30. Jangan Dicariin
Buru-buru up! Typo dan kesalahan lain, silakan dikoreksi ^^
***
"Hari ini jadi, ke rumah Saga?" Ojan terdengar tersengal ketika ia tiba di depan Mitha setelah upaya mengejar langkah cowok itu.
"Jadi. Lo atur aja dah anak-anak. Ntar sore. Jam empat. Jangan telaaat!"
"Siap, Bos. Angkuuut~"
Kemudian, suara cempreng cowok itu tidak terdengar lagi. Masih dengan tersengal ia kembali berlari menjauh, membuat Mitha terkekeh melihatnya dan mengistirahatkan lengan di pundak Riam. Yang segera ditepis oleh yang bersangkutan.
"Am, lo ikut kan?"
"Ya."
"Mau barengan apa berangkat sendiri, nih?"
"Sendiri."
Atas kurangnya jawaban yang diberikan Riam, Mitha berdecak. Ia mengedarkan pandang, dan tiba-tiba saja, satu ide menghampirinya.
"Una, tuh!"
Seketika, Riam menoleh, ke arah koridor yang ditunjuk Mitha. Yang terjadi berikutnya adalah Mitha yang tergelak, terpingkal-pingkal sembari memukuli pundak Riam. Dia tidak pernah menyebut dirinya jenius. Namun sekali ini, ia bahkan berhasil membodohi si pengatur strategi di Orion.
"Bucin, mampus, lo!"
"Apa, tuh?" Riam menjawab setenang mungkin. Meskipun wajahnya terasa terbakar oleh olok-olok Mitha barusan. Diam-diam Riam membuat pengingat di kepala untuk tidak pernah jatuh ke dalam jebakan Mitha lagi.
"Bucin, lo nggak tahu masa?"
"Buana Cendekia?"
Mitha membelalak, sementara yang ditatapnya hanya mendelik. "Mampus, teman gue udah bucin, kudet lagi."
Bukannya Riam peduli dengan bahasa-bahasa alien semacam itu. Jadi ia hanya mengendik. Langkahnya menuju parkiran terhenti di ambang pintu kelas IPA 5, yang letaknya dekat gerbang. Pasalnya, di depan mereka, Tyo, seorang anak Orion yang lain dari IPS 1 sedang berada di depan kelas itu, tangannya meraih tangan cewek itu, tatapannya memohon.
"Plis, Yang. Sumpah, kemaren itu aku main futsal doang sama anak-anak. Nggak jalan sama cewek lain, kok!"
"Halah, bo'ong!" Suara cewek itu melengking ketika ia menepis tangan Tyo. "Kalau sama temen-temen kamu, terus kenapa telepon aku nggak diangkat?!"
"Kan main futsal, gimana mau ngangkat? Yang ada hapeku ketendang."
"Seenggaknya kabarin dulu, kek!"
"Iya, iya. Aku minta maaf, ya. Plis. Plis, Yang!"
Pertengkaran ini sepertinya akan terus berlanjut, tidak ada tanda-tanda berhenti. Seperti gerimis hujan yang awet. Kabar buruknya, drama mereka menghalangi jalan, menjadi tontonan anak-anak di koridor.
Riam mengambil satu langkah maju, membuat dirinya berada dekat dengan pasangat tersebut. Dan seketika, pertengkaran terhenti, keduanya menatap Riam was-was sebelum dengan tahu diri mundur, memberi jalan. Riam mengangguk dan meneruskan langkah. Dia tidak peduli apakah mereka mau lanjut bertengkar atau tidak, yang terpenting, mereka tidak menghambatnya lagi sekarang.
Sayangnya, kedamaian itu tidak akan bertahan lama jika Mitha terus mengekornya seperti sekarang.
"Tuh, contoh bucin," gumam Mitha, dadanya membusung oleh pengetahuan tersebut. Riam tidak menggubrisnya.
"Gue tahu contoh bucin yang lain."
"Apa?"
"Elo, lah! Seenggaknya gue enggak anter jemput Ais tiap hari, tuh. Yah, karena dia nggak mau juga, sih. Tapi bukan itu poinnya."
"Gue sama dia nggak ada apa-apa." Riam membuka mulut akhirnya. Dan dari sudut mata, ia dapat menangkap senyum puas di wajah Mitha. Cowok itu tidak akan berhenti sebelum mendapat penjelasan. "Cuma penasaran. Nothing more."
"Penasaran apa penasaran?" Sekarang, giliran pundaknya yang disenggol. "Tapi bro, kata orang bule tuh, curiosity kills cat. Enggak takut, kemakan omongan sendiri?"
Riam menghentikan langkahnya, meski menolak mempertemukan tatap dengan Mitha. "I'm sure─"
"IYAAAAMMM!!!"
Riam sudah tidak berjanji untuk tidak terjebak lagi. Namun tubuhnya berpikir mendahului otak dan secara otomatis, ia menoleh begitu panggilan itu disebut. Kali ini bukan jebakan Mitha atau siapapun lagi. Una berdiri di sana, di belakangnya. Tidak luput, cengiran lebarnya yang tidak pernah ketinggalan.
"Good luck, bro." Bahkan bisikan Mitha terdengar samar di kuping.
Una mempercepat langkah. Menuju ke arahnya. Langkahnya pendek-pendek, namun cepat, sedikit berayun seolah dia sedang bahagia-bahagianya.
Dan tiba-tiba saja, Riam tertegun. Selama ini, hidupnya seperti aspal yang mulus. Ia tahu tujuannya, ia berusaha mengatur kecepatan untuk meraih impiannya di ujung jalan sana. Tetapi, tiba-tiba ada Una, yang membonceng di belakang motornya. Dan tiba-tiba saja, rasanya ia seperti melambatkan laju.
***
Memasuki komplek perumahan yang kadang dijadikan tempat bermain anak-anak, Riam melambatkan laju motor. Itu sebabnya ia semakin bisa mendengar dengan jelas omelan Una, segala keluhannya yang tidak begitu penting─kalau bukan tidak penting sama sekali. Soal Rifai yang meminjam meminta jajananya tapi justru meraup terlalu banyak bagian, soal ia yang tidak mau ke sekolah besok karena akan ada ada ulangan matematika, hingga ajakan bolos, yang tentu saja ditentang Riam keras.
"Lo masuk kelas aja mantul, kan? Apalagi kalo enggak masuk!"
"Justru itu! Ngapain capek-capek belajar kalo nggak masuk kepala juga. Kayak makan, ujung-ujungnya laper juga." Lalu, seperti meragukan argumennya sendiri, Una bergumam pelan, "Terus kenapa kita makan, ya?"
Riam nyaris memutar bola mata. Rasanya ia ingin mencopot helm di kepala Una lalu membenturkannya ke batok kepala cewek itu. Namun belum sempat ia melakukannya, rumah cewek itu yang dicat ungu muda telah kelihatan. Di menit berikutnya, ia menghentikan laju motor di depan pagarnya yang rendah.
"Makasih, Iyam. Sampai ketemu bes─lusa!"
"Besok lo sekolah."
"Iya, iya." Cewek itu merengut sebentar, rasanya ingin meninju Riam, sayangnya, cowok itu tidak mengalihkan tatap, sama sekali. "Una masuk dulu."
"Tunggu."
Ini kali pertama, Riam menghentikannya. Biasanya, cowok itu malah lebih senang mengusir Una. karena itu, Una menunggu. Semenit. Dua menit. Riam bersembunyi di balik helmnya, seolah kesulitan mengucapkan kalimat berikutnya.
"Nanti sore ..., gue mau ke rumah Saga."
"Oh, oke? Terus?"
"Jangan dicariin."
Dan...
Gue nggak bakal selingkuh, kok.
***
Sesuai kesepakatan tempo hari, sebagian besar anggota Orion memutuskan untuk ikut menengok Saga karena telah tiga hari berturut-turut, anak itu tidak terlihat di sekolah setelah serangan mendadak Jumat malam lalu.
Maka sore itu, Riam menggeber motornya seorang diri memasuki daerah Priok, menuju kediaman Denis. Ada perubahan pada rencana mereka semula. Beberapa saat lalu Mitha meneleponnya, mengabarkan untuk berkumpul di tempat lain lebih dulu, tempat yang cukup sering anak-anak Orion kunjungi, kediaman Denis.
Di daerah sini, ia harus cukup berhati-hati. Jalanannya luas, cukup lengang jika dibanding kawasan lain yang luar biasa padat, tetapi ada banyak, terlalu banyak truk-truk kontrainer atau kendaraan besar yang berlalu lalang. Riam melajukan motornya dalam kecepatan sedang, menambahkannya sedikit untuk menyalip sebuah angkot sebelum tidak lama kemudian, berhenti di sebuah halaman luas dengan sebuah kendaaran alat berat terparkir di bagian depan.
Ia dapat melihat banyak motor telah terparkir di sana, dan lebih banyak lagi tiba bersamaan dan setelahnya. Mitha terlihat duduk di motor, tidak jauh dari Riam. Dari gesturnya yang masih menyisir rambut, sepertinya dia juga baru datang. Sementara Denis selaku pemilik rumah terlihat berjalan santai menghampiri dengan rokok yang ia sesap dalam-dalam. Asap yang ia embuskan kemudian mengenai wajah Mitha. Meskipun benci rokok, Riam tidak punya pilihan selain menghampiri keduanya.
"Ada apa nih, Mith? Kok kalian datang nggak bilang-bilang?"
"Lo nggak cek GC, Nis?" Mitha mengibas-ngibaskan tangan, menghalau asap rokok. "Perubahan rencana. Tadinya mau langsung aja, tapi Ojan nelpon katanya dia dan anak-anak pada nggak tau alamat Saga, di-shareloc nggak paham juga. Jadi yaudah, mampir sini dulu nungguin mereka."
"Oke," Denis mengangguk. "Sori, tadi gue ketiduran."
"Pantesan, gue telepon berapa kali baru nyahut lo!"
Anak itu benar-benar terlihat seperti bangun tidur, sepengamatan Riam. Ia hanya memakai celana training dan kaus abu-abu yang lusuh, rambutnya sedikit berantakan dengan wajah mengantuk. Meskipun ya, sempat-sempatnya merokok.
Sekarang sudah jam berapa, memangnya? "Emang lo nggak mau ikut nengokin Saga?" tanyanya.
Denis beralih menatap Riam, mengendikkan bahu singkat. "Gue ketiduran," tekananya lagi.
Itu tidak benar-benar menjawab pertanyaan. Denis membuang puntung rokoknya yang sudah pendek ke tanah dan membuang asap di mulutnya ke sisi yang berbeda. "Masuk dulu, guys. Sori, rumah gue berantakan."
Ketika melangkah melintasi halaman, perhatian Riam teralih pada RX King biru, motor tahun 90-an yang belum pernah ia lihat dimiliki anggota Orion sebelumnya, berdampingan dengan sebuah Cleveland Ace Deluxe yang juga tidak mungkin dipakai Orion. Masing-masing di atas motor diletakkan dua buah helm hitam. Juga, ada pasang-pasang sandal di teras berukuran dan model untuk laki-laki dewasa. Sepertinya, Denis, atau orangtuanya sedang mendapat tamu.
Hal itu terkonfirmasi ketika ia, Mitha, dan sejumlah anak tiba di ruang tamu. Di saah satu sofa L yang melingkari meja segi empat, yang dulu biasanya digunakan anak Orion untuk acara menyantap camilan, sekarang telah diisi oleh sejumlah orang. Ada total lima laki-laki di sana. Salah satunya, Riam mengenalinya sebagai ayah Denis.
"Sore, Om," sapa Mitha.
Laki-laki itu menoleh dari kesibukannya menatap laptop bersama salah seorang rekan, lalu tersenyum lebar karena mengenali siapa yang menyapa.
"Mitha, kan?" Ia berdiri, menepuk Mitha di lengannya. Anak-anak yang lain termasuk Riam tidak luput mendapat senyum ramahnya. "Gimana kabar kalian? Sekarang udah jarang main ke sini."
"Iya, sibuk sekolah, Om. Biasa."
"Wah, gitu, ya? Terus, mau kemana ini, rame-rame gini?"
Beberapa basa-basi lain ditukar kemudian. Ayah Deni menawari mereka minum, menyuruh mereka untuk bersantai sebentar sebelum pergi lagi, dan bertukar beberapa pertanyaan ringan. Pria dengan tubuh cukup tinggi dan tampak fit meski usianya sepertinya tidak kurang dari lima puluh tahun itu tertawa sesekali. Kumis tipisnya yang sedikit diwarnai uban melintang di atas bibir, memberi kesan maskulin, namun tidak mengintimidasi. Ia punya membawaan yang ramah, boleh dibilang, hampir berkebalikan dengan Denis yang agak masa bodoh.
Adik perempuan Denis keluar dari dapur membawakan gelas-gelas minuman. Hal yang segera mendapat suitan dan sorak sorai dari anak-anak Orion yang seolah belum pernah melihat makhluk berjenis kelamin wanita seumur hidup.
Namun, hanya kepada Riam, cewek yang baru masuk SMA itu memusatkan perhatian. "Minum dulu, Kak."
Biasanya, Riam tidak tertarik minum di rumah orang. Kali ini, ia merasa haus. Ia meraih air putih yang tersedia di antara gelas-gelas es sirup, mendekatkannya ke bibir ketika tiba-tiba, otaknya memerintahkan kepala Riam untuk menoleh. Pada ayah Denis dan teman-temannya yang sekarang telah membereskan laptop.
Ada yang tidak beres dengan mereka.
Dua pria yang bersandar di ujung sofa, tatapan mereka tampak tidak fokus. Riam menangkap tatapan mata salah satunya dan ia melihat mata itu memerah. Pria lainnya sempat terburu-buru menyimpan laptop dan yang lain membenahi apapun yang tersisa di meja. Dan ayah Denis... ia merasa pernah melihatnya. Di suatu tempat berbeda.
Kumis tipis. Topi hitam.
***
Hayooo siapakah ayahnya Denis? Silakan berikan teori konstipasi kalian di sini.
Vote dan komen yang rame biar semangat nulis. Thank you! XD
PS: Orion mau main ke tempat Saga padahal orangnya.. Hmm baca sendiri di Orion is: EPSILON okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro