53. Memulai Kembali
Kira-kira part ini 1,5k votes dan 1k komen bisa gak, ya?
***
Hari itu, untuk pertama kalinya Riam kembali ke sekolah. Ada alasan kenapa ia memilih untuk menghindari tempat ini selama beberapa waktu. Perasaan kehilangan itu masih merongrongnya sesekali, terutama di sini. Di tempat parkir dimana Mitha biasa meninggalkan sepeda motor di samping sepeda motor Riam, sehingga seringnya mereka akan berangkat ke kelas bersama atau dari kelas ke parkiran bersama. Jika mereka berangkat lebih pagi, Mitha akan ke kantin lebih dulu karena biasanya ia tidak pernah sarapan di rumah, lalu mengikuti Ais ke kelasnya untuk memberikan cewek itu camilan.
Hari ini, Riam melakukannya, ke kantin, membeli sejumlah makanan ringan, dua buah roti isi, dan dua kotak susu. Ia berhenti di depan XI IPA 3, kelas Ais, dulunya juga kelas Mitha.
Saat itu masih amat pagi. Belum separuh murid yang datang. Kelas XI IPA 3 masih kosong karena kebanyakan anak berada di luar. Hanya ada dua orang siswi perempuan yang mengobrol di sudut kelas, seorang siswi lain yang tengah membersihkan papan tulis, seorang cowok yang tertidur di bangku pojok, dan Aisah, yang sedang menyusun buku-bukunya di atas meja. Begitu hati-hati. Ia seakan sedang mengurutkannya. Atau, ia seakan hanya sedang mencari kesibukan. Karena sesekali, matanya akan berkelana ke salah satu bangku kosong di deret paling belakang. Riam tahu siapa pemilik bangku itu.
Sambil berdeham, ia lalu menaruh sebungkus roti isi dan sekotak susu di atas meja, menuai reaksi Ais yang buru-buru mengangkat kepalanya. Cewek itu menatapnya dengan kebingungan.
Riam menatapnya balik, merasa buruk melihat kantung di bawah mata cewek itu. "Mitha bilang ... lo sering nggak sarapan dari rumah. Dia pasti nggak pengin hal itu terjadi lagi," ujarnya.
Itu saja. Ais tidak mengatakan apa-apa. Mungkin tidak sempat. Karena setelah mengatakan itu, Riam berputar di tumitnya dan pergi. Ia tidak ingin bicara panjang lebar. Tidak ingin bertukar kabar atau obrolan. Karena ... satu-satunya hal yang mengaitkan mereka adalah Mitha ... semua akan selalu bermuara pada Mitha. Dan ia belum siap untuk terluka lagi.
Sekarang saja, Riam dapat melihat gerakan Ais yang menyeka sesuatu di pipinya dari sudut mata.
Riam mempercepat langkah. Di ambang kelas, ketika hendak melangkah keluar, ia nyaris bertabrakan dengan cowok bertubuh tinggi sedang dan jambul yang tampak kebanyakan jel mencuat ke atas. Dilan, kalau tidak salah namanya. Anak IPS 5 yang satu itu cukup populer karena kelakuan eksentriknya.
Dilan buru-buru mengerem langkah, menatap Riam dan menyengir.
"Wey, kembaran! Maap! Maap! Nggak liat."
Riam mengabaikan sapaan itu. Ia lebih fokus pada informasi yang otaknya tengah proses. Dilan. IPS 5. Sering mencoba masuk Orion tetapi selalu ditolak.
"Lo kenal Skala Aluna?" tanyanya langsung.
Cowok itu tampak terkejut selama sesaat. Karena ... wah, darimana Riam kenal cewek yang selalu menjadi saingannya menempati ranking terbontot seangkatan itu?
"Oh... calon pacar?" tanya Dilan balik.
Pada frasa itu, mata Riam menajam. "Apa?"
Dan Dilan memang bodoh dalam hal pelajaran, karena menyentuh buku pun ia tidak pernah. Tetapi soal gerak-gerik, boleh dibilang ia adalah jagonya. Segera, cowok itu dapat membaca situasi gawat darurat yang sedang ia hadapi.
"Hmm ... maksudnya temen sekelas. Una, kan? Kenapa emang?"
Riam menyerahkan bungkusan di tangannya. Masih ada roti isi, susu, dan beberapa camilan ringan. "Kasihin. Kurang satu aja, lo tahu akibatnya."
***
Riam tahu ia harus terbiasa dengan semua ini. Dan ia akan terbiasa. Namun kabar yang ia terima pagi itu kembali membuatnya meragukan diri sendiri.
Bel sudah berbunyi. Sebagian besar anak-anak telah masuk ke kelas, menyisakan Riam yang baru kembali dari toilet. Lalu, ia melihat satu keganjilan. Riam hampir tidak pernah melihat mamanya datang ke sekolah. Tetapi kali ini, wanita itu datang. Berjalan lurus menuju aula yang terletak di dekat ruang guru, tampak terburu-buru, bersama dengan beberapa orang dewasa lain yang Riam kenali sebagai orangtua murid dari beberapa anak Orion.
Perasaan buruk serta merta menyerangnya. Bahkan meski tidak tahu apa yang sedang terjadi, meski ibunya tidak mengatakan apa-apa ketika Riam berangkat tadi, Riam tahu ada yang salah. Kemudian, sebelum sempat Riam mencari kebenaran guna menuntaskan rasa ingin tahunya, Maykel menepuk pundaknya. Cowok itu terlihat pucat.
"Bang, udah denger kabar?"
"Apa?"
Maykel meneguk ludah. "Kata mama saya, para orangtua murid mau protes ke pihak sekolah. Mereka mau Bang Saga dikeluarin!"
***
"Dari 5 orang akan dipilih 3 orang sebagai juara I, II, dan III. Banyak susunan pemenang yang dapat terjadi adalah ...," Una menulis bilangan-bilangan itu di atas buku coretannya, mencari apa yang diketahui, ditanyakan, lalu menulis rumus permutasi;
"Gini, ya, Nin?" tanyanya, menunjukkan hasil bilangan yang telah dimasukkan dalam rumus tersebut. n telah berganti menjadi angka 5 dan r menjadi 3. "5! Itu jadinya 5 x 4 x 3 x 2 x 1?"
Anin, yang duduk di sisi Una sambil mengerjakan tugas rangkumannya sendiri menoleh untuk memeriksa, lalu mengangguk. "Iya, yang bawah, kurangin dulu yang dalam kurung. 5 kurang 3, jadinya 2! Jadinya tinggal coret aja. Sisa 5 x 4 x 3."
"Ooooh... kok gampang?" Una mengerjap.
"Ya gampang aja kalo lo belajar"
Toyoran yang diberikan Anin suka berbeda dengan ketika Rahma yang melakukannya. Anin selalu lemah lembut, toyoran di pundak Una pun terasa seperti embusan angin sepoi-sepoi. Sementara Rahma ... hm, Tsunami. Dan Rifai, seperti terjangan puting beliung, suka berputar kemana-mana dan bikin pusing.
Baru Una memikirkannya, kedua makhluk itu muncul di pintu kelas, lalu berteriak dengan telunjuk menuding ke arah Una.
"Udah baikan, kan, kalian berdua?!"
Di sisinya, Rifai Slamet alias Revalina S. Temat alias Bawang Putih menyedekapkan dada sembari memasang wajah paling jahat ala sinetron, dengan mata berkedut-kedut seperti cacingan dan bibir yang mencong kanan kiri.
Una menghela napas dan menatap keduanya sambil meringis. "Apaan sih, kalian berdua. Dateng-dateng berasa lagi di sinetron. Lagian siapa yang berantem?"
"Kalian lah!" Buru-buru, Rahma berjalan ke kursinya yang kini diisi Anin, meletakkan tas di meja Rifai di belakang, dan menatap Una serta Anin bergantian. "Kalian kemaren berantem, kan? Ngaku!"
"Tsk!" Rifai sekarang mengembang-ngembangkan hidung. "Lo pikir kita nggak tahu! Heloooo pakar perjulidan kayak kita-kita ini nggak tahu masalah yay yay berdua?!" tutupnya, membuang napas dengan gaya sombong.
Rahma mengangguk mengiyakan. "Kita tahu kok, karena itu kemaren kita ngebuntutin kalian."
"Kalian apa?!"
"Eits! Santai, Ibu Negara! Jangan marah~" jawab Rifai dengan nada seperti dalam kartun Upin Ipin sembari menggoyangkan telunjuknya di depan wajah Una. Tiba-tiba saja, dia terlihat seperti Abang Sally.
Sembari mengibaskan jarinya pada ujung jambul, Rifai kembali bersuara dengan menggebu-gebu. "Kenapa sih, lo nggak cerita aja sama kita, Na? Kita kan temen lo. Suka duka harus dibagi bersama, sama rata! Kecuali kalo lagi piket kelas atau kerja bakti, gue boleh-boleh aja ngerjain yang ringan doang, kalian yang kerja bagai kuda."
Rahma menoyor kepalanya segera, menghentikan narasi cowok itu. "Elu cowok! Elo yang kerja berat, Malih!" semprotnya pada Rifai yang hanya cengengesan. Tatapannya kemudian beralih pada Una. "Tapi bener, Na. Kalau ada apa-apa, cerita sama kita, oke? Ya emang sih, solusi dari kita kadang bobrok. Tapi ... empat kepala lebih waras daripada satu."
"Kalian nggak marah?"
"Ngapain?!" Rahma menggeleng keras. Telunjuknya kemudian kembali menuding Una. "Kita bakal marah kalau elo begini! Galau sendiri, nggak kasih tahu kita. Lo anggap kita apa emang?"
Una tersenyum kecut, lalu menunduk menekuri mejanya yang penuh coretan. "Bukan gitu. Gue ... cuma nggak tahu harus gimana."
"Gini deh!" Dengan satu gerakan gesit, Rahma mencondongkan tubuh menatap Una. Tatapan dari mata besar dan hitamnya itu begitu tajam, siapapun tidak akan bisa kabur. "Kita lurusin dulu permasalahannya. Lo, jawab pertanyaan gue dengan jujur, oke?"
Una, yang tubuhnya sudah mundur hingga menabrak sandaran kursi dan lehernya sudah tidak bisa menghindar lebih jauh lagi karena tatapan Rahma, hanya dapat mengangguk pasrah. "O-oke."
"Pertanyaan pertama!" Rifai menggelar papan imajinasi di atas kepala, seperti yang dilakukan ring girls, cewek berbusana minim yang masuk ke ring sebelum pertandingan tinju dimulai dengan membawa papan bertuliskan ronde tertentu.
Rahma, Anin dan Una mengabaikan kehebohan sendirinya. Tatapan Rahma, tidak lepas dari Una ketika ia akhirnya bertanya.
"Lo ... jatuh cinta sama Riam?"
"Iya... ganteng banget, pengen gigit. Aww!"
"BUKAN ELO, BAWANG PUTIH! GUE NANYA UNA!"
Geplakan keras diterima Rifai di kepalanya, membuatnya mencebik manja.
Sementara Una menatap teman-temannya dan meringis. "Gue nggak... Nggak ada apa-apa kok sama Riam."
"Yang bener?"
"Iya."
"Sumpah?"
"Sumpah."
"JANGAN BOONG!"
"Engga─"
"KALO BOONG KENTUT LO BAU BANGKE!"
"IH YAUDAH KALO UDAH TAHU, NGAPAIN NANYA! MALU, TAHU!"
"JADI BENER?!" Rahma dan Rifai berseru berbarengan. Kedua bola mata mereka melebar, menatap Una tajam, nyaris melompat dari kantungnya. Sementara di sisinya, Anin hanya tersenyum simpul.
"Udah jelas, kan?" sahutnya enteng.
"OH BENAR DUGAAN GUE!"
"YA AMPLOP! BAWANG PUTIH TERKEJUT!"
Wajah-wajah yang memberondong Una mencampurkan keterkejutan namun juga ledekan, membuat ingin rasanya melempar meja pada dua makhluk itu.
"Apaan, sih! Jangan ganggu! Gue lagi belajar!"
"Belajar apa belajar?" goda Rahma, menggoyang-goyangkan alis.
"Belajar mencintai Aa Iyam~ Ciat! Ciat! Ciat!" Rifai membalas, dengan badan digerak-gerakkan seperti sedang silat. Tetapi versi gemulai.
Hal-hal yang hanya membuat wajah Una semakin terasa panas. Dan Anin, yang terkekeh di sisinya, sama sekali tidak membantu. Utamanya ketika cewek itu justru berkata: "Udah ih, nggak usah digodain terus. Nanti pipinya makin merah~"
"Aniiiinnnn!!!"
Dengan gusar, Una membenamkan wajah pada hamparan buku di atas meja. Lalu masih dengan gusar menghentak-hentakkan kakinya. Rasanya, ia tidak punya cukup keberanian untuk mengangkat wajah. Kecuali, pertanyaan Rahma berikutnya memaksanya untuk berbuat demikian.
"Eh, tapi serius. Kita nggak keberatan kok. Kalau kalian udah nyelesain masalah ini, gue sama Fai pasti dukung, lah!"
"Bener! Walaupun hati Bawang Putih terluka dan harus cari gebetan baru."
"Jadi ... Kenapa lo nggak bicara sama Riam? Kenapa lo nggak mulai dari awal?"
Pertanyaan ini, membuat Una menghela napas. Bukannya ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Meskipun ia terus menutupinya dengan kalimat semacam "Anin suka Iyam, Una nggak boleh suka juga," dan "Gue nggak suka Iyam. Gue sayangnya Anin." Tetapi pikirannya yang tidak tahu diri kadang terus membisikan seandainya. Seandainya Anin dan teman-temannya memberikan restu. Seandainya ada jalan. Seandainya situasinya berbeda.
Dan sekarang semua itu terjadi. Sekarang restu itu terpancang di depan matanya. Sekarang juga, situasinya telah amat sangat berbeda. Tidak ada lagi dendam. Tidak ada misi tertentu yang harus ia lakukan demi Anin, atau sebenarnya demi mi ayam. Jika ia menyukai Riam, maka semua itu sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Dan ...
"Gue nggak pantes."
"Hah? Nggak pantes gimana?!"
"Ya nggak pantes, lah! Iyam itu pinter, ganteng, tinggi, kualitas super! Gue yang kerak-kerak gorengan bisa apa, sih?"
"Na?" Rahma menjangkaukan tangannya, meraih pundak Una. Namun sebelum ia dalam berorasi ala motivator sejati, Una telah memotong.
"Gue mau memantaskan diri dulu, Ma, I, Nin. Gini, kalau gue bisa lolos masuk top 100 ranking paralel sekolah... gue akan ngejar Riam lagi. Gimana?"
Ketiga sahabatnya itu berpandangan, sementara Una mengulas senyum percaya diri. "Bantuin gue ya, guys?."
Anin mengangguk. "Pasti."
"Betewe, Na! Gue punya sesuatu!"
Apalagi? Pikir Una. Rahma tampak menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya, matanya berkedip-kedip seperti lampu disko.
"Apa?"
"Gue kasih liat tapi janji ya, lo jangan terbang dulu."
"Apaan?!"
"Tadaaa~" Rahma memperliat sebuah kantong plastik biasa. Yang tidak biasa adalah ketika dia menyusun apa yang ada di plastik itu satu persatu di atas meja. Susu kotak, roti isi, camilan, dan ... secarik surat kecil.
Rahma dan Rifai dengan sigap berebutan mengambilnya hingga kertas yang sudah lusuh, tambah lusuh.
"Sabar! Sabar, guys! Gue yang baca!"
Jeda. Semua orang menunggu dengan antusias.
"Pagi, Iyam! Biar harinya semangat, jangan lupa sarapan ^^
Una udah masakin nasi goreng spesial buat Iyam. <3"
Lalu, semua orang berpandangan.
"Tunggu! Tunggu! Kok kayak familiar, ya? Ini tulisan elo bukan sih, Na?"
Ketika melihatnya, Una tahu bahwa apa yang Rahma katakan benar. Ini tulisan tangannya. Ini tulisannya sekian waktu yang lalu. Yang mengherankan adalah, kenapa Riam masih menyimpannya?
"Eh kebalik! Kebalik! Ini tulisan yang bener, kayaknya!"
Dengan cepat, Rahma membalik kertas itu. Ada tulisan lain di belakang. Tidak ada nama pengirim. Tidak ada embel-embel apapun. Namun meskipun sudha tidak bertemu sekian lama, Una merasa seakan dapat mendengarnya dengan telinga sendiri. Cowok galak itu.
Tulisan itu berbunyi:
Sarapan!
***
Terima kasih sudah menemani Riam selama ini. Orionis Zeta dan Epsilon sudah resmi setahun lho, menetap di Wattpad. Lama banget 😭👍
Baca kisah Epsilon dan hasil rapat tentang Saga di Epsilon oleh okkyarista
Penggemar romance, yuk singgah di work sebelah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro