29. Aroma Saos Tomat
Nungguin, nggak? Maaf ya, kemaren sibuk banget 🥺
Happy reading!
***
Tiga puluh menit setelah pelarian yang menegangkan (bagi Riam) dan membingungkan (bagi Una), keduanya mendapati diri mereka telah kembali berada di atas two-seater Ducati milik Riam, berpacu di jalanan yang dihujani gemerlap lampu jalan dan penerangan dari gedung sekitar
Usaha melarikan diri dari enam pasang mata anak Orion tidaklah mudah. Riam harus menurunkan topinya dan menundukkan pandangan, menghindarkan tatap dari Una yang memandanginya keheranan.
"Iyam kenapa, sih? Dikejar penagih hutang?"
"Worse," jawab Riam, memilih kata paling singkat untuk diucapkan, meskipun Una harus mengernyit bingung.
"Apa itu?"
Kali ini, Riam abai. Dari sudut mata ia dapat melihat Mitha dan lima anak Orion yang lain berjalan mendekat dari belakang, dengan sengaja ia memilih jalur yang berbeda untuk keluar mall, meskipun itu artinya dia harus memutar. Mereka semakin mendekat. Sial, kenapa mereka berjalan cepat?
Masih kebingungan, Una mengikuti arah pandang Riam yang tidak bisa berhenti menoleh tiap tiga puluh detik. Dan ia pun menemukannya, apa yang dihindari cowok itu.
"Itu kayaknya anak sekolah kita, deh? Bukan temennya Iyam, ya?"
Riam baru menoleh, terkejut atas teguran tersebut. Tetapi ia harus lebih terkejut lagi ketika menemukan Una sudah melambai ke arah manusia-manusia terakhir yang ingin ia temui saat ini.
"Ha─"
Buru-buru Riam menarikturunkan tangan Una yang terangkat, memaksa cewek itu membelakangi Orion dan menatapnya dalam upaya membuat cewek itu bungkam. "Bukan. Bukan temen gue. Nggak kenal. Jangan disapa."
"Masa, sih? Sumpah deh, sering liat mereka. Coba liat baik-baik, deh. Mungkin Iyam, rabun─" kalimat Una tergantung di udara begitu ia menyadari pelototan dari Riam.
"Berisik, gue tinggal."
"Jangan. Gue pulangnya naik apa? Emang ada angkot sekitar sini? Malem-malem?!"
"Yaudah, buruan."
Setelahnya, Riam berjalan cepat. Sangat cepat sampai Una harus setengah berlari demi menyamakan langkah. Harus begitu, karena ia yakin Riam juga tidak akan sama sekali merasa bersalah jika harus meninggalkannya.
"Iyam, kenapa pulang sih? Belum juga makan, baru ngeces doang liat kue!" Adalah kalimat yang kembali Una ucapkan dalam perjalanan pulang, suaranya redam oleh angin, suara knalpot dan helm yang melindungi telinga Riam, tetapi mungkin saking kerasnya cewek itu mengucapkannya, Riam dapat mendengarnya dengan jelas.
"Udah malem."
"Ya tapi 'kan bisa dibungkus, tadi?"
Di balik helm, Riam nyaris memutar bolamata. Dibungkus, katanya? "Laper banget?" tanyanya beberapa saat kemudian.
"Banget banget! Mau pingsan rasanya!"
Tidak ada tanggapan dari Riam. Dan Una pikir, hal itu wajar karena Riam adalah Batu Bernapas, hatinya juga pasti terbuat dari batu. Dia tidak akan mengerti rasanya kelaparan, apalagi peduli. Una hanya harus meninabobokan cacing-cacing di perutnya sampai ia pulang ke rumah dan merebus mi instan dua bungkus sekaligus.
Namun tidak lama, motor Riam menepi, lalu berhenti persis di depan gerobak bakso dan mi ayam pinggir jalan.
Tanpa menunggu Una, Riam turun, menyingkirkan kursi plastik yang tersedia di depan gerobak dengan kakinya untuk melihat sang penjual penjual bakso. Pelanggan terakhir yang dimiliki sang penjual.
"Bakso satu," pesannya.
"Satu doang?" Una mengerjap. Ia baru akan memesan untuk diri sendiri ketika Riam memotong ucapannya.
"Buat lo."
"HAH? Iyam nggak makan, emang?"
Riam menatap sekelilingnya. Makanan pinggir jalan. Ember untuk mencuci seadanya di sudut. Kemungkinan lalat yang beterbangan. Tidak adanya meja. Just ... nope.
"Masih kenyang."
Ada suara perut yang mengkhianati pemiliknya kemudian, seolah tidak merestui. Dan suara itu bukan berasal dari perut Una. Riam berdeham sementara Una menatapnya dengan alis bergoyang dan senyum lebar khasnya. Senyum creepy itu.
"Iyam yakin?" Cewek itu memutuskan untuk menggoda Riam lebih lanjut.
"Iya."
"Yaudah, kalau gitu~"
Bakso biasanya bukanlah makanan yang cukup disukai Riam. Hidung dan lidahnya yang sensitif tidak dapat menolerir banyak ragam makanan. Begitu pemilih. Bahkan masalah bubur saja bisa menjadi perkara besar bagi cowok itu, karena baginya makanan yang bercampur baur membuatnya kehilangan selera makan. Namun malam ini, entah bagaimana caranya, Riam hampir tidak dapat memutuskan mana yang lebih menggoda. Aroma dan uap kuah bakso yang segera disambut Una, atau cara cewek itu menatap baksonya dengan begitu bersemangat.
Namun, hal yang paling ditakutkan Riam terjadi. Una meraih botol saus tomat, lalu menumpahkannya dalam jumlah besar ke atas mangkuknya. Aroma yang keluar kemudian membuat perut Riam bergolak mual.
"Jauhin," tegur Riam dengan sigap Lalu memutar tubuh di tempatnya duduk agar ia tidak harus menatap Una dan saus tomatnya. Riam punya alergi terhadap aroma saus tomat, juga penampakannya.
"Kenapa?"
Dari sudut mana, ia melihat Una mengaduk saus ke dalam baksonya, membuat warna kuah berubah menjadi merah. Tiba-tiba Riam ingat pertama kalinya ia melihat Una. Bukan, bukan senyum anehnya waktu di lift. Tetapi ... ceker ayam berlumuran saus, ia ingat pernah menatapnya begitu tajam, mengkritik dengan amat pedas di dalam hati.
"Lo... nggak jijik?"
Una mengerutkan alis. "Kenapa? Enak, tahu!"
Dan, sementara Riam menatapnya tidak percaya, Una menusuk satu buah baksonya dengan garpu, warna bakso telah berubah merah karena banyaknya saus. Cewek itu lalu memosisikan baksonya di depan mulut Riam. "Coba, deh."
"Hell, no!"
"Ini enaaak."
"Enggak!"
"Iyam laper, kan?"
"Enggaaa─"
Lagi, tanpa permisi, Una menjejalkan makanan ketika mulut Riam terbuka sedikit lebih lebar dari biasanya. Membuat cowok itu melotot, namun tidak punya pilihan lain selain mengunyahnya. Rasanya ... tidak buruk, ternyata.
"Satu lagi," gumam Riam ogah-ogahan.
Tidak ada, ternyata yang bisa mengalahkan rasa lapar.
***
"Ini dia pahlawan kita udah dateng!"
Mitha berseru. Lalu dengan semangat bangkit dari rebahannya di lantai ring tinju untuk menyambut Maykel yang baru saja melewati pintu markas. Tangannya terulur, merebut satu kresek putih besar dari tangan cowok itu, membongkarnya dan melempar-lemparkan beberapa bungkusan snack ke seluruh anggota Orion yang sedang menunggu.
"Emang nggak salah julukan Pemadam Kelaparan yang lo sabet, May!" tepuk cowok bertubuh bongsor itu pada pundak Maykel yang jauh lebih kecil darinya.
Yang ditepuk hanya mendesah pasrah lalu mengambil tempat duduk di antara teman-temannya yang lain, yang sekarang sibuk membuka bungkus makanan atau menyerbu gorengan yang tadi ia bawa.
"Omong-omong, Saga masih nggak masuk?" Ojan bertanya di sela kunyahan keripik kentangnya.
Mitha memanjangkan tangan demi meraih keripik di tangan Ojan, mencomot dua iris sebelum menjawab. "Denger-denger dari kelas sebelah bolos dia. Gue chat nggak dibales."
"Wah gimana ini si Bos? Perlu kita tengokin, nih?"
"Dia lagi males aja kali," Denis ikut berkomentar. "Liat besok deh. Kalau masih nggak masuk juga kita samperin."
Ada tatapan tajam yang diarahkan Mitha ke cowok itu, tetapi tidak ada kata yang ia ucapkan. Ada Naufal, yang di ujung sana telah memiliki topik baru.
"Betewe, gimana, Jan, ulang tahun lo kemaren? Dikencingin, nggak?!"
"Disodorin setan sampe mau kencing sih!" Mitha menjawab cepat. Lalu tawa besarnya beserta tawa-tawa lainnya menggema di seluruh ruangan. Hanya Riam dan Denis yang tidak merespon. Riam bahkan tidak bersedia repot-repot melepas earphone dan buku yang sedang ia baca.
"Seru banget kemaren!" Maykel menambahkan. "Tadinya mau kita ceburin ke laut, mumpung deket tapi dah lah, nonton horor aja dia udah nangis!"
"Mana ada, woy!" Ojan berseru protes, remahan keripik sampai bermuncratan dari wajahnya, sementara yang lain hanya tertawa.
Tawa yang segera redam ketika Mitha kembali bicara. Cowok itu menyenggol lengan Riam yang duduk di sisinya, bersandar pada ring tinju.
"Sayang banget lo sama Saga nggak ikut kemaren, Am. Seru banget juga. Nggak komplit kita rasanya."
Riam berpura-pura tidak mendengar.
"Omong-omong, Riam lagi deket sama cewek IPS itu bukan, sih?" Tiba-tiba Ojan buka suara, dan Riam nyaris menjatuhkan buku di tangannya.
"Si Una?" Mitha menyahut. Ternyata dia sudah tahu namanya. "Kenapa emang?"
"Masa kemaren gue liat dia jalan sama cowok!"
"ANJIM YANG BENER?!" Tiga orang serentak menyahut. Tubuh-tubuh mereka condong ke depan menandakan betapa tertariknya dengan bahan gibah barusan.
Ojan mengangguk-angguk polos. "Sumpah, deh. Di mall kemaren. Dadah-dadah, mau gue dadahin balik tapi orangnya keburu pergi!"
"Astaga, lo diselingkuhin bro?!" Mitha menepuk pundak Riam keras. Suara beratnya yang melengking hampir membuat Riam tuli, andai saja dia tidak memakai earphone.
Riam menutup bukunya dan menatap wajah-wajah yang memberinya tatapan prihatin. Cowok itu susah payah menahan diri untuk tidak mengeluarkan reaksi apa-apa meskipun di otaknya, semua rasa sedang campur aduk. Bagaimana seandainya mereka tahu yang sebenarnya?
Tentu saja, gosip sebesar itu tidak mungkin berhenti sampai di sana saja. Naufal dengan menggebu-gebu kembali bertanya. "Kayak gimana ciri-ciri cowoknya?"
"Tinggi! Ada kayak Riam tingginya deh. Putih. Ganteng kayaknya walaupun gue nggak liat mukanya," tutur Ojan, coba mengingat-ingat. "Bentar, deh. Kaosnya itu kayak pernah liat gue, tapi dimana ya?"
Dan, sebelum ide itu sempat menghampiri benak Ojan, Riam berdiri, membuat seluruh pasang mata tertuju ke arahnya.
"Kalian nggak denger? Bel masuk udah bunyi."
***
Halo~ apa kabar kalian? Lagi ngapain aja?
Dan menunggu update selanjutnya, main dulu, deh. Semangat!
Mampir di cerita Saga yang lagi liburan keluarga bahagia di lapak okkyarista
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro