di antara kaki-kaki mereka. Hingga, ujung sepatunya menyentuh ujung sepatu Una, tangan mereka masih saling genggam, napas dari ujung hidungnya menyentuh puncak kepala cewek itu, berpadu dengan angin malam yang dingin. Lalu di atas sana, Alnitak, Alnilam dan Mintaka tengah menyaksikan keduanya.

Riam merendahkan pandangan, membisikkan satu persatu kata.

"Kamu mau ... belajar bareng?" mulainya, lembut. "Pulang pergi bareng, nonton bareng. Dapet telepon dan chat nggak penting di malam hari, berbagi makanan saat sarapan, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah kita datangi sorenya?"

Una kini mendongak padanya, mengerjap. Pandangan mereka bertemu, saling mengunci.

"... Kamu mungkin nggak sering dapat ucapan sayang, tapi aku bisa bawain payung pas hujan, bisa jemput pas panas, bawain makan pas laper. Mau?

"Aku akan ada di sisi kamu, mengkhawatirkan kamu, mengawasi kamu, seperti Orionis Zeta di atas sana. Mau?"

Una kembali mengerjap. Rahangnya sedikit terbuka, namun tidak ada kata yang keluar, ia hanya sedang berusaha mencerna apa yang cowok itu ucapkan.

Dan saat itulah, Riam mencondongkan wajahnya lebih dekat, membisikkan kalimat finalnya.

"Jadi ... pacar. Mau?"

E N D

01 Maret 2020 - 01 Mei 2021

Halo~ ini Naya! Akhirnya kita sampai di penghujung cerita, ada banyak yang ingin kusampaikan pada kalian semua~

Pertama, aku mau ucapin banyak terima kasih. Terima kasih karena berkat dukungan kalian, aku bisa nyelesain cerita ini meskipun butuh 14 bulan. Terima kasih karena selalu sabar menunggu. Terima kasih karena selalu mengingatkan aku untuk update ❤

Aku juga minta maaf sekiranya ada kesalahan dalam cerita ini. Sebenarnya aku belum puas dengan ending yang sekarang. Aku ingin berusaha menulis versi yang lebih baik di novel nanti. Karena itu, kritik dan saran dari kalian sangat diharapkan. Tidak perlu sungkan!

Terakhir, aku punya beberapa pertanyaan! Jawabannya, ya.

Gimana kesan-kesan kamu selama baca Orionis Zeta?

Kekurangannya?

Kelebihannya?

-

Ada pesan untuk tokoh-tokoh ini?

💙 Riam Zarel Albion 💙

🌻Skala Aluna 🌻

🙈 Rifai Slamet Fadillah 🙈

🤡 Rahma 🤡

👧 Anin 👧

❤ Saga, Mitha dan anak-anak Orion ❤

Terakhir...

Author

Hehe pokoknya terima kasih banyak untuk kalian! Follow Wattpadku ya untuk cerita lainnya yang akan datang. Follow juga IGku @nayahasan27 untuk konten extra

Jangan lewatkan Orionis Epsilon oleh okkyarista

Bonus!
Minta love-nya dong ❤
Iyamnya malu-malu nih~

💙💙💙

Tiga Minggu: Tentang Kian, novelis yang nggak bisa nulis romance. Terpaksa, Kian minta bantuan Laudy sahabatnya buat bantu riset. Perjanjiannya, mereka pacaran selama tiga minggu, dan gak boleh jatuh cinta.

Rindang: Tentang cewek fujoshi aneh yang bertemu musuh bebuyutan semasa SMA di tempat kerja baru, selain surat-surat cinta misterius tanpa nama. Kira-kira, siapa pemiliknya?

The Tale of Rain: Tentang Levant, CEO muda yang dingin dan hobi memecat orang seenak jidat. Semuanya berubah ketika dokter menjatuhkan vonis tentang gumpalan di otaknya. Yang Levant inginkan hanya satu; menemukan kembali cinta pertamanya.

Paper Hearts: Tiga tahun pernikahan, kata cinta tak pernah ditukar. Ayla, karena ia tunawicara. Jagad, karena ia tidak pernah mencintai Ayla, Sang Istri.

Cinderella Effect: Tentang Navy, gitaris band The Effects yang digawangi Navy, Aksal, Nino, Langit dan Pandawa. Takdir membuat Navy harus menumpang tinggal di rumah Candy. Sialnya, cowok itu seperti parasit, tidak pernah berhenti mengganggu hidup Candy.

Sebelas Desember: Tentang Launa, yang berharap saudari kembarnya yang menyebalkan menghilang saja. Sayangnya, tepat di ulang tahunnya yang ke-17, kecelakaan itu terjadi. Launa mulai kehilangan satu persatu orang terdekatnya. Akankah ia juga kehilangan Laura seperti yang pernah ia harapkan?

More story to come. FOLLOW ME!

💙💙💙

With love,

Naya 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro