46. Tiga Bintang
Warning: cerita di part ini mengandung adegan kekerasan yang eksplisit. Jika kamu merasa kurang nyaman atau kamu berusia di bawah 15 tahun, mohon skip.
***
Waktu melambat.
Ada banyak skenario buruk yang pernah melintas di kepala Riam, yang sekarang berkerumun di benaknya. Tetapi menyaksikan mata pisau yang tenggelam di perut Mitha, lalu cairan merah kental yang menciprat ke segala arah ketika pisau itu ditarik hanya untuk ditusukkan kembali lebih dalam membuatnya beku.
Dengan kemarahan yang tahu-tahu membakar dirinya, Riam melompat, menerjang Franky hingga jatuh ke tanah, pisaunya yang merah dan basah berdenting menghantam ubin. Riam mencengkeram kerah cowok itu dan memukul wajahnya keras-keras, tanpa ampun. Darah merembus dari hidung dan mulut Franky hingga ia terbatuk. Dan Riam tidak berhenti. Tidak akan berhenti kalau saja ia tidak mendengar suara ambruk di belakang.
Tawuran di sekitar mereka mendadak terhenti, seperti film yang di-pause. Lalu, kepanikan itu menjalar. Anak-anak lain yang tadinya sama membekunya dengan dirinya sekarang mulai panik. Beberapa orang membangunkan Saga, sebagian yang lain meraih Mitha. Dan melihat pisau yang tadi menancap di perut, Riam menjatuhkan lutut di sisi cowok bongsor itu. Si Beruangnya Orion. Cowok yang selalu berada di baris paling depan setiap pecah pertempuran. Cowok yang selalu melawan dengan tangan kosong. Cowok yang selalu melindungi anggota lainnya. Cowok yang paling ditakuti musuh.
Sekarang cowok itu roboh di depannya, terkulai di tanah. Dengan gemetar, tangan Riam kemudian menangkup tangan Mitha yang berlumur darah, berusaha merasakan lukanya. Seluruh kata tercekat di tenggorokan Riam, rasanya. Ia menekan perut cowok itu dengan tangan, berusaha meredam darah yang terus mengalir keluar. Tidak bisa.
Franky meludahkan darah dalam mulutnya, lalu bangkit dengan sempoyongan, Panik. Bahkan ia terlihat panik mendapati genangan darah di sekitar luka Mitha. Lalu, di saat semua orang fokus dengan apa yang terjadi, dengan langkah yang diseret ia kabur secepatnya, menjauh ke dalam kegelapan.
Denis berdiri di belakang Riam, menyaksikan dengan mulut terbuka, sebelum mundur perlahan. "Bukan gue," gumamnya. "Gue nggak bunuh siapapun! Bukan gue!"
Ada napas yang putus-putus. Berganti antara Saga dan Mitha yang sama-sama tampak sekarang. Riam mengangkat kepala Mitha ke atas pahanya. Ia melepas kaus futsalnya, menekannya di atas luka Mitha, mengikatnya kuat.
"Bertahan Mith!" gumamnya. Ia lalu mengangkat Mitha bersama dengan anak-anak lainnya. Saga, dibawa dengan cara yang sama.
Mereka bergerak cepat. Keputusasaan menguar di udara.
Mobil Saga dijadikan tumbal malam itu. Pelajar-pelajar berlumur darah dibaringkan di kursi penumpang. Dan pelajar lain, telanjang dada dengan noda dararh juga dimana-mana menyetir, melesat menuju rumah sakit terdekat.
Dalam hati Riam merapal mantra sepanjang perjalanan. Bertahan. Bertahan. Saga, Mitha, bertahan.
...
Sesampainya di rumah sakit, dua buah ranjang beroda telah menyambut mereka, siap memindahkan Saga dan Mitha ke Instalasi Gawat Darurat untuk mendapat pertolongan pertama. Saga yang pertama. Sejak mereka menggotongnya ke mobil, cowok itu sudah tidak sadarkan diri. Kepalanya terluka parah dan hanya Tuhan yang tahu kapan ia akan bangun.
Sementara Mitha... dia masih bernapas, Riam memeriksa. Matanya mengerjap redup dan untuk itu, Riam merasa sedikit lebih lega. Cowok itu menahan tangan Riam sebelum dibawa ke IGD.
"Di ... mobil ...," ujarnya pelan. Amat pelan hingga hampir tak terdengar. "Gelang Ais .... kasihin...."
Riam menggeleng. Matanya memohon Mitha untuk berhenti bicara. Demi Tuhan ia ingin cowok itu berhenti berkata seolah-olah ia akan pergi. Seolah ia tidak akan pernah kembali.
"Shut up," desis Riam, menatap Mitha balik. "Cuma lo yang berhak ngasih gelang itu ke Ais."
Malam itu, meskipun langit cerah, semua yang bisa Riam saksikan adalah kelabu. Dan meskipun aroma antiseptik seharusnya memenuhi indera penciumannya, semua yang bisa ia hidu adalah ... aroma darah.
***
Tidak ada anggota Orion yang dapat duduk tenang malam itu selama Saga dan Mitha masih berada di bawah penanganan, belum ada kabar. Sebagian bersandar di dinding, kelelahan, sebagian berjalan bolak-balik, gelisah.
Riam duduk di bangku besi di ruang tunggu, menunduk, menatap tangannya yang telah dibalut perban. Lukanya tidak seberapa dibanding apa yang kedua sahabatnya dapatkan. Tetapi rasanya ... lebih sakit dari itu. Lebih sakit dari sekedar sayatan di telapak tangan.
Lalu bunyi beberapa pasang langkah-langkah kaki yang mengetuk lantai dengan cepat dan berhenti di depannya membuat Riam mendongak.
Orion adalah anak-anak yang sama. Anak-anak yang dibuang oleh orangtuanya, oleh ketamakan akan harta, oleh ego dan prestisi, oleh apa-apa yang orang dewasa kejar. Anak-anak Orion, termasuk Riam cukup sering ke rumah Mitha, selama itu mungkin hanya terhitung sekali atau dua ia pernah bertemu orangtua Mitha. Di sekolah, lebih jarang lagi. Kadang yang datang untuk mengambil rapor atau menemui wali kelas ketika Mitha mendapat hukuman adalah kakenya. Orangtuanya ... terlalu sibuk mengejar materi dunia.
Kali ini, orangtua Mitha datang. Untuk pertama kalinya, mereka datang tepat waktu.
"Gimana keadaan Mitha?" Ibunya bertanya, masih dalam setelan bagus yang menandakan ia mungkin belum pulang ke rumah sebelum ke sini. Ayahnya pun sama.
Dalam situasi lain, Riam pasti akan memberikan mereka jawaban dingin. Tetapi jika ingin bermain salah menyalahkan sekarang, maka yang paling salah adalah dirinya. Riam tertunduk. Luka di tangannya terasa berkedut.
"Riam? Gimana keadaan Mitha?" desak wanita itu lagi.
Riam menatapnya sekarang. Susah payah, kalimat keluar dari mulutnya yang tertutup rapat sejak tadi. "Dia butuh operasi. Perlu persetujuan wali."
Kesunyian mengisi sejenak. Kedua orangtua Mitha mungkin sedang mencoba mencerna apa yang terjadi. Percuma bertanya apa anak itu baik-baik saja. Melihat bagaimana kacaunya penampilan Riam dan darah yang mengotori seluruh anak Orion, semua orang tahu jawabannya.
Dan, ketika langkah-langkah kaki mereka menjauh, menuju administrasi, sepasang langkah lain datang. Kali ini lebih tenang. Bahkan sebelum melihatnya, Riam sudah tahu siapa.
"Riam Zarel Albion? Seorang polisi yang mengenakan jaket kulit hitam bertanya pada Riam. Di belakang mereka, Yayan menatap Riam cemas. Sepertinya dialah ornag yang pertama mereka temui dan mintai keterangan.
Seperti biasanya, mereka selalu mencari ketuanya setiap ada tawuran. Dan dengan Saga terbaring tak sadarkan diri, hal ini sudah menjadi tanggung jawab Riam.
"Saya," jawabnya.
Interogasi dilakukan di tempat yang lebih sepi, Riam memilih bagian taman rumah sakit, di mana anak-anak Orion yang lain tidak dapat mendengar mereka. Ia membiarkan kedua polisi itu memberondonginya dengan pertanyaan, dan berusaha untuk tidak terintimidasi dengannya.
"Jadi apa yang kamu lakukan di sana."
"Main futsal."
"Kalian merencanakan tawuran."
Ia menggeleng lemah. "Kami diserang, lawan bersenjata."
"Siapa dalangnya?"
Sesaat, bayangan-bayangan wajah berpendar kembali di benak Riam. Franky yang mendadak takut. Denis yang memucat. Mitha yang ... ia menggeleng, tidak ingin mengingatnya.
"Mereka semua ... sama saja."
Di tengah kecamuk pikiran yang membuatnya sakit kepala, Riam menjawab semua yang diajukan. Tidak ada yang ditutup-tutupi, bahkan jika itu beresiko menjebloskan dirinya sendiri ke penjara. Jika ada seseorang yang harus bertanggung jawab di Orion, maka dirinyalah yang harus menyandang itu.
"Terima kasih. Kamu mungkin akan dimintai keterangan lebih banyak lagi sebagai saksi nantinya."
Riam mengangguk dan mereka pergi. Dari tempatnya duduk sekarang, ia dapat melihat Bu Nismara, kepala sekolah mereka berjalan cepat di koridor, menghampiri anak-anak Orion lainnya.
Semuanya akan bertanya padanya. Semuanya minta penjelasan. Padahal yang Riam sendiri inginkan adalah kejelasan. Ia juga ... ingin tahu keadaan Mitha dan Saga sekarang.
Riam menatap langit di atasnya. Pada bintang-bintang yang entah kemana menghilangnya. Entah tertutup awan, atau ... hanya Riam, yang tidak lagi mampu menemukannya.
Pikirannya berkelana, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah dialami. Berulang-ulang. Riam rasanya telah hafal di luar kepala. Namun entah bagaimana, setiap kali ia mengingat banyaknya darah yang tumpah, rasanya seperti ia berada di sana sekali lagi, panik dan kesakitan sekali lagi.
Lalu, bisikan-bisikan jahat di kepalanya juga mulai menerka-nerka tentang seandainya. Seandainya ia melawan Franky. Seandainya ia yang berada di sana lebih dulu dari Mitha. Seandainya dan seandainya.
Seandainya ia yang sekarat...
Riam penasaran. Seandainya dirinya yang terbaring di ranjang itu, apa ayahnya akan datang juga?
Luka di tangannya berkedut lagi. Tangan yang mulai kebas. Riam kembali mendongak, mencari-cari di antara langit malam.
Saat ini, lebih dari apapun, ia merasa amat sendirian.
***
Sesungguhnya, di suatu tempat berbeda, puluhan kilometer jauhnya, Una tengah menatap langit malam yang sama. Ia tidak bisa tidur malam ini, seberapa keras pun ia mencoba. Meski ia telah membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia, kantuk tetap tidak datang. Dan meski ratusan obrolan di grup yang ditinggalkan sebagian besar oleh Rifai dan Rahma yang biasanya membuatnya cekikikan, kali ini tidak berhasil membuat Una tersenyum barang sekali.
Ia tidak tahu alasannya, tapi ... ia gelisah. Seolah, ada sesuatu yang salah.
Jadi ia duduk di teras, memeluk lutut dan menatap bintang. Kenangan membawanya kembali pada malam di atas puncak Bukit Moko. Saat semuanya masih baik-baik saja. Rasanya, ia melihatnya sendiri sekarang, Riam di sampingnya, menjelaskan soal Orion's belt.
"Tiga bintang berjajar, sama besar."
Una mengangguk. "O-oh. Keliatan!"
Lantas, ia bertepuk tangan menggunakan sebelah tangan yang kosong dan lututnya. "Baguuus! Kok bisa jejeran gitu? Dan gedenya sama!"
Riam tersenyum sekilas, kemudian matanya kembali ke arah taburan di langit. Pada rasi bintang yang baru saja dia tunjuk. Tiga bintang yang ia maksud bisa dilihat malam ini bahkan oleh mata telanjang. "Itu Orionis Delta, Epsilon dan Zeta. Nama sebenarnya Mintaka, Alnilam dan Alnitak. Sabuk Orion menjadi penanda rasi Orion, Sang Pemburu, terletak di lintang +85 derajat dan -75 derajat. Munculnya sebagai pergantian musim, dan─"
"Iyam! Tunggu! Tunggu! Una pusing!"
Ada dengkusan yang keluar dari bibir RIam. Namun cowok itu masih saja menambahkan. "Di Indonesia, rasi Orion disebut juga Lintang Waluku, selalu hadir di awal hingga akhir musim penghujan, adalah yang paling mudah dilihat karena dekat ekliptika."
"Eklip apa? Ah nggak tahu, ah! Mau tidur aja!"
Riam terkekeh, namun tangannya menarik Una agar tetap berada di tempat. Cewek itu tidak akan bisa lolos dari pengetahuan yang selalu ia siap jejalkan setiap saat.
"Lo tahu Orion?"
"Geng sekolah kita?"
Riam mengangguk. "Tiga bintang itu adalah gue, Saga dan Mitha, sabuk Orion."
Una menjangkaukan tangannya sekarang, berusaha meraih tiga bintang berjajar yang ia lihat. Ternyata, tidak bisa. Ternyata, jauh.
"Sejauh itu ... Iyam. Enggak terjangkau," gumamnya.
Una kemudian memeriksa ponselnya. Ia merindukan cowok itu, sangat. Kadang, ia terlupa, bahwa di antara mereka sudah tidak lagi ada apa-apa. Kadang ia menulis pesan ucapan selamat pagi atau selamat malam, hanya untuk menghapusnya kembali. Kadang ia membuka seluruh buku-buku pelajarannya, hanya untuk melihat tulisan tangan Riam di sana. Kadang ia memandangi ponselnya, lama. Berharap ... Riam akan mengirim pesan dan meneleponnya, seperti waktu itu.
Namun seberapa lama pun ia menunggu sekarang, tidak ada yang terjadi.
Ia memandangi nama kontak Riam yang belum berubah, masih Batu Bernapas. Yang ia harus lakukan hanya satu, menekan ikon telepon hijau di sana. Melepas rindu.
Tetapi yang ia lakukan, adalah menyimpan ponselnya kembali.
***
Nulis dua cerita, dua-duanya mellow, huhu. Aku juga rindu nulis yang ceria-ceria lagi. Hehe, tapi semangat! Kita lewati ini bersama <3
Baca juga Orionis Epsilon dan kabar Saga di okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro