59. Penentuan
Warning: chapter ini adalah dua chapter terakhir. Kalo bisa 3k votes dan 1k komen, cus langsung update bab terakhir!
Yuk, semangat, yuk!
***
Riam pikir, tidak salah cowok kemayu di depannya yang menyebut diri sebagai Bawang Putih memanggil Rahma dengan sebutan Ibu Tiri. Cewek itu melotot galak. Bahkan kepada Riam, ia tidak gentar dan menundukkan pandangan seperti manusia normal pada umumnya. Justru, ia berkacak pinggang sekarang, layaknya ibu-ibu yang siap mengamuk setelah anaknya menghilangkap tupperware.
"Jadi semua tips-tips cinta dari gue gagal?" tanyanya dingin.
Riam tidak menjawab. Tidak ingin. Ia sudah ditunggu dan tidak punya waktu untuk mendiskusikan hal itu sekarang. Tetapi setelah sekian waktu, dan meskipun Riam terus mengabaikannya sambil berjalan menuju gedung olahraga, ketiga orang itu tetap mengekor. Memaksa Riam untuk berhenti dan memberikan sedikit perhatiannya pada Rahma. Ia berbalik, menatap Rahma dan kedua temannya.
"Ya," jawabnya, tanpa berusaha menjelaskan.
Rahma yang mendengar satu kata singkat itu pun memutar bolamatanya. "Astaga! Hal sedasar itu gagal?" Ia mengembuskan napas keras-keras. "Au ah, gue nyerah deh sama lo!"
Rahma mengangkat kedua tangan di udara sebagai penambah efek dramatis. Sementara Rifai yang sedari tadi disuruh diam, akhirnya tidak dapat lagi menahan diri. Ia mencolek lengan Riam dan mengedip-ngedipkan mata genit.
"Sama Bawang Putih aja gimana, A? Nggak perlu dipuji, nggak perlu pedekate, langsung bisa bawa pulang! Full servis, diskon cuci gudang, promo terbatas! Dah gitu beli satu gratis satu, A. Siang dapet Rifa'i," ujarnya dengan suara macho di kalimat terakhir, lalu menyambung, lebih feminin, "Malem dapet Revalina hihihi~"
Kikikan Rifai yang meniru kuntilanak itu terhenti begitu Rahma membekap mulutnya dengan sepotong roti. Rahma menatap Riam lagi, nyaris menceramahinya jika bukan karena Anin yang menggamit kemudian.
Cewek itu membenarkan kacamatanya. "Menurut gue ... mungkin kita harus lepas tangan," ujar Anin. "Biarkan mereka jadi diri sendiri. Dan biarkan semua terjadi ... dengan sendirinya."
Rahma membuka mulut, ingin bicara. Tetapi ia tahu, itu percuma. Ada dua alasan yang menghambatnya. Pertama, Anin benar, dan kedua, Rifa'i balas menyumpalkan roti di mulutnya. Tidak ada kesempatan bicara. Maka, ia hanya mengunyah rotinya dan mengangguk. Di saat yang sama, Una muncul dari ujung lorong lainnya., membuat Rahma hanya menepuk Riam di lengan.
"Yaudah. Good luck, ya! Satu yang pasti. Jangan pernah kecewain temen kita, atau kita bakal bikin seribu misi buat bikin lo menderita!"
Riam mendengkus. "Kalian dan misi-misi itu."
Cowok itu melirik arloji di tangannya. Sudah waktunya berangkat. Anak-anak dan pelatih mungkin tengah menunggunya di ruang ekskul untuk briefing. Hari ini rombongan mereka berangkat ke Bandung untuk hkejuaraan renang tingkat nasional untuk pelajar. Mereka akan berada di sana selama tiga hari, yang artinya ... tidak melihat Una selama tiga hari. Jika sedang tidak dalam perlombaan, ia juga pasti akan disibukkan oleh diskusi bersama pelatih dan kelompok.
"Pergi dulu."
Riam mengeratkan tali ransel yang sempat melorot di pundak dan memutar tumit, berbalik. Bermaksud pergi. Akan tetapi, hal itu justru segera membuatnya berhadapan dengan Una.
"Iyam!" sapa cewek itu masih dengan senyumnya yang biasa.
Riam balas tersenyum, tipis, yang bertahan seperempat detik. Sementara di belakang mereka, tiga orang saling berpandangan, mengangkat alis, lalu diam-diam menjauh. Menyisakan mereka berdua di tengah koridor yang menghubungkan gedung kelas dan gedung olahraga.
"Iyam udah mau berangkat?"
Riam mengangguk. Kemudian, setelah hening menyergap sejenak, ia pun mengajukan pertanyaan. "Kamu dateng?"
Kejuaraan itu akan berlangsung di Gelanggang Renang Universitas Pendidikan Indonesia, berlokasi di Bandung yang memberikan jarak di antara mereka. Cukup jauh sehingga tidak memumngkinkan bagi Riam untuk bertemu di sela waktu. Namun tidak sejauh itu jika Una mau datang. Pertanyaan, apakah dia bersedia?
Tidak, ini bukan lagi sebuah pertanyaan. Ini adalah sebuah undangan.
"Riam!"
Seseorang memanggil. Riam menoleh. Di sana, beberapa orang rekan timnya yang sama-sama mengenakan seragam olahraga SMA Bucin dilengkapi jaket klub renang, melambai dari arah gedung olahraga, menuju jalan yang mengarah ke gerbang.
Sepertinya dugaannya benar. Sudat saatnya berangkat. Maka, ia tidak bisa berlama-lama. Ia kembali menatap Una dan menepuk kepalanya pelan.
"Sampai ketemu tiga hari lagi," ujarnya, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.
Hal yang lebih baik bagi Una. Karena saat itu, ia sedang menahan napas. Tiga hari dari sekarang ... adalah saat yang sama dengan pengumuman ranking paralel satu sekolah, dan juga, penentuan akan keputusannya.
***
[Tiga Hari Kemudian]
Tribun penonton sesak hari ini. Wajar, pertandingan final renang tunggal putra adalah salah satu yang paling ditunggu-tunggu. Pendukung dari berbagai sekolah dan berbagai kota berdatangan. Mereka menggelar baliho mereka masih-masing, berikut dengan yel-yel dan sorak-sorai yang tidak pernah absen memadati gelanggang.
Riam bersama peserta lainnya melangkah ke arena. Sebagian melakukan pemanasan kecil. Sebagian melambai ke arah penonton, pada keluarga, teman, atau siapapun yang datang menyemangati. Riam turut membawa pandangannya menyapu barisan penonton di tribun, berharap menemukan orang-orang yang ia kenal.
Di barisan ketiga dari atas, ia melihat Saga, Maykel dan beberapa anak Orion lain yang melambai bersemangat ke arahnya.
"AA IYAAAMMM!!!" Tyo dan Saga bahkan meneriakkan namanya sedemikian rupa, menarik perhatian sebagian orang dan membuat Riam membuang wajah ke arah berbeda, pura-pura tidak kenal.
Ia beralih dua tingkat ke bawah, tidak jauh dari Saga, adalah keluarganya. Riam melihat mamanya yang ditemani Om Benu. Wanita itu yang hari ini mengenakan kaos olahraga besar membuat Riam tersenyum. Tetapi yang membuat senyumnya segera menghilang adalah kehadiran Aksal. Dan bukan hanya Aksal. Di sana, Aksal tengah membimbing seorang pria berdiri. Pria itu sudah menua, jauh lebih tua dari yang Riam ingat.
Dia bukan pria gagah yang dulu lagi, yang mengajari Riam berenang, yang Riam inginkan untuk melihatnya berenang. Semuanya telah berubah. Dan sekarang, yang tersisa dari Riam terhadap sang ayah hanyalah rasa marah.
Tidak ada Una. Sejauh apapun mata Riam menjelajah, ia tidak berhasil menemukannya di antara para penonton, tidak berhasil mendengar suaranya yang biasanya dapat dengan mudah ditemukan. Cewek itu... tidak datang.
Peluit panjang dari wasit menandakan bahwa para peserta harus bersiap dan naik ke balok start masing-masing, membawa Riam menempati posisinya, balok kedua dari kanan.
"Siap!"
Riam, bersama peserta lain yang telah lolos babak penyisihan hingga ke tahap ini pun membungkuk ke arah air dan menekuk lutut, memasang posisi start. Ada beberapa jeda napas yang diambil sementara menunggu. Dan yang bisa Riam lakukan hanyalah menatap kolam renang yang tenang, yang dibagi menjadi delapan lintasan. Lalu, setelah detik-detik yang menegangkan, wasit menembakkan pistol ke udara. Masing-masing peserta dengan sigap melompat ke air.
Pertandingan gaya bebas putra 400 meter itu menimbulkan keriuhan penonton segera setelah dimulainya. Pertandingan yang bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga stamina. Dan Riam, seperti diperkirakan Mas Reno sang pelatih, memimpin pertandingan ini sejak awal. Ia berenang dengan gesit, berbalik dengan mulus segera dengan kakinya menyentuh dinding kolam renang di ujung lain lintasan. Dengan panjang kolam 50 m, dibutuhkan delapan kali lintasan untuk mencapai jarak yang diperlombakan.
Sambil menatap kolam renang dan sesekali memeriksa waktunya dengan tegang, Mas Reno hampir dapat tersenyum melihat Riam yang, setelah setengah putaran pertandingan mulai memberi jarak pada peserta lainnya. Ia optimis mereka akan menang. Ia sudah memperhitungkannya sejak latihan.
Tetapi mungkin, ada satu hal yang lewat dari perhitungan Sang Pelatih.
Kelebat ingatan yang gagal Riam cegah.
Tentang ingatan masa kecilnya, ingatan pertama, Ayah yang mengajari berenang, pelampung bebek, dan ... kepergian pria itu. Tentang rahasia yang ibunya bagi. Tentang rasa marah Riam, pada Ayahnya yang mengkhianati segala kenangannya, kepada ibunya yang menyembunyikan kebenaran. Tetapi di atas semua itu, ia marah pada diri sendiri. Marah pada kebodohannya selama ini.
Lalu tentang Orion. Tentang Mitha yang pernah berjanji akan berada di sini, mendukungnya setengah mati. Tetapi cowok itu justru pergi. Tentang Saga yang harus mengundurkan diri dari sekolah. Tentang Orion yang kini tinggal cerita.
Rasanya menyesakkan. Amat menyesakkan hingga gerakan Riam melambat, menimbulkan tanda tanya. Tetapi, kehebohan baru terjadi ketika cowok itu berhenti. Para penonton di tribun terkesiap. Wasit mengernyitkan alis. Sementara, Mas Reno mulai berteriak-teriak, menyuruhnya untuk melanjutkan renang. Posisinya telah tersusul.
Namun, Riam justru menapakkan kakinya di dasar kolam, berdiri di tengah-tengah lintasan. Memandangi Saga. Memandangi ibunya, ayahnya. Juga ... ia masih belum dapat menemukan Skala Aluna.
***
Senin akhirnya tiba. Senin yang berarti hari pengumuman. Anak-anak berkumpul memenuhi papan mading, membentuk gerombolan yang sesak, yang sulit ditembus. Meski demikian, Una bersama teman-temannya tetap bersusah payah memecah keremuman itu dan menyelipkan diri mereka di antaranya. Tidak sabar untuk segera mengetahui hasil ranking paralel. Terutama Una.
"Anin! Lo masuk lima besar lagi!" Teriakan Rahma menarik perhatian Una. Ia tersenyum, lantas memeluk cewek tinggi berkacamata itu, yang hanya dapat tersenyum menerima ucapan selamat yang bertubi-tubi.
Anin selalu konsisten sejak semester pertama tahun pertama, bahkan sejak SMP, dia tidak pernah meninggalkan tiga besar di kelas atau lima besar satu angkatan. Dan untuknya, Una merasa senang. Meski rasa senang itu belum berhasil mengatasi rasa gugupnya.
Ia Skala Aluna. Biasanya, ia tidak akan peduli sama sekali pada hal semacam ini, bahkan di saat ia terancam tinggal kelas. Tetapi sekarang, tujuannya berubah. Ia ingin membuktikan diri, ia ingin menjadi Skala Aluna yang lebih baik, yang berhasil masuk 100 besar dalam ranking paralel.
Una tidak merepotkan diri mencari namanya dari atas. Mustahil rasanya ia bisa menghasilkan nilai setinggi itu setelah belajar kurang lebih dua bulan. 50 besar jelas bukan tempatnya. Jadi, Una mulai menyentuhkan ujung jemarinya pada deretan nama dari nomor 51.
61. Safira Bella.
...
71. Andrian Muhammad Naufal
...
95. Rifai Slamet Fadillah
Sorakan Rifai menggema di sisi Una. Cewek itu menggigit bibir. Bahkan Rifai yang tidak menargetkan apa-apa berhasil masuk 100 besar. Dengan was-was, Una kembali menggeser pandangannya ke bawah dengan perlahan.
96... masih bukan namanya. Bukan pula 97. Dan bukan 98.
99... bukan dia.
100 ...
Una menahan napas. Seketika kakinya terasa lemas. Dari nomor 51 hingga 100 ... ia tidak menemukan namanya. Ia bahkan harus membaca ulang dari awal takut terlewat. Hasilnya masih sama. Tidak ada namanya.
Kemudian, dengan separuh jiwa yang meninggalkan tubuhnya, ia melanjutkan pencarian ke nomor 101.
Dan di situ dia. 102. Skala Aluna.
Dia tidak berhasil masuk 100 besar.
Jika dibandingkan prestasinya tahun lalu yang menyabet angka 365 dari 366 siswa seangkatan, ini adalah peningkatan besar. Tapi sekarang, ada sesuatu yang ingin ia wujudkan, seseorang yang ingin ia banggakan. Namun semuanya telah pupus.
Satu bulir airmata dengan cepat jatuh di pipi Una.
Dia telah gagal.
***
Jeng! Jeng! Jeng! Kira-kira endingnya bakal gimana nih?
Happy ending?
Atau sad ending?
Kalian mau endingnya gimana?
Yuk, bantu yuk. Kalau tembus target langsung update. Tapi kalau nggak bisa tenang, aku bakal tetap update kok. Tapi minggu depan, hehe.
Jadi, biar cepat update, tekan tombol bintangnya~
Terus spam emot deh di sini.
See you ASAP <3
Baca juga Orionis Epsilon oleh okkyarista
Dan follow Instagram: @nayahasan27
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro