Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Sepuluh Pagi

Siapin hati ☺

***

"Inget ya, jam sepuluh tepat."

Anak-anak klub karate dan hampir seluruh anak XI IPA 3 mengingat petuah itu baik-baik. Pagi-pagi sekali, sebelum pelajaran dimulai, persiapan yang mulai dilakukan beberapa hari sebelumnya hampir seluruhnya beres, tinggal menunggu waktu. Sehingga pada pukul sepuluh kurang lima belas menit, dimana biasanya jam istirahat pertama dimulai, semua anak-anak itu telah bergegas mengambil perlengkapan mereka dan berkumpul di lapangan sekolah. Dengan satu tujuan, tentunya.

Berbondong-bondong, mereka membanjiri lapangan dengan balon-balon pink yang mereka bawa. Alfa, wakil ketua klub karate mengambil komando, ia berteriak-teriak di lapangan menyuruh anak-anak itu agar bisa berbaris membentuk hati.

"Woy! Lo terlalu maju! Eh kemunduran! Eh ini kenapa bongsor sendiri. Pindah! Pindah!"

"Betewe, gitarnya mana? Katanya bawa gitar?"

"Eh iya gitar di kelas gue!"Alfa menepuk jidat. Ada begitu banyak permintaan. Kalau bukan karena traktiran yang dijanjikan, dan melihat sahabat baiknya itu jadian, tidak mungkin Alfa bersedia mengorbankan waktu istirahatnya begini. "Ambil woy!"

Seseorang berlari kembali ke kelas sementara anak-anak masih ribut di sana sini. Meributkan barisan. Meributkan seragam. Meributkan panas matahari yang mengenai kepala mereka. Dan terakhir .... meributkan tokoh utama yang belum datang. Bahkan ketika gitar telah didudukan di atas kursi kayu di tengah lapangan, dikelilingi lingkaran hati sempurna oleh para siswa dan balon yang mereka pegang, cowok itu tidak terlihat batang hidungnya.

"Bentar! Bentar! Kita mau kemana, emangnya?"

Itu Ais. Cewek itu sedang ditarik paksa oleh teman-temannya keluar kelas. Meski cewek itu kesulitan memahami apa yang sedang terjadi.

"Kita mau kemana sih?" sungut Ais. "Gue nggak ke kantin. Bawa bekal!"

"Bentar aja, Is. Bentaaaar aja!"

Tetapi, mereka tidak membawanya ke arah kantin. Lebih horor dari itu, Ais melihat gerombolan pink di tengah lapangan yang menjadi perhatian semua orang sekarang. Dan mereka membawanya ke sana.

"Dhea, gue nggak ke sana, ya!"

"Bentar aja, bentaaaar."

Dan mereka benar-benar ke sana. Ketiga orang yang menarik Ais meninggalkannya di tengah lapangan, membiarkannya menjadi perhatian seluruh sekolah bersama dengan gitar akustik yang bersandar pada sandaran kursi di depannya. Gitar itu tampak kesepian tanpa ada yang memetik.

Lama, Ais hanya berdiri di sana, melihat sekeliling dengan wajah memerah. Dan dengan cepat, gerombolan yang tadinya tampak bersemangat itu berubah menjadi gelisah.

"Kemana sih, Mitha?"

"Denger-denger Orion ditangkap polisi!"

"Hah! Kenapa?"

"Tawuran katanya!"

"Katanya mereka nusuk anak sekolah lain!"

Tiba-tiba saja, ada banyak gosip yang beredar. Terlalu keras untuk bisa disebut bisikan. Terlalu jelas untuk diabaikan. Ais mempermainkan jari-jemarinya. Ia meneliti wajah teman-temannya satu persatu. Dhea yang sekarang berbicara dengan anak-anak penggosip tadi. Lalu ada Una yang menatapnya dari belakang kerumunan.

Gitar di depannya. Balon-balon itu. Bahkan sekali melihat pun Ais tahu siapa yang merencanakan itu semua. Ia mungkin sudah mendapat sedikit bocorannya beberapa hari lalu. Ketika ia mengajari Mitha dan cowok itu keceplosan tentang kejutan. Atau ketika ia melihat seseorang membeli banyak balon dan menunjukkannya pada Mitha di hari sebelumnya. Ia juga sudah mengantisipasi jawabannya. Kalau-kalau ... kalimat yang ia tunggu itu akhirnya diucapkan. Kalau-kalau ... Mitha akhirnya mengakui perasaannya.

Jemarinya meremas saputangan di tangannya. Memang bukan sesuatu yang besar. Tetapi ia bekerja cukup keras, menjahit dan menyulam sendiri saputangan itu sebagai hadiah ulang tahun Mitha.

Tetapi .... keabsenan cowok itu sekarang membuatnya dihinggapi perasaan buruk. Amat buruk.

"Ais!" Seseorang berlari ke arahnya dengan napas memburu dan wajah yang diliputi kecemasan.

"Mitha, Is!"

"Kenapa Mitha?"

***

Riam terbangun dari tidurnya oleh sentakan mimpi yang tidak lagi dia ingat. Ia menemukan dirinya masih bersandar di bangku tunggu di depan ruang ICU, tertidur setelah semalaman terjaga. Ia sekarang mengenakan kaus hitam lengan pendek yang dipinjamkan Yayan sementara jaketnya, sebuah jaket hitam dengan gambar rasi bintang Orion di bagian belakang─jaket seragam Orion berada di pangkuan. Ia mengeluarkan ponsel dari jaket itu, memeriksa waktu, dan mengabaikan seluruh panggilan tidak terjawab.

Riam menaruhnya di bangku sampingnya dan melihat perban di tangannya lagi. Benda itu ... adalah apa yang meyakinkannya bahwa kejadian semalam nyata, bahwa itu bukan mimpi buruk semata. Kedua teman baiknya terluka, sekarat bahkan. Kedua orang paling dekat dengannya. Kedua sabuk Orion. Saga telah sadar semalam, tetapi ia terlihat cukup kacau. Dan Mitha ... Mitha masih menginap di ICU usai menjalani operasi. Belum sadarkan diri.

Semalam, samar ia mendengar diagnosa tentang Mitha yang disampaikan dokter pada orangtua cowok itu. Dan mimpi buruk tidak bisa tidak menghantuinya.

"Lukanya dalam, liver dan ginjalnya bocor. Tusukan itu juga mengenai saraf tulang belakang. Kami perlu melakukan operasi segera. Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa operasi ini cukup berisiko. Pasien akan melewati masa kritis selama atau setelah operasi. Dan ....," ada keraguan sebentar, sementara Riam merasakan tangan-tangan tidak kasat mata menyekat rongga pernapasannya. "Ada kemungkinan anak Ibu bisa mengalami mengalami kelumpuhan karena saraf tulang belakang yang ikut rusak."

Lumpuh? There's no way. Mitha yang ia kenal begitu mencintai futsal, lari, basket, semua jenis olahraga. Ia suka berlarian dan gesit ke sana kemari. Ia jago berkelahi. Tidak mungkin ia lumpuh. Tidak bisa. Tidak boleh.

Dan malam itu juga, Riam mengingat kembali Tuhan. Ia berdoa keras semalaman, tanpa henti.

Operasi telah berakhir dini hari. Sekarang Mitha telah dipindahkan kembali Intensive Care Unit untuk terus dipantau perkembangannya. Saga pun beristirahat di ruangannya sendiri dan Riam di sini, baik-baik saja. Membiarkan kepalanya memutar banyak seandainya dan suara-suara di belakang kepala yang menyalahkan Riam. Harusnya ia bisa lebih cepat sehingga tusukan itu tidak pernah terjadi. Seharusnya ia tahu lebih cepat saat TS datang. Tidak, seharusnya ia tahu TS akan datang. Selama ini, ia terlalu fokus pada perasaannya sendiri, pada patah hati yang ia ciptakan. Hingga melalaikan tanggung jawab.

"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."

Seseorang meletakkan kedua telapak tangan di kedua pundak Riam malam itu juga. Riam menoleh, hanya untuk menepis tangan itu dari pundaknya. Mama datang, memasang wajah simpatinya. Dan ia tidak datang sendirian, tentu saja bersama sang pacar.

"Ngapain ke sini?"

"Riam!" Lidya terhenyak. " Tentu aja Mama datang. Mama khawatir! Kamu nggak kenapa-kenapa?"

Ketika tangan itu menyentuh wajahnya, memeriksa bekas-bekas luka, Riam menepisnya, lagi.

"Mama udah denger apa yang terjadi," ujar wanita itu lagi. "Kamu selama ini tawuran?! Mama kecewa."

Ada kemarahan, kekecewaan yang dapat dicecap dari nada bicara sang mama. Riam menatapnya sekarang. Dari semua kata yang ada di dunia, kata yang dia dengar sekarang tidak membuatnya merasa lebih baik.

"Polisi datang. Tapi aku nggak ditangkap, tenang. Atau sebenarnya lebih baik kalau aku ditangkep aja? Biar pria itu bisa bebas tinggal di rumah"

"RIAM!"

Teguran keras itu menarik sejumlah mata yang memandangi mereka. Riam tidak peduli. Ia berdiri, menatap mamanya baik-baik. Lalu ... tersenyum di satu sudut bibir.

"Kalau masalah kecewa, aku juga kecewa," mulainya. Dan meskipun senyum tipis tersungging, tatapannya tajam, menusuk. "Dengan cara itu kan, Mama ngedapetin Papa dulu dan jadi pelakor? Dengan cara jadi ... pelacur?"

LIdya menamparnya detik itu juga. Keras. Membuka lagi luka di bibir Riam. Tetapi cowok itu bahkan hampir tidak bergerak. Tanpa menatap, ia meneruskan ucapannya. "Mama tahu ... siapa orang yang selalu aku salahkan, kan?"

Mama mungkin telah pulang sekarang, tidak ada tanda-tanda keberadaannya di manapun. Sekarang, sudah hampir pukul sepuluh jika jam digital di ponselnya tidak berbohong. Seharusnya, ia berada di sekolah sekarang, menekuni salah satu buku atau menjawab kuis dengan cepat, lalu melarikan diri ke basecamp Orion. Hal-hal yang biasa ia lakukan. Hal-hal yang mungkin tidak lagi bisa ia lakukan.

Riam beranjak menuju ruangan Mitha. Mengintip lewat sekat kaca yang sekarang memisahkan mereka. Ibunya Mitha masih berada di ruangan itu, mengelap lengan Mitha dengan sapu tangan, sesekali menyeka airmatanya sendiri dengan lengan.

Mulai hari ini ... Riam hanya tahu, kehidupannya, Saga, Mitha .... tidak akan lagi kembali seperti semula.

***

"Riam, kamu sudah makan?"

Adalah sapaan yang Riam dapatkan ketika ia masuk ke ruang rawat Mitha usai mencuci tangan. Riam mengangguk pelan meski sejak semalam tidak ada yang memasuki pencernaannya.

Wanita itu melanjutkan. "Ayahnya Sasmitha juga Tante suruh keluar cari makan. Sebentar lagi harusnya balik."

"Tante sendiri?" tanya Riam, menempatkan diri berdiri dengan jarak satu meter dari tempat tidur Mitha.

Wanita itu termenung. "Mitha belum bangun. Bagaimana .... bagaimana saya bisa makan?"

Hening setelahnya. Riam ingin menghiburnya, ingin mengatakan bahwa Mitha akan bangun, Mitha akan sehat seperti sedia kala. Semuanya akan baik-baik saja. Tapi siapa yang ingin ia bohongi? Meyakinkan diri sendiri pun sulit.

Bahkan aroma antiseptik yang memenuhi ruangan, monitor jantung, selang-selang infus dan berbagai peralatan medis di sana sudah memberitahu mereka jelas-jelas; semua sedang tidak baik-baik saja.

Yang kemudian keluar dari bibirnya hanyalah, "Mitha ... pasti bahagia, kalau tahu Tante dan Om menjaganya semalaman. Dia bilang ... dia kangen tidur sama orangtua kayak waktu kecil dulu."

Tante Mira tersenyum tipis, getir. Tangannya mulai berpindah membersihkan kening Mitha. Berhenti di sana untuk menatap wajah tertidur anak itu.

"Bangun Sayang," bisiknya. Suaranya bergetar. "Mama minta maaf udah terlalu sibuk dan nggak punya wkatu untuk kamu. Mama minta maaf sudah meminta banyak. Sekarang Mama cuma minta kamu bangun. Mama sayang Mitha..."

Perhatian Riam teralih pada monitor detak jantung yang terpasang di sisi cowok itu. Tiba-tiba saja, terdapat peningkatan signifikan dari grafik detak jantung Mitha. Ia dan Tante Mira saling berpandangan selama sesaat sebelum Riam segera menekan tombol emergency di sisi tempat tidur. Ia juga dengan gegas meraih ponselnya, menghubungi Saga.

Dua orang perawat dan seorang dokter yang bertugas segera menghambur ke ruangan, memaksa Riam mundur ke belakang. Mereka dengan sigap mengecek keadaan; memeriksa pupil, jalan napas, ventilator, infus, semuanya. Semenatara bunyi dari monitor detak jantung terus bergema keras, semakin tinggi, semakin tinggi.

Lalu turun perlahan. Semakin turun. Semakin turun. Dan lurus.

Sementara seorang perawat melakukan bantuan pernapasan dengan menekankan ambu bag ke mulut Mitha, dokter meraih defibrilator, alat kejut jantung yang terletak tepat di sisi tempat tidur.

"Siap-siap!"

Terdengar bunyi bip, lalu, semua orang memberi jarak. Dokter menekan benda berupa sepasang pads itu ke dada Mitha dalam posisi tidak simetris, satu di atas dada dan satunya lebih ke bawah. Aliran listrik yang diberikan alat tersebut membuat dada Mitha terangkat. Patient monitor mengeluarkan bunyi berbeda selama beberapa saat, menunjukkan jantung yang merespon lemah, kemudian ... kembali hilang.

"Sekali lagi."

Tetapi, di percobaan kedua, respon yang diberikan lebih lemah. Dan di percobaan ketiga, tidak ada sama sekali. Monitor itu mengeluarkan bunyi yang sama, gambar yang sama. Garis lurus yang tidak berujung.

Seketika, Riam tahu, segalanya telah berakhir.

Sebuah bintang baru saja padam.

***

"Kenapa Mitha?"

Ais menatapnya. Tetapi melihat ketakutan di wajah pucat itu, ia bahkan sudah tahu jawabannya sebelum kalimat itu dapat terucap.

Balon, lingkaran, hati, gitar, semuanya sia-sia sekarang. Karena tepat pukul sepuluh, yang datang bukan pengakuan cinta seperti rencana semula. Yang datang bukan Mitha. Yang datang .... hanyalah berita tentangnya.

....

"Mitha meninggal."

***

Bagaimana kabarnya setelah baca ini?

Semoga kamu masih rajin vote dan komen, ya ^^. Part kita nggak akan banyak-banyak lagi sebelum ending. Semangat!

Baca juga Saga di Epsilon karya okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro