51. Penyelesaian
Kangen ke-uwuan Iyam?
Kita selesaikan masalah-masalah ini satu persatu dulu ya. Semoga masih semangat membaca karena... Kita semakin dekat dengan keuwuan.
***
Positif. Dua buah motor yang tengah mereka ikuti adalah Franky dan Gumala, dan keduanya, menuju pelabuhan. Hanya ada dua kemungkinan sekarang: pertama, mereka ingin menemui seseorang di sana, dan kedua, mereka akan pergi naik kapal, menyeberang pulau. Dan intuisi Riam memberatkan di opsi kedua.
Jika itu benar, maka ini akan menjadi kesempatan terakhir mereka mendapatkan dua orang itu. Karena jika mereka berhasil kabur ... mencari mereka akan seperti mencari jarum di tumpukan jerami, nyaris mustahil dilakukan oleh remaja SMA biasa.
"Samperin langsung," ucap Saga. Riam menoleh cepat, nyaris menyangkalnya. Ia pikir mereka harus memberi momen kejutan dengan menemui Franky dan Gumala di tempat yang lebih strategis, lebih dekat. Tetapi melihat kesakitan di wajah Saga saat ia terus memegangi kepalanya, Riam mengangguk.
"Oke."
Riam melompat keluar dari mobil, sesaat menyaksikan Franky dan Gumala yang menyengir setelah membuka helm, seolah menyambut teman lama. Namun menyadari kehadiran Riam dan Saga, mereka berpandangan sekilas, lalu bersamaan berlari kabur dengan memilih dua arah berbeda.
"Lo udah nabokin Franky?" tanya Saga.
"Udah."
"Giliran gue sekarang."
Tanpa membuang waktu, Riam berlari mengejar Gumala yang masih tertangkap ekor matanya. Cowok itu menghilang di balik kontainer-kontainer berkarat yang menumpuk di sepanjang pelabuhan.
Gumala itu bertubuh besar, larinya cukup lambat. Jadi ketika ia menoleh dan tidak menemukan Riam mengejar, harusnya ia curiga. Sayangnya dia juga bodoh. Gumala menyeringai, merasa menang dan melambatkan langkah. Hingga di ujung salah satu kontainer, Riam melompat ke hadapannya.
Riam tidak suka berbasa-basi. Ia melayangkan satu pukulan kaki yang mengenai wajah Gumala dengan telak, membuatnya terhuyung ke belakang karena kejutan yang Riam ciptakan. Dan sebelum cowok itu pulih, tendangan-tendangan lain menyerangnya, bertubi-tubi pada punggung dan belakang lutut hingga Gumala tersungkur.
Gumala yang veteran dalam tawuran tidak kalah secepat itu, tentu saja. Cowok itu mengembalikan kekuatannya, berhasil menghindari satu pukulan sebelum menyerang Riam balik.
Riam bosan. Ia tidak mood berkelahi. Sehingga, ketika melihat kesempatan yang biasanya tidak akan terulang dua kali, Riam melompat ke belakang Gumala, sekali lagi merobohkannya yang berusaha bangkit. Juga, menepis belati yang baru Gumala keluarkan dari sakunya.
"Nggak lagi, Bangsat!" Ia mengunci pergelangan cowok itu dengan cepat, lalu sikunya mendarat keras di tengkuk Gumala. Guma hilang kesadaran dengan segera.
"Tinggal Franky," gumamnya seraya menendang tubuh cowok bongsor itu sekali lagi.
Riam berlari melewati lorong-lorong kontainer, menuju sumber keributan yang tadi ia dengar, sepertinya Saga. Namun ketika ia menemukan cowok itu, Saga tengah menghujamkan pisau, hanya sekian senti jaraknya dari telinga Franky.
***
Polisi datang tidak lama kemudian. Sepertinya Tyo yang melaporkan, berdasarkan komunikasi terakhir mereka. Atau mungkin kenalan Saga. Franky dan Gumala segera digelandang, sementara Riam dan Saga dapat pulang sekarang. Denis kabur, tentu saja. Pengecut itu.
Begitu saja, hari berakhir. Masih dengan lubang yang menganga besar. Terutama, ketika pencarian ini telah berakhir dan tidak ada lagi yang tersisa. Terutama, ketika Riam membuka pintu kamarnya dan membaringkan tubuh yang lelah.
Sekarang ... apa?
Ia tidak lagi punya semangat. Ia tidak lagi punya appaun.
***
Riam kembali tidak masuk ke sekolah keesokan harinya, hari-hari sebelumnya, hingga hari-hari setelahnya. Hingga tepat seminggu. Tidak ada yang mempertanyakan, seolah semua orang sudah maklum dengan keabsenannya itu.
Ia bangun terlambat di pagi hari, hingga hampir siang sebagai akibat dari kurangnya tidur beberapa hari belakangan, makan dengan cepat dan menemukan ibunya sedang memasak di dapur.
"Nggak kerja?"
Pertanyaan itu mengagetkan Lidya. Ia menatap Riam beberapa saat, rambut yang masih basah setelah mandi dan kaus rumahan. Lidya paham Riam tidak bersedia kembali ke sekolah untuk saat ini, dan ia tidak memaksa. Mungkin, ia harus membujuknya. Wanita itu mematikan kompor usai memeriksa sup ayamnya dan meraih kursi untuk duduk di sisin Riam.
"Mama minta cuti. Mama harus nemenin kamu."
Lalu, telapak tangannya jatuh di punggung Riam, kali ini tanpa mendapat penolakan seperti biasanya.
"Sakit?"
Riam hanya menunduk, dan Mama terus mengusap punggungnya.
"Mama tahu rasanya. Kehilangan. Rasanya sakit banget, waktu Papa kamu pergi."
Mendengar kalimat itu, Riam menoleh cepat. Jika dipikirkan, tidak pernah ada jawaban pasti kenapa papanya pergi. Jika Riam bertanya, Mama selalu bilang, "kamu belum siap untuk tahu." Lalu gosip berkembang. Riam mendengar orang-orang sekitar mengatai ibunya sebagai perebut suami orang dan bahwa dia adalah anak haram. Bahwa Mama telah menggoda papanya selama pria itu dirawat di rumah sakit karena sebuah kecelakaan yang tidak terlalu berat. Bahwa papanya telah kembali ke istrinya yang sah.
Riam pikir, itulah alasan Mama tidak pernah bersedia bercerita, karena dia memang pelakor.
Tetapi ... kecuali dengan pacarnya yang sekarang, kenapa sampai sekarang dia masih sendiri? Kenapa ia masih terus bekerja keras dan menolak semua uang yang dikirimkan Papa ke rekening untuk keperluannya? Kenapa ia menggunakannya hanya untuk kepentingan Riam? Jika dia menggoda Papa karena uangnya, kenapa dia tidak menggoda orang lain lagi atau menikmati hartanya sekarang?
Riam bukannya tidak pernah memikirkannya. Ia hanya terlalu marah untuk menerima apapun. Namun sekarang, di bawah tatapan Mama yang lembut, rasa penasaran itu kembali muncul ke permukaan.
"Boleh tanya sesuatu?"
"Hm?"
"Kenapa ... Papa pergi?"
Lidya tercekat sesaat. Ia meraih tangan Riam dan meremasnya pelan. "Kamu masih mencintai Papa?"
Riam mengangguk pelan. Papa adalah kenangan pertamanya, adalah motivasi terbesarnya, adalah salah satu alasan terbesar yang membentuk dirinya seperti Riam yang sekarang; Riam yang mencintai berenang dan bercita-cita menjadi orang besar, seseorang yang bisa Papa banggakan. Bohong jika ia tidak lagi menginginkan perhatian pria itu.
Mama tersenyum lembut. "Kita akan bicarakan itu ... saat kamu siap."
***
Tanah merah di makam Mitha tidak lagi seperti pertama kali Riam ke sini. Tanah itu lebih padat sekarang. Lalu sebentar lagi, akan ditumbuhi rumput seperti makam-makam di sekitar. Tanah itu mungkin akan jarang lagi basah oleh air mawar, dan bunga yang melimpah di atasnya akan layu, lalu penggantinya akan berkurang satu persatu.
Orang-orang akan melupakan Mitha dengan perlahan, tapi Riam berjanji, ia tidak akan melakukan itu. Ia, Saga dan Mitha adalah sabuk Orion, tiga bintang yang berjejer menerangi langit malam, dan selamanya akan seperti itu.
Riam meletakkan sebuket bunga di depan nisan itu. Di sana pemilik nama Sasmitha telah beristirahat dengan tenang. Umurnya hanya delapan belas tahun, genap mencapai angka delapan belas. Dengan tanggal kelahiran dan kematian yang sama. Waktu yang terlalu singkat untuk hidup.
Ia ingin bertanya banyak hal: Mitha, gimana di sana? Apa lo udah ke surga? Apa lo ketemu kakek nenek yang lo kangenin? Apa lo ketemu orang-orang baik dan bahagia di sana?
"Di sini sepi tanpa lo," ucapnya setelah beberapa jeda. "Anak-anak semuanya nangisin lo. Liverpool kemaren menang lawan MU, tapi lo gak di sini ..."
Kalimatnya tersendat lagi. Oleh kata yang tumpang tindih tak beraturan. Oleh sesak yang menyempitkan rongga dada.
"Baik-baik di sana. Kita ... juga akan berusaha untuk hidup lebih baik di sini. Tidur yang tenang."
Menyeret kakinya untuk pergi dari sana adalah hal yang berat. Hal itu seakan membuatnya harus meninggalkan Mitha dan semua yang pernah dimilikinya bersama Orion. Tetapi ia telah berjanji bahwa ia akan hidup lebih baik, dan janji itu, ia akan menepatinya.
***
Riam mampir di The Harvest Cake yang terletak di daerah Priok sore itu, sehabis dari makam Mitha, lalu langsung kembali mengendarai motornya ke arah yang bukan arah pulang.
Ia pergi ke rumah Papa.
Usai memarkirkan motornya di seberang jalan tanpa turun dari sana, ia melihat pada gerbang yang sedikit terbuka. Tampak Aksal. Anak itu sedang bermain basket dengan empat orang temannya di halaman rumah.
"Woy! Jangan curang lo!" Seorang cowok dengan headband hitam dan rambut sedikit gondrong tertawa seraya melempar bola basket pada temannya yang menjulang tinggi, yang menangkap bola dengan mudah.
"Enggak curang!"
"ELO TADI NGETEKIN GUE, ANJIR!"
Teriakan-teriakan itu terdengar hingga tempat Riam berada. Riam menyunggingkan senyum tipis. Melihat Aksal dan komplotannya ... mereka sama sekali tidak berbeda dengan Riam dan Orion. Saat semuanya masih baik-baik saja.
Lalu, ketika ia masih sibuk dengan lamunannya, bola itu kemudian meluncur hingga melewati gerbang, terdiam di pinggir jalan raya.
"Navy ambil bolanya!"
"Kok gue!"
"Lo yang terakhir megang, Bangsul!"
Cowok tinggi itu dengan ogah-ogahan berlari sebelum menunduk untuk mengambil bola. Matanya menemukan Riam, berpapasan dengan ragu, lalu melempar bola pada Aksal.
"Sal! Sapa tuh? Ada tamu?"
Menyadari bahwa Aksal bisa melihatnya kapan saja, Riam segera menurunkan kaca helm dan menstarter kembali motornya. Tetapi terlambat, sebelum ia dapat kabur, Aksal telah berdiri di hadapannya. Cowok itu meraih setang motor Riam dan menunduk, mengatur napasnya yang tersengal.
Tetapi ketika ia menatap Riam, senyumnya otomatis menyembul.
"Kak Riam!"
Riam menatapnya dengan wajah datar seperti biasanya. Jika diperhatikan, Aksal juga memiliki ekspresi seminim dirinya. Hanya saja, Riam memiliki tatapan yang seakan ingin meledakkan kepala orang lain sedangkan Aksal memiliki tatapan teduh. Cowok itu juga tersenyum meski tipis.
"Mampir dulu? Papa di dalam, stroke-nya makin parah jadi nggak bisa kemana-mana."
Riam menggeleng, lalu menyerahkan satu bungkusan dari motornya pada Aksal, yang buru-buru memeriksa. Ia menemukan sebuah kotak kecil berisi sepotong red velvet.
"Titipan. Kata Mama, lo ulang tahun."
Senyum Aksal bertambah lebar. "Bilangin makasih ke Mama Lidya. Suruh dia mampir kapan-kapan."
"Hm."
"Kak."
"Apa?"
"Makasih..."
Riam tidak menggubrisnya, ia menancap gas dan berlalu, meninggalkan Aksal yang melambai di belakang.
"Nanti gue yang mampir balik ya, Kak!"
Sebenarnya, Mama tidak menitipkan apa-apa. Riam membelinya sendiri. Yang Mama titipkan, adalah sebuah pesan.
Ya, Mama sudah menceritakan semuanya. Dan sekarang, dunia Riam yang terguncang, sekarang jungkir balik.
***
Bagi yang suka cerita romance dan mau dibawa kembali ke era 1960-an dan 1970-an, yuk baca cerita baruku.
Yuk, langsung cek di work aku dan masukin library. Kutunggu kalian ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro