35. Kak Nan
Absen dulu. Asal kota mana?
***
"Iyam, kita nonton aja yuk! Di laptop, gratis! Kak Irgi banyak donlot film tadi malem!"
"Ilegal," komentar Riam, melambatkan motornya ketika memasuki komplek perumahan tempat Una tinggal. Tempat yang seminggu terakhir terus ia lalui pulang dan pergi sekolah. "Lagian sore ini tugas lo belajar."
"Belajar terus nanti otak Iyam ngebul loh! Atau karena Iyam kebanyakan belajar ya makanya dikutuk jadi Batu Bernapas?"
"Batu apa?"
Menyadari ia telah keceplosan, Una segera membekap mulutnya. Mungkin tidak apa-apa kalau Riam menyuruhnya turun sekarang karena rumahnya sudah begitu dekat. Tapi bagaimana jika Riam menyuruhnya turun dengan melakukan atraksi jumping atau apa guna menendang Una? Dia tidak ingin mengambil resiko itu.
Lagi pula, ada seseorang yang sudah tidak sabar ingin ia temui hari ini.
Belum Una turun dari motor atau Riam menurunkan standar motornya, seseorang telah memanggil dari depan pintu, meneriakkan nama Una malah, sambil berlari. Dan Una, melakukan hal yang sama.
"UNAAAAA!!!"
"KAK NAAAANNN!!!"
Riam mendengkus. Skenario drama dari mana ini?
Una merentangkan kedua tangannya, bermaksud memeluk cowok yang ia panggil Kak Nan itu. Sayangnya, helm besar yang masih terpasang di kepala berujung menanduk cowok itu tepat di dagu, membuatnya meringis.
"Maaf, maaf!" Una mencopot helm, lantas memeluk Kak Nan dengan helm berada di antara mereka.
Hal itu, menyebalkannya, tidak mengurangi keriangan mereka bertemu satu sama lain.
Cowok itu tidak seperti perkiraan Riam. Tidak sama sekali. Tingginya rata-rata, kulitnya sawo matang. Bukan berarti dia jelek, tapi ... rambutnya ... belah tengah dan mukanya bukan tipe-tipe yang biasanya akan dijeritkan siswi-siswi Orion. Ada sesuatu pada wajahnya yang entah bagaimana, mengundang tawa meski tidak melakukan apa-apa.
Senyum Una yang amat lebar dan tubuhnya yang berjingkrak heboh membuat Riam bertanya-tanya. Apakah Una lebih menyukai cowok yang seperti itu? Yang tidak terlalu tinggi agar mereka tidak jomplang, yang tidak berkulit vampir agar tahan sinar matahari, yang tidak terlalu pintar atau tampan.
Lalu apa maksudnya mengejar-ngejar Riam selama ini? Pasti otaknya telah terkontaminasi micin!
"Kak Nando apa kabar? Ya ampun, lama nggak ketemu!"
"Baik! Kamu apa kabar? Kangen banget, tahu! Kangen manjat pohon bareng kamu!" Kemudian, setelah dehaman yang Riam berikan, dan dia yang berdiri di samping Una, cowok itu menoleh. Alisnya berkerut ketika meneliti Riam. "Eh ini siapa? Pacar kamu, ya?"
Una mengangguk ragu dan sekali lagi, cowok bernama Nando memberikan tatap menilai yang membuat Riam risih.
"Kok mirip Kak Nan, ya," gumamnya. "Tapi bedanya Kak Nan lebih ganteng. Dia kayak mayat hidup."
Kurang ajar!
"Gantengan Kak Kian!" Una memeletkan lidah.
Kepadanya, Nando memasang wajah marah. "Heh, dia mah menang badan doang kayak tiang listrik depan kompleks! Sama kayak dia nih!" ujarnya, menunjuk Riam. "Kalau Kak Nan kan gantengnya natural. Kalau kamu nggak ngakuin, Kak Nan ngambek!"
"Iya, iya. Kak Nan paling ganteng emang! Lebih ganteng dari Kak Kian atau Iyam!" Una tertawa dan mengangguk setuju dengan antusiasnya hingga Riam menatapnya tak percaya. Seumur hidup, belum pernah ada yang mengatakan ada manusia lain yang lebih baik parasnya dari dirinya.
Tetapi, meskipun Riam memelototinya, Una mengabaikannya sama sekali. Ia menarik tangan Nando. Dan perhatiannya, seluruhnya tercurahkan pada cowok itu. "Nanti traktir es krim, ya, tapi!"
"Bjir, lo preman apa? Malak mulu, Na, tiap gue dateng."
"Di teras aja? Masuk dulu!" Suara Bunda yang melongokkan kepala dari pintu menginterupsi. Wanita setengah baya itu memindai kehadiran tiga orang itu di teras dan dengan cepat merangkul Una.
"Bikin teh, gih, buat tamu. Teh sama gulanya ada, jangan sampai kelupaan," pesannya.
Kepada Riam, Bunda tersenyum hangat, seperti biasanya. Hal itu sedikit meredakan perasaan sebal yang entah darimana datangnya.
"Ada Anak Ganteng~ masuk dulu, ya." Sayangnya, ia juga memberikan senyum yang sama pada Nando. "Nando juga. Bunda udah selesai masak!"
"Iya, Bunda"
Lalu, kekesalan yang tadinya berkurang setengah, naik sepuluh kali lipat mendengar Nando memanggil Bunda.
***
"Bunda abis goreng bakwan~"
Kehadiran Bunda membawa sedikit angin segar di antara atmosfir yang pengap, di antara Nando yang memberikan Riam cengiran dan Riam yang membuat pandang. Wanita itu membawa sebuah piring berisi dua buah bakwan di dalamnya.
"Maaf, pas di jalan bakwannya dirampok itu tuh, Ayah, Una sama Deon, jadi sisa dua. Yuk, dimakan, yuk. Nak Riam suka gorengan?"
Err no. Riam mengernyit. Ada begitu banyak minyak di sana, dia tidak suka. Dibayar pun ia tidak bersedia merisikokan kesehatannya untuk sumber kolesterol seperti itu. Ia menggeleng singkat. Namun, merasa itu tidak cukup sopan, ia pikir ia harus menjelaskan. Sayangnya, belum sempat ia menjawab, Nando telah mendahului.
"Saya mau, Bun! Disuapin, ya!"
Riam menatapnya, tidak percaya. Cowok itu bersikap sok akrab dan manja sekali pada mamanya Una. menggelikan!
Bunda mengangguk, mengambil piring yang baru saja ia taruh di meja untuk diserahkan pada Nando ketika Riam meninterupsi.
"Saya mau."
Riam tidak menunggu. Ia meraih piring di tangan Bunda dan tersenyum ketika mengucapkan terima kasih. Lalu, seolah mengerti kerutan dua orang di dekatnya itu, ia menambahkan penjelasan atas dirinya yang memasok kedua bakwan untuk diri sendiri. "Saya lapar."
Senyum yang Bunda hadirkan kemudian sedikit kaku, sedikit kebingungan, namun wanita itu mengangguk antusias. "Makan yang banyak, ya. Kalau mau nambah, bilang aja." Lalu tatapannya beralih pada Nando. "Nando tunggu Bunda goreng lagi, ya. Sebentar."
Una berpapasan dengan Bunda di jalan dari dapur menuju ruang tamu dan sebaliknya. Cewek itu datang membawa baki berisi dua cangkir teh dan cengiran di wajah. Hal yang membuat iritasi selanjutnya adalah, ketika Riam menyadari Una memberikan tehnya terlebih dulu pada Nando ketimbang dirinya. Meski ya, Riam duduk di bagian yang lebih jauh. Tapi tetap saja!
"Hati-hati. Tehnya masih panas."
"Oke~" Dengan semringah Nando meraih cangkir beserta tatakannya lebih dekat. Ia minum dengan hati-hati sementara Riam masih mengunyah bakwannya dengan ogah-ogahan, coba mengabaikan kadar minyak.
"Ahhh~" Nando meletakkan kembali cangkirnya ke meja. "Manis banget tehnya, kayak kamu."
Riam tersedak. Bakwan berminyak yang tengah mati-matian sedang ia coba telan sekarang tersangkut di tenggorokan. Ia terburu-buru meraih camngkir tehnya, meminum tanpa pertimbangan, dan lagi-lagi tersedak karena kepanasan. Lidahnya terasa melepuh. Dan lebih buruk lagi, teh itu sampai tumpah ke seragam Riam.
Dan ini bukan Riam biasanya. Biasanya, ia akan selalu tenang dalam hal apapun. Selalu tenang.
"Kamu bikin teh panas banget!" kesalnya, meraih beberapa carik tisu dan membersihkan kemeja abu-abu terangnya.
Una meringis. Tanpa bantuan berarti memberikan secarik tisu tambahan pada Riam. "Kan udah dibilang panas. Kalau dingin nggak enak. Riam nggak denger, apa?"
Tidak ada jawaban dari cowok itu selain embus napas yang keras. Riam berdiri, meraih tas yang tadi ia jatuhkan di sisi sofa dan menyampirkannya di pundak. "Gue pulang aja."
"Loh, katanya mau belajar?"
Langkah Riam terhenti. Ia melirik Nando, yang diam-diam tangannya telah mencapai bakwan Riam semula.
"Belajar aja sama Kak Nan lo ini," ucapnya, lalu melangkah pergi dengan langkah-langkah cepat dan panjang.
Hal yang tidak begitu ia sadari adalah, Una telah terlalu terbiasa mengejarnya yang selalu ingin menjauh. Sehingga ketika Riam tiba di tempat motornya terparkir, cewek itu telah berdiri di sampingnya.
"Iyam beneran pulang? Iyam marah, ya, karena tehnya kepanasan?"
Riam mengabaikannya. Iya, dia merasa marah. Namun jika ditanya alasannya ... ia tidak yakin.
Helm yang tergantung di atas spion gagal Riam raih ketika Una menggamit lengannya.
"Maaf, deh~ Una janji lain kali tehnya pakai gula, teh dan nggak kepanasan lagi!"
Detik berikutnya Riam merasa tercabik. Di satu sisi, ia tergelitik, merasa kekhawatiran cewek itu amat lucu. Namun di sisi lain ... Nando muncul dari pintu dan melihat sosoknya saja, amarah Riam kembali naik.
"Bikin aja buat dia."
".... Iyam cemburu?"
Ada batuk kecil yang tidak disengaja lolos dari bibir Riam. Cowok itu berdeham dan membuang pandnag dalam upayanya menjaga ekspresi. "You wish!"
"Abis marah-marah nggak jelas kayak Rifa'i! Iyam tenang aja, Kak Nan itu sepupu gue, kok!"
Riam menoleh kembali dengan cepat, memandangi Una seolah berusaha menggali kebenaran. Dan, dia benci setengah mati melihat senyum kemenangan cewek itu. "Iyam jangan cemburu lagi~"
"Gue nggak─"
"Na, lupa bilang." Suara berisik Nando menginterupsi, cowok itu telah berjalan ke arah mereka. "Sabtu ini gue ada tiket nonton gratis hibah dari Arsen. Mau nonton bareng nggak?"
Namun, Una tidak diberi kesempatan untuk menjawab karena Riam telah meraih pergelangan tangannya. Cowok itu menatapnya tajam. "Sabtu ini lo jalan sama gue."
***
A/N: Ada satu hal yang agak menggangguku. Aku nggak pintar merangkai kata di luar fiksi (dalam fiksi pun masih banyak kekurangan), tapi ada yang mau aku sampaikan.
Untuk kamu yang hari ini merasa sedih, lelah, down, kesal, apapun itu.... perasaanmu nggak salah. Kamu boleh merasa sedih, lelah, down, kesal. Kamu boleh berhenti sebentar sekarang dan menarik napas. Tidak apa-apa. Aku percaya setelah ini kamu bisa bangkit lagi.
Dan untuk kamu yang temannya sedang sedih. Yuk, nggak usah disuruh buru-buru bangkit, nggak usah dimarahi. Kita duduk di sampingnya, temani. Lalu, kita bangkit sama-sama.
Salam sayang dari Nando <3 /plak/
Yang penasaran Nando siapa, bisa baca di akun wattpad Noura Publishing (nourapublishing ) judulnya, Tiga Minggu
Semoga hari kalian menyenangkan <3
Baca juga Epsilon oleh okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro