Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Depan Kompleks Aja


Lidya tengah menata meja makan, menimbang piring apa yang sebaiknya digunakan, di management meletakkan gelas, di mana menyusun cumi asam manis dan di mana sebaiknya ayam kalasan yang baru selesai ia ungkep ditaruh. Semuanya menjadi penting dan membingungkan sekarang, terutama karena kurang dari dua jam lagi, seseorang akan datang.

Tatapannya beralih ketika mendengar langkah-langkah di tangga, semakin dekat dan dekat. Wanita itu menemukan Riam tengah menuruni tangga yang berakhir di antara ruang tamu dan ruang makan, alisnya berkerut menyaksikan penampilan putra semata wayangnya saat ini; celana jins biru dongker yang memiliki sedikit robekan di lutut, kaus lengan panjang warna hitam yang mengerut ke siku, jam tangan, rambut yang diberi jel, dan earphones putih yang menyumbat telinga, terhubung langsung ke ponsel di tangan anak itu. Dan ketika jarak mereka menjadi kurang dari dua meter, samar Lidya dapat mencium aroma parfum menguar dari tubuh Riam. 

Ini masih terlalu sore untuk makan malam, masih dua jam sebelum rencana yang wanita itu jadwalkan. Lagipula ... dia belum memberi tahu Riam.

"Riam, kamu mau kemana?" tanyanya begitu Riam sepenuhnya turun dari tangga. "Malam ini Om Benu mampir makan malam. Kamu stay di rumah, kan?"

"Aku mau pergi." Sembari memeriksa ponselnya, Riam tidak memberikan tolehan apapun ketika dia melewati Lidya dan menjawab demikian.

"Riam," kalimat Lidya tertahan di ujung lidah. Diam-diam dia sudah menduga akan seperti ini jadinya. "Please. Acara ini sangat penting buat Mama. Kamu nggak tahu, kalau Om Benu akan ikut makan malam bersama kita? Ada yang harus kita bicarakan."

Ada kediaman sesaat, Riam menghentikan langkah. Lalu, dengan satu endikan bahu, ia menoleh dan menjawab seadaanya. "Aku tahu."

Riam mengantongi ponselnya, kemudian menatap wanita yang telah melahirkannya itu lurus-lurus. "Aku tahu dia mau ke sini. Makanya aku mau pergi."

Kemarin, Riam tidak sengaja mendengarnya. Ketika ibunya dengan ribut menanyai Mbok Mus soal masakan apa yang sebaiknya dihidangkan, soal bersih-bersih rumah, soal seorang tamu penting. Penting bagi ibunya, tidak baginya.

"Kalau sudah tahu, kenapa kamu masih mau pergi? Please, Riam."

Nada memelas dalam nada suara wanita itu membuat Riam terdiam selama beberapa sesaat. Lidya melangkah maju, berharap mungkin kali ini, ia dan Riam bisa berdamai, bicara bicara lebih banyak. Mungkin, ini adalah kesempatannya. Namun ponselnya berdering di atas meja. Secara refleks, ia menoleh, dan ketika fokusnya kembali ke Riam, anak itu tidak lagi berada di tempatnya.

Riam memberikan lambaian singkat. "Aku pergi."

"Kemana?"

Menunduk memungut kunci motornya yang sempat terjatuh, Riam menoleh, lalu mengendik lagi.

"Memangnya cuma Mama, yang punya pacar?"

***

Beberapa jam telah berlalu. Dan jam lima, seperti yang setengah jam lalu dikabarkan Riam dalam pesannya, semakin mendekat.

Tiba-tiba saja, rasanya Una ingin melompat lewat jendela, berlari ke kolam empang milik Pak RT di ujung komplek, lalu melompat ke sana tanpa pernah muncul lagi. Pada cermin setinggi badan yang terpasang di seberang tempat tidur, Una dapat melihat bayangannya sendiri. Baju hangat lengan panjang berwarna putih gading yang ujungnya ia masukkan ke dalam rok pendek warna salmon. Rambutnya digerai ke punggung dengan kedua sisi yang diberi anyaman kecil lalu disatukan ke belakang. Lalu ada make up tipis di wajahnya berkat bantuan tutorial di internet dan beberapa pelajaran permak muka bersama Rahma dari waktu ke waktu.

"Gue udah oke?" tanyanya di sambungan video yang melibatnya dirinya, Rahma dan Fa'i. Anin baru saja pamit beberapa saat lalu, sakit perut, katanya. Pasti karena telat makan di sekolah tadi.

"Kurang wah, sih," gumam Fa'i. "Lo nggak pake bulu mata? Maskara? Eye shadow? Glitter?"

"Bawang Putih, please!" Rahma memutar bola mata. "Ini sohib kita mau pergi pacaran ya. Bukan ke kondangan!"

Una mendengkus. Memakai blush on yang dicuri dari kamar Bunda saja membuatnya ketar-ketir sampai bersin, eyeliner nyaris tercolok hingga ke mata dan lip tint yang dirasanya terlalu merah. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya trauma.

"Lo udah oke, kok, Na. Coba deket, ya, gue bantuin." Konfirmasi Rahma membuat Una dapat sedikit bernapas lega.

Sementara Rifa'i, hanya membuat perutnya tambah melilit. "Semangat, Say, nge-date sama Aa Riam~"

"Enggak nge-date sih, kayaknya. Dia nggak bilang gitu!"

Siapa tahu nanti Una diajak ke taman kota, lalu dikasih sapu dan disuruh bersih-bersih. Ini Riam, tidak ada yang tahu dengan apa yang ada di otaknya.

"Ngedate lah, pasti. Coba gue yang diajak, udah pasti gue bawa mampir ke KUA, hihihihi." Kikikan Fa'i biasanya selalu sukses membuat Una tertawa geli. Kali ini tidak berhasil. Sekarang hampir pukul lima.

"Yaudah deh, ya, gue tutup dulu. Bye!"

Usai menekan tombol merah pada ponselnya yang menghangat karena panggilan video barusan, Una menggeser layar hingga ia menemukan simbol perpesanan. Ia lantas menggulirkan jarinya hingga menemukan percakapan terakhirnya dengan Riam.

Gue jemput jam 5, masih menjadi pesan terakhirnya, yang dibaca tanpa dibalas.

Lalu, Una cepat-cepat mengetikkan sesuatu.

Jemputnya depan kompleks aja.

Ia lekas-lekas berdiri, memeriksakan diri di depan cermin untuk terakhir kali, lalu membuka pintu dengan suara seminimal mungkin. Una tidak langsung menginjakkan kaki keluar, melainkan melongokkan kepalanya lebih dulu, memeriksa keadaan sekitar.

Area bersih. Sepertinya aman. Di jam-jam seperti ini, Una tahu Deon suka main ke rumah temannya, Irgi kelayapan, Argi mendekam di kamar, tidur, Ayah mengobrol dengan bapak-bapak kompleks di warung sambil ngopi, dan Bunda ... terdengar suara desisan minyak dari dapur. Bunda pasti sedang memasak.

"Bunda! Una pergi dulu ya sama temen!" teriaknya.

Lalu, tanpa menunggu jawaban, Una buru-buru menenteng helm dan sepatunya ke pintu, memasang tali-talinya dengan asal agar bisa cepat kabur. Sayangnya, begitu berdiri, ia langsung berhadapan dengan Argi. Kakak laki-lakinya itu menenteng sebuah kresek putih dan menatapnya dengan alis sedikit berkerut.

Mau kemana, adalah pertanyaan standar yang sedang diantisipasi Una. Jika yang didepannya Irgi atau Deon, sudah pasti tidak hanya akan ada pertanyaan itu, tapi juga disertai ledekan-ledekan dan siulan minta ditabok. Tetapi ini Argi yang selalu tenang. Cowok itu hanya membenarkan kacamatanya yang melorot lalu mengangguk, tanpa bertanya.

"Orangnya udah nunggu, tuh. Deket tiang listrik depan kompleks," ujarnya dengan santai. "Jangan pulang malem."

Padalah Argi tidak bertanya apa-apa. Padahal beruntungnya Argi bukan tipe anak ember pecah seperti dua saudaranya yang lain. Tetapi entah bagaimana, rona merah menjalar cepat ke pipi Una, dan itu tidak ada hubungannya dengan perona pipi pinjam dari Bunda.

***

Wangi, adalah kata pertama yang dapat Una pikirkan ketika ia berdiri di belakang Riam, menunggu cowok itu sadar dengan kehadirannya. Ia tidak segera bersuara. Tidak berisik seperti Una biasanya. The power of rasa gugup.

Riam sedang duduk di atas motor, jaket hitam melapisi kaosnya yang sepertinya juga hitam. Ia akan terlihat seperti akan ke pemakaman seandainya jins biru sobek yang ia pakai tidak menyelamatkan. Cowok itu memainkan ponsel dengan earphones di telinga. Nampak tidak menaruh perhatian sedikit pun pada Una yang berdiri canggung di sana, atau keadaan sekitar. Sekarang, hanya ada Riam dan dunianya.

Una menjadi bimbang. Apa ia harus menyapa sekarang? Hai Riam? Iyam udah datang?! Otaknya menyusun kata, mulutnya membuka, siap untuk mengucapkannya seceria mungkin ketika Riam memotong lebih dulu.

"Ngapain berdiri di situ aja?"

Seketika, mulut Una yang sudah terbuka mendadak kehilangan proses. Tetap terbuka, namun ia tidak tahu untuk apa. Barulah setelah sedetik, ia berhasil menguasai diri dan menutup mulut. Bibirnya jatuh, membentuk lengkungan ke bawah mendapati Riam menatapnya datar, judes. Mirip seperti guru BK tiap melihatnya datang terlambat.

Galak amat! Ini mau nge-date apa mau ketemu malaikat maut sih?! Omelnya dalam hati. Rasanya sia-sia sudah meluangkan lebih dari satu jam demi berlihat pantas berada di samping Riam.

Riam tidak menatapnya lagi sekarang, justru memasang helm dan meletakkan kedua tangannya di stang sepeda motor setelah menyimpan ponsel. Una segera tahu bahwa cowok itu sedang menunggunya untuk naik. Ia mengangkat kakinya sedikit dan segera merutuki diri. Baru teringat bahwa ia sedang mengenakan rok pendek alih-alih celana training panjang seperti yang biasa ia pakai selain di sekolah. Di percobaan kedua, Una menahan roknya dengan satu tangan, lalu berusaha menaikkan kaki lagi hanya untuk membatalkannya. Serba salah. Tetap saja, roknya terlalu pendek untuk naik ke atas jok motor yang tingginya tidak bercanda.

"Ada masalah?"

Ketika Una mendongak, Riam telah turun dari motornya. Cowok itu meandanginya yang kesulitan untuk naik.

"Ada-ada aja. Mau balik?"

Una meringis. Ia bisa saja kembali ke rumah. Tetapi itu artinya mengambil risiko besar untuk bertemu anggota keluarganya yang lain sekarang. Mungkin Bunda telah selesai memasak, mungkin Ayah telah pulang. Mungkin Deon telah selesai main.

"Err... nggak usah. Bisa, kok."

Ia mencobanya sekali lagi, satu tangan berpegangan pada tangan Riam sementara tangan lain menahan rok. Dan ... entah telinganya mulai ngawur atau benar ia mendengar suara Riam menahan tawa?

Yang jelas, ketika Una berbalik dan menyipitkan mata padanya, cowok itu telah kembali dengan wajah dinginnya. "Bisa, nggak?"

"Susaaah." Bibirnya tertekuk semakin dalam. Una menyerah dengan mudah.

"Ngerepotin," desah Riam. Cowok membuka jaket lalu mengangsurkannya pada Una.

Yang diterima cewek itu dengan wajah bingung. Maksudnya, dia kan sudah pakai baju lengan panjang, dan ini masih sore yang sangat cerah. Lalu untuk apa jaket? Riam... mau romantis tapi salah tempat?

"Bisa, nggak?" tanya cowok itu lagi ketika Una hanya memandanginya, tidak sabaran.

"Iya, iya."

Una baru akan memasangkan lengan jaket ke salah satu lengannya saat mendengar cowok itu mendengkus. Lalu, jaket ditarik darinya begitu saja. Riam sekarang berdiri di belakangnya. Dekat, agak terlalu dekat sehingga parfum yang tadinya tercium samar, sekarang menjadi jelas. Aroma khas parfum cowok.

Dan, sebelum Una dapat menoleh, atau mempertanyakan keberadaan Riam di sana, tahu-tahu ia dapat merasakan sepasang lengan menelusup di lekukan sisinya, lalu membayang di sisi pinggangnya.

Riam mengaitkan jaketnya di pinggang Una, mengikatnya erat namun hati-hati, merentangkan ujung-ujungnya sehingga lebih sempurna menutupi paha hingga ke bawah lutut. Waktu yang diperlukan mungkin tidak lebih dari satu menit. Namun rasanya seperti ... selamanya.

Dan jika efek yang ditimbulkan oleh teguran Argi bisa menyamai efek blush on Bunda, maka efek Riam mungkin sepuluh kali lipatnya. Rona merah merambatinya cepat, berkumpul di wajah. Mungkin ... seperti memakai blush on juga, tapi dibantu Bawang Putih.

Skala Aluna hampir oleng. Sebesar itu, efeknya.

***

Klise banget, ya? Hehe

Tapi omong-omong, kencan belum selesai. Tungguin chapter selanjutnya, ya. Aku seneng deh, liat antusiasme kalian di komen dan votes. Tingkatkan, gaes! Thanks a lot <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro