Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Izin Sakit

Jangan lupa, vote dan komen yang banyak-banyak~

***

"Kalau mau, potret aja sendiri."

Riam mengeluarkan dompet, lalu memasukkan hasil jepretannya dengan hati-hati sementara Una menekuk wajahnya. Ia bahkan tidak diizinkan melihat hasil foto karena Riam takut fotonya rusak! Jadi yang bisa Una lakukan hanya menyedekapkan tangan, lantas merebut polaroid dari tangan Riam.

"Yaudah. Sini! Sini! Deketan!" ujarnya, merentangkan kamera lebih jauh. Kali ini ia berusaha lebih keras agar seluruh wajahnya termuat, bukan hanya pipi seperti yang terjadi sore sebelumnya.

Tetapi yang terjadi, Riam justru beranjak mundur, berdiri sekian meter di belakangnya.

"Iyaaam! Sini!" teriak Una, kegusarannya bertambah.

Cowok itu bergerak maju. Satu langkah. Masih terlalu jauh dari kamera. Membuat Una geram.

"Lima langkah!"

Riam menepatinya, mengambil lima langkah. Tetapi kecil, sangat kecil. Lima langkahnya sekarang setara satu langkah terdahulu. Una menghentakkan kaki frustrasi. "IYAAAAAMMM!!!"

Dan cowok itu tertawa, gelak. Kemudian, tahu-tahu berada di belakang Una hingga dada bersentuhan dengan punggung. Tanah yang tidak rata menyebabkan posisi kepala Riam hampir sejajar dengan Una, sehingga, napasnya menyentuh sisi wajah cewek itu ketika dia menoleh. "Sedekat ini?"

Una menoleh, otomatis menarik kepalanya ke belakang menyadari jarak yang demikian dekat. Sebelum dengan pelan, ia mengangguk. Usahanya untuk memberi jarak tidak berpengaruh banyak, karena Riam mungkin memiliki ide berbeda. Karena cowok itu justru mendekatkan wajah, sedikit demi sedikit menghapus spasi di antara mereka. Sedikit demi sedikit pula, memaksa Una memundurkan kepala dengan kaku, hingga hal itu tidak mungkin dilakukan lagi dan opsi terakhir yang bisa dilakukan Una adalah memejam dan menahan napas. Menunggu dengan jantung yang berdegup kencang. Menunggu dengan otak yang lumpuh mendadak. Menunggu sentuhan lembut di bibirnya.

Lalu ... ia terjatuh begitu saja, mencium lantai.

"Ouch!"

Si Batu Bernapas, sekarang berubah menjadi Ubin Tidak Bernapas.

Cepat-cepat Una bangkit, menyingkirkan selimut yang melilit tubuhnya dan panik ketika memeriksa jarum panjan pada jam dinding. Mampus telat!

Ia bangkit, semakin panik dalam usaha menemukan handuk, baju, pintu kamar mandi, dan Bunda yang tahu-tahu muncul di pintu dengan berita menggelegar yang ia bawa.

"Kamu masih belum siap?! Riam udah nunggu!"

Riam udah nunggu! Riam nunggu! Riam! Riam! Riam!

Mengingat mimpinya barusan, menghadirkan kembali sosok Riam yang tersenyum, yang mendekatkan wajah, yang terasa hangat, Una segera menutup kepalanya dengan handuk. "TIDAAAAKKK!!!"

***

Bersikaplah biasa, Na! Fighting!

Una mengepalkan tinju di udara, menyemangati diri sendiri, lalu menarik napas panjang. Ia harus bisa melalui ini. Bersikap seolah tidak ada apa-apa, seolah mimpi yang ia alami tadi tidak pernah ada. Dia harus melupakannya secaptnya dan bersikap normal. Maka, untuk itu Una mengangkat tasnya di udara dan berupaya menyembunyikan wajah guna menghindari tatapan Riam. Langkahnya pelan, badannya membungkuk. Ia sedang berusaha keras agar tidak ketahuan.

Yang berefek sebaliknya.

Gerakan Una harus terhenti ketika Riam menarik kepangan rambutnya, membuatnya menjerit dan meronta agar dilepaskan.

"Iyaaam! Sakit! Sakit!"

Riam hanya mendengkus, lalu menyimpan tangan jahatnya ke saku celana dan rasa bersalah. "Ngapain lo?"

"Nggak ngapa-ngapain, kok!"

Sikap defensip Una, tidak meyakinkan, sama sekali. Justru, membuat Riam semakin curiga hingga menyipitkan mata. Sementara Una memasang senyum lebar yang amat canggung.

Bersikap wajar, Na! Riam pasti juga nggak bisa baca pikiran! Dia nggak bakal tahu lo tadi malem mimpi apa!

"Abis mimpi aneh?" tanya Riam.

Una nyaris tersedak udara. Ia terbatuk, lalu kedua matanya membulat menatap Riam. "K-kok tahu?! Eh maksudnya... Kok kamu bisa nuduh gitu?!"

Mengabaikan kalimat perbaikan, cowok itu mengambil satu langkah mendekat, memaksa Una untuk mengambil satu langkah mundur.

"Mimpi apa?"

"ENGGAK!"

Dan ketika Riam membuka mulut kembali, Una telah mendebatnya terlebih dahulu. "Dibilang enggak ya enggak!"

Pada akhirnya, ia mengernyit atas kepanikan tak berdasar itu, tetapi memilih diam. Ia hanya menyodorkan pada Una helmnya dan segera berjalan kembali ke tempat motornya diparkir. "Buruan. Kita udah telat."

"Iyam, boleh ke rumah dulu nggak?"

Riam menoleh, dengan kening yang seakan bertuliskan pertanyaan 'APA LAGI, SIH?!'

"Makan bentar," Una meringis dalam senyumnya. "Ya? Una belum sarapan~"

"Udah telat," tegas Riam.

"Dikiit aja. Tiga sendok!" mohon Una, menangkupkan kedua tangannya. "Atau dibungkus deh ya, jadiin bekal~"

Seaat, Riam melirik arloji di tangannya. Tidak ada waktu. Maka, ia pun menarik tangan Una agar berjalan lebih cepat. "Nggak sempat."

"Iyam! Please! Una tuh nggak bisa nggak sarapan. Nanti sakit! Hari ini ada latihan voli juga! Masa nanti izin sakit kan nggak enak!"

Tetapi, Riam tidak mendengarkan. Ia masih saja menarik tangan Una meski cewek itu harus terseok-seok menyamakan langkah. Baru berhenti ketika mereka tiba di samping motor Riam. Cowok itu menoleh.

Entah apa yang sebelumnya ingin Riam ucapkan, tahu-tahu menguap begitu saja tatapannya sekarang terpaku pada Una. Riam memajukan langkah, mendekat. Dan Una, tidak bisa mundur, terima kasih pada Riam yang memegangi tangannya erat. Membalas tatapan cowok itu padanya.

Jadi, ketika cowok tinggi itu menundukkan wajahnya mendekat, secara otomatis Una memejamkan mata. Yang selanjutnya ia rasakan adalah sentuhan jemari Riam tipis di dagunya, lalu bunyi klik. Hal yang akhirnya Una ketahui ketika membuka mata dan meraba bawah dagu adalah, bahwa Riam telah membantunya memasang helm.

"Lain kali pasang yang bener!"

Seandainya Una bukan terlahir sebagai manusia, tetapi sebagai es krim, ia pasti telah meleleh sekarang. Orang rasa malu, sebal, dan lapar. Seolah mimpi aneh tadi pagi, sarapan, helm, Riam, semua telah berkomplot untuk memusuhinya. Untuk membuat wajahnya panas dan otaknya kacau.

Uh, dasar Batu Bernapas!

***

"Bebeb kalau galak gitu makin gemes deh, pengen gigit pipinya."

Rahma memutar bolamata. Hilang sudah kesabarannya. Sebentar lagi, Dilan Bin Ramlan, 19 tahun, kelas XI IPS 5, 2 tahun tinggal kelas, bisa jadi tinggal nama yang bahkan tidak ada harum-harumnya.

Ia mendelik, menatap cowok berjambul yang sedang menyengir balik. "Apa, Beb? Aku ganteng, ya?"

"Najis!" semprot Rahma seketika. "Gue udah punya cowok ya, anak SMK sebelah, lo mau dibawain bala tentara, hah?!"

Dilan meneguk ludah, namun bukan berarti ia memperlihatkan tanda ingin menyerah. Hanya saja, perhatiannya teralih pada keberisikan pintu yang baru saja digebrak agar terbuka lebih lebar. Una muncul di sana, tangan bertopang pada lutut, terengah-engah.

"Selamaaat, gue nggak telat," ujarnya seraya melangkah gontai ke bangku.

Seketika, perburuan Dilan berpindah mangsa. Ia bergerak mendekati Una.

"Ayang~ cantik banget sih hari ini, bikin pangling."

Una mendengkus. Ia baru saja melemparkan tas ke atas meja beserta pantatnya ke bangku. Rencananya, ia mau melanjutkan tidur guna melupakan rasa lapar sambil menunggu Pak Idrus datang. Tetapi keberadaan Dilan, playboy jadi-jadian di kelasnya sekarang benar-benar mengganggu.

Sudah cukup kekurangan sarapan, kuis di depan mata, Riam yang memaksa, sekarang ada Dilan. Maka, Una menggebrak meja dengan keras, menarik perhatian anak-anak lain yang tengah bergosip, main adu panco, main tiktok, bermake-up, dan mengecat kuku.

"Ayang! Ayang! Gue punya nama, ya! Skala Aluna! Udah capek-capek bokao gue motong kambing buat ngasih nama, dipanggil kuyang!"

"Ayang."

"Sama aja!"

"Ya nggak penting kali Na. Nanti juga paling-paling gue panggil Bunda~"

Una membuat peragaan muntah di tempat. Mungkin akan sungguhan muntah seandainya ia diizinkan mengisi perut tadi pagi.

"Bunda mata lo gue colok!"

Cowok itu, yang kerap disapa Dilan tetapi memilik perbedaan sejauh Sabang dan Merauke dengan Iqbal Ramadan itu menutup mulut. Kenapa sih cewek-cewek hari ini pada susah dirayu? Mungkin begitu pikirnya. Ia mengangkat kedua tangan di udara tanda menyerah sebelum berlalu melewati Una, dimana ia kemudian disambut Rifai yang tengah menunduk meraih maskara. Gerakan tiba-tiba itu tanpa sengaja membuat Dilan tersandung hingga menabrak meja.

"Duh! Hati-hati dong I!"

"I, I!" Rifai menyahut dengan sewot. "Jangan panggil I dong. Sehuruf doang, pelit amat!"

"Terus lo mau gue panggil apa, Revalina?"

Hap! Dapat! Rifa'i berhasil mengambil maskara punya Rahma yang sempat menggelinding ke kolong meja. Ia lalu membersihkan debu di ujung-ujung jarinya dan menatap Dilan dengan tatap tersanjung.

"Itu boleh. Bunda juga boleh."

Kali ini giliran Dilan yang ingin muntah. Seputus-asa apapun dirinya dalam hal menggaet wanita, jangan sampai jenis cangkokan di-embat juga.

"Amit-amit jabang bayi!" Dilan mengetuk-ngetukkan pangkal tinjunya ke meja dan ke jidat. "Ah udah ah. Gue mau keluar bentar, ngerokok mumpung Pak Idrus nggak masuk."

Sementara Dilan berlalu ke luar sembari membenarkan jambul, Rifa'i kembali pada kegiatannya semula, berbincang soal make up dengan Rahma dan beberapa cewek lainnya. Yang bergosip kembali bergosip. Yang adu panco ganti pemain. Dan Una sekarang menelungkupkan wajahnya. Pikirannya sedang sibuk mempertimbangkan bisakah ia mengambil resiko ke kantin untuk membeli makanan dengan taruhan ditangkap guru BP atau terlambat kelas Pak Idrus, atau diam menunggu jam istirahat dengan kemungkinan besar perutnya akan mengadakan konser rok and roll.

Harus gimana? Tadi malam juga lupa makan. Sibuk nyusun balasan chat buat Iyam.

Tahu-tahu, Dilan telah kembali, mencolek-colek bahunya hingga Una merasa gerah.

"Apaan sih?!"

Ia hampir memukul cowok itu hingga jambulnya lepek mencium ubin. Tetapi Dilan lebih sigap menghindar. Cowok itu menyengir.

"Buset, galak amat, Bunda!"

"Bunda! Bunda! Fai noh!"

Yang disebut hanya melambai ala Miss Universe. "Ada apa, Ayah?"

Dilan menggeleng keras. "Enggak, Na! Gue becanda doang, njir! Jauhkan gue dari makhluk yang terkutuk!"

Lalu, sebelum Rifai atau siapapun kembali bertanya, ia sudah menyodorkan sebuah kantong plastik hitam ke atas meja Una. "Tuh, ada yang ngasih barusan."

Pikiran Una segera menebak-nebak siapa. Mungkinkah Ayah? Karena Ayah biasanya berangkat lebih lambat daripada Una. Tapi .... tumben, Ayah tahu kalau Una belum makan? Biasanya anaknya ketinggalan juga nggak sadar.

"Dari Ayah?" tanyanya, akhirnya. Lupa menggantinya dengan Pak Ibram alih-alih Ayah.

Dilan mencibir. "Ayah-ayahan sih yang ada. Anak IPA 1 yang super songong itu."

Una tidak menggubrisnya. Tangannya telah dengan lihai membongkar isi kantong. Ada dua bungkus roti, beberapa bungkus camilan, dan satu botol susu kedelai.

Di dalamnya, terdapat secarik kertas dengan sebaris tulisan.

Jangan sakit. Nggak diizinkan.

***

Hai~ aku mau nanya deh. Kalian oke dengan cerita yang uwu-uwu doang, atau haruskah kita turunkah badai secepatnya?

Next paaaarrrt uwu atau badai, nih? 

Ditunggu, ya!!!

Baca juga ORIONIS EPSILON BY okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro