Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Kenangan Pertama

Vote dulu, boleh?

Dan semangat! Komen in line-nya dinanti ^^

***

"Kita mau kemana, sih, sebenernya?"

Mereka telah berkendara cukup jauh, berputar-putar dari kawasan Penjaringan sampai Pluit, dan masih belum menemukan tujuan. Atau setidaknya bagi Una, yang pertanyaannya lagi-lagi tenggelam oleh angin dan suara berisik knalpot kendaraan tanpa mendapat jawaban.

Mungkin inilah risikonya jalan berdua dengan seorang Batu Bernapas. Kadang ia akan melakukan tindakan-tindakan tanpa peringatan. Lebih seringnya, dia akan diam seperti batu pada umumnya. Sementara Una tidak pernah bersahabat dengan kediaman. Lidahnya akan terasa gatal.

"Iyam! Gue mau dikirim ke luar negeri jadi TKW, ya?!"

"Iyam! Sumpah gue cuma bisa nyuci piring! Masak mi instan goreng aja suka kelupaan malah pake kuah!"

"Dan kadang gue masak mi kuah nggak pake kuah. Asin banget!"

Bahkan, monolog Una tiap lima menit sekali tidak mendapat tanda-tanda dari dari Riam kalau ia mau repot-repot menjawab, atau bahkan mendengarkannya. Di telinganya, mungkin suara Una yang cempreng telah bersatu-padu dengan derung knalpot. Barulah ketika berada di seputaran Jalan Pluit Utara Raya, Riam membelokkan motornya ke arah kiri, pada sebuah sebuah komplek perumahan elit.

Duh, bener, kan? Gue mau dijual jadi pembantu ini, pasti!

Komplek yang mereka masuki memiliki jalan yang cukup lebar, dengan tanaman palem berderet di sepanjang pembatas jalan. Kira-kira setengah kilometer kemudian, motor melambat dan mereka berhenti di depan sebuah bangunan dengan pos penjagaan bercat kuning. Riam lalu memarkirkan motornya bersama deret kendaraan roda dua lainnya, kemudian mereka berjalan melewati parkiran. Lebih tepatnya, Riam berjalan dengan rutenya sendiri, mengabaikan Una yang terheran-heran di belakang, tidak punya pilihan, lalu berusaha mengiringi langkah cowok itu.

Keduanya melewati semacam gerbang tanpa tulisan, berjalan menapak lorong yang hanya terdiri dari pilar-pilar dan atap, dengan lampu gantung menghiasi. Bagi Una, dia tidak perlu menjadi pintar dulu untuk menyimpulkan tempat itu cukup sering dijadikan venue resepsi pernikahan. Lorong itu membawa mereka ke sebuah kafe dengan dominasi warna kayu. Una mengernyit, Riam terlihat menghampiri sebuah meja tinggi untuk membeli karcis sementara Una celingukan di belakangnya. Tangan cewek itu tidak lepas dari ujung kaos Riam. Seolah jika tidak melakukannya, ia bisa hilang di tengah pengunjung yang cukup ramai sore itu.

Kafe tersebut ternyata bersisian dengan sebuah kolam renang umum yang memiliki luas selebar lapangan futsal. Ke sana, Riam menujukan langkah berikutnya. Langkah-langkahnya yang lebar membuat Una sedikit kesulitan, ia harus mengambil dua langkah lebih cepat dari cowok itu agar dapat mengimbangi.

Lalu, seketika Una tersadar. Kontsipasi macam apa yang mungkin ada di otak Iyam?

Mungkinkah...

Una menahan lengan Riam sebelum mereka dapat mendekati bibir kolam, tatapan yang dialamatkan pada cowok itu terkesan horor. "Iyam! Tolong! Gue nggak bisa berenang, ya! Pernah sih belajar waktu SD, tapi kelelep terus trauma! Pokoknya Una nggak bisa berenang. Nggak mau!"

Riam mengangkat satu alis. "Oh? Oke." Lalu, dengan pelan, ia menambahkan dalam gumaman. "Pantes pendek."

"Apa?"

Riam mengendikkan bahu. Cengkeraman Una di lengannya tidak menghentikan cowok itu untuk melangkah lebih jauh. Hingga langkahnya terhenti di tepian kolam renang.

"Kita mau berenang beneran?!" Una semakin kalap menggigit bibir, takut kalau Riam akan menceburkannya kapan saja. " Gue nggak bawa baju renang, sumpah! Nggak bawa baju ganti juga. Mau pake baju apa, dong?"

"Nggak usah."

Nggak usah pake baju?! ASTAGA!

Seketika, Una menutupi dadanya dengan kedua tangan, membuat Riam yang melihat gerakan refleks dan dramatis tersebut harus mengerutkan dahi.

"Nggak usah berenang," cowok itu memperjelas. Una menyambutnya dengan mulut membentuk O dan tangan yang diturunkan ke sisi tubuh.

"Terus ngapain, ke sini?"

Awalnya, Riam ingin mengabaikannya. Ia mendengkus pelan di bawah hidungnya, terheran-heran kenapa cewek dengan otak pas-pasan seperti Una (ia mendengar desas-desus tentang ranking buncit satu sekolah itu, tentu saja) bisa memiliki pemikiran-pemikiran yang ajaib. Di luar nalar.

Tetapi ketakutan di wajah cewek itu tentang kolam renang luas cukup jelas terlihat dan tiba-tiba saja, ia tidak bisa menahan diri. Riam menatap Una lekat-lekat, seringai tersungging di bibirnya ketika ia menangkap kedua lengan cewek itu.

"Mau buang lo."

Ekpresi terancam Una berikutnya ketika Riam menarik tubuhnya hingga terayun, cengkeram erat cewek itu di lengannya memancing tawa dari mulut Riam. Tawa yang singkat, namun mengalir seolah hal tersebut adalah hal paling biasa untuk dilakukan.

Hal itu membekukan.

"Iyam, Iyam ketawa." Dan itu bukan pertanyaan. Seketika Una lupa bahwa sedetik lalu nyawanya terancam berkat Riam.

"Enggak." Tetapi, wajah batu itu kembali.

"Bo'ong!"

Riam tidak menggubrisnya kali ini. Cowok itu menyimpan kedua tangannya di dalam posisi sedekap lalu berjalan mengitari kolam. Hari ini Sabtu, otomatis pengunjung mengalami lonjakan jumlah dari hari biasanya. Di tengah kolam, di tepiannya, di bangku-bangku santai yang berderet di sisi kolam, terdapat banyak orang, baik itu pasangan, sekumpulan cewek, atau keluarga.

Tidak jauh darinya, seorang anak perempuan berteriak, setengah tertawa. Tangan mungilnya berpegang erat pada seorang pria yang menyangga anak itu di atas pundak.

Tiba-tiba saja, Riam teringat hari-hari itu. Sabtu-Sabtu menyenangkan dan tidak lagi ia alami selama belasan tahun. Waktu itu, ketika ia masih seumuran anak perempuan di hadapannya, mungkin 4 atau 5 tahun, Ayah biasanya akan mengajaknya ke sini, mengajarinya berenang.

"Ingatan pertama gue berada di tempat ini."

Kalimat itu muncul tanpa aba-aba, membuat Una yang lengah memperhatikan anak perempuan dan ayahnya seketika terkesiap menatap Riam. Selama sesaat, ia celingukan, memastikan bahwa Riam memang sedang mengajaknya bicara. Karena ... pandangan cowok itu tampak kosong. Tatapannya jatuh ke dalam kolam, atau mungkin lebih jauh dari itu.

Masih tanpa menoleh, Riam meneruskan ceritanya sementara ingatan mulai berkecipak di otak. Seperti danau yang beriak ditimpa gerimis. Tentang pria dengan kumis tipis. Tentang kolam renang yang waktu itu terasa amat luas, air yang sangat dalam dan menakutkan. Benda kuning yang menjadi penyelamatnya...

"Di rumah lama belum ada kolam renang. Ayah biasa mengajak ke sini, hampir tiap weekend. Ingatan pertama gue mungkin saat berumur empat tahun, tentang berenang dengan pelampung bebek."

Una menelitinya, tampak tertarik.

"Jadi Ayah Iyam yang ngajarin berenang? Keren! Ayah gue mah, boro-boro. Liat anaknya kecemplung ember aja disyukurin." Una terkekeh, namun Riam tidak. Dan sekejap kemudian, hening kembali menyergap. Hanya ada suara-suara orang di sekitar yang redam.

Riam membawa langkahnya menjauh, menuju dermaga yang memisahkan kolam dengan laut. Matahari telah sangat turun hingga tidak lagi bulat sempurna, tertatih di kaki langit sebelah barat.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Una mengekor. Menatap bagaimana remang jingga matahari membingkai sisi wajah Riam, sementara angin meniupi rambutnya ke wajah. Dalam keadaan seperti ini, sepertinya ia mulai paham. Una mulai dapat mengerti mengapa Anin yang tidak mudah jatuh cinta, bahkan pada idola Kpop atau artis Hollywood sekalipun, dapat sesuka itu pada sosok ini.

"Seenggaknya bokap lo stay," ucap Riam, beberapa saat setelah itu.

Ada pahit yang seolah mengekor dari kalimatnya. Ada kesakitan yang tidak bisa Una lihat, namun dapat ia rasakan. Lalu, Riam menoleh, menatapnya.

"Kenangan pertama lo .. apa?"

Pertanyaan cowok itu mengagetkannya. Una lagi-lagi merasakan desakan untuk menoleh ke sekitar hanya untuk memastikan bahwa dialah yang sedang Riam ajak bicara. Meskipun percuma, tidak ada orang lain di sekitar. Karena..., ini Riam, si Batu Bernapas yang bicara segan ngomong tak mau.

"G-gue? Uhhh..." Una memutar otak, coba menggali ingatannya. Dan itu perlu tenaga ekstra mengingat betapa payahnya ia dalam perihal ingat-mengingat. "Waktu... ngompol di playground?" jawabnya pelan. "Gue asik main lompat tali waktu itu dan nggak sadar kalau ngompol. Terus ... dikasih tahu temen-temen dan gue ... nangis."

Ada tawa yang ditahan, terdengar dari dengkusan yang lolos dari bibir, terlihat dari sudut-sudut mata yang berkerut, dan dari kepahitan yang seolah meninggalkan puncak kepala Riam.

Ketika ia tidak dapat menahannya, Riam membiarkan sebingkai senyum itu lolos. Menampakkan deret giginya yang rapi, mata yang melengkung, dan ... bias matahari senja seolah menambah warna pada sebuah lukisan mahakarya bernama Riam Zarel Albion.

Una menatapnya, takjub.

"Riam?"

"Apa?"

"Kamu kalau senyum nggak keliatan galak lagi, kok."

Detik berikutnya Riam berdeham, lalu kembali memasang wajah tanpa ekpresinya. "Siapa yang senyum?"

***

Mereka melewatkan matahari terbenam yang tidak romantis di tempat itu, dengan Una yang menceritakan pengalaman-pengalaman konyolnya dan Riam yang berusaha keras menahan bibir agar tetap berada di garisnya.

Rencananya, mereka mau mampir ke Starbucks yanga da di Emporium Mall Pluit sebelum benar-benar pulang. Riam tidak suka nongkrong, ia tidak mengenal banyak tempat. Namun Mitha sering menyeretnya ke sini dan ... menunya oke, cocok dengan lidahnya. Jadi, tidak ada alasan lebih masuk akal bagi Riam untuk memilih tempat lainnya. Mengabaikan risiko bahwa teman-temannya tahu tempat itu. Mengesampingkan peluang ia akan bertemu salah satu dari mereka di sana.

Ia telah mengalkulasikannya. Peluang itu terlalu kecil. Teman-temannya tidak suka nongkrong di mall di malam hari, mereka lebih senang main futsal, atau main game bergilir dari satu rumah ke rumah lain tiap minggunya. Tidak mungkin, mereka ke sini, di jam sekarang.

Sayangnya, perkiraan seorang pengatur strategi untuk Orion tidak selalu tepat. Takdir mengkhianatinya, kadang-kadang. Jika tidak di medan perang, maka mungkin dengan cara paling tidak terduga oleh Riam. Seperti saat ini.

Suara ponsel yang berisik, yang menginterupsi ocehan tidak penting Una membuat Riam dengan bodoh mengangkatnya begitu saja, lalu menyesalinya sedetik kemudian.

Riam! Terdengar suara berat yang amat ceria di ujung sana. Riam tidak perlu memeriksa layar ponselnya untuk tahu siapa.

"Kenapa, Mith?"

Enggak, gue bosen nih. Main, yuk!

"Enggak, makasih."

"Ye, elo. Malam minggu mendekam di rumah aja, nggak suntuk apa?" Riam nyaris mendengkus. Mitha hanya tidak tahu. Namun seolah dapat membaca pikirannya melalui sambungan telepon, cowok bongsor itu kembali bertanya. "Eh tunggu! Jangan bilang lo lagi apel malam ini sama anak voli itu!"

Satu sedakan nyaris lolos dari bibir Riam, yang segera ia tutup dengan kepalan tangan sebelum satu kebohongan dia katakan dengan mulus. "Enggak."

Yaudah, main kalau gitu, ayok! Ini gue sama anak-anak lagi di Emporium. Mau nongki dulu di Starbucks bentar sebelum lanjut nonton. Hari ini Ojan ulang tahun, kita kerjain ajak nonton horor. Hahahaha.

Apa katanya tadi? Seharusnya Riam memperhatikan perkataan terakhir Mitha, menyentilnya yang sok-sokan berani menonton film seram. Tetapi kalimat awal cowok itu terlanjur mencuri seluruh fokusnya.

"Lo ... dimana?"

"Starbucks? Ini gue udah di mall-nya. Lo buruan ke sini lah, kita tungguin."

Mitha mungkin berdecak di ujung sana, atau memaki-maki karena tanpa permisi, Riam mematikan sambungan. Cowok itu melongokkan kepala ke arah hilir mudik pengunjung mall berasal. Posisi kafe yang berada di lantai satu, tepat di pintu masuk memungkinkan Riam untuk melakukannya.

Dan benar saja, dari jarak yang tidak begitu jauh, Mitha terlihat bersama rombongan lima atau enam orang anak Orion dengan Ojan di antara mereka, bergerombol saling tertawa dan saling ejek. Mitha sendiri terlihat sibuk dengan ponselnya, dan berikutnya, ponsel Riam kembali berdering, yang cepat-cepat ditolak cowok itu.

Mampus.

"Iyam kenapa, sih? Horor banget mukanya." Celetukan Una berhasil mengembalikan Riam pada kesadarannya.

Cowok itu berdiri, meninggalkan minuman dan keik-nya tanpa disentuh. Seumur hidup, mungkin ini pertama kalinya Riam memegang tangannya.

"Ayo pulang."

***

Bonus:

Huhu mau pacaran aja lama banget ya, dua bab belum selesai juga, dan masih bakal ada bab 3 hahah. Mon maap deh kalau gini-gini aja.

Btw aku mau MINTA TOLONG!!! 
Kasih review dong untuk cerita Riam ini agar lebih banyak orang tertarik untuk baca ^^
(PS. Review kalian digunakan untuk kepentingan promosi)
Makasih banyak~


Jangan lupa mampir ke Saga yang mau bolos di Orionis: Epsilon oleh okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro