Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

54. Orion

Males bikin media 😂
Yang jelas, kalian hebat sekali kemaren berhasil melampaui target. Padahal aku ga bilang kalau tercapai bakal update 🤣 *digebukin*

Happy reading ❤

***

Dalam hitungan Riam, rapat itu berlangsung amat lama. Rapat yang dihadiri pihak sekolah, orangtua murid, dan ... Saga. Ia tidak bisa ikut masuk ke dalam, jadi hal terbaik yang dapat ia lakukan adalah menunggu, tanpa daya.

Kadang, terdengar bunyi cukup keras dari dalam, suara yang dinaikkan, ataupun benturan sesuatu dengan meja, atau lantai. Tetapi, selebihnya samar hingga tidak terdengar. Membuat Riam sulit untuk menyimpulkan. Ia hanya bisa menebak-nebak. Dan Riam, sama sekali tidak menyukai tebakannya.

Para wali murid itu ingin Saga keluar. Sebagai ketua Orion, sebagai pemimpian sebuah gang tawuran, tanggung jawab itu bergelayut di pundaknya. Orang-orang tua itu tidak peduli bagaimana sebenarnya Saga, yang mereka tahu, Orion berkelahi, Mitha meninggal, dan Saga adalah ketuanya. Saga adalah pihak yang akan mereka persalahkan. Yang lebih buruk, mengenal Saga, dia ... mungkin juga akan menerimanya, menyalahkan diri sendiri.

Ketika pintu ganda itu akhirnya terbuka, Riam menegakkan tubuhnya. Wajah Saga yang biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang terjadi menyambutnya. Cowok itu bahkan sempat-sempatnya melontarkan candaaan, yang langsung ditepis Riam. Ia sangat tidak mood untuk mendengar lelucon Saga saat ini.

"Gimana hasilnya?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Gue ngundurin diri." Seperti dugaannya. Meskipun begitu, tetap saja, ada sebagian dari diri Riam yang masih mempertanyakan keputusan itu.

"Kenapa?"

"Capek sekolah, gue mau jadi bapak rumah tangga aja."

Nggak lucu. Sama sekali nggak lucu. Riam memandangi punggung Saga yang berjalan lebih dulu menyusuri lorong. Lalu, cowok itu mengalihkan topik pembicaraan mereka. Lagi.

Tidak malam ini.

Riam telah memerintahkan seluruh anak-anak Orion untuk hadir malam ini, di markas utama. Seperti ruangan ekskul lain di gedung olahraga, ruang latihan tinju masih dapat diakses hingga jam sepuluh malam, mengingat sebagian siswa kadang bisa berlatih hingga selarut itu. Tempat itulah, yang menjadi langganan anak Orion berkumpul, untuk sekedar latihan, istirahat, atau ketika mereka perlu mengadakan pertemuan. Seperti malam ini.

Malam ini, seharusnya, Saga datang. Jika ia peduli pada Orion, dia pasti datang.

Jadi ketika jam dinding di ruangan sudah menunjukkan hampir setengah jam lewat dari waktu berkumpul yang disepakati dan anak-anak mulai gelisah dengan keabsenan cowok itu, Riam masih duduk tenang menyandar pada ring tinju. Ia tidak mengirimi Saga pesan seperti yang beberapa kali dilakukan Tyo atau coba melakukan panggilan telepon seperti Gito.

"Nggak diangkat, bro," desah Gito.

"Gimana kalau Saga nggak dateng? Lo bakal tetep ambil keputusan buat Orion, kan?" Tyo bertanya seraya menatapnya. "Asli, gue marah banget sama nyokap gue. Bisa-bisanya berpikir sepicik itu soal Saga!

Riam menatapnya balik. Sekarang setelah Saga memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah, dan lepas kepergian Mitha, Riam berdiri sendiri. Tanggung jawab yang besar ini Saga titipkan di pundaknya. Sekarang, Riam harus membuat keputusan sendiri, dan tidak boleh gegabah.

"Dia bakal dateng," jawab Riam. Datar, di antara banyaknya percakapan sekitar. Namun Tyo mendengarnya, begitu pun Gito, begitu pun yang lain.

Pintu ruang tinju terbuka, semua orang menatap kepada Saga yang menyengir tanpa dosa. "Oi! Apaan nih, berisik banget?!" serunya, sekaan ini adalah hari-hari biasa, seakan hal paling berat yang baru dihadapi Orion adalah kehabisan gorengan langganan, bukannya sebuah kehilangan besar, bukannya dua buah kehilangan besar.

Tyo dan Gito segera menghambur ke arahnya, meminta maaf sampai nyaris menangis, mengabaikan badan-badan bongsor keduanya. Saga tertawa, lalu mengambil posisi duduk di sela kosong di sisi Riam yang sekarang menyedekapkan tangan di bawah dada. Di lantai yang menjadi ruang latihan tinju tersebut, seluruh anak Orion hadir, duduk membentuk lingkaran. Sedikit tumpang tindih dan berlapis, tapi tetap lingkaran.

Riam menoleh menatapnya. "Gimana Orion?" tanyanya langsung. Riam dan basa-basi bukan teman dekat. Bukan teman sama sekali.

Ada kediaman selama sesaat. Lalu, dengan wajah Saga yang masih sama, tidak menunjukkan emosi berarti, masih dengan senyum tipis menghiasi, Saga berkata, "Gue serahin semua keputusan di lo. Mulai semester depan, gue bukan lagi murid Bucin."

Saga beralih menatap wajah-wajah lain di ruangan. "Kalau kalian masih merasa Orion adalah safe place untuk menghindari kenyataan rumah, silakan diteruskan, tapi gue bukan lagi bagian Orion dan gue rasa, tawuran cukup sampai di sini meski Orion tetap jalan."

Riam sudah memikirkan ini. Bahkan sebelum semua kejadian ini terjadi, ia pernah berandai-andai. Andai sesuatu yang buruk terjadi pada Orion. Andai Orion seperti telur di ujung tanduk. Tetap saja, ketika semua perandaian menjadi kenyataan, Riam harus mengepalkan tangan dan menguasai diri, sebelum suara yang rasanya tercekat di tenggorokan berhasil lolos dari bibir.

"Kita bubarin Orion."

Semua mata menatapnya. Lantas berpandangan. Lantas kembali menatapnya. Gumaman-gumaman dan kerutan alis tanda kebingungan menguak di udara, meminta penjelasan.

Riam menghela napas panjang.

"Jadi, kenapa gue minta kalian semua kumpul di sini adalah karena satu alasan, tentang Orion," mulai Riam. Ia menatap semua orang bergantian. "Orion dibentuk oleh gue, Saga dan Mitha, memang. Tetapi sebelum itu, akar dari Orion sendiri sudah berjalan lama. Anak-anak Bucin yang melawan TS atau SMA lain itu udah lama. Permusuhan ini udah kayak warisan. Kita semua tahu, kok, Orion bukan cuma tentang tawuran atau geng-geng sekolah. Lebih dari itu, Orion adalah ... rumah. Tempat kita melarikan diri."

Hening. Riam menatap Saga, yang memberikannya anggukan.

Jadi ia melanjutkan. "Tapi gue pikir, cukup sudah kita membahayakan nyawa. Gue harap Mitha adalah yang pertama, dan terakhir..."

Riam meraih tas ranselnya, menggeledah. Lalu, ketika ia menemukan apa yang dicari, ia menariknya keluar, membiarkan yang lain melihatnya. Sebuah amplop cokelat yang besar. Di dalamnya, adalah beberapa lembar dokumen.

"Bu Nismara dan Pak Atlas manggil gue buat bicara. Mereka punya satu permintaan." Ia meletakkan lembaran kertas itu di atas lantai, di tengah-tengah lingkaran, dimana semua yang ada di ruangan dapat mengintip isinya.

"Ini surat perjanjian damai bersama anak TS. Nggak ada lagi tawuran. Yang masih ngelakuin bakal terancam DO. Dan ...," ketika ia mengangkat wajah dengan berat, Riam tahu ... titik akhir itu ... Orion telah sampai kepadanya. "Lebih dari itu, gue nggak menginginkan ada lagi korban berikutnya. Kita bisa nyari rumah, dengan cara yang beda. Latihan tinju, misal? Main futsal sampai mati. Terserah. Yang harus diingat, bahkan meskipun Orion harus berakhir, Orion enggak akan hilang. Orion ada ... bersama kita semua."

***

Orion telah berakhir, itulah keputusan finalnya. Hampir tengah malam ketika Riam meninggalkan ruang latihan, menjadi orang terakhir yang melakukannya bersama Saga dan Maykel, yang bertugas mengunci pintu.

"Apa rencana lo habis ini?" tanyanya pada Saga ketika keduanya menginjak area parkir. Tempat yang biasanya padat oleh kendaraan itu sekarang terasa amat lapang dengan hanya diisi dua buah motor dan satu mobil.

"Lo khawatir banget ama gue, Am?" Saga terkekeh, seperti bukan apa-apa. "Gue pindah sekolah bukan akhir dari segalanya, kali. Banyak, masih banyak hal yang bisa gue lakuin."

"Lo akan baik-baik aja?"

"Apaan sih. Nggak usah melow deh, kayak sinetron. Abis nonton Mbak Andin, lo? Itu, yang sering diomongin Jingga."

Riam tidak menggubrisnya. Ia masih menatap Saga, seakan menunggu penjelasan,

Dan itu membuat Saga tidak punya pilihan selain mengangguk, setelah beberapa saat. "Iya, lo tenang aja. Gue akan baik-baik aja."

Mereka berpisah di parkiran itu. Riam mendudukkan diri di atas motor, namun ia tidak segera pergi. Ia menatap ke langit. Sabuk Orion tidak terlihat malam ini, Riam hanya dapat membayangkannya. Tiga titik yang berjejer, sama rata, sama terang. Pada Sabuk Orion dalam kepala Riam, satu bintang telah redup, telah hilang. Yang lain ikut meredup, ikut menghilang. Tertinggal dirinya, menjadi satu bintang di antara jutaan bintang lainnya, tidak lagi dapat dikenali. Bukan lagi Sabuk Orion.

Dulu, ketika masih kecil, Riam ingat dirinya menjadi korban perundungan. Anak-anak yang bertubuh lebih besar akan mengejeknya yang tidak punya Ayah, atau badannya yang tampak seakan berpenyakitan, atau kacamata, atau kediamannya yang membuatnya tidak punya teman. Hingga, Saga dan Mitha datang untuk menyelamatkannya. Hingga, dua orang itu menjadi orang pertama yang menjadi teman Riam.

Yang pertama, dan terakhir, Riam harap.

Selama ini, mereka selalu ada. Saat ia terjatuh saat main futsal dan melukai lututnya hingga mengeluarkan darah yang banyak, mereka yang membawanya ke rumah sakit. Saat ia pertama kali belajar taekwondo dan nyaris patah tulang. Saat mentalnya berada di titik terendah ketika melihat Papa dan Aksal. Ketika rumah tidak lagi menyenangkan dengan Mama yang terus marah-marah dan menemukan pacar baru. Di semua fase Riam, mereka selalu ada, selama ini, menguatkannya meski tanpa kata-kata.

Sekarang, Riam sendiri. Kepada siapa ia dapat menyandarkan kepala saat lelah ini mendera? Kepada siapa ia dapat berbagi, agar merasa lebih kuat?

Ponselnya bergetar di saku jaket. Dan Riam yang tidak punya rencana untuk buru-buru pulang, dengan bosan memeriksanya.

Pengirim: The One I Am Missing

*Tanda-tanda Akhir Zaman Yang Tidak Boleh Diabaikan*

Riam mengerutkan alis sesaat, ia menggulir cepat pesan yang baru diterimanya. Panjang. Amat panjang. Dengan bagian bawah berbunyi:

Jangan abaikan pesan ini. Kirim ke minimal 10 orang kontak kamu agar selamat dunia akhirat.

...

What the?

Belum sempat Riam mengetikkan balasa, pesan itu segera menghilang. Berisi tanda pemberitahuan bahwa pesan telah dihapus. Kontak yang mengirim pesan tersebut terlihat mengetik, lalu dengan cepat, pesan berikutnya muncul.

Pengirim: The One I Am Missing

Maaf! Maaf! Salah kirim 😭😭😭

Bersama pesan itu, terkirim juga sebuah stiker perpesanan yang menunjukkan wajah menangis. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, senyum menelusup di bibir Riam.

Ia tidak membalas. Ibu jarinya justru mengusap tombol panggil yang berada di bagian atas perpesanan, lalu menempelkannya di telinga.

Panggilan itu diangkat setelah hampir satu dering penuh terlewat.

"Halo?" Suara itu menyapanya di seberang sana. Terdengar tercekat, namun Riam tidak peduli. Asalkan itu suaranya yang sekarang ia dengar.

"Iyam? Iyam salah sambung?" Una bertanya. Riam nyaris terkekeh mendengar kepanikannya.

"Enggak."

"Mabuk?"

"Enggak."

"Terus? Ada apa? Ada maling? Tawuran? Kebakaran?"

"Enggak," kata Riam lagi, untuk yang ketiga kali. Ia menunggu hingga Una tidak lagi menyerebotnya dengan berbagai pertanyaan. Hingga cewek itu diam, mungkin menunggu dalam kebingungan. Barulah, ia kembali bicara.

"Gue cuma ... butuh seseorang."

***

Eaaa Babang Iyam minta kekuatan bola api.

Kalian sedih gak, Orion bubar? 🥺

Masih semangat dong ya malem-malem? Masih semangat buat baca lanjutan cerita Iyam-Una?

Vote dan spam next dulu, boleh?

Sampai jumpa secepatnya ❤❤❤

Jangan lupa mampir baca Saga oleh okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro