Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60. Puzzle Terakhir [END]

Siap berpisah?

Kamu #timsadending atau #timhappyending?

Kita temukan jawabannya sekarang. Happy reading~ ❤

***

Kini, para penonton di tribun terkesiap. Seluruh mata terfokus pada apa yang sedang terjadi di kolam renang. Bukan kepada pertandingan final gaya bebas putra yang sedang seru-serunya, tetapi kepada seorang cowok yang memilih berdiri di tengah-tengah kolam, di tengah-tengah pertandingan.

Konon, tahun lalu ia menyabet gelar juara untuk kejuaraan renang serupa. Konon, ia adalah salah satu yang paling dijagokan. Dan bukan konon lagi, di dua putaran pertama, dia mengungguli lawan-lawannya cukup kentara. Tetapi tiba-tiba saja, dia berhenti, menatap nyalang titik tertentu di bangku penonton, mengabaikan semua orang yang meneriakinya untuk lanjut.

"RIAM! KAMU NGAPAIN?"

"RIAM! AYO TERUS MAJU! PERTANDINGAN BELUM SELESAI."

Semua orang, Mas Reno terutama, panik setengah mati. Berdiri di dasar kolam renang memang tidak lantas membuatnya didiskualifikasi, kecuali jika dia mulai berjalan di dasar kolam alih-alih berenang. Namun tetap saja. Ia tersusul dengan cepat, gelar juara pun mulai lepas dari genggaman. Akan tetapi, Riam tampak tidak peduli. Cowok itu tidak mendengarkannya sang pelatih, tidak juga sorakan dari penonton. Dia tidak mendengarkan siapapun.

Dunianya seakan menjadi ruang kedap suara. Dimana di sana hanya ada Riam, serta pikirannya yang amat ramai.

***

Satu jam ditarik ke belakang, Riam masih mengingat kejadiannya.

Ia sedang bersiap-siap ketika itu, melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan ringan pada lengan dan kaki, sementara rekan-rekannya bersiap di sekitar area start untuk nomor renang beregu. Lalu, dari arah pintu masuk penonton, seseorang memanggil namanya.

"Kak Riam!"

Orang itu adalah Aksal. Yang tidak terlalu mengherankan. Tahun lalu, Riam juga melihatnya datang meski ia selalu berpura-pura mengacuhkannya. Dan Aksal tidak pernah menyapa secara langsung. Tidak masalah. Kali ini berbeda.

Dan, mungkin Riam bisa menebak alasannya kenapa. Di belakangnya, ia membawa seseorang yang duduk di atas kursi roda. Orang yang tadinya sangat ingin Riam temui, yang mati-matian ia rindukan, yang dijadikannya tujuan. Sekarang tidak lagi.

"Riam," orang itu menyapa.

Riam hanya diam, tidak membalas sang papa. Bahkan ketika pria itu menanyakan kabar meski tampilannya sendiri lebih mengkhaatirkan. Ia tampak sangat tidak meyakinkan untuk dikatakan sehat. Katanya, ia terserang stroke ringan. Sebelah kakinya lumpuh, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda stroke berarti namun kata yang diucapkan sedikit terdengar dikulum, beruntungnya, Riam masih dapat mendengarnya dengan cukup jelas.

"Baik," jawabnya singkat.

Lalu, kecuali untuk suara peluit, kecipak air dan riuh penonton yang mulai memenuhi kursi-kursi di tribun, hening menyergap di sekitar Riam.

"Ngapain ke sini?" kata Riam setelah beberapa saat

"Ibu kamu," jawab pria itu sedikit serak. Riam tidak perlu penjelasan lebih. Mungkin Mama yang mengundang. Mama bilang, Mama sudah memaafkan Ayah, dan dia ingin Riam melakukan hal yang sama. Seandainya semudah itu.

Pria itu menatap Riam. Tangannya yang sekarang berkeriput terulur, berusaha meraih tangan Riam, yang membuat cowok itu secara refleks mengambil satu langkah mundur. Ekspresi kecewa, tidak luput dari perhatian Riam, segera muncul di wajah Ayah, yang cepat-cepat ia tutupi dengan satu senyuman.

"Ayah dengar kamu jago renang. Ayah mau liat," katanya, terkekeh kecil.

"Kenapa baru sekarang?" sengit Riam. Kemana aja dulu?

Mungkin intonasi Riam sedikit terlalu meninggi. Sehingga Aksal cepat-cepat melangkah maju dalam usaha menengahi. Namun sebelum ia buka suara, Ayah lebih dulu melakukannya. Ia tidak berbasa-basi lagi, melainkan langsung ke intinya. Kalimat yang sudah lama dipendam, tidak terucap.

"Ayah minta maaf karena baru bisa datang sekarang."

Riam diam.

"Ada hal-hal tentang orang dewasa yang tidak bisa dijelaskan."

Kali ini, ia terpancing.

"Apa? Alasan apa lagi, memangnya?"

"Beberapa tahun belakangan, Ayah kangen kamu. Ayah ingin pergi melihat kamu, tapi ... Ayah hanya sadar diri. Kamu pasti amat benci, kan? Laki-laki yang meninggalkan keluarganya demi harta dan perempuan lain?

"Ayah ingin minta maaf. Selalu. Tapi bahkan.. Ayah tahu Ayah tidak pantas meminta maaf. Ayah bahkan tidak bisa memaafkan diri sendiri."

Riam tetap diam. Ia hanya memalingkan wajah, berputar di tumitnya, dan berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Berharap dengan begitu, ia dapat menghapus ucapan-ucapan yang barusan ia dengar. Berharap ia dapat melupakan wajah penuh penyesalan itu.

Percuma.

Sekarang, berdiri di tengah-tengah kolam renang, menatap Ayah, ia tahu ia tidak berhasil menghapusnya. Tidak akan pernah.

"Menurut kamu, kenapa akhir kisah Jagad sedih banget?"

Kalimat itu tahu-tahu muncul begitu saja di benak Riam. Waktu itu, mereka habis menonton film Paper Hearts yang digagas Una usai sesi belajar memusingkan, tanpa tahu kisah itu akan memiliki akhir tragis. Atau setidaknya, adil bagi Riam, tragis bagi Una. Cewek itu menyedot ingus dan masih mengomel-ngomel tidak terima.

"Karena penyesalan?" Riam menjawab seadanya.

Una mengangguk setuju. "Menurutku bukan karena Ayla meninggal. Tetapi karena Ayla meninggal, sebelum Jagad sempat nebus kesalahannya."

Senyuman mengejek di wajah Riam sempat membuat Una mencubit lengannya kesal dan melotot. "Apa?"

Riam hanya terkekeh, sebelum kembali menjadi serius. Posisi Jagad, ia tahu banyak orang di luar sana yang membencinya. Tapi melihat bagaimana keadaannya di akhir, mau tidak mau Riam mengerti.

Sehingga, kalimat itu terucap begitu saja dari bibirnya.

"Kadang... lebih mudah memaafkan daripada mengucap maaf. Karena, sebelum meminta maaf, kita harus lebih dulu memberi maaf pada diri kita sendiri, pada kita di versi masa lalu."

Dan menjadi Jagad, betapa sulitnya, mengingat dosanya di masa lalu.

Riam pikir, hal-hal seperti itu hanya akan terjadi dalam film, atau setidaknya tidak terjadi pada dirinya. Riam pikir, diskusi singkat dan asal mereka hanya akan menjadi angin lalu.

Tetapi rupanya kalimat yang ia ucapkan sekarang berbalik menjadi senjata melawan dirinya sendiri. Ada seseorang yang belum dapat ia maafkan selama ini. Orang yang paling dekat dengannya. Orang yang menanggung semua beban kesalahan.

Orang itu adalah dia. Riam Zarel Albion.

"Kalau gitu, minta maaf aja."

Riam menoleh, alisnya berkumpul di tengah. "Hm?"

"Kalau sulit untuk memaafkan diri sendiri, kalau gitu minta maaf... pada diri sendiri. Kadang, maaf nggak bisa dikasih kalau nggak diminta, kan?" sahut Una dengan entengnya.

Sekarang Riam memikirkannya. Ucapan cewek itu.

Kalau sulit untuk memaafkan diri sendiri, kalau gitu minta maaf pada diri sendiri.

Konyol, memang. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Memejamkan mata, Riam melafalkannya dalam hati, permintaan maafnya, pemberian maafnya.

Untuk Saga yang meninggalkan Orion dan memikulkan tanggung jawab di pundaknya, ia memaafkannya.

Mata Riam terbuka. Riam menoleh ke sekeliling, kemudian pandangannya terpaku pada Saga.

Untuk Denis si Pengkhianat, ia memaafkannya, si Pengecut Bermulut Besar. Ia hanyalah anak yang kurang didik, kurang kasih sayang. Riam memaafkannya.

Riam menarik napas, lengannya terayun, bersiap. Lalu ... ia melepaskan kakinya naik.

Untuk Mitha yang pergi dan melanggar banyak janji untuk tumbuh dewasa bersama, ia memaafkannya.

Riam mulai melanjutkan renangnya. Awalnya tidak terlalu cepat, pikirannya masih ramai. Tapi perlahan, ia mulai menemukan ritmenya sendiri.

Untuk Ayah yang meninggalkannya di usia enam tahun, ketika dia amat sangat membutuhkan sosok ayah, yang pergi dengan alasan yang membuat Riam terpukul. Dia ... memaafkannya.

Riam berenang lebih cepat, coba menyusul peserta lainnya.

Untuk Skala Aluna yang menjadikannya tujuan balas dendam, yang sekarang tidak datang di sisinya, ia memaafkannya.

Kakinya bertolak di pinggir kolam, Riam mengayunkan lengan. Berenang lebih cepat. Lebih cepat. Lebih cepat lagi. Meski dadanya mulai sesak dan kepalanya dipenuhi teriakan.

Dan untuk diri sendiri. Untuk Riam Zarel Albion yang tidak bisa mencegah tawuran tempo hari, tidak bisa mencegah kepergian Mitha maupun keluarnya Saga. Untuk Riam yang mengambil keputusan membubarkan Orion. Untuk Riam yang kata orang jenius, namun sebenarnya hanya anak bodoh yang menyalahkan ibunya bukan untuk kesalahan yang wanita itu buat... ia akan berusaha ... memaafkannya. Ia sedang berusaha.

Dan dengan sorakan penonton yang melihatnya kembali berlaga, Riam memulai pertarungannya sendiri. Melawan diri sendiri.

***

"NA! SELAMAT!!!"

Tanpa Una duga, tubuhnya tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan oleh teman-temannya begitu mereka tahu apa yang terjadi. Memanjat posisi dari dua terbawah hingga melampaui lebih dari separuh murid kelas sebelas itu luar biasa. Hampir seperti keajaiban sehingga secara refleks, Rahma, Rifai dan Anin memeluknya bergantian, hingga melompat-lompat kegirangan.

"IH GA NYANGKA BANGET GUE LO PINTER GINI! Ini Rifai juga! Kok bisa nangkring di 100 besar?" seru Rahma. Ia bilang, ia menemukan dirinya di ranking 200 sekian, akan tetapi melihat hasil teman-temannya, dirinya tidak tampak kecewa sama sekali. "Lain kali ntar gue belajar sama kalian!"

Una mengerjap. Buru-buru, ia menghapus airmata yang sempat jatuh ke pipi dan memasang wajah tersenyum.

"Kok ... selamat?"

"Ya iya! Lo udah naik sejauh ini. Udah pinter banget sekarang. Sini gue cium dulu."

Penuh candaan, Rahma menangkup wajahnya, yang segera ditepis Una dengan tawa getir. Ia masih gagal paham.

"Tapi gue gagal," katanya, seandainya teman-temannya tidak mengerti.

Rahma menoyornya di kepala. "Apaan sih, Na? Daripada memikirkan hasil yang suka nggak sesuai ekspektasi, kenapa kita nggak lebih menghargai prosesnya?"

Una mengerutkan alis. Kata 'Maksudnya' seakan tercetak tebal di kening.

Rifai berdecak dramatis. Gilirannya sekarang, untuk mengambil alih panggung. "Dengerin Bawang Putih, nih," ujarnya seraya berdeham. "Masalahnya bukan ranking berapa lo, Una. Masalahnya bukan soal hasil. Tapi apa-apa yang udah lo lakukan demi posisi itu."

"Eh tumben pinter?!" Rahma terkesiap. Bahkan Anin ikut terkesiap.

Membuat Rifai memutar bolamata pada keduanya dan mulai mengibaskan rambut tak kasat matanya. "Ranking 95 dilawan!"

"Jujur aja, lo nyontek, kan? Atau jangan-jangan lo jadi simpanan guru?"

"Enak aja ya Bawang Merah, gue dipanggil simpanan! Emangnya gue Es Kiko?! Bawang Putih ini level permaisuri, sori sori aja!"

Keduanya nyaris bertengkar lagi kalau bukan ditengahi Anin yang untungnya, masih sadar dengan ekspresi murung di wajah Una. Fokus mereka kembali.

"Kenapa, Na?" Anin menepuk pundak Una lembut.

Cewek itu menoleh. "Gue .. seneng sih bisa naik sejauh ini. Tapi .. apa yang harus gue lakukan? Gue udah janji sama diri sendiri. Lagian, Iyam nggak cocok sama cewek bego."

"Siapa yang bilang bego?!" Rifai tiba-tiba menyambar. Suara laki-lakinya keluar. "Sini gue hajar yang berani ngatain lo bego!"

"I..."

"Fai bener. Lo nggak bego, Na. Lo pinter banget, bisa naik sejauh ini," Rahma menimpali.

Yang cukup menggoyakna Una tetapi masih membuatnya ragu. Cewek itu menggigit bibir. "Tapi... kalau Iyam ngejauhin gue? Kalau dia lari?"

"Ribet. Kalau dia lari, ya kejar aja, lagi."

"Atau oper ke Bawang Putih," angguk Rifai.

Dan Rahma menoyornya lagi. "Emang bola!"

Mereka tertawa sebentar, sebelum Rahma meletakkan telapak tangan di kedua pundak Una dan menatapnya serius. "Tapi serius deh, Na. Sebenarnya lo nggak perlu melakukan apa-apa selain jadi diri lo sendiri. Versi yang lebih baik, mungkin, tapi tanpa mengubah apapun. Gue pikir, Riam sendiri suka lo karena itu elo, apa adanya.

"Kalau cinta ya cinta. Nggak ada urusannya dengan pantes nggak pantes."

Una menggigit bibir bawahnya. Ekspresinya berganti-ganti, antara kesadaran,harapan, kemudian kembali kegalauan.

"Kalau gue pergi sekarang ..., apa masih keburu?"

"Pasti! Juragan skincare hari ini bawa mobil," ujar Rahma menunjuk Rifai. "Nyonya yang anter!"

***

Riam tidak memenangkan kejuaraan itu. Ia meraih tempat ke-5 bahkan setelah berusaha keras menyusul lawan-lawannya. Tetapi, begitu semuanya selesai, begitu Riam telah melapisi diri dengan jaket dan celana panjang, serta handuk yang tersampir di pundak, Riam dapat tersenyum ketika orang-orang terdekatnya menghampiri. Mereka turun dari kursi tribun, lalu melangkah ke ujung kolam, tempat Riam bersama timnya istirahat.

Riam dapat tersenyum. Karena kali ini ia telah memenangkan satu hal; pertarungan melawan egonya.

Ia membiarkan Mama memeluknya, untuk kali pertama sejak belasan tahun lamanya. Riam balas memeluknya meski dengan pelukan canggung dan lengan yang salah tingkah, tidak tahu harus berada di mana. Cowok itu juga mengangguk pada Om Benu setelah pelukan Mama lepas. Pria itu nyaris secara refleks meletakkan telapak tangannya dengan ringan di pinggang Mama ketika membimbingkan berdiri ke pinggir agar tidak menghalangi orang yang lewat. Dan gesture itu, untuk pertama kalinya pula, tidak membuat Riam marah. Ia sudah bisa menerima itu sekarang. Meski mungkin ia akan butuh waktu tambahan jika mereka berencana menikah dalam waktu dekat. Tersenyum pada orang yang sekian lama menjadi musuh, serta keluarga baru bukanlah hal yang mudah.

Saga melangkah maju kemudian, menjabat tangan Riam tegas karena ia tahu, Riam cukup antipati dengan tindakan skinship lainnya, apalagi sebuah pelukan. Kadang hal itu suka dibercandai oleh Saga dan yang lain, yang selalu ditepis Riam. Kali ini Saga mengaktifkan mode lebih serius.

"You did your best, Am. Keren," komentarnya. Dan Riam sedikit lega karena cowok itu tidak mempertanyakan alasannya berhenti selama hampir satu menit tadi. Ataupun coba berkelakar. "Lo tadi nyoba ngukur tinggi kolam apa sampe berdiri-diri gitu? Tahu deh, yang tinggi."

Oke, Riam akui penilaiannya kali ini salah.

Ia menjabat tangan mantan anggota Orion lainnya yang ternyata cukup banyak berdatangan untuk memberikan dukungan. Mungkin ada tujuh atau delapan orang. Maykel dan Tyo sempat bahkan berebut berfoto dengan Riam. Riam yang kali ini tidak membawa pulang piala apapun. Tetapi mereka memperlakukannya seolah ia telah menyusun bintang di langit dan memasang matahari.

Hingga, tiba giliran Aksal.

Anak itu tersenyum. Tidak lebar tapi tidak begitu tipis. Hanya senyum yang pas menggambarkan kepribadiannya, pemalu, pintar, ramah namun pendiam terhadap orang baru. Senyum yang melengkapi wajah pemikat gadisnya. Riam juga menjabat tangannya.

"Selamat, Kak, keren," ujar Aksal. "Pengen kayak gitu juga, tapi gue gak jago."

"Lo main basket, kan?"

Pertanyaan itu, serta merta membuat Aksal terperangah. Biasanya, Riam tidak suka bertanya, lebih-lebih membicarakan soal hobi. Jangankan bertanya, menjawab saja jarang. Entah angin apa yang membuatnya seribu kali tampak lebih ramah kali ini, setelah kue yang diberikan Riam waktu itu.

"Iya, Kak Riam tahu dari mana?"

"Gue liat," Riam mengangguk. "Permainan lo keren. Serius di basket?"

Aksal terkekeh, ia menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. "Enggak. Cuma hobi. Lebih serius di musik, sih."

"Ah, ya." Riam sempat lupa. Tapi ia tahu Aksal menggawangi sebuah band sekolah yang populer di kalangan murid cewek. Bahkan nama mereka telah menyebar hingga Buana Cendikia karena visualnya, juga lagu-lagu yang anak muda banget.

"Kalau manggung lagi ... kasih tahu," kata Riam tulus, meskipun nadanya masih sedatar biasa.

Pertemuannya dengan Ayah adalah yang paling berat untuk Riam hadapi. Bukan hanya ada waktu belasan tahun yang menciptakan jarak di antara mereka berdua yang semula hampir tidak dapat dipisahkan. Orang ini ... sudah terlalu lama tidak ia lihat, tidak ia tatap dari jarak dekat. Tahu-tahu, impian untuk bertemu Ayah seperti ini terwujud, di saat ia tidak lagi mengharapkannya.

Ayah tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya, ia masih yakin dengan keyakinannya, bahwa Riam tidak akan memaafkan dan ia tidak pantas minta maaf. Tetapi di luar dugaannya, ataupun dugaan semua orang, Riam mengulurkan lengan, memeluknya singkat.

Ya, sebuah pelukan yang amat singkat.

"Makasih udah dateng," kata Riam.

Riam adalah Riam. Kalimatnya sederhana, nyaris tanpa nada, namun tak pelak, membuat Ayah hampir menangis haru.

Sambil menahan mata yang memerah, Ayah berbisik. "Kamu hebat. Ayah bangga."

Balasan senyum dari Riam samar. Mungkin, hanya mereka berdua yang dapat memahaminya.

"Habis ini kita semua mampir ke rumah ya. Kita bikin perayaan kecil aja." Perkataan Mama barusan mendapat sambutan hangat dari semua orang. Utamanya Orion, atau mantan Orion, yang bersikap seakan-akan mereka dari Jakarta tidak diberi makan dari rumah.

Riam terkekeh, menggeleng. "Kan, nggak menang. Kenapa dirayain?"

"Menang, ataupun nggak menang, hal ini tetap patut dirayakan, oke."

"OKE!" Maykel menyahut paling keras. Mungkin, dugaan Riam benar, ia belum makan.

Pertandingan telah usai seluruhnya. Tribun nyaris kosong. Kolam renang telah kembali tenang. Yang dipadati manusia justru pintu keluar, serta tepian kolam yang dipenuhi para atlet, rekan dan keluarga mereka. Seperti keadaan Riam sekarang. Riam merasa, dia amat beruntung karena sekarang dapat dikelilingi keluarganya yang seakan kembali utuh; Ayah yang tidak pernah datang sebelumnya, ibu yang selalu ia musuhi sebelumnya, adik yang sering ia abaikan sebelumnya, dan teman-teman... yang sudah seperti saudara sedarah bagi Riam.

Semuanya sempurna. Hanya ... ada yang kurang.

Bagaimana pun menyangkalnya, Riam tahu pasti ada yang kurang. Ada sebuah lubang pada puzzle yang minta dilengkapi. Ada sebuah hati, yang memanggil nama seseorang.

"IYAM!"

Riam menoleh dengan cepat. Sangat cepat. Seakan refleks terhadap sesuatu yang sudah ia tunggu-tunggu sejak awal. Suara itu, ia memang menunggunya, ia memang merindukannya.

Di sana, di antara puluhan manusia menjejali pintu, radarnya dengan cepat menemukan sosok itu. Cewek itu melambai padanya, masih dengan senyum kelewat lebar yang Riam mulai terbiasa dengannya. Masih dengan senyum creepy yang membuat Riam rindu.

Di sana, adalah Skala Aluna.

Adalah potongan puzzle terakhir Riam.

☀️E N D ☀️

Loh, kok gantung?

Mau epilog? Yang manis~

Seberapa banyak yang mau epilog? Cap jempol dulu~

Nantikan, ya. Bentar lagi. Jangan lupa baca Saga yang udah chapter terakhir juga. See you ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro