Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

58. Momentum

Yuk, bisa yuk 2k votes dan komen! 🙏

***

Dalam Fisika, ada istilah bernama momentum. Ketika dua buah kendaraan saling bertabrakan, misal, fatal atau tidaknya tabrakan tersebut ditentukan oleh momentumnya. Momentum, didefinisikan sebagai ukuran kesukaran untuk menghentikan benda ketika bergerak, atau sebaliknya, ukuran kesukaran untuk menggerakkan benda ketika berhenti.

Dalam Bahasa Indonesia, momentum didefiniskan sebagai kesempatan, sebagai saat yang tepat. Dan kadang, diartikan sebagai titik balik.

Dan mungkin, inilah momentumnya bagi Riam Zarel Albion.

Di sisinya, Rahma telah siap dengan catatan panjang yang katanya telah ia susun berhari-hari. Di sisi lainnya, ada Rifai, yang dengan telaten mengipasi Riam meski hari itu masih amat pagi, dan semua orang mengenakan jaket agar tidak kedinginan. Kemudian ada Anin, yang menatapnya disertai ringisan iba, seolah cewek itu mengatakan, "Sabar, ya!"

"Oke, siap?" tanya Rahma setelah selesai merunutkan catatannya. Ia menatap Riam lekat-lekat dengan kedua matanya yang lebar serta hidung yang kembang kempis. "Misi pertama!" cetusnya keras, dengan tangan di acungkan ke udara.

Sementara murid lain yang hanya ingin melintas dibuat terkaget-kaget dan Anin harus menutupi wajahnya karena malu, Riam justru menatapnya dengan sorot mata serius. Ia menunggu rencana brilian apa yang telah disiapkan Rahma.

"Pertama, lo harus perhatian sama dia!" ujar Rahma. "Cewek itu paling seneng diperhatiin sampai hal-hal terkecil. Kayak.... Kayak..."

Rahma tersendat. Ia mengetuk-ngetuk kening dengan telunjuk, berusaha mengingat satu contoh untuk Riam. Dan Riam yang serius menyimak, hanya berusaha membantu mencarikan jawaban.

"Atom?"

"Ha?!"

"Hal terkecil adalah atom."

"Hm... iya, tapi bukan itu juga. Hal terkecil kayak... "

"Sel?"

"Bukan! Kayak..."

"Plankton?" Anin ikut menyahut.

"Makhluk halus?"Rifai tidak mau ketinggalan menyampaikan gagasannya. "Setan? Tuyul?"

"Bayi plankton?"

"Cintaku padamu?"

"CUKUP!" Rahma mengangkat kedua tangan di udara, mengisyaratkan tiga orang lainnya untuk diam. Pagi-pagi, dan kesabarannya sudah mulai diuji. "Hal-hal terkecil maksud gue tuh kayak ... misalnya nih, lo ketemu dia, lo harus tatap dia. Perhatiin apa yang beda. Gitu! Cewek seneng hal-hal kayak gitu."

"Tatap?" Riam bertanya ragu.

Dengan yakin, Rahma mengangguk. Ia kemudian mengambil satu langkah maju dan memelototi Riam. "Kayak gini."

"Apa ... nggak risih?"

"Enggak! Percaya sama gue."

"Percaya aja," Rifai menambahkan. "Temen Bawang Putih ini sudah terbukti, kok, Aa Iyam, sebagai pakar cinta. Terbukti gagalnya. Hihihi!"

Riam bergidik. Apakah ... rencana ini akan berhasil?

***

Una baru saja memarkirkan sepedanya di ujung parkiran dengan senyum puas di wajah. Adalah salah satu keajaiban dia bersepeda ke sekolah dan datang terlalu pagi, meski definisi terlalu pagi bagi Una adalah sepuluh menit sebelum lonceng berbunyi. Biasanya kalau bukan pas-pasan, dia pasti terlambat.

Cewek itu meraih tasnya, menyandangnya di bahu dan nyaris terjatuh karena kaget begitu dia memutar tumit. Persis di depannya, telah berdiri Riam.

"Astaga! Bikin kaget aja!" Una mengusap dadanya yang nyaris terkena serangan jantung. Lalu mendongak, menatap Riam. "Ada apa?"

Riam menggeleng. "Mau ... bareng ke kelas?"

Mereka hanya berjalan bersama. Bersisian. Dengan jarak setidaknya setengah meter mengisi di antara keduanya. Tetapi, Una sekarang merasa lebih horor dari saat berjalan melewati rumah hantu. Rasanya, ada beban berat yang bergelantungan di pundaknya, terutama dengan banyak sekali pasang mata yang menatap mereka. Mereka menatap Riam dengan memuja, seperti biasa. Dan menatap Una seperti ... calon bahan untuk dijadikan ayam goreng tepung untuk dipotong-potong sebelum disantap, alias ... mangsa.

Una menggelengkan kepala dalam usaha mengusir pemikiran buruknya. Ia memfokuskan tatapan ke depan, berusaha mengabaikan pasang mata yang mengintainya.

Riam seperti biasa, tidak bicara semenjak tadi. Mengabaikannya, seperti biasa. Una memutar bola mata. Seandainya dia diserang dan ditelan bulat-bulat oleh semua penggemar Riam di sini, cowok itu mungkin juga tidak akan sadar.

Hal yang tidak Una ketahui adalah, cowok itu tengah sibuk berpikir, menghafalkan baik-baik petuah Rahma di kepalanya.

Cewek itu senang diperhatikan. Perhatikan hal-hal terkecil...

"Iyam!"

Tidak ada sahutan. Una memanggilnya lagi. "Iyam?!"

Masih tidak ada. Sehingga cewek itu mengambil satu langkah lebih dekat dan menggamitnya di lengan. "IYAM!"

Riam tersentak. Ia menatap Una lamat-lamat.

Yang ditatap, menampakkan wajah bingung. "Kenapa? Kamu mau kenapa? XI IPA kan arah sana!" kata Una, menunjuk arah berlawanan dari tikungan yang baru saja di lewati Riam.

Cowok itu masih terdiam.

"Iyam?"

Sekarang, Riam bukan hanya diam. Una dapat merasakan tatapannya yang mengamati, dari ujung sepatu hingga ujung kepala, membuat Una sedikit bergidik.

Perhatikan hal-hal terkecil. Hal-hal terkecil...

"Iyam? Kenapa?"

Sepasang mata yang tajam itu berhenti pada sepasang mata cokelat milik Una. Mereka saling tatap selama beberapa waktu, hingga tanpa sadar, rona merah merambat ke pipi Una. Ia menahan napas, ketika akhirnya Riam membuka mulut. Cowok itu ingin mengatakan sesuatu.

"Ada...," Riam menunjuk sudut matanya. "... belek."

***

"Perhatikan hal-hal terkecil tapi ya nggak gitu juga, Bambang!"

Jika emosi Rahma dapat digambarkan, maka seluruh halaman akan dipenuhi api sekarang, seperti ilustrasi neraka. Cewek itu mengembuskan napas keras-keras dengan dada tersengal-sengal. Di sisinya, Rifai coba meredakan emosi cewek itu dengan memijat-mijat pundaknya, kepalanya, hingga wajahnya yang kemudian segera ditangkis Rahma.

Sementara si pelaku yang menyebabkan kekacauan ini, hanya menyeruput jus jeruknya dengan ringan, dengan wajah datar.

Emosi Rahma kembali meluap.

"Maksud gue tuh, puji dia! Eh, rambut kamu baru dipotong, ya? Bagus! Lembut! Wangi!"

"Tapi rambut Skala panjangnya masih sama kayak kemaren, dan sedikit kasar."

"Ya kan contoh, Mas! Bawang Putih cium juga nih!" Rifai turut sewot.

Riam tidak menyahut. Ia hanya meraih garpu dari mangkuk bakso Rahma dan mengacungkannya ke arah Rifai, memaksa cowok itu untuk diam seketika.

"Jangan, Mas," ujarnya pelan, memelas.

Rahma menggebrak meja. "Cukup, Bawang Putih!" Kepada Riam, ia menatap tajam. "Pokoknya inget pesen gue. Puji dia! Cewek senang dipuji."

Riam hanya mengangguk.

"Oke. Secara resmi, misi kedua dimulai!"

***

Masalahnya adalah... bagaimana cara seseorang memuji?

Bagi Riam, hal itu tidak mudah. Ia bahkan tidak dapat mengingat kapan terakhir kali ia memuji seseorang, atau apakah ia pernah memuji seseorang. Dan berhubung tidak ingin dirinya mengacaukan misi ini lagi seperti yang pertama, Riam pikir dirinya perlu berlatih.

Hal itulah yang menjadi alasan dia berdiri di sini sekarang, menatap Maykel yang penuh keringat usai berlatih tinju bersama Tyo. Cowok itu mengelap keringat di wajah dan lehernya dengan asal sebelum menenggak air mineral dari botolnya, botol yang agak malu ia perlihatkan karena berwarna merah muda dan bermotif Hello Kitty, hasil rampasan perang dari adiknya yang masih TK.

Menemukan Riam menatapnya sedemikian rupa, Maykel menoleh.

"Ada apa, Bos?"

Riam berdeham. Ia harus bisa mulai memuji orang. Harus bisa! "Itu ... botol kamu bagus."

Seketika, Maykel dan Tyo yang berdiri di sampingnya berpandangan, menatap botol Maykel, lalu berpandangan lagi. Butuh beberapa saat hingga tawa kikuk lolos dari bibir keduanya.

"Ah iya, iya, bener. Bagus," ujar Tyo.

"Makasih," balas Maykel, tidak kalah canggungnya.

Riam tersenyum. Ternyata berhasil. Ternyata dia cukup bagus dalam memuji orang.

Sementara, sepeninggalnya, dua orang itu hanya dapat memandangi punggung Riam dengan tatap yang terbelah antara kaget dan iba.

"Kenapa, dia?" tanya Maykel, tidak mengalihkan tatap.

Tyo disampingnya membuang wajah sedih ke sisi. "Pasti stress karena ditinggal dua sohib terdekatnya."

"Kasian."

"Mana masih muda."

Maykel dan Tyo menyusut airmata. Berbanding terbalik dengan Riam yang mengembangkan senyum. Dia sudah siap menjadi cowok yang ... seperti itu. Cowok yang bakal disukai Skala Aluna.

Dan ia mempraktekkannya, segera. Kesempatan itu datang ketika ia mengantarkan Una pulang usai kelas merajutnya. Berhubung ujian kenaikan kelas telah selesai, siswa hanya tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Kelas-kelas tidak diadakan, hanya ekstrakulikuler yang semakin intens. Akhir tahun bagi Buana Cendekia, identik dengan kejuaraan dan perlombaan mewakili sekolah. Juga, persiapan untuk pekan seni yang tidak lama lagi akan diadakan.

Perhatikan detail kecil. Lalu puji dia.

Riam mengingatnya dengan pasti. Sehingga ketika Una turun dari motor, ia mulai secara agresif memikirkan apa yang dapat dipuji dari cewek itu.

Rambut ... kusam.

Wajah... berminyak. Dan ada satu jerawat di pipinya.

Baju ... lusuh.

Sepatu ... butut.

Riam hampir putus asa. Tidak ada yang dapat dipuji dari Una.

"Iyam?!"

Panggilan itu menarik Riam dari lamunan. Ia menemukan Una tengah melambaikan tangan di depan wajahnya. "Kenapa, sih?"

Riam menggeleng. Apa... apa yang bisa dipuji dari cewek ini? Atau pertanyaan lainnya. Apa ... yang membuatnya tertarik? Yang membuatnya mengingat seorang Skala Aluna di jam-jam aneh seperti sebelum tidur, ketika bangun dan waktu-waktu di antaranya? Apa yang membuat ... jantungnya berdebar dan rasa senang yang tidak dapat dijelaskan menyelinap dalam dadanya? Seperti sekarang.

Una tersenyum. "Iyam kesambet, ya? Makanya jangan suka main di bawah pohon! Udah sana, pulang sebelum magrib! Nanti kesurupan!"

Lalu, senyumnya melebar. Dan seketika, Riam tahu jawabannya.

Una melambai sekali lagi, sebelum berbalik pergi. Yang tidak berhasil karena Riam telah menahan pergelangan tangannya.

"Jangan senyum."

"Hah?"

"Jangan senyum kayak gitu ... ke orang lain."

....

"Senyum kamu terlalu lebar, creepy. Tapi senyum itu ... mau kupesan."

Una masih menatapnya, tanpa mengeluarkan kata-kata. Bahkan ketika Riam mengulurkan tangan untuk mengacak rambutnya.

"Jadi ... khusus buat aku aja."

***

Hiyaaa untuk pesan satu yang kayak Iyam silakan antri di sini.

Apa kabarLama ya, aku nggak update?

Soalnya lagi banyak kesibukan dan sedang berada dalam fase lelah. Mohon pengertiannya ya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro