43. It Ends With Us
Kangen, ya?
Sudah siapkan hati?
Oke, happy reading~
***
Seseorang pernah bilang ... jatuh cinta itu seperti jatuh dari sepeda, atau dari tangga. Kamu tidak diberitahu kapan, dimana, bagaimana. Kamu tidak punya pilihan ya atau tidak. Kamu hanya jatuh. Begitu saja.
Namaku Angga. Dan aku barusaja jatuh dengan hebatnya.
Anin, namanya. Dengan rambut keriting yang jika diluruskan, panjangnya dapat melewati punggung. Dengan senyum yang jika digambarkan, dapat mencuri mata-mata penasaran. Anin, gadis itu. Tempat aku jatuh.
Dan semua karma ini─kejatuhan yang ternyata satu paket dengan patah hati, berawal dari hal sesederhana keingintahuan bagaimana rasanya jatuh cinta.
Riam mengernyitkan alis pada bagian belakang buku yang tengah dipegangnya. Ia sedang berada di toko buku lepas dari mal, sudah melewati jam pulang sekolah dan pemandangan mereka yang berkeliaran dengan seragam tidak lagi menarik perhatian. Sementara Una sedang sibuk dipaksa berada di rak sekitar buku pelajaran, Riam menyisi sebentar ke rak fiksi, mengambil apa saja yang menarik mata. Dan pilihannya jatuh pada novel karangan Kian Erlangga, Beastfriends (Tiga Minggu).
Pengarang buku bernama Kian Erlangga itu bilang, jatuh cinta itu sama seperti jatuh dari sepeda atau dari tangga? Tidak direncanakan. Tidak tahu kapan. Bibir Riam tertarik sedikit. Sepertinya ... untuk yang satu itu, ia setuju.
Riam meletakkan buku yang didominasi warna hijau dan kuning, memperlihatkan seorang pemuda memegang gitar dan seorang cewek berambut keriting di sampingnya itu kembali ke rak. Kalau-kalau Una memergokinya sedang menatap penuh minat pada fiksi romansa. Tangannya kemudian berpindah, tanpa sengaja, ke buku lainnya.
Sometimes the one who loves you is the one who hurts you the most.
Kalian karya Colleen Hoover, It Ends With Us yang terjamah tangannya. Sebuah judul yang menyakitkan, jika dipikir-dipikir, dengan blurb yang nyaris sama rasanya.
Riam menggeleng. Dari sekian ratus buku yang mungkin telah dilahapnya tahun ini, ia tidak yakin apakah ia pernah membaca yang bercerita tentang cinta? Dan apakah sekarang ia tiba-tiba berminat membaca salah satunya? Kenapa juga dia mendadak penasaran dengan kisah-kisah cinta?
Ia menoleh pada Una, dan sedikit terkejut. Bukannya sibuk mencari-cari komik saat Riam lengah seperti yang Riam prediksikan, Una justru masih berada di tempatnya semula, serius memilah buku pelajaran. Ketika ia menoleh kepada Riam, ia menunjukkan sebuah buku tebal untuk pelajaran Matematika.
"Yang ini bagus?"
Riam berjalan ke arahnya, mengambil buku itu. Ia meletakkan buku Matematika Una di atas novel di tangannya, memeriksa beberapa halaman, lalu mengangguk setuju.
"Di sini banyak penjelasan dan contoh-contoh soalnya juga lumayan akurat," ujarnya, masih memeriksa. Beberapa menit, ia kemudian mengembalikan buku itu pada Una. Lalu secara natural, tangannya terulur, menyentuh kepala cewek itu. "Ujian tinggal bulan depan. Rupanya kamu mulai sadar untuk serius belajar?"
"Harus," jawab Una, tersenyum. Ia memundurkan langkah, secara halus meloloskan diri dari tangan Riam yang menyentuh pucuk kepalanya dan pura-pura sibuk kembali memilih buku. Lantas dalam gumaman, ada kalimat yang ia lanjutkan, diam-diam.
"... Karena nanti nggak ada lagi Iyam yang ngajarin."
Kalimat itu ia tujukan untuk diri sendiri. Riam tidak boleh mendengarnya, harusnya. Tetapi cowok itu melakukannya, mungkin. Riam menoleh, memandang Una dengan alis dikernyitkan. Ia tidak meyakini apa yang didengarnya.
"Apa?"
Tetapi Una yang telah menyadari dirinya keceplosan buru-buru menggeleng. "E-enggak~ Bukunya ... bagusnya," tunjuknya, asal.
Lalu, dalam usaha mengalihkan perhatian, Una menunjuk buku di tangan Riam. Novel Colleen Hoover yang entah bagaimana terbawa di tangan cowok itu. "Iyam jadinya mau beli buku itu?"
"Enggak." Dengan agak panik, Riam mengembalikan buku itu ke dalam rak, sedikit asal. Membuat Una menahan tawa.
"Yuk, pulang!"
***
Una pernah dibelikan Ayah boneka barbie waktu kecil. Yang tidak disukainya. Boneka itu terus-terusan menjadi bahan ejekan kedua kakak laki-lakinya, atau Kak Nando, atau teman-temannya di lingkungan sekitar rumah yang kesemuanya cowok. Jadi, tanpa sepengetahuan Ayah, ia membuangnya ke selokan.
Hingga hari berikutnya, sepupunya yang lain berkunjung. Namanya Pagi, Delapan Pagi dan dia cantik, secantik barbie di tangannya. Jujur saja, Una iri. Dia menangis menyesali barbie miliknya yang telah berakhir di selokan. Lalu, ada satu petuah Ayah yang diingatnya hingga sekarang.
Sesuatu akan terasa berharganya saat kita sudah kehilangan. Jadi, hargai apa yang kamu miliki, oke, Tuan Putrinya Ayah?
Menghargai ... ia berusaha melakukannya sekarang. Berusaha sebaik mungkin menikmati menit-menit yang menghitung mundur. Tidak berapa lama lagi ia akan sampai di rumah. Dan Una masih belum tahu apa yang harus ia lakukan. Yang ia tahu, hanya semuanya harus berakhir ... hari ini.
Jadi di sisa perjalanan itu, ia menyandarkan kepala di punggung Riam, menghidu wangi parfumnya yang samar. Tangannya meremas jaket yang cowok itu pakai. Tahu bahwa esok semuanya tidak akan lagi sama.
Rem yang ditarik mendadak membuat Una terkesiap. Tangannya yang berada di ujung jaket Riam sekarang berpindah, memeluk cowok itu selama sepersekian detik. Riam menoleh ke arahnya, terkekeh kecil. "Sori, ada kucing."
Mereka turun. Seekor anak kucing dengan belang hitam dan putih yang kotor tampak kebingungan di atas aspal jalanan. Riam memungutnya di kedua tangan lalu pelan-pelan membawanya ke pinggir jalan, ia meletakkannya di atas akar yang menonjol dari pohon rindang di atas kepala.
Ia menoleh pada Una. "Punya makanan?"
Una memberikannya sebungkus roti yang entah akan anak kucing itu sukai. Riam merobeknya-robeknya, lalu meletakkan di hadapan si anak kucing. Ia mengelus kepalanya sekali sebelum berdiri.
"Yuk," ujarnya, kembali berjalan ke arah motor.
Tetapi Una tinggal di sana, berperang dengan pikirannya sendiri.
Cowok ini, yang berpunggung tegap ini, mungkin bukan cowok paling lembut yang pernah ada, tapi ia peduli dengan seekor anak kucing. Cowok ini, yang tingginya selalu membuat Una merasa cebol ini mungkin bukan cowok paling manis di muka bumi, tapi ia rela menjemput Una pulang pergi, dia rela berkeliaran mencari jepit rambut stroberi, dia rela mengajari Una yang bebal tiap sore.
Dan tiba-tiba saja, sosok angkuh dan menyebalkan yang dilihatnya di lapangan waktu itu menghilang. Digantikan Riam yang lembut, yang manis, yang lucu, yang sedikit pencemburu.
Dan Riam yang itu ..., ia harus melepasnya sekarang.
"Iyam!"
Riam menoleh, sedikit keheranan tentang Una yang belum beranjak dari tempatnya. "Udah mau magrib. Ngapain berdiri di situ?"
Una menggeleng. Pelan, ia melangkah, mendekati Riam. Langkahnya berhenti dalam jarak beberapa kaki dari cowok itu. Una mendongak, berusaha menatap ke dalam mata Riam. Berusaha tegar meski tangannya yang saling bertaut gemetaran.
"Iyam. Kita ... putus aja, ya."
Riam sedang di sana. Sedang menikmati pemandangan angin sore yang mengembus rambut Una dengan lembut, yang ditahan oleh jepit rambut pemberiannya. Atau juga bagaimana matahari sore menembus dedaunan dan jatuh di wajah cewek itu, samar-samar saja.
Tetapi apa yang Una ucapkan menghentikan seluruh pikirannya. Ada detik yang menjadi jeda, terisi hanya deru napas, berbaur dengan deru kendaraan di sekitar. Riam menatap Una, seluruh inderanya menyangsikan pendengarananya sendiri.
"Apa?" tanyanya hati-hati, ada kebingungan yang kentara di kerut keningnya.
Una menghela napas, meremas jari-jemarinya sementara wajahnya terus mendongak, terus menatap cowok itu. Seolah-olah ia sangat yakin dengan yang ia katakan. Dan pidato yang sudah ia hafalkan berkali-kali, sekarang ia keluarkan.
"Gue selama ini cuma pura-pura, kok. Lo udah nyakitin sahabat gue, Anin. Gue cuma pengen balas dendam! Lo harus ngerasain apa yang Anin rasain. Dan sekarang udah cukup. Gue udah puas!"
Riam terdiam, lamat-lamat mencerna semuanya. Kekosongan detik itu lagi-lagi di isi suara knalpot, samar deru napas, dan ... tangis yang berusaha keras disembunyikan.
"Bohong," gumam Riam, setelah beberapa saat. Ia menatap ke dalam mata Una, mencari kebenaran di antaranya.
Tetapi cewek itu menggeleng, rambutnya sedikit bergoyang ketika ia melakukannya, tetapi poninya tetap tertahan oleh jepit rambut stoberi.
"Gue nggak bohong." Hanya nggak menceritakan seluruh detailnya. "Sekarang kita putus aja."
Riam mendongak setelah dirasa pasokan udaranya menipis. Sesak. Ia melihat langit di atasnya. Cerah. Kenapa matahari sialan itu masih dalam bersinar cerah bahkan setelah apa yang ia dengar?
Ketika Riam akhirnya dapat menguasai diri, ia menatap Una, tajam. Jenis tatapnya yang akan membuat musuh goyah, atau anak-anak lainnya segan, atau membuat orang-orang menghindarinya, membencinya.
Kemudian, dengan pelan, Riam tersenyum.
"Kalo lo pikir lo bisa menyakiti gue, lo salah. Gue ... nggak punya perasaan apa-apa sama lo," bisiknya.
Dan itu adalah pertahanan terakhirnya. Riam menarik diri dengan cepat, kembali ke atas motornya. Ia memasang helm, dan tanpa pamit, berlalu pergi.
Meninggalkan Una yang menatap cowok itu dengan tegar. Meninggalkan Skala Aluna yang meremas tangannya kuat-kuat. Sebelum airmata mulai menjatuhi pipinya. Deras.
"Bagus kalau Iyam nggak punya perasaan apa-apa! Bagus kalo Iyam nggak sakit apa-apa."
Seperti yang dikatakan Hoover, sometimes the one who loves you is the one who hurts you the most..
***
Sabar-sabar, ya. Beberapa chapter ke depan, konflik akan berkembang. Jadi... Kita galau-galau dulu.
Harus pahit-pahit dulu biar ujungnya manis.
Lanjut kalau mencapai 2,5k votes ya ❤
[Iklan]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro