Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Delta, Epsilon, Zeta

Kemaren kalian hebat votes tembus 1k. Lanjutkan, ya! Happy reading~ 🥰

***

Malam datang dengan cepat bersamaan dengan suhu udara yang menurun drastis. Karenanya, Mitha merasa perlu untuk menyalakan api unggun. Dengan keterampilan yang ia dapat dari ekskul Pramuka, cowok itu telah mengumpulkan ranting dan menyalakan kulit kayu kering lebih dulu dengan korek api. Tidak lama, lidah api membesar, berderak-derak menjilati ranting.

Riam mengambil tempat di salah satu sisinya sejak jaket yang ia pakai tidak terasa cukup hangat. Ia memaparkan telapak tangannya ke dekat api, menggosok-gosokkan kedua tangan tersebut, lalu menyedekapkannya.

Una yang memerhatikannya dari sisi lain sampai mengernyitkan alis. Ia segera berbisik pada Ais. "Kirain dia itu manusia es, ternyata bisa kedinginan juga."

"Siapa?"

"Iyam, lah!"

Bukannya menanggapi, Ais justru tertawa sembari menyenggol cewek itu. Sepertinya dengan mudah, mereka menjadi akrab. "Cieee yang merhatiin banget~"

"Enggak!"

"Iya~"

"Eng─" Una berdeham, lalu matanya dengan cepat menyapu sekitar, mencari topik pembicaraan baru. "Btw, gue laper. Kalian laper, nggak sih?" Tangannya bertengger di perut ketika dia menoleh pada semua orang. "Dingin nih kayaknya, makanya gue kelaperan."

"Ah elo mah emang perut karung, Na, sok bilang dingin." Mitha termakan umpan itu.

Pada akhirnya, ia menawarkan diri untuk membelikan makanan, bahkan menyediakan opsi antara nasi goreng dan jagung bakar, yang tentu saja kedua-keduanya disambut dengan begitu antusias oleh Una dan Saga. Setelah beberapa perdebatan, Mitha dan Ais pergi untuk mencari jagung bakar sementara Saga dan Fay mencari minuman hangat. Riam tidak ingin kemana-mana. Sudah cukup jalan-jalannya.

Sambil duduk di dekat api unggun yang hangat, memperhatikan lidah api yang bergoyang, atau percikan yang tercipta tiap kali satu ranting patah, Riam bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan teman-temannya. Sudah cukup lama sejak mereka pergi. Saga mungkin sedang pacaran sekarang, melihat dari bagaimana mereka bahkan berpegangan tangan saat pergi tadi. Dan Mitha ... seperti biasanya, tatapannya selalu terfokus pada satu orang, Ais. Riam mulai bertanya-tanya, seperti itukah orang yang jatuh cinta? Tatapan cowok itu lembut, begitu memuja, seolah Ais-lah yang telah menggantung bulan di langit dan menaburkan bintang-bintang. Jika Mitha ingin menyatakan perasaan, sekarang lah saat yang tepat, mungkin sambil menatap jagung di pembakaran.

Oke, kenapa juga Riam peduli?

Di sampingnya, Una tampak grasak-grusuk. Cewek itu dengan heboh mencari-cari hingga dasar tasnya sebelum berseru 'ketemu!' dengan girang. Ketika Riam menoleh, di tangannya terdapat sebuah teropong binoklar.

Riam mengernyit. Sebenarnya, apa yang cewek itu bawa hingga semuanya ada? Kantong ajaib?

Una meletakkan teropongnya di depan muka. Dengan bersemangat, ia mulai memindai langit di atas sana. Namun setelah beberapa saat, ia menurunkan teropongnya kembali dengan ekspresi putus asa bertengger di wajah.

"Kok sama aja, ya?"

Riam berdecak. "Mau liat apa emang?"

"Apa aja. Bintang, planet, kornet."

"Komet," Riam mengoreksi. Ia meraih teropong Una, mengarahkannya ke satu sudut langit. Riam tidak mendalami astrology, namun ia mengenali beberapa benda langit yang tampak, juga konstelasi bintang. Ia kemudian menurunkan teropongnya dan menunjuk jejeran tiga bintang yang bisa ditemukannya dengan mudah.

"Liat tiga bintang itu?"

"Yang mana?" Una meraih kembali teropongnya, berusaha mengikuti telunjuk Riam.

"Itu. Tiga bintang. Berjejer miring."

Beberapa saat, lalu ... "Yang mana, sih?"

"Lupain."

"Ihhh! Iyam! Yang manaaa?!" Kali ini, Una merengek seraya mengguncang lengan Riam, membuat yang punya lengan menyerah.

Gemas, cowok itu mencondongkan wajah hingga berada dekat, amat dekat dengan Una. Pipi mereka nyaris bersentuhan dan napas mereka bertemu. Ketika itu menolehkan wajahnya dengan teropong yang telah melorot di tangan, hal itu bahkan terasa lebih gawat lagi. Namun otaknya telah berhenti bekerja untuk menarik diri. Hanya pipinya, yang memanas dengan tiba-tiba. Begitu tiba-tiba, seperti gerakan Riam.

Beberapa detik, dan tatap mereka bertemu. Una meneguk ludah sebagai antisipasi atas apa yang akan cowok itu lakukan berikutnya. Tetapi Riam hanya menatapnya, meraih tangannya, atau lebih tepatnya, teropong di tangannya sebelum meletakkan benda itu di depan mata. Ia mulai memindai langit.

"Itu," ujar Riam. Perlahan, ia memindahkan teropongnya ke depan wajah Una. Jarak mereka yang dekat membuatnya lebih mudah menjaga agar sudut pandang Riam tadi tidak bergeser. "Tiga bintang berjajar, sama besar."

Una mengangguk. "O-oh. Keliatan!"

Lantas, ia bertepuk tangan menggunakan sebelah tangan yang kosong dan lututnya. "Baguuus! Kok bisa jejeran gitu? Dan gedenya sama!"

Riam tersenyum sekilas, kemudian matanya kembali ke arah taburan di langit. Pada rasi bintang yang baru saja dia tunjuk. Tiga bintang yang ia maksud bisa dilihat malam ini bahkan oleh mata telanjang. "Itu Orionis Delta, Epsilon dan Zeta. Nama sebenarnya Mintaka, Alnilam dan Alnitak. Sabuk Orion menjadi penanda rasi Orion, Sang Pemburu, terletak di lintang +85 derajat dan -75 derajat. Munculnya sebagai pergantian musim, dan─"

"Iyam! Tunggu! Tunggu! Una pusing!"

Ada dengkusan yang keluar dari bibir RIam. Namun cowok itu masih saja menambahkan. "Di Indonesia, rasi Orion disebut juga Lintang Waluku, selalu hadir di awal hingga akhir musim penghujan, adalah yang paling mudah dilihat karena dekat ekliptika."

"Eklip apa? Ah nggak tahu, ah! Mau tidur aja!"

Riam terkekeh, namun tangannya menarik Una agar tetap berada di tempat. Cewek itu tidak akan bisa lolos dari pengetahuan yang selalu ia siap jejalkan setiap saat.

"Lo tahu Orion?"

"Geng sekolah kita?"

Riam mengangguk. "Tiga bintang itu adalah gue, Saga dan Mitha, sabuk Orion."

Api masih menyala, masih meradiasikan rasa hangat, dan bintang-bintang tidak bergeser dari tempat mereka. Una menurunkan teropongnya demi menatap Riam. Tubuhnya bahkan telah bergerak menyerong agar ia lebih leluasa memperhatikan cowok itu. Satu tanda tanya besar seolah tertulis di keningnya.

"Iyam! Sebenarnya kenapa sih, Orion itu suka berantem? Apa nggak sakit?"

"Sakit adalah tujuannya." Tanpa sadar, Riam mencabut rumput di dekat kakinya sementara tatapannya melayang ke kejauhan, kepada taburan benda langit. "Saga kehilangan ibu dan ayahnya, dan ia harus menggantikan posisi kedua orang itu untuk Jingga, adiknya. Mitha itu selalu tertawa, sebenarnya ia selalu tertekan, ia tidak pernah betah di rumah. Dan anak-anak yang lain ... demikian juga. Mereka semua sakit. Tapi, sakit fisik lebih baik daripada apa yang nggak bisa dilihat mata telanjang."

Ketika Riam menoleh, mengembalikan tatapnya pada Una, cewek itu tengah menyimak, wajahnya dimiringkan sedikit demi memperhatikan Riam.

"Emang ... dimana, sakitnya?"

"Di tempat yang nggak bisa terlihat." Ada kepahitan dalam senyum tipis Riam kali ini.

"Apa Iyam itu kayak Kak Argi?" Una bertanya. Namun tanpa menunggu jawaban, ia bergumam, mengonfirmasi. "Iya, Iyam kayak Kak Argi."

"Kayak gimana?"

"Diam, tenang, irit ngomong. Kalau marah, Kak Argi nggak bakal marah-marah, dia melampiaskannya ke hal lain, banting pintu, banting barang, mukul samsak. Apa Iyam melampiaskannya dengan berantem?"

Kediaman yang mengisi setelahnya seolah memberikan jawaban; iya. Una teringat luka-luka Riam waktu itu, robekan yang cukup dalam di lengannya. Ia teringat gosip-gosip di sekolah, tentang Orion, tentang Riam.

"Ibu gue pelakor," ucap Riam tiba-tiba. Una menoleh. Ditemukannya, Riam kembali membuang pandang, tetapi cowok itu masih melanjutkan ceritanya. "Dulu, gue pikir keluarga gue sempurna. Gue nggak banyak mengingat tentang Mama karena lebih deket sama Papa. Gue inget semua tentang Papa...

"Papa yang ngajarin berenang, naik sepeda, main bola. Papa yang ada di sana saat gue jatuh dari sepeda, atau hampir tenggelam di kolam renang. Papa yang sering beliin es krim. Papa yang ... segalanya. Tapi satu hari aku lihat Papa sama anak lain, anaknya yang lain, istrinya yang lain."

Kenangan-kenangan itu tidak pernah pergi, selalu hadir di benaknya saat sunyi, selalu menemani mimpi buruknya, selalu ada ... untuk menyiksa. Dan sekarang, seluruh kenangan itu seakan menyeruak, menghimpit Riam dari segala arah.

Ketika ia melihatnya, pria itu. Keluar dari toko sebelahnya perlengkapan sekolah. Riam tersenyum, ingin menyapanya, ingin berlari padanya. Namun seorang anak tengah mengikuti pria itu, tangan kecilnya berada dalam genggaman Papa sebelum Papa tersenyum padanya dan membawanya dalam gendongan.

Papa tertawa.Papa tampak bahagia. Dan kata-kata ibunya tidak berhenti berputar di kepala Riam. "Berhenti mencari Papa, Riam! Papa sudah nggak peduli sama kamu! Dia punya keluarga lain yang lebih penting!"

Atau ketika pulang sekolah, dan ayahnya ... tidak pernah datang seperti yang pria itu janjikan. Seberapa lama pun ia menunggu, Papa tidak pernah datang.

"Riam, kamu ngapain di situ? Nggak dijemput, ya? Hahaha." Sekelompok anak datang pada, mengerubungi seperti lalat. Badan mereka besar, mereka telah kelas dua, satu tingkat di atas Riam, dan mereka berempat. Bagi mereka, Riam yang tampak menyedihkan dan selalu sendirian menunggu papanya mungkin merupakan sasaran empuk untuk diejek. "Dia nggak punya Papa!"

Anak-anak lain menyambung tawa itu. Bersama-sama. Dan Riam hanya bisa memegangi tasnya erat-erat dan berpura-pura tuli.

"Jangan main sama Riam!" kata anak itu lagi. "Kata mamaku, mamanya Riam itu orang jahat! Mamanya ada dua! Dia ditinggalin papanya karena mamanya jahat! Riam itu anak haram!"

"Anak haraaam! Anak haraaam!"

Waktu itu, Riam tidak tahu apa itu anak haram. Anak-anak yang menyebutnya demikian pun mungkin juga tidak paham, mereka mendengar apa yang orang-orang dewasa katakan. Namun yang Riam tahu, hatinya sakit tiap mendengar kata tersebut. Dan tidak ada seorang anak pun yang bermain dengannya.

Sampai Saga dan Mitha datang.

Lalu, hingga saat ini, pertanyaan yang sama selalu singgah di benak Riam.

Seandainya, mamanya tidak pernah bertemu Papa. Seandainya wanita itu tidak memutuskan untuk merusak hubungan orang lain dan menggoda suami orang, mungkin Riam tidak akan pernah hadir ke dunia. Dan itu ... akan jauh lebih baik.

Mungkin, Riam begitu fokus dengan ceritanya, pikirannya, kenangan yang menggerogotinya. Sehingga ia mengabaikan udara yang dingin dan api unggun yang meredup. Hingga, tahu-tahu ia merasakan sesuatu jatuh di pundaknya. Sebuah selimut hangat.

Una di sana, tersenyum padanya. Dan senyum itu ... rasanya lebih hangat ketimbang selimut yang sekarang membungkus tubuh Riam.

"Kata Ais pelukan itu dosa. Tapi semoga Iyam merasa lebih hangat."

Lalu, tanpa menunggu reaksi Riam, Una telah mengalihkan perhatiannya pada api unggun yang nyaris padam itu. Ia berjongkok di sisinya, memperbaiki tatanan ranting, mengunmpulkannya di tengah agar termakan api. Dan saat itulah Riam mengeluarkan polaroid Una dari saku jaket. Ia memotretnya.

Kilatan yang dihidupkan Riam membuat cewek itu menoleh. Lalu dengan segera menghambur ke arah Riam.

"Ih! Harusnya bilang-bilang dulu kalau mau motret! Biar mukanya nggak pas lagi jelek-jeleknya!"

Riam tertawa. Tetapi ketika Una mengulurkan tangan untuk meraih polaroid itu, ia menjauhkannya.

"Sini liaaat!"

"Enggak."

"Iyam siniin~"

Tetapi Riam tidak melakukannya. Ketika Una mengulurkan tangan lagi, Riam justru menariknya mendekat. Ia meletakkan satu tangan di bahu Una dan mengarahkan kamera pada mereka berdua. Lalu klik.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Una tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri, dan tahu-tahu, potret mereka berdua telah diambil. Sementara, jarak sekian senti di antara wajah mereka dan Riam yang tidak juga menjauhkan diri membuat pipi Una memanas.

Polaroid itu memproses foto dengan cepat. Mungkin satu menit, dan hasilnya telah bisa dilihat langsung. Hanya saja, Una hanya sempat melihatnya, bukan memiliki. Karena Riam telah merebutnya.

"Punya gue. Kalau mau potret sendiri."

(Hanya editan, mohon untuk tidak membakar author 😁)

***


Besok, 26 hingga 30 SEPTEMBER 2021, Orionis ZETA OPEN PO batch 2.0, ya!
Akan ada diskon dan freebies yang lucu-lucu.
Jadi, ayo ikutan~ kunjungi Shopee capribooks atau Instagram (@)nayahasan27 untuk info lebih lanjut.

Mampir juga baca Saga si Epsilon di okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro