34. Siapa Kanan?
Votenya dulu, boleh?
***
"Mau ya, Am?"
Riam menggebrak buku-bukunya ke atas meja, seolah sebagai penekanan atas penolakan yang telah berkali-kali ia sampaikan.
"Ayolah~ bentar doang! Ya? Ya? Please."
Pemandangan di depannya sekarang seharusnya menyentuh, atau membuat salah paham. Mitha yang berjongkok di depan Riam dengan kedua tangan memohon. Namun, Riam hanya menatapnya bosan. "Tanya Saga aja."
"Udaaah. Tapi ya..., gue mau elo juga, oke?"
"Enggak."
"Plis, gue traktir lo minum di tempat Saga!"
"Nggak doyan."
"Gue traktir makan apa aja!"
"Nggak doyan makan."
Mitha membuang napas kesal, namun tentu saja, tidak ada kata menyerah di kamusnya. Ais yang diperjuangkan sekian lama saja tanpa hasil belum membuatnya tumbang. Ia berdiri, dengan cepat mengekor Riam yang sudah berjalan melewatinya.
"Sekali ini aja, Am. Demi temen lo ini biar nggak jomlo lagi!"
Ketika Riam berhenti, Mitha tanpa membuang waktu segera menghadangnya. Kali ini memasang wajah memelas di depan Riam. Wajah yang mengkhianati postur tubuh.
"Ya? Ajakin Una, kita jalan bareng. Lo sama dia, gue sama Ais."
Riam menatapnya baik-baik, memerhatikan usaha Mitha untuk membuat mata seperti anak anjing yang hilang, yang tentu saja gagal. Semakin lama cowok itu terdiam, seperti harapan Mitha melambung. Hingga, Riam membuka suara dan Mitha nyaris melompat kegirangan.
" ... Minggir."
Lalu jatuh, sebelum ia sempat terbang.
***
"ANIIINNNN!!!"
Anin yang saat itu tengah berhenti di koridor depan kelasnya untuk mengikat tali sepatu tidak perlu menoleh untuk memastikan siapa pemilik suara titisan toa musala yang barusan memanggilnya. Tetapi, ia melakukannya. Keduanya matanya yang tersembunyi di balik kacamata dengan cepat menemukan Rahma, Rifai dan Una, terutama Una, setengah berlari ke arahnya.
"Nin! Tebak remed Matematika gue hari ini dapet berapa?!"
Anin berdiri, mengibaskan tangan dan belum lagi menjawab ketika Una telah melambai-lambaikan kertas remedial ulangannya. "Enam puluh, Nin! Enam puluh! Hebat kan, gue?!"
"Pasti settingan!" Rifa'i menimbrung dengan wajah sangat julid di sisinya. "Masa tiba-tiba nilai lo lebih tinggi dari gue! Lo sogok Bu Nila pake apa, hah? Ngaku!"
Kepada cowok yang sedang bersedekap dengan sewot itu, Una menjulurkan lidah. "Sirik tanda tak mampu~"
Sementara Rahma hanya menggeleng-geleng tak percaya. Ada gitu, orang dapet nilai 60 girangnya kayak habis menang lotre?
Una mengibas-ngibaskan kembali hasil ujiannya. Rifa'i dan Rahma sudah muak ia sodori kertas serupa sejak satu jam yang lalu. Sekarang giliran Anin. Anin yang memang tidak banyak bicara, dengan pasrah mendengarkan Una sembari menyedot teh kotak di tangannya.
"Lihat deh, Nin~ lebih banyak bener daripada salahnya! Ternyata gue punya bakat buat jadi pinter juga!"
Rahma menyeretnya dengan cara menarik ransel cewek itu. "Iya, deh, iya. Jadi nggak, nih, mau ngerujak dulu?!"
"Jadi! Bawang Putih mau makan mangga, ngidam~"
"Bentar! Bentar! Anin belum liat baik-baik ini nilai gu─"
"Duuuh iya deh. Yang diajarin Riam~"
Sesaat, Anin tersedak oleh teh yang sedang ia minum, yang tertutupi oleh ocehan Rifai soal mangga dan semangka yang enak dirujak panas-panas atau Una yang masih belum mau menyerah pamer nilai. Anin tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya matanya yang berpindah arah. Ia membuang pandang ke kejauhan, tanpa sengaja mempertemukan manik matanya dengan tatapan dingin itu. Tatapan yang ... entah berapa kali pun dia dapatkan, entah apa saja yang telah cowok itu lakukan, tetap saja hatinya menolak untuk berfungsi wajar tiap kali ia menemukan Riam. Ia berdebar. Terutama ketika cowok itu berjalan ke arahnya.
Seperti sekarang.
Jatuh cinta cinta itu ... kadang alasannya begitu absurd, begitu remeh. Seperti Anin dulu.
Selagi kelas sepuluh, Anin pernah ikut seleksi untuk ikut olimpiade mewakili sekolah. Ia adalah satu-satu dari tiga murid kelas sepuluh yang ditunjuk waktu itu, bersama Ais dan ... Riam. Riam yang tampak begitu jauh hingga para kakak kelas pun segan padanya. Tidak ada yang berani mengajaknya bicara, tidak juga Anin.
Tetapi pada suatu hari, Anin datang sedikit terlambat sehingga ia harus berlari melintasi lapangan menuju lab IPA. Sekilas ia melihat Riam, melewatinya, hingga cowok itu menegurnya.
"Lo!"
Riam tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi pandangannya mengikuti arah pandang Riam, menemukan pulpennya terjatuh di belakang. Ia memungutnya cepat-cepat. Dan Riam ... pergi. Begitu saja.
Sesederhana itu caranya jatuh cinta. Namun melupakan, kadang tidak sesederhana saat kita terjatuh.
Riam melewatinya, mengabaikan keberadaannya, dan berhenti tepat di sisinya. Tatapan cowok itu terfokus pada Una. Ketika ia membuka mulut, nada gerutuannya datar, menusuk. "Lama banget."
Hal itu menghentikan celotehan Rifa'i atau Rahma yang sibuk mengipasi wajah dengan kipas angin mini. Semuanya menatap Riam dengan takjub sementara cowok itu tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun di wajahnya.
Una, sebaliknya, senyumnya melebar melihat Riam. "Iyam! Iyam, lihat deh! Una dapet nilai 60 pas remedial tadi!"
Ada perubahan sedikit. Ada senyum yang sulit ditahan. Kebanggaan yang berusaha ia sembunyikan. Riam mengangguk. "Bagus."
Dan, sementara senyum Una masih sama lebarnya, dan wajah teman-teman Una masih sama terkejutnya, Riam meraih pergelangan tangan cewek yang hari ini rambutnya sedikit keriting akibat dikepang semalaman itu.
"Pinjem," ujarnya, menarik Una begitu saja.
***
"Iyam pesen apa aja. Terserah! Una yang bayar!"
Riam mendengkuskan tawa singkat. Kenapa ada manusia yang sebahagia itu mendapat nilai 60 saja? Dia, yang nilainya tidak pernah kurang dari 100, can't relate.
Meskipun panas sore itu masih cukup terik untuk menyantap semangkuk bakso, kenyataannya itulah yang terjadi sekarang. Una memaksa kemari. Oke, memaksa memang kata yang berlebihan mengingat cewek itu hanya meminta satu kali. Riam lah yang langsung setuju. Karena ... ia masih mengingat rasanya tempo hari, dan ia menyukainya. Hingga harus memutar jalan demi menemukan bakso pinggir jalan ini.
Riam telah menduduki bangku panjang di bawah pohon, menghadap mangkuk bakso miliknya yang secara khusus minim saus tomat, nyaris nihil. Una di sisinya, menuangkan saus tomat ke baksonya yang lagi-lagi membuat Riam harus menutup hidung.
"60 itu nilai standar. Next time harus 70."
"Hah?!" Una mengembalikan botol saus ke atas meja dengan tenaga berlebih, Tatapannya sekarang terfokus pada Riam. "Gimana caranya?!"
Riam mengendik. "Apa lagi? Belajar."
Apa lagi? Belajar.
Belajar.
Belajar.
Kata itu terulang, terus menggema di kepalanya hingga Una harus menutup kedua kuping dengan telapak tangan. "Makanan apa itu belajar? Nggak tahu!"
Riam tertawa, menarik tangan Una dan berbisik lebih dekat ke telinganya. Semua ia lakukan dalam gerakan cepat, refleks. "Belajar. Proses membaca, menulis, apa pun itu dengan tujuan menyerap suatu ilmu agar melekat di kepala dan bisa terapkan─"
"Tidaaak!" Una berteriak, menggelengkan kepalanya keras. "Nggak denger! Nggak denger!"
Sementara Riam, masih dengan senyum kecilnya, memindahkan tatap pada bakso yang masih tampak panas di depannya. Ia meraih satu buah dengan garpu dan memakannya dengan tenang, mengabaikan Una yang merapal doa agar kata 'belajar' tidak terus menghantui.
Cewek itu menyusulnya kemudian, melahap bakso beserta bihunnya dengan rakus sebelum cepat-cepat mengeluarkan ide yang ada di kepalanya. Dia bahkan tidak bersedia menunggu hingga mulutnya kosong sebelum bicara. "Enak banget emang, ya! Harus banget nih direkomendasiin ke Rahma, Fa'i sama Anin. Apalagi Rahma nih, penggila bakso akut dia tuh!"
Riam membalas dengan kediaman.
"Terus Fa'i bilangnya doang sih alergi micin, disodorin dua mangkok juga abis dia tuh! Sok-sokan! Padahal ya, micin is laip!"
"Life," koreksi Riam, sedikit mengernyit dengan motto hidup Una. Memang pernyataan yang mengatakan bahwa micin membuat otak bodoh itu hanya mitos, tetapi juga tidak dianjurkan untuk dikonsumsi lebih dari lima gram sehari. "Micin is life, micin could be a death too. Penyakit liver, diabetes, hipertensi, mau?"
Sesaat, Una kehilangan kata-kata. Otaknya berproses untuk mencerna perkataan cowok itu sebelum merengut dan mendengkuskan kekesalannya. "Iyam kenapa nakut-nakutin sih!"
Momen berikutnya berlalu dengan damai, atau cukup damai. Karena Riam hanya kembali makan dan Una kembali makan sambil mengoceh berbagai hal, dari hasil remedialnya yang membanggakan hingga teman-temannya yang punya kebiasaan unik.
Dan hal itu menyentak Riam.
"Pernah berantem sama temen?" tanyanya, tiba-tiba.
Una menoleh, menelan makanannya, kemudian menjawab dengan berapi-api. "Pernah lah! Pernah sampai jambak-jambakan sama Rifa'i gara-gara rebutan kotak pensil yang warna pink!"
Senyum Riam mengembang sedikit. "Maksudnya ... untuk hal yang serius?"
Una menelengkan kepalanya. Kerutan wajahnya berubah serius sekarang. "Kayak?"
"Kayak ... pengkhianatan?"
"Iyam ngomong apa, sih? Nggak paham!" Una menggaruk kepalanya. Tetapi, kalimat per kalimat terus meluncur dari bibirnya. "Tapi ya, nggak boleh ngomong gitu! Pamali! Mana mungkin mereka gitu. Mereka itu manusia-manusia paling baik sedunia, ya! Anin, Rahma, Fa'i! Eh Iyam juga!"
"Gue?"
Una mengangguk cepat. Dan, meskipun cewek itu telah kembali melanjutkan menghabiskan baksonya beberapa menit kemudian, perhatian Riam masih belum bergeser.
Pintar sudah melekat padanya seperti bagian dari nama, Riam Jenius Zarel Albion. Ganteng, sudah acap kali dia dengar. Sombong adalah nama panggilannya. Tapi baik? Riam tidak memercayai pendengarannya. Satu-satunya orang yang pernah memanggilnya sebagai anak baik hanya ...
"Riam, kalau besar nanti mau jadi apa?"
"Mau jadi kayak Papa!"
Papa tersenyum, lantas tangannya memberantaki rambut Riam yang jatuh lemas di keningnya. Meskipun begitu, ada kesedihan di mata pria itu. "Jangan jadi kayak Papa. Jadi yang jauh, jauh lebih baik, oke?"
Riam mengangguk.
"Anak pinter! Anak baik! Sini, Papa gendong dulu!"
Sekarang, tangan Riam terulur, menyentuh rambut semi-keriting Una yang nyaris jatuh ke meja, menariknya hingga terselip di belakang telinga. Cewek itu menoleh, mempertemukan tatap.
Ada banyak yang berjubel di otak Riam saat itu juga. Permintaan Mitha tadi siang yang ditolaknya mentah-menta, kenangan yang berputar di memori Riam, rahasia yang minta disingkap, sakit sendirian yang minta dibagi, yang selama ini hanya bisa ia simpan sendiri.
"I'm not good," bisik Riam, akhirnya. Jemarinya masih tenggelam dalam helai rambut Una. "Just a broken little kid. But thanks ... for seeing me as one."
Dan ... haruskah ia mempertimbangkan ajakan Mitha? Hanya meminta pergi bersama. Itu saja. Namun rasanya, bibir Riam menutup kaku. Dan walaupun pada akhirnya ia berhasil membuka mulut, jawaban Una mendahuluinya.
Una mengembalikan tatap, hampir sama intensnya. Sebelum keningnya mengernyit dan ia mulai menggaruk kepala. "Artinya ... apa?"
Buyar sudah segala apa yang ada di ujung lidah. Riam menelan kembali semuanya dan menarik tangannya dari Una.
"Artinya, micin nggak bagus buat kesehatan!"
Riam melanjutkan makan, tetapi Una menarik-narik lengannya. "Masa, sih? Tapi kedengerannya tadi bagus, masa?!"
Kali ini, Riam bergeming. Tidak perlu banyak usaha baginya untuk mengabaikan Una sementara dia telah begitu terbiasa mengabaikan Mitha dan teman-temannya yang lain.
Dering ponsel kemudian menginterupsi mereka.
"Halo?!" Una mengangkat ponselnya, menunggu sesaat, sebelum teriakannya yang cempreng membahana hingga menarik minat pembeli sekitar.
"OMG KANAN?! Kangeeeennn!!!"
Kanan?
Kak Nan? Riam mengernyit.
Terdengar suara cowok di seberang sana.
***
Siapa ya, Kanan? Ada yang penasaran? Wkwk
Novel Orionis Zeta, The Tale of Rain dan Tiga Minggu telah tersedia di Shopee capribooks!!! Klaim voucher gratis ongkir biar hemat. Bisa gratis ongkir, COD dan lewat alfamart ya.
Jangan lupa juga mampir di work Epsilon oleh okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro