45. Supernova
Aku harap, walaupun di sini gak ada adegan uwu, kalian tetap membacanya dengan sepenuh hati.
Dan aku akan senang kalau kalian komen tiap paragraf ❤
***
Hening. Ada langkah yang diseret, jejak-jejak sepatu karet yang menimbulkan ketukan samar di atas lantai lapangan. Ada tiga suara yang terdengar: langkah kaki kanan, langkah kaki kiri, lalu ujung-ujung kayu yang diseret.
Berjalan ke arah mereka adalah sekumpulan anak Taman Siswa, kali ini dengan tambahan Denis serta dua cecunguk yang selalu dengan buta mengikutinya kemanapun, Dito dan Ivan. Riam mengeratkan genggamannya di sisi tubuh, Denis datang dengan senyuman, tanpa rasa bersalah, tanpa ada permohonan maaf atas semua yang telah ia perbuat.
"Main nggak ajak-ajak nih?" tegur cowok itu. Dengan ulang tahun Mitha besok dan perayaan dasar Orion dengan bermain futsal di sini tiap ada yang ulang tahun, keberadaan Denis terasa sangat benar tetapi juga sangat salah.
Rasanya sudah lama berlalu sejak ia meninggalkan Orion.
Mitha menjadi orang pertama yang berjalan maju, dadanya dibusungkan. "Sori, buat temen gue aja. Ngapain lo di sini?"
"Mau ..." ada cengiran tidak mengenakkan hadir di wajah Denis. Dengan santai, seolah teman lama, ia berucap, "kasih surprise!"
Pertarungan pecah di detik berikutnya. Satu pukulan menghantam Ali yang berdiri paling depan setelah Mitha. Hampir di detik yang sama, seseorang melompat dari arah belakang Riam, mengayunkan tongkat baseball. Riam berhasil menghindarinya dengan merunduk, lalu berputar di tungkainya dan memberikan balasan langsung melalui tendangan kaki pada si pemukul, merobohkannya detik itu juga.
Serangan, bagaimanapun, tidak berakhir sampai di sana. Dari arah pukul delapan, tendangan yang dilayangkan keras dialamatkan padanya. Riam melompat menghindar tepat waktu, di saat yang sama menyelinap ke belakang punggung di penyerang dan menyikutnya keras sebelum kembali ditutup dengan tendangan memutar. Tidak ada waktu untuk merayakan keunggulannya, si pemukul baseball telah kembali bangkit dan menyerang Riam lagi.
Dua lawan satu. Biasanya ini hal mudah. Ia bahkan pernah menghadapi lima orang sekaligus. Tetapi energi yang telah dihabiskan seharian untuk bermain basket, berenang dan sekarang futsal, membuat gerakan Riam melambat. Satu pukulan mendarat di tengkorak kepalanya, terlambat untuk menghindar. Dan seketika, telinga Riam berdenging.
Sesaat, konsentrasinya buyar dan ia kesulitan menyeimbangkan diri agar tidak roboh.
"Menurut lo kita bakal tawuran sampai kapan?"
Pertanyaan Mitha beberapa waktu lalu mengisi benak Riam. Saat itu Riam menatapnya, keheranan. Mitha mungkin adalah salah satu yang paling menyukai pertarungan mereka, ketika berkelahi, ia menjadi membabi buta, nyaris gelap mata. Seolah tawuran adalah pelampiasannya tentang kekecewaan pada hidup, pada keluarga. Jadi, kenapa sekarang pertanyaan itu keluar dari mulut Sasmitha?
Mitha menggaruk rambut mendapat tatapan bertanya itu. "Bukan apa-apa, sih. Kemaren Ais nanya, dia tahu. Mau sampai kapan kita tawuran?"
"Sebentar lagi kita kelas dua belas," jawab Riam setelah beberapa saat. Ia pun sudah menghitung hal ini.
Ujian kenaikan kelas kurang dari satu bulan lagi. Dan setelah itu ia akan berada di tahun terakhir masa SMA, dimana ada banyak hal yang harus diurusi. Tidak ada lagi waktu untuk bermain-main. Ujian di depan mata harus ditaklukkan, lalu ada pemilihan kampus dan jurusan yang akan menentukan jenjang karirnya di masa depan, dan untuk mendapatkan jurusan yang diinginkan pun bukan perkara mudah, pun dengan memilih. Di benak Riam, ia sudah menyusun deret universitas yang diincarnya, dalam maupun luar negeri. Ia ingin mengambil kuliah hukum, mungkin kemudian menjadi jaksa dan membuat ayahnya tercengang sebentar saja. Untuk itu ia harus melepaskan banyak hal, meninggalkan banyak hal...
Salah satunya adalah Orion.
Sebentar lagi, formasi Orion juga akan berganti. Mereka akan merekrut ketua yang baru, dan mungkin menciptakan Orion's Belt baru. Sementara Riam, Saga dan Mitha akan fokus pada rencana masa depan. Saga mungkin akan sibuk mengurus bisnis kelab yang ditinggalkan ayahnya, anak itu tahu benar cara bertanggung jawab tetapi tidak tahu cara untuk mengejar impian sendiri. Atau memang itu yang ia inginkan. Bagi Saga, anak tujuh belas tahun yang dewasa terlalu cepat, masa depannya adalah Jingga.
"... Apa... rencana lo, setelah lulus?"
Pertanyaan itu ditujukan untuk Mitha, yang kemudian menatap Riam dalam-dalam. Jarang, mereka berbicara hal-hal seperti ini.
Mitha mengangkat bahu. "Boro-boro mikirin kuliah. Lulus aja kalau bisa, syukur," kekehnya.
Riam tersenyum, lalu menepuk pundak cowok itu. Prinsip Mitha tentang hidup untuk hari ini tidak lagi mengherankannya. Tetap saja, mereka adalah remaja yang bertumbuh dewasa, tidak bisa terombang-ambing selamanya, terlalu tua untuk bertahan dengan sikap kekanak-kanakkan.
"Tanya Ais," komentar Riam. Mungkin jika Ais menerima cintanya, cewek itu mampu membuka pikiran Mitha soal masa depan. Mungkin mereka akan menikah setelah lulus kuliah seperti yang selalu diinginkan Mitha. Mungkin ia akan bertemu kembali cowok itu di suatu toko di Tanah Abang, atau di suatu sekolah, atau di satu firma hukum, atau tempat-tempat tidak terduga lainnya.
Saat itu, mereka mungkin akan menertawakan luka-luka samar hasil kenang-kenangan hari-hari menjadi anak nakal mereka.
Riam menggelengkan kepala demi mengusir rasa sakit. Sekilas, ia dapat melihat langit malam di atas kepalanya cerah, Riam dapat melihat sabuk Orion berjejer tiga, juga taburan bintang-bintang lainnya. Orion sedang bersinar di atas sana, dan tawuran kali ini mungkin akan menjadi yang terakhir bagi Riam, ia tidak boleh kalah. Orion tidak boleh kalah. Mereka tidak pernah kalah.
Riam merunduk lagi, menghindari ayunan kayu berikutnya yang nyaris menghantam kepala. Ia menangkap lengan si pemukul, memelintirnya sebelum membanting cowok itu ke lantai dengan bunyi debam keras, lalu meletakkan kaki di atas dada, menekannya. Dito, cowok itu yang tengah terbatuk karena sakit dan kesulitan bernapas. Riam nyaris meludah melihat wajahnya. Dito adalah anak Orion dulunya, sebelum Denis yang mereka puja-puja mengajak serta orang-orang idiot itu untuk berkhianat. Riam menekan dadanya lagi lebih keras, cowok itu terbatuk lagi. Lalu, dari sudut mata, ada gerakan berkelebat menyerangnya.
Bisa dikatakan, Riam menangkap belati yang mungkin akan mengenai lehernya tepat waktu, sekaligus tidak. Ia menangkapnya, menahan pisau itu di udara. Dengan satu tangan yang sekarang meneteskan darah dengan luka sayatan dalam.
Shit! TS dan senjata tajam hampir tidak dapat dipisahkan.
Riam menarik lengan yang menyerangnya, menangkap si penyerang di pinggang dan melayangkan tendangan dengan lutut ke perut, membuat cowok itu ambruk menimpa Dito. Belati berkelentang jatuh di atas semen lapangan.
Dengan napas memburu dan tangan yang mulai terasa kebas, Riam berjongkok untuk memungut belati tersebut. Ia harus merebutnya daripada meresikokan luka lainnya. Dan saat itulah, kekehan terdengar di belakang Riam. Cowok itu menoleh, menemukan Denis bertepuk tangan girang.
"Keren! Keren!" serunya, menyunggingkan senyum. "Tapi ... lo keliatan capek, Am."
Riam membuang napas keras. Keadaan Denis yang masih tampak segar bugar mengganggunya. Licik memang, mereka. Menyerang dengan anggota lengkap ketika Orion sedang kelelahan, dan hanya dihadiri setengah formasi. Banyak yang tidak ikut karena ulangan besok. Tidak ada pula yang menduga tamu tak diundang akan muncul.
Cowok tinggi dan berkulit pucat itu berdiri. Kepada Denis, ia berkata dingin. "Maju."
"Yakin?" Denis menyeringai, membuang kekehannya ke sisi. "Riam, Riam. Riam si lemah, Riam banci, inget panggilan ini?" Senyum kemenangan terpatri di wajah Denis, dan eskpresi Riam mengeras. Ia tidak menyukainya. Sama sekali.
"Lo tahu anak-anak TS suka ngetawain elo? Tahu alasannya kenapa?" lanjut Denis. "Lihat sekitar. Itu karena lo dikelilingi orang-orang tolol ini, tahu nggak! Lo tahu Saga?" Denis mendekatkan wajah, sehingga ucapannya kemudian nyaris seperti bisikan. "Saga udah mengatur lo terlalu jauh. Dia nggak biarin lo bertarung dan bersinar. Dia bias sama si Mitha yang nggak ada pantes-pantesnya jadi anggota inti Orion itu!
"Ya ... heran juga sih gue kenapa dia bisa jadi ketua. Nggak becus kayak gitu."
Riam masih diam di tempatnya, mengeratkan genggaman pada belati di tangan ketika Denis melangkah hati-hati mengelilinginya. "Mereka semua, Mitha, yang lain, bahkan Saga nggak selevel, Am. Coba lo ikut gue, enak idup lo! Populer, ganteng. Kita udah mau kelas dua belas, Saga bakal ganti. Kita bisa kuasain Orion kalau lo mau."
Selama beberapa saat, tidak ada tanggapan dari Riam. Tawuran masih terjadi di sekitar mereka. Bising. Penuh dengan suara pukulan, dan engah kesakitan. Penuh dengan aroma keringat dan mungkin juga ... darah. Seperti yang menetes dari sela jari-jari Riam.
"Kenapa?" tanyanya kemudian, pelan.
Denis menatapnya, dan Riam mengilangi pertanyaan. "Kenapa lo lakuin ini, hah?!"
Tidak segera ada jawaban dari Denis. Mereka berdua tahu apa arti pertanyaan tersebut. Ini soal Denis yang mengumpankan Orion untuk bisnis ayahnya. Ini soal perbuatan tanpa penyesalan cowok itu. Ini tentang pengkhianatan.
Yang ingin Riam dengar, sejujurnya hanyalah satu hal: permohonan maaf. Permohonan maaf dan penjelasan yang masuk akal. Karena, meski sejelas apapun fakta yang terhampar di depan mata, ia masih berharap semua ini hanya kesalahpahaman.
Namun ketika tidak ada jawaban, satu tinju dan hantaman pangkal gagang belati melayang keras mengenai rahang Denis, membuat langkahnya secara otomatis mundur selangkah dengan wajah terbuang ke sisi. Denis menyentuh luka robek di bibirnya, meludahkan darah dari mulutnya dan terkekeh.
"Gue punya julukan baru buat lo. Riam si .. Pecundang, yang baru aja dicampakkan cewek idiot kayak Skala Aluna."
Buk! Satu hantaman keras dari Riam kembali mengenai Denis, kali ini bersarang di pipinya, bertubi-tubi. Dan kali ini juga, Denis melawan, berusaha membalik keadaan. Ia merunduk menghindar dan mendorong Riam maju dalam usaha merobohkannya. Berhasil, Riam terjatuh di lantai dan Denis tidak menyia-nyiakan waktu berharga tersebut untuk menghujani wajah Riam dengan bogem mentah.
"Gimana kalau kita balas dendam sama cewek-cewek itu?"
Riam mencengkeram kerah kemeja Denis. Tangannya yang memegangi belati masih meneteskan darah, menodai kemeja cowok itu. Tapi, itu tidak menghentikan Denis dari ocehannya.
"Gimana kalo kita cegat dia rame-rame? Dia pasti ketakutan."
Cengkeram itu mengerat, membuat Denis tersedak karena tercekik.
"Lo berani nyentuh dia, lo mati."
Tawa Denis bergema menyambut kalimat itu. Ia kemudian menatap Riam tajam dan berdecih. "Kita liat aja."
"Sialan!"
Dengan satu tarikan keras, mereka berguling. Keadaan berubah sekarang. Riam berada di atas Denis, satu tangannya masih mencengkeram erat kerah Denis, mencekik cowok itu. Tangan lainnya memegangi belati yang sekarang terhunus tepat ke wajah Denis. Tajam. Darah masih menetes sesekali, jatuh mengenai pipi Denis.
"Gue Denis." Anak itu mengulurkan tangan, untuk pertama kalinya.
Riam mendongak menatapnya dari makan siangnya di kantin SMP, memastikan diri. Biasanya, selain Saga dan Mitha, tidak ada yang mau berbicara dengannya. Atau sebenarnya, mereka sudah mencoba, berbicara dengan Riam, tetapi sikap Riam yang tidak pernah membalas sapaan memundurkan mereka semua. Dan Riam menyukainya, berada di zona nyamannya sendiri. Sekarang anak ini datang, berusaha mengacaukan dunia Riam yang tenang.
Jadi, Riam memilih mengabaikannya. Ia melanjutkan makan, tanpa Saga dan Mitha yang sedang menemui guru BP karena ketahuan membolos kemarin.
Bagian menyebalkannya, anak bernama Denis itu tidak beranjak. Ia jurstu menarik kursi di depan Riam dan meletakkan sepiring nasi goreng yang ia pesan di atas meja. Dan bagaimanapun Riam berusaha menganggap dia tidak ada, nyatanya anak itu terus mengoceh.
"Gue baru pindah ke sini jadi belum punya temen. Lo mau, kan, jadi temen gue? Gue di sekolah lama terkenal jagoan loh."
Riam tidak menggubrisnya. Denis menatap Riam, membaca nama pada seragamnya, dan menyengir. "Salam kenal, ya, Riam Albino."
"Albion."
***
"Awas!"
Riam, dengan lencana kelas sepuluh, melompat menerjang musuh yang hampir saja berhasil mendaratkan patahan kayu tajam ke arah Denis. Ia menendang lengan cowok dengan seragam SMK itu, menyebabkan kayunya terpelanting jauh sebelum menendang cowok itu lagi di bagian perut, membuatnya ambruk.
Denis terkekeh dan mengulurkan tangan pada Riam. "Good job, bro! Thanks!"
Dan ia menarik Riam, kali ini balas melindungi Riam dari serangan anak lainnya. Mereka lalu berdiri saling memunggunggi, bersama-sama melawan musuh yang berjumlah lebih banyak. Bekerja sama. Saling melengkapi.
Dan hal itu ... rasanya sudah terlalu lama berlalu. Denis yang sekarang berbeda.
Denis yang sekarang tengah menatap Riam dengan ekspresi menghinakan di wajahnya. Tangan Riam gemetar, keinginannya untuk menghabisi Denis sekarang juga, menghabisi pengkhianat yang telah menjebak Orion ke dalam situasi berbahaya sekarang ini tengah bertarung dengan Riam yang mengingat Denis di masa lalu.
Ujung belati itu hanya satu senti jaraknya dari pipi Denis. Cowok itu telah memejamkan mata, pasrah dengan resiko wajah yang mungkin rusak atau lebih parah dari itu. Hingga ia mendengar bunyi besi yang berkelentang jatuh di lantai.
Riam telah membuang pisaunya. Napasnya terengah.
"AWAS GA!!!"
Teriakan Mitha tedengar, begitu jelas di telinga Riam, membuat seketika cowok itu menoleh. Di sana, skenario terburuk yang pernah Riam pikirkan tengah berlangsung.
Saga tengah bertarung melawan dua orang sekaligus, terjepit dan terkunci sementara darah mengalir dari kepalanya. Darah yang sama menodai kayu yang baru saja diayunkan untuk cowok itu. Franky tengah menjambak rambut Saga, menginjak wajahnya yang telah ambruk ke tanah. Dan sebuah pisau di tangannya, tampak memantulkan lampu-lampu dari sisi lapangan.
Tidak bisa. Saga tidak bisa mengatasi ini sendiri.
Tanpa berpikir, Riam melepaskan Denis dan berlari ke arah cowok itu. Tetapi jarak mereka jauh. terlampau jauh. Pisau itu bisa menghujam Saga kapan saja. Tidak cukup banyak waktu.
Namun ia masih berlari, melompat, berlari sekencangnya dan setibanya ia di sana, cipratan darah segar mengenai seragam futsalnya.
Langit di atas masih cerah. Namun sesuatu telah terjadi, sedang terjadi. Supernova. Sebuah bintang tengah meledak.
Pisau itu telah menemukan sasaran.
Bukan Saga. Mitha.
***
What do you think? 👀
Untuk cerita versi Saga, yuk baca bab terbaru Orionis Epsilon dari okkyarista
Sampai jumpa secepatnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro